Anda di halaman 1dari 28

Pengertian Euthanasia

Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula
disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya
tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of
determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring
dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan
perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan
etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam
dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu
pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak
lain.Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah
tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti
“mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti
euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan
Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak
melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter
melakukan positif yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif jika dokter
melakukan negatif tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan
kematian.
2.2  Klasifikasi Euthanasia
a.       Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
         Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
         Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga
atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b.      Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada
Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia
dapat dibedakan menjadi:
         Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau
menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
         Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan
ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia
dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
         Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
c.       Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya:
         Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan
tersebut adalah tablet sianida.
         Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan
sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya
adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
         Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang
rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia
pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan
eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki
kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat
"pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara
alamiah sebagai upaya defensi medis.

d.      Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
         Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
         Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).
Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
         Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal controversial.
e.       Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
         Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
         Eutanasia hewan
         Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara
sukarela.
f.       Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
         Euthanasia murni: usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang
bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun.
         Euthanasia pasif: tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang
sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
         Euthanasia tidak langsung: usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien
mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotik,
hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu
tidak disengaja.
         Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah
dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu
dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat
di ketahui.
2.3  Hak pasien dan Pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan
dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan
proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien
sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi
kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun
setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan
yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang
lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu
dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-
pendapat tersebut.
2.4 Kewajiban Perawat dalam Kasus Euthanasia
Kewajiban perawat, yaitu :
  memfasilitasi pasien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
  membantu proses adaptasi pasien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
  mengoptimalkan sistem dukungan
  membantu pasien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah
dihadapi
  membantu pasien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan
keyakinannya.

2.4  Beberapa Aspek Euthanasia


a)      Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam
keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain
pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam
KUHP Pidana.
b)      Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
c)      Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis
untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
d)     Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini
yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan
ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan
bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak
pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan
memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang
umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur
atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan
kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal
yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan
mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa
hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk
menopangnya.
2.6 Euthanasia dipandang dari Aspek Hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut,
ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
  Pasal 344 KUHP: barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun. Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter.
  Pasal 338 KUHP: barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
membuat mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
  Pasal 340 KUHP: barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun.
  Pasal 359: Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya juga dikemukakan
sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi
kasus euthanasia.
  Pasal 345: Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun penjara. Berdasarkan penjelasan pandangan hukum
terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan
izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan
acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

2.7 Kode Etik Euthanasia di Indonesia serta Hukum Euthanasia di berbagai Negara
1)      Kode etik euthanasia di Indonesia
o   berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi Mereka yang
beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
o   waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
o   mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.
2)      Euthanasia Menurut Hukum diberbagai Negara
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara
bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai
kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
  Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia,
undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan
Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor
semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul
tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi
oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu
kasus tertentu tidak akan dihukum.

  Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan
maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan
demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.
  Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya
untuk menciptakan “birokrasi kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi
eutanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
  Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
negara bagi van di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal
( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian
Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan
tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah
satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan
bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya
tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan,
jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam
Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya
sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
  Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang
asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak
tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri.” Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.
  Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian
pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang
secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata “eu” yang berarti baik, tanpa

penderitaan, dan “tanathos” yang berarti mati. Jadi “Eutanasia” artinya mati dengan baik, atau

mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Berdasarkan pandangan dokter,

eutanasia adalah dengan sengaja melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien

atau sengaja melakukan sesuatau untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang

pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (Notoatmodjo, 2010).

Menyinggung masalah kematian, bila dilihat dari aspek cara terjadinya, dunia ilmu

pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu: Orthothanasia, yaitu

kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah, Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang

terjadi secara tidak wajar dan Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan

atau tidak dengan pertolongan dokter (Haryadi, 2007).

A.    Konsep Kematian

Adapun eutanasia itu berhubungan dengan hal kematian. Terdapat banyak konsep tentang

kematian ini, atau konsep tentang mati. Konsep-konsep tersebut antara lain :

1.   Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1998, mati didefinisikan “berhentinya darah

mengalir”. Berhentinya darah mengalir ini berarti jantung dan paru-paru berhenti bekerja.

Jantung berhenti berdenyut, berarti darah tidak dapat mengalir keseluruh tubuh, yang berakibat

semua fungsi tubuh berhenti total karena tidak ada aliran darah. Namun demikian, dengan

berkembangnya ilmu kedokteran, tampaknya konsep ini sudah tidak dapat digunakan lagi,
karena dengan teknologi resusitasi (nafas buatan) telah memungkinkan jantung dan paru-paru

yang terhenti dapat berdenyut kembali.

2.   Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini juga tidak dapat dipakai lagi, karena

dengan teknologi resusitasi seperti disebutkan, seakan-akan nyawa dapat dikembalikan lagi.

3.   Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu.

Seperti kita ketahui bahwa organ-organ tubuh kita itu berfungsi secara terpadu, yang

dikendalikan oleh otak kita. Apabila semua organ tubuh kita masih berfungsi secara terpadu yang

dikendalikan oleh otak, berarti kita masih hidup. Namun konsep ini diragukan dan

dipertanyakan. Hal tersebut, karena tampak organ-organ tubuh dapat berfungsi sendiri, dengan

atau tanpa dikendalikan oleh otak kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa transplantasi

organ tubuh misalnya. Adapun dalam pemindahan atau transplantasi pada tahap tertentu organ

tubuh yang ditransplantasikan masih tetap berfungsi, meskipun sudah tidak di bawah kendali

otak orang yang bersangkutan.

4.   Batang otak telah mati (brain stem death) : Seperti telah disebutkan di atas bahwa otak

merupakan pusat penggerak dan pengendali baik secara fisik dan sosial. Oleh sebab itu, apabila

batang otak telah mati maka diyakini manusia ini kehilangan hidup secara permanen, sehingga

fisik dan sosialnya sudah tidak berfungsi lagi.

5.   Menurut UU Kesehatan No.36 Tahun 2009, Pasal 117, seseorang dikatakan mati apabila fungsi

sistem jantung, sirkulasi, dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau

apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.

Berdasarkan konsep-konsep kematian tersebut, bahwa suatu kematian atau bila

seseorang dinyatakan mati, maka kondisi tersebut sudah tidak dapat dikembalikan lagi

(irreversible), meskipun menggunakan teknik menghidupkan kembali, ataupun dengan kata lain,
mati atau kematian adalah permanen dan “irreversible” atau tidak dapat dihidupkan kembali

(Notoatmodjo, 2010).

B.     Jenis-Jenis Eutanasia

Eutanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dengan dari mana

sudut pandangnya atau cara melihatnya.

1.      Eutanasia Dilihat dari Cara Dilaksanakannya

Apabila dilihat dari cara pelaksanaanya, eutanasia dibedakan menjadi :

a.       Eutanasia Pasif

Eutanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan atau

pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Seorang pasien yang

sedang menjalani perawatan guna kelangsungan hidupnya dilakukan tindakan medis melalui

berbagai cara termasuk memberikan obat. Apabila tindakan medis ini diberhentikan, maka sudah

barang tentu pasien ini meninggal. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan atau dokter ini

sesungguhnya melakukan eutanasia pasif.

b.      Eutanasia aktif

Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis

melalui intervensi aktif oleh seorang petugas kesehatan atau dokter dengan tujuan untuk

mengakhiri hidup manusia (pasien). Dengan perkataaan lain eutanasia aktif adalah tindakan

medis secara sengaja melalui obat atau cara lain sehingga menyebabkan pasien tersebut

meninggal (Kasiana, 2010).

2.      Eutanasia Ditinjau dari Permintaan

Bagi pasien yang sudah sampai pada tahap terminal, tetapi pasien tersebut

mengalami penderitaan yang berkepanjangan, maka seorang pasien dapat mengajukan


permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya. Berdasarkan kondisi ini, maka

eutanasia dibedakan menjadi :

a.       Eutanasia Voluntir

Adalah eutanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan permintaan dari

pasien sendiri. Permintaan dari pasien ini dilakukan dalam kondisis sadar atau dengan kata lain

permintaan pasien secara sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapa pun juga.

b.      Eutanasia involuntir

Eutanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah

tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh keluarga pasien, dengan berbagai alasan, antara

lain : biaya perawatan, kasihan kepada penderitaan (pasien) dan sebagainya (Notoatmodjo,

2010).
BAB III

TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A.      Tinjauan Kasus

Contoh kasus euthanasia di Indonesia salah satunya yaitu kasus Siti Julaeha. Keluarga

Siti Julaeha meminta bantuan pada Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) untuk

mengajukan permohonan euthanasia pada Siti Julaeha ke Pengadilan Negeri Jakarta. Siti Julaeha

diduga mengalami malpraktik ketika melakukan operasi kandungan yang dilakukan di rumah

sakit di Jakarta Timur, pada 6 November 2004. Operasi tersebut dilakukan atas dasar diagnosa

dokter yang menyatakan kepada keluarga, bahwa Siti hamil di luar kandungan. Setelah Operasi

tersebut Siti tidak pernah bangun lagi. Menurut Iskandar Sitorus, Ketua LBHK, keadaan ini

terjadi, karena pada saat operasi berlangsung, oksigen sempat tidak mengalir ke pusat saraf otak

selama 20 menit. "Sehingga terjadi kerusakan batang otak," ujarnya. Kasus tersebut sendiri,

menurutnya pula, sudah dilaporkan kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 20 Januari 2005.

Sesuai dengan permintaan keluarga dari Siti Julaeha, pihak LBHK menyanggupi akan membantu

pengajuan euthanasia terhadap Siti Julaeha (Tempo, 2005).

B.       Pembahasan
Secara harfiah sendiri Eutanasia sendiri berarti (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang

artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan

kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau

menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan

yang mematikan (Hartanty, 2011).

1. Eutanasia Dipandang dari Segi Hukum

Berdasarkan hukum di Indonesia, bahwa apabila dilihat dari perundang-undangan

dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan

lengkap tentang euthanasia. Akan tetapi, bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut

soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang

sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat

dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia (Utomo, 2009).

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika

ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan

pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada pasal 344

KUHP. Selain itu juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan

359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia.

Secara formal hukum yang berlaku di negara kita dapat dikatakan memang tidak mengizinkan

tindakan eutanasia oleh siapa pun (Jusuf, 1999).

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam

suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan

bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat

ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih

berlaku yakni KUHP (Haryadi, 2007).

Ketentuan hukum yang berkaitan langsung dengan eutanasia terdapat dalam

beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni :

a.    Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang

disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua

belas tahun (KUHP Pasal 344).

b.    Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang

lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan dengan hukuman mati atau penjara selama-

lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun (KUHP Pasal

340).

c.    Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya oran lain dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya setahun (KUHP Pasal 359).

d.   Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam

perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-

lamanya empat tahun (KUHP Pasal 345) (Tongat, 2003).

Mengacu pada ketentuan pasal-pasal di atas, bahwa munculnya kasus permintaan

tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini, yaitu kasus Siti

Julaeha yang mana keluarga dari Siti Julaeha mengajukan suntik mati untuk Siti Julaeha perlu

dicermati secara hukum. Kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary

euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai

euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP, namun apabil bertolak dari ketentuan
Pasal 344 KUHP diatas juga dapat tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban

sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya, sehingga dalam konteks hukum positif di

Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam

konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup

seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi

sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang

melanggar larangan tersebut. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk

kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau

pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Adapun dalam

ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa

orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

(Tongat, 2003).

Berdasarkan pasal- pasal di atas juga, bahwa negara Indonesia melarang keras

tindakan euthanasia entah dengan bagaimanapun alasannya. Walaupun tujuan dari euthanasia itu

sendiri karena kasihan jika pasien harus merasakan sakit, dan bagi dokter dan keluarga yang

memberi izin tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal Pasal yang ada. Jika dokter

membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif),

dokter dapat dituntut. Ketentuan yang ada di dalam pasal harus selalu diingat kalangan

kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga

pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, maka ancaman hukuman harus

dihadapinya. Dokter dilarang melakukan euthanasia, menolong atau memberi harapan kearah

perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman pidana (Kasiana, 2010).
Kesimpulannya, bahwa kasus Siti Julaeha yang terjadi di Indonesia benar-benar tidak

dapat diterima secara hukum, karena eutanasia dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk upaya

pembunuhan/perampasan nyawa seseorang. Adapun dalam perkembangan kasus ini, keadaan

pasien (Siti Julaeha) semakin membaik, dan akhirnya dinyatakan sembuh. Seandainya pihak

LBHK turut menbantu keluarga Siti Julaeha dalam pengajuan eutanasia ke Pengadilan, maka

baik keluarga maupun LBHK mungkin dapat terjerat kasus hukum terkait pelanggaran KUHP.

Sejauh ini, kasus eutanasia di Indonesia belum pernah dilaksanakan, karena dari

pihak Pengadilan belum pernah menyetujui pengajuan eutanasia pada seseorang. Adapun selain

Indonesia, larangan eutanasia juga diterapkan dalam negara lain, namun tak sedikit pula

beberapa negara yang Pemerintah negaranya yang melegalkan eutanasia.

Adapun dibawah ini terdapat beberapa negara lain yang masing-masing negaranya

sudah mengatur hukum euthanasia secara tegas. Beberapa contoh yang dapat disebutkan antara

lain :

a.    Belanda. Tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan

euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang

menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia.

b.    Australia. Negara bagian Australia, Northern Territory, mengizinkan euthanasia dan bunuh diri

dengan bantuan orang lain meski reputasi ini tidak bertahan lama. Tahun 1995 Northern

Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang Hak Pasien

Terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997

ditiadakan oleh keputusan Senat Australia sehingga harus ditarik kembali.

c.    Belgia. Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para

pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia telah dilakukan setiap
tahun sejak legalisasi tersebut. Namun mereka masih mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan

euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi

kematian”.

d.   Amerika. Euthanasia agresif atau juga aktif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika.

Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan

pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon. UU euthanasia ditetapkan

pada tahun 1997 tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-

undang ini hanya menyangkut bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat yang diwajibkan cukup

ketat

e.    Kanada. Secara tegas Kanada menolak euthanasia. Euthanasia adalah tindakan ilegal dan

melawan hukum.

f.     Kolumbia. Secara hukum, Kolumbia masih ambigu dalam menetapkan peraturan yang jelas.

Tahun 1997, euthanasia diterima oleh mahkamah konstitusional tetapi belum pernah diratifikasi

oleh kongres/parlemen.

g.    Swiss. Obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang

asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.

h.    Luxemburg. Baru-baru ini, Luxemburg menjadi negara selanjutnya yang menyetujui tindakan

euthanasia. Ketetapan ini baru diberlakukan 19 Februari 2008 yang lalu. Parlemen telah

menyetujui UU yang mengatur euthanasia ini.

i.      Inggris. Eutanasia di Inggris, masih merupakan suatu tindakan melawan hukum. Kebijakan

resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas

menentang euthanasia dalam bentuk apa pun.


j.      Jepang. Negara Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia.

Demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur

mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di

Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “euthanasia pasif”. (Kasus yang

satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang

dikategorikan sebagai “euthanasia aktif).

k.    Republik Ceko. Euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan

peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud

untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan

ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite

hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari

rancangan tersebut.

l.      India. Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan

euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab

Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan

aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang

mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada

ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di

mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu

pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Kasus euthanasia secara tidak sukarela

(atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman

berdasarkan pasal 92 IPC.


m.  China. Euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum di China. Euthanasia diketahui

terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama “Wang Mingcheng”

meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya

polisi menangkap juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian

Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Tahun

2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk

disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh

rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan (Jusuf, 1999).

2.      Eutanasia Dipandang dari Segi Agama

a.  Islam

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan

anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan

kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam

meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh

diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah

(hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,

dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS

2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4:

29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,

seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan

membunuh dirinya sendiri (Utomo, 2009). Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah

atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan

sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Adapun pada konferensi pertama tentang

kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang

membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy

killing) dalam alasan apapun juga (Insan, 2008).

b.    Kristen Protestan

Eutanasia dalam ajaran agama Kristen Protestan merupakan perbuatan yang dilarang.

Apabila mengacu pada kitab suci, bahwa hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus

sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup

bersama masyarakat. Kitab Suci memandang hidup manusia itu suci karena berasal dari Allah

sendiri, “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup

ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Karena

itu, pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi, “Jangan membunuh”

(Kel 20:13). Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan karena, “kita adalah milik Tuhan”

(Rom 14:8; bdk. Fil 1:20). Hidup manusia itu suci karena sejak awal mula melibatkan karya

penciptaan Allah dan hal ini tetap berlangsung selamanya dalam hubungan yang sangat khusus

dengan Sang Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidup manusia. Kesucian manusia

itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi juga karena tujuan hidup manusia adalah

kembali kepada-Nya (penebusan). Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar (violated)

dan dihancurkan, tetapi harus dilindungi, dijaga, dan dipertahankan. Euthanasia dan bunuh diri

merupakan penolakan terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas kehidupan dan kematian,

seperti dinyatakan dalam doa Israel kuno, “Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau

membawa kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).
Adapun sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi

masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari

sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan

apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut (Kusmaryanto,

2005).

c.    Katolik

Tanggal 5 Mei tahun 1980, diadakan kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan

Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih

lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup

dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus

Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam

ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan pengikut ajaran

agama katolik agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian'

dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang

mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan

belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk

ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang

penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae nomor 66) (Konferensi Wali

Gereja Indonesia, 1996).

d.        Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,

moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis

kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah

menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi

suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti

kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang

terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu

factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.

Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat

yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila

seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga

melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia

mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan. Setelah itu maka rohnya

masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam

kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai

dijalaninya kembali lagi dari awal (Jusuf, 1999).

e.    Budha

Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama

Buddha, karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang, walaupun dengan

alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Ia yang memiliki

kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi

tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang

sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.

Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat

itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal
dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Sabda

Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan

meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang

yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia

akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan, begitupun sebaliknya (Jusuf, 1999).

Apabila ditinjau dari kasus Siti Julaeha diatas, bahwa menurut pandangan dari berbagai

agama yang telah dijelaskan diatas, tindakan eutanasia merupakan tindakan yang dilarang.

Seandainya saja LBHK menuruti permintaan keluarga Siti Julaeha untuk melakukan eutanasia,

maka tindakan tersebut telah melanggar perintah agama. Seperti halnya dari pandangan agama

Islam, bahwa tindakan eutanasia merupakan tindakan yang haram, karena eutanasia sama saja

tindakan membunuh orang lain (untuk eutanasia pasif), dan tindakan bunuh diri (untuk eutanasia

aktif). Sedangkan pembunuhan maupun tindakan bunuh diri itu merupakan tindakan yang jelas-

jelas dilarang, seperti hal nya telah disebutkan dalam Al-quran dan Al-hadist. Menurut

pandangan agama Kristen Protestan serta Katolik pun dilarang. Menurut pandangan agama

Kristen Protestan dan Katolik, bahwa eutanasia juga merupakan yang dilarang, karena tindakan

eutanasia sama saja tindakan yang tidak mencerminkan citra Allah. Adapun dalam Firman Tuhan

tepatnya dalam hukum yang terutama bahwa, umat Kristiani haruslah mengasihi Tuhan dan

sesama manusia. Maka tindakan eutanasia yang sama saja merupakan tindakan yang

mencerminkan tidak menghargai hidup sebagai pemberian Tuhan dan mengasihi sesama

manusia. Begitu juga dalam pandangan agama Hindu dan Budha, bahwa tindakan eutanasia

merupakan tindakan yang dilarang dan sangat dilarang karena dapat dikategorikan tindakan

membunuh dan juga bunuh diri. Adapun dalam pandangan agama Hindu dan Budha, bahwa
tindakan eutanasia juga sangat merugikan, baik untuk korban eutanasia, maupun orang yang

melakukan tindakan eutanasia itu kepada orang lain.

BAB IV

PENUTUP

A.      Simpulan

Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan secara medis yang

melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang

minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan

Hukum di Indonesia, tidak mengizinkan tindakan eutanasia, walaupun belum ada undang-

undang yang secara tersurat mengatur tindakan eutanasia itu sendiri. Semuanya diatur dalam

KUHP Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359, sehingga barangsiapa yang melanggar pasal-pasal

tersebut akan dijerat hukum, termasuk juga tindakan eutanasia, karena tindakan eutanasia sama

saja dengan tindakan merampas nyawa orang lain.

Agama yang ada di Indonesia juga melarang tindakan eutanasia, baik agama Islam, Kristen

Protestan, Katolik, Hindu, Budha. Eutanasia berarti sama saja tindakan membubuh ataupun

bunuh diri, selain itu eutanasia dianggap sebagai perbuatan yang tidak menghargai kehidupan,

karena sesungguhnya hidup manusia itu sangat berharga yang mana merupakan pemberian

Tuhan, dan karena sesungguhnya hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan hidup dan matinya

seseorang.

B.       Saran
Sebagai warga negara yang baik, hendaknya kita menaati setiap aturan hukum yang ada,

khususnya di negara kita sendiri. Hukum di Indonesia secara tersirat mengatakan bahwa tindakan

eutanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum dan harus dihindari. Begitu juga, dalam

pandangan agama manapun di Indonesia, tindakan eutanasia merupakan tindakan yang tidak baik

dan dilarang, sehingga sebagai manusia yang beragama, kita harus taat kepada aturan agama kita

masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai