Anda di halaman 1dari 33

Makalah Problem Based Learning

KASUS 5
Euthanasia Pasif

Priscilla Samuel
(priscillasamuel@yahoo.co.id)
10-2007-140

Fakultas Kedokteran
Universitas Kriten Krida Wacana
2011
1

BAB I
Pendahuluan

Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang


gemilang sebagai
refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalanpersoalan norma dan hukum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat yang
bersangkutan.

Kebutuhan

dan

aspirasi

masyarakat

menempati

kedudukan yang tinggi. Apabila


terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum
juga bisa berubah.
Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem
demokrasi liberal
dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah
terlepas dari poros agama
(gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun
(termasuk pemerintah)
tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi
penyakit yang tidak

dapat diembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan


sekarat. Dalam keadaan
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya lagi atau di lain kasus keadaan pada pasien yang
sudah tidak sadar,
keluarga pesakit tidak tega melihat pasien penuh penderitaan menjelang
ajalnya dan minta
kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu
memberikan obat yang
mempercepat kematian.1
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik. Tanpa
penderitaan; sedang
tanathos = mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati
dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat
tanpa derita. Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam
pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan
rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan
Dokter Belanda) Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup
seorang pasien dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
3

Sedangkan menurut Commisie dari Gezondheidsraad (Belanda)


euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup
ataupun dengan sengaja tidak memperpanjang hidup demi kepentingan
si pasien oleh seorang dokter ataupun bawahan yang bertanggung jawab
kepadanya .Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan
sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam
kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan. Istilah
yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy
killing (Tongat,2003 : 44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran
Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu
kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,pembunuhan dengan
kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita
penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara
hati-hati dan disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk
euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat
disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang
diakibatkannya). Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan
pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan
diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika
si pasien dapat menyatakan permintaannya).
Involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien
tanpa persetujuannya).
4

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep


tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan
menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan ipetek
kedokterantelah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama
berkenaan dengan penentuan kapan sesorang dinyatakan telah mati.
Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti:
1.Mati sebagai berhentinya darah mengalir
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3. Hilangnya kemmapuan tubuh secara permanen
4. Hilangnya manusia secar permanen untuk kembali sadar dan
melakukan interaksi social
Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini
dan yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati
adalah

berhentinya

fungsi

jantung

dan

paru-paru,

tidak

bisa

dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan


jantung dan paru-paru yang semua terhenti kini dapat dipacu untuk
berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang
kempis kembali. Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering
menimbulkan keraguan karena misalnya pada atindakan resusitasi yan
gberhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa
dapat ditarik kembali. Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali
kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secar
terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri- sendiri
5

tanpa terkendali karenaotak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi


konsep ini menguntungkan tetapi secar moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpadu lagi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu
yang

mempunyai

kepribadian,

menyadari

kehidupannyam

kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap dan


mengambil keputusan, mengajukan alas an yang masuk akal, mampu
berbuat, mampu menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya,
maka penggerak dari otak

baik secara fisik amupun social makin

banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam batang otak.


Oleh Karen aitu jika batang otak telah mati (brain system death) dapat
diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam
keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation) Penentuan saat mati
ini juga dibahas dan ditetapkan dalam worldMedical Assembly tahun
1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan
penentuan saat kematian di kebanyakn Negara merupakan tanggung
jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan sesorang sudah mati dengan
menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah
diketahui oleh semua dokter.
Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian
tersebut sudah tidak dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski
6

menggunakan teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai


sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat
digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat
diandalkan

untuk

maksud

tersebut.

Jika penentuan

saat mati

berhubungan dengan kpentingan transplantasi organ, keputusan mati


harus dilakukan oleh2 orang dokter atau lebih dan dokter yang
menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan
pelaksanaan euthanasia. Euthanasia bisa ditinjau dari beberapa sudut.
Menurut Frans Magnis Suseno , dari cara dilaksanakannya, euthanasia
dibedakan atas:
1. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia
2. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakuykan secar medic melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter engan tujuan untuk mengakhiri
hidup manusia.
Euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi :
1) Euthanasia aktif langsung (direct)

Adalah dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan


akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis
euthanasia ini dikenal juga sebagaiMercy Killing.
2) Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)
Adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic
untuk meringankan penderitaan pasien namun mengetahui adanya resiko
tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:
1. Euthanasia volunteer /m euthanasia sukarela/ euthanasia atas
permintaan pasien Adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien secar asadar dan diminta berulang-ulang
2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)
Adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar
dan biasanya keluarga pasien yang meminta
Kedua jenis euthanasia ini dapat digabung.Misalnya euthanasia pasif
volunteer, euthanasia aktif involunteer, euthanasia aktif langsung
involuntir dan sebagainya. Ada yang melihat pelaksanaan euthanasia
dari sudut lain dan membaginya atas 4
kategori, yaitu:

1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud


memperpendek hidup
pasien.
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek
hidup pasien
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan
memperpendek hidup
pasien.
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek
hidup pasien.
BAB II
Kasus

seorang pasien berusia 62 tahun datang kerumah sakit dengan karsinoma


kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar dan berpendidikan
cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan
kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki pengalaman pahit
sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut
tampaknya hanya memperpanjang penderitaanya saja. Oleh karena itu ia
9

meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima


terapi minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU,dll), dan ia
ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
BAB III
Prinsip-Prinsip Tentang Etika Kedokteran

Jenis hubungan dokter - pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi


kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajibankewajiban profesi yang
memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajibankewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu
autonomy (menghormah hak-hak pasien), beneficence (berorientasi
kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau
memperburuk keadaan pasien) clan justice ustice (meniadakan
diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity
(kebenaran = truthfull inforniation), ,fidelity(kesetiaan), privacy, dan
confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya.2
Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada
umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti
10

alternatif jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral
utama adalah beneficence.2
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai
ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral
principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral
tersebut adalah :3
1.

Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak

pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination).


Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed
consent;
2.

Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan

tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak


hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat);
3.

Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang

tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai


"primum non nocere" atau "above all do no harm".
4.

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness

dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber


daya (distributive justice).

11

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan


terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality
(menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise
keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan
pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran
juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan
berperilaku (code of

ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada

pendahuluan, nilainilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah


dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu
"kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya,
sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral"
antara dokter dengan peergroupnya, yaitu masyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah
kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban
tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan
secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi
"pemimpin" dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum
kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.3
Persoalan yang dihadapi para profesional kesehatan pada akhir
kehidupan tidak kalah pelik dibanding dengan persoalan di awal
kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah sederhana seperti "bolehkah
12

kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien?" hingga ke


persoalan yang lebih rumit, seperti "seberapa jauh pecan keluarga dalam
membuat keputusan medis terhadap pasien?","apa sikap dokter bila
pasien meminta terapi minimal?" yang kemudian dihubungkan dengan
isu tentang letting die naturally, physician assisted suicide, physician
assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.
Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini
dipertimbangkan untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat
dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan. Pertimbangan ini
sebenarnya bukan pertimbangan barn, melainkan pertimbangan yang
telah ada pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran "to
refuse to treat those who ar overmastered by their diseases, realizing that
in such cases medicine is powerless". Namun demikian keputusan
bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil
dengan melalui pertimbangan yang ketat.4

BAB IV
Rekam Medis

13

isi hukum rekam medis


Setidaknya terdapat 3 isu hukum utama yang berkaitan dengan rekam
medis, yaitu (1) Komplikasi, Pemeliharaan dan retensi Rekam Medis /
Rekam Kesehatan, (2) Penggunaan clan pengungkapan informasi
kesehatan, dan (3) Penggunaan catatan pasien dan informasi kesehatan
dalam proses peradilan. Selain itu juga terdapat isu hukum di bidang
kepemilikan, perlindungan dan komputerisasi.
Komplikasi dan pemeliharaan informasi kesehatan harus dilakukan
dengan benar dan sesuai dengan standar, etika dan hukum. Undangundang clan Permenkes telah mengatur kewajiban dan pokok-pokok
pembuatan rekam medis, selanjutnya pedoman dan standar profesi
mengatur rincian pelaksanaannya. Tidak mentaati standar dan hukum
diatas akan mengakibatkan diperolehnya sanksi tertentu, seperti
dicabutnya izin atau akreditasi, denda atau bahkan hukuman penjara.
Sebagai contoh, dokter yang tidak membuat rekam medis dapat diancam
pidana penjara satu tahun (UU Praktik Kedokteran).
Setiap rumahsakit sebaiknya memiliki kebijakan yang memastikan
keseragaman isi maupun bentuk dari rekam medis berdasarkan standar
akreditasi yang dipakai, kebutuhan si pembayar, dan estdndar profesi.
Berikut adalah acuan secara umum untuk menentukan bentuk dan isi
rekam kesehatan:

Rekam medis hendaknya disusun secara sistematik untuk

memudahkan pencarian dan kompilasi data.


14

Hanya orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh kebijakan

rumahsakit

saja

yang

diperbolehkan

mendokumentasikan

dan

menyimpan rekam medis.

Kebijakan rumah sakit dan atau peraturan internal staf medis

hendaknya menspesifikasi siapa yang berhak menerima dan menulis


perintah verbal dokter dan tata caranya.

Masukan pada rekam medis hendaknya dicatat pada saat perawatan

yang diuraikan diberikan (tidak retrospektif).

Penulis semua masukan harus tertera dengan jelas.

Singkatan dan simbol sebaiknya hanya digunakan dalam rekam

medis bial sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Semua masukan dalam rekam medis hendaknya permanen.

Untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam rekam medis,

hendaknya digunakan tata cara


sebagaimana diatur dalam Permenkes no 749a tahun 1989.

Bila pasien ingin mengubah isi rekam medisnya, perubahan

hendaknya dibuat sebagai addendum. Sebaiknya tidak ada perubahan


pada masukan yang asli, dan perubahan harus secara jelas merupakan
dokumen tambahan yang disertakan dalam rekam medis yang asli atas
permintaan pasien, yang selanjutnya akan bertanggungjawab untuk
menjelaskan perubahan tersebut.
15

Petugas

rumahsakit

harus

mengembangkan,

mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang


berkaitan dengan analisis kuantitatif maupun kualitatif dari rekam medis.
Permenkes no 749a tahun 1989 mengatur tentang lamanya retensi rekam
medis hingga setidaknya 5 tahun sejak kunjungan pasien terakhir,
sedangkan untuk hal-hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan
tersendiri.
Selain hukum, peraturan dan standar akreditasi, retensi rekam medis
bergantung juga kepada penggunaannya dalam suatu institusi kesehatan.
Sebagai contoh, sebuah fasilitas yang menyediakan layanan khusus
untuk anak-anak mungkin memiliki kebijakan retensi yang berbeda
dengan sebuah klinik dokter keluarga. Demikian pula sebuah fasilitas
perawatan akut mungkin memiliki kebijakan retensi yang berbeda
dengan sebuah fasilitas perawatan jangka panjang yang merawat
lansia/geriatri. Komite Medis dari setiap fasilitas layanan kesehatan
harus menganalisis kebutuhan medis dan adminstratif untuk memastikan
bahwa rekam medis pasienpasiennya selalu siap utnuk dilihat kembali, dinilai kualitasnya, dan
lainlain. Maka pada banyak kasus, institusi layanan kesehatan
meretensi rekam medis lebih lama dari ditetapkan oleh hukum.
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar.
Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:

16

Privasi adalah "hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk

bebas dari campur tangan atau observasi terhadap halhal pribadi


seseorang serta hak untuk mengontrol informasiinformasi pribadi
tertentu clan informasi kesehatan". (Harman 2001a,p. 376)
-

Kerahasiaan merupakan "pembatasan pengungkapan informasi

pribadi tertentu. Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk


menggLtnakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi hanya
dengan sepengetahuan dan ijin individu". (Harman 2001a,p.370).
Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
-

Keamanan meliputi "perlindungan fisik dan elektronik untuk

informasi

berbasis

komputer

secara

utuh,

sehingga

menjamin

ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk ke dalamnya adalah sumber


sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan, alatalat untuk mengatur akses dan melindungi
informasi dari pengungkapan yang tak disengaja maupun yang
disengaja. (Harman 2001ap.372)
Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam, UU Praktik kedokteran pasal
47 ayat (2) yang mengatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
kesehatan". Hal yang sama dikemukakan dalam pasal I1 Peraturan
Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran. Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa
"yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu ;yang
17

diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu atau selama


melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran".
Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan
informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
e.

untuk kepentingan kesehatan pasien

f.

untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam

rangka penegakan hukum


g.

permintaan pasien sendiri

h. berdasarkan ketentuan undang-undang


Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa :
(1) pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien dengan ijin tertulis pasien.
(2) pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam
medis tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Di

bidang

keamanan

rekam

medis,

Permenkes

No

749a/

MENKES/PER/XII/1989 menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan


sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau
pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang tidak
berhak.
Dengan melihat masalah di atas, adalah menjadi tanggungjawab sarana
pelayanan kesehatan untuk menyediakan.

18

Peraturan Terkait
(Informed Consent)

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat


patemalistik hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa
sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan
yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan dilakukan
terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik
untuk kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah
mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan. Sampai
kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah sifat hubungan
kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada
hak otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan
terhadapnya. Kemudian sifat hubungan dokter - pasien tersebut
dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan ficuiary
(atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang
menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan
kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karma hanya
melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja, dan disebut sebagai
bottom line ethicts.
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:5

19

1.

Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak

pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination);


2.

Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan

tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien;


3.

Prinsip non malificence, yaitu prinsip moral yang melarang

tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai


"primum non nocere" atau "do no harm";
4.

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness

dan keadilan dalam mendistribusikan cumber daya (distributive justice).


Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance,
liberty rights, dan individual choices. Immanuel Kant mengatakan
bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk memutuskan nasibnya
sendiri, sedangkan Johns S Mills berkata bahwa kontrol social atas
seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk
melindungi hak orang lain.
Salah sate hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari
World Medical Association (WMA) adalah "the rights to accept or to
refuse treatment after receiving adequate information"'. Secara implicit
amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga menyebutnya demikian
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, dst. Selanjutnya UU
No 23 / 1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien
untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan

20

terhadapnya. Hak ini kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang


Persetujuan Tindakan Medic.
Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai
penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum (tort)
Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed
consent. Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan
(otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami
informasi yang diperlukan. Informed consent dapat dianggap sebagai a
patient with substantial understanding and in substantial absence of
control by others, intentionally authorizes a professional to do
something.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi
yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran
tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap
pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak
atas layanan yang ditawarkan pihak lain :
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu 5
1.

Threshold elements.

21

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang
yang kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk
membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali
tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh.
Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan
tertentu

(keputusan

yang

reasonable

berdasarkan

alasan

yang

reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila
telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di
bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah
menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten
adalah apabila is mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau
perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga
kemampuan membuat keputusannya terganggu".
2.

Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman).
Pengertian

"berdasarkan

pemahaman

yang

adekuat"

membawa

konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi

22

(disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman


yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa "baik" informasi harus diberikan kepada pasien,
dapat dilihat dari 3 standar, yaitu

Standar Praktek profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi clan kriteria ke-adekuat-an


informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
tenaga medis (constumary practices of a professional community-Faden
and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai
yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan
keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan
menerima informasi tersebut.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas
tidak sesuai dengan nilai nilai social setempat, misalnya : risiko yang
"tidak bermakna" (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal
mungkin bermakna dari sisi sosial / pasien.
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai
untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari
standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan atau hampir
mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilainilai yang secara individual dianut oleh pasien.
23

Standar pada reasonable person


Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu, dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan pada umumnya orang awam.
Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya,
irrasionalis clan imaturitas.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan
maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi
informasi yang adekuat.
Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness
(kesukarelaan, kebebasan) clan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari "tekanan" yang dilakukan
tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan "dibiarkan" apabila tidak
menyetujui tawarannya.
Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang "tidak
berlebihan berlebihan" masih dapat dibenarkan secara moral.
Consent dapat diberikan
a.menyatakan (expressed)5
dinyatakan secara lisan

24

dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila


dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang
invasif atau yang berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara
bermakna. Permenkes tentang persetujuan Tindakan Medis menyatakan
bahwa semua jenis tindakan operatif hares memperoleh persetujuan
tertulis.
b.tidak dinyatakan (implied)5
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah lake (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis
inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal- hal yang telah
dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebgai persetujuan atas
semua tindakan yang akan dilakukan. Dikter dapat bertindak melebihi
yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut
membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si
pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu
25

memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus


mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang
banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent
adalah suami/isteri, anak, orang tua, saudara kandung, dll.
Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan ketat. Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia
betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika seorang kakek-kakek
menurut\_ dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan
persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar
atau tidak kompeten.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran
daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa
hak menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak
atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami
konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban
untuk mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted,
kewajiban melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter.5
consent (waiver), clinical privilege, dan pasien yang tidak kompeten
memberikan consent." May menambahkan bahwa penggunaan clinical
privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya
memberikan consent.
26

Contextual-circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan


informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang
dianggap memiliki mental yang lemah untuk dapat menerima kenyataan,
dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap "cakap"
menerima informasi yang benar - apalagi membuat keputusan medis.
Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar
kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Budaya, kebiasaan dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi cara dan
keadekuatan berkomunikasi antara dokter dan pasien. Penelitian yang
dilakukan oleh Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap
kanker yang ditanyai sehari sesudah dijalaskan, hanya 60% yang
memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55% yang dapat
menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40% yang membaca
formulir dengan cermat, dan hanya 27% yang dapat menyebut tindakan
alternatif yang dijelaskan Bahkan Grunder menembukan bahwa dari
lima

rumahsakit yang ditelitinya, empat

diantaranya membuat

penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti


oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana, dan satu lainnya berbahasa
setingkat majalah akademik spesialis."5
Keluhan pasien tentang proses informed consent adalah :
bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.
Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau
tidak ada waktu untuk tanya-jawab.
27

Pasien sedang stress emosional sehingga tidak mampu mencerna


informasi.
Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk
Sebaliknya dokter juga mengeluhkan hal-hal di bawah ini :
pasien tidak mau diberitahu
pasien tak mampu memahami
risiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi
situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

BAB V

Dampak Hukum

Pasal 304 KUHP1


Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan,
kepada orang itu,karena hukum yang berlaku baginya atau karena
perjanjian,dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak banyaknya empat ribu limaratus
rupiah.

28

Pasal 338 KUHP1


Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum
karena menyebabkan mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang

siapa

dengan

sengaja

dan

direncankan

lebih

dahulu

menghilangkan jiwa orang lain, dihukum Karen apembunuhan


direncankan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selamalamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Pasal 359 KUHP1
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum
penjara selamalamnya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hokum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.
Euthanasia Dan Bunuh Diri6

29

Pasal 344 KUHP


Barang siapa merampas nyawa orang lain alas permintaan orang itu
sendiri yg jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu
jadi bunuh diri.
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari
World Medical Association (WMA) adalah "the rights to accept or to
refuse treatment after receiving adequate information"'. Secara implicit
amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga menyebutnya demikian
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, dst. Selanjutnya UU
No 23 / 1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien
untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan
terhadapnya. Hak ini kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang
Persetujuan Tindakan Medis.5

BAB VI
30

Prosedur Tindakan Medis

sebagai tenaga medis dan pengambil keputusan, dokter harus melakukan


prosedur tindakan medis sebelum pengambilan tindakan. Untuk kasuskasus seperti euthanasia pasif seperti diatas, sebaiknya dokter melalui
langkah sebagai berikut:
1. Perhatikan keadaan umum pasien (rekam medic)
2. Status psikiatri
3. Edukasi pasien terlebih dahulu
4. Lakukan tindakan persuasive dengan pihak keluarga
5. Ajukan informed consent terlebih dahulu

BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

31

1. SYAFRUDDIN. ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456
789/1552/1/pid-syafruddin6.pdf (online).2003.
diakses 19 Januari 2011.
2. Bagian kedokteran Forensik FKUI. Pengguguran Kandungan.
Ilmu Kedokteran Forensik; 1997;II:p159-164.
3. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Prosedur Medikolegal.
Peraturan Perundang-undangan Bidang kedokteran;1994;I.Ip:,4142
4. Shari, Irwana. Abortus. http://www.irwanashari.com/abortus/.
(online).2010. diakses 19 Januari 2011.

1. Makalah Bioetik. http://www.scribd.com/doc/42628892/makalahbioetik-kelompok-3 (online).2010. diakses 24 januari 2011.


2. Hubungan dokter-pasien.hal8-10
3. Etika Kedokteran hal 31-32
4. Etik pada Akhir Kehidupan hal 36
5. Informed Consent hal77-85
6. Euthanasia Dan Bunuh Diri hal 41 putih ijo

32

33

Anda mungkin juga menyukai