Anda di halaman 1dari 38

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: Koja
Nama Mahasiswa

: Rence Pietersz

Tanda Tangan

NIM

: 112014109

....................

Dr. Pembimbing / Penguji : Dr. Benyamin Tambunan Sp.PD

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EK
Usia : 61 tahun
Status Perkawinan : menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Lagou Terusan

Jenis Kelamin : Perempuan


Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Tanggal masuk : 18 Juni 2015

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis

Tanggal : 18 Juni 2015

Jam : 06.45 WIB

Keluhan utama :
Nyeri di ulu hati sejak 2 minggu yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 2 minggu SMRS os mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri yang dirasakan tajam seperti
ditusuk dan terus-menerus sepanjang hari, nyeri tidak menjalar, dan bertambah setelah pasien
makan. Os juga mengatakan merasa mual. BAB sebanyak 2x sehari, warna feses kuning,
konsistensi lunak tidak ada darah ataupun lendir dan BAK frekuensi 1x sehari, dan sedikit sekali
sekitar aqua gelas, warna kuning keruh, tidak ada darah, tidak ada batu, dan tidak nyeri waktu
BAK. Os juga mengeluh bengkak pada kedua kaki dan tangan. Bengkak tidak terasa sakit bila
ditekan. Bengkak bermula dari ujung kaki dan naik sampai ke lengan. Bengkak ditempat lain
disangkal. Kaki terasa berat bila berjalan dan terasa mudah lelah. Os juga mengeluh lemas.

Satu minggu SMRS, keluhan nyeri ulu hati tidak membaik, dan disertai mual, OS
mengatakan bengkak pada kedua kaki dan tangan belum berkurang. Os merasa semakin lemas.
Satu hari SMRS, Os mengalami Nyeri ulu hati dirasakan semakin bertambah, dan disertai
mual, muntah sebanyak 2x dan nafsu makan yang semakin menurun, OS juga mengatakan
merasa sesak napas. Sesak dirasakan saat melakukan aktivitas misalnya saat berjalan ke kamar
mandi dan tidak berkurang bila istirahat. Oleh karena sesaknya pasien sering terbangun saat
malam hari. Sesak tidak disertai mengi, batuk, nyeri dada, dan berdebar-debar Keluhan bengkak
pada kedua kaki, dan tangan berlum berkurang. Os mengeluh merasa semakin lemas dan pusing.
Os juga mengatakan memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, tidak ada
riwayat kencing manis, maupun sakit jantung.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar

(-) Malaria

(-) Batu ginjal/Sal.kemih

(-) Cacar Air

(-) Disentri

(-) Burut (Hemia)

(-) Difteri

(-) Hepatitis

(-) Penyakit prostate

(-) Batuk Rejan

(-) Tifus Abdominalis(-) Wasir

(-) Campak

(-) Skirofula

(-) Diabetes

(-) Influenza

(-) Sifilis

(-) Alergi

(-) Tonsilitis

(-) Gonore

(-) Tumor

(-) Khorea

(+) Hipertensi

(-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut

(-) Ulkus Ventrikuli

(-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia

(-) Ulkus Duodeni

(+) Gastritis

(-) Rhematoid Arthritis

(-) Psikosis
Lain-lain :

(-) Operasi
(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga
Hubungan

Umur
(Tahun)

Jenis Kelamin

Keadaan
Kesehatan

Penyebab Meninggal

Kakek (ayah)
Nenek (ayah)
Kakek (ibu)
Nenek (ibu)
Ayah
Ibu
Saudara

71
78
66
50

Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan

Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
hipertensi
sehat

Sakit tua
Sakit tua
Sakit tua
Sakit tua
Penyakit Jantung.
Sakit tua
-

Anak anak

35

Laki-laki

sehat

26

Laki-laki

sehat

Adakah Kerabat yang Menderita ?


Penyakit

Ya

Tidak

Hubungan

Alergi

Asma

Tuberkulosis

Artritis

Rematisme

Ayah, saudara laki-

Jantung

laki
Ayah

Ginjal

Lambung

Hipertensi

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul

(-) Rambut

(-) Keringat Malam

(-) Kuku

(-) Kuning/Ikterus

(-) Sianosis

(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma

(-) Sakit Kepala

(-) Sinkop

(-) Nyeri pada Sinus

(-) Nyeri

(-) Radang

(-) Sekret

(-) Gangguan Penglihatan

(-) Kuning/Ikterus

(-) Ketajaman Penglihatan menurun

Mata

Telinga
(-) Nyeri
(-) Sekret

(-) Gangguan Pendengaran

(-) Tinitus

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung
(-) Trauma

(-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri

(-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret

(-) Pilek

Mulut
(-) Bibir kering

(-) Lidah kotor

(-) Epistaksis

(-) Gusi berdarah

(-) Gangguan pengecapan

(-) Selaput

(-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan

(-) Perubahan Suara

(-) Nyeri Leher

(-) Benjolan

Leher
Dada ( Jantung / Paru paru )
(-) Nyeri dada

(+) Sesak Napas

(-) Berdebar-debar

(-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe

(-) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )


(-) Rasa Kembung

(-) Wasir

(+) Mual

(-) Mencret

(+) Muntah

(-) Tinja Darah

(-) Muntah Darah

(-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Sukar Menelan

(-) Tinja Berwarna Ter

(+) Nyeri Perut

(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria

(-) Kencing Nanah

(-) Stranguria

(-) Kolik

(-) Poliuria

(+) Oliguria

(-) Polakisuria

(-) Anuria

(-) Hematuria

(-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu

(-) Kencing Menetes

(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit Prostat


Saraf dan Otot
(-) Anestesi

(-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi

(-) Ataksia

(-) Otot Lemah

(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang

(-) Pingsan

(-) Afasia

(-) Kedutan (tick)

(-) Amnesia

(-) Pusing (Vertigo)


(-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas

(-) Perut Membesar

(+) Bengkak

(-) Deformitas

(-) Nyeri sendi

(-) Sianosis

Berat Badan :
Berat badan rata rata (kg)

: tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg)

: tidak diketahui

Berat badan sekarang

: 56 kg
RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : (-) Di rumah (-) Rumah Bersalin

(-) RS Bersalin

Ditolong oleh : (-) Dokter

(-) Dukun

(-) Bidan

(-) lain lain

Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis

(-) BCG

(-) Campak

(-) DPT

(-) Polio

(-) Tetanus

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 3x

Jumlah / kali : 1 porsi sedang

Variasi / hari : Nasi, sayur, tahu, tempe, ikan

Nafsu makan : menurun

Pendidikan
(-) SD

(-) SLTP

(+) SLTA

(-) Sekolah Kejuruan

(-) Akademi

(-) Universitas

(-) Kursus

(-) Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan

: ada

Pekerjaan

: ada

Keluarga

:-

Lain-lain

:-

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan

: 152 cm

Berat Badan

: 56 kg

IMT

: 24,2 kg/m2 (pre obesitas)

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan Darah

: 200/100mmHg

Suhu

: 36,7C

Nadi

: 94x/menit

Pernafasaan

: 25x/menit

Keadaan gizi

: baik

Sianosis

: tidak ada

Edema umum

: tidak ada

Habitus

: astenikus

Cara berjalan

: normal

Mobilitas ( aktif / pasif )

: aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa

: sesuai umur

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku

: wajar

Alam Perasaan

: biasa

Proses Pikir

: wajar

Kulit
Warna

: sawo matang

Effloresensi

: tidak ada

Jaringan Parut

: tidak ada

Pigmentasi

: tidak ada

Pertumbuhan rambut

: merata, hitam

Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran

Suhu Raba

: hangat

Lembab/Kering : kering

Keringat

: umum (+)

Turgor

Ikterus

: tidak ada

Lapisan Lemak

: merata

Edema

: ada (kedua kaki, dan kedua tangan)

Lain-lain

:-

: baik

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: tidak teraba membesar

Leher : tidak teraba membesar

Supraklavikula

: tidak teraba membesar

Ketiak : tidak teraba membesar

Lipat paha

: tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah

: tampak kesakitan

Simetri muka

: simetris

Rambut

: merata, hitam, tidak mudah rontok

Pembuluh darah temporal : teraba pulsasi

Mata
Exophthalamus

: tidak ada

Enopthalamus

: tidak ada

Kelopak

: oedem (-)

Lensa

: jernih

Konjungtiva

: anemis (+)

Visus

: normal

Sklera

: ikterik (-)

Gerakan Mata

: aktif

Lapangan penglihatan

: normal

Tekanan bola mata

: normal

Nistagmus

: tidak ada

Telinga
Tuli

: tidak ada

Selaput pendengaran : utuh, intak

Lubang

: lapang

Penyumbatan

: tidak ada

Serumen

: tidak ada

Pendarahan

: tidak ada

Cairan

: tidak ada

Mulut
Bibir

: kering, tampak pucat

Tonsil

: T1 T1 tenang

Langit-langit

: tidak ada kelainan

Bau pernapasan : tidak ada

Gigi geligi

: utuh, karies dentis (-)

Trismus

Faring

: tidak hiperemis

Selaput lendir : tidak ada bercak putih

Lidah

: normal

: tidak ada

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)

: 5-1 cmH2O

Kelenjar Tiroid

: tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: tidak teraba membesar

Dada
Bentuk

: simetris, elips, sela iga normal

Pembuluh darah : kolateral (-), spider nevi (-), tidak terdapat lesi kulit
Buah dada

: simetris, tidak ada ginekomastia

Paru Paru
Inspeksi
Palpasi

Kiri
Kanan
Kiri

Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Fremitus taktil simetris

Fremitus taktil simetris

Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan (-)

Kanan

Perkusi

Kiri
Kanan
Auskultasi Kiri
Kanan

Tidak ada benjolan

Tidak ada benjolan

Fremitus taktil simetris

Fremitus taktil simetris

Nyeri tekan (-)


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara vesikuler

Nyeri tekan (-)


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara vesikuler

Wheezing (-) Rhonki (-)


Suara vesikuler

Wheezing (-) Rhonki (-)


Suara vesikuler

Wheezing (-) Rhonki (-)

Wheezing (-) Rhonki (-)

Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis terlihat di ICS V, garis midklavikula kiri

Palpasi

: Iktus kordis teraba di ICS V, garis midklavikula kiri

Perkusi

: Batas atas

: ICS II linea parasternal kiri

Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan


Batas kiri

: ICS V 1 cm lateral linea midklavikula kiri

Auskultasi : BJ1-BJ2 murni regular, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri Temporalis

: Teraba pulsasi

Arteri Karotis

: Teraba pulsasi

Arteri Brakhialis

: Teraba pulsasi

Arteri Radialis

: Teraba pulsasi

Arteri Femoralis

: Teraba pulsasi

Arteri Poplitea

: Teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior

: Teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis

: Teraba pulsasi

Perut
Inspeksi

: Datar, pembuluh darah (-), caput medusa (-), spider nevi (-), dilatasi vena (-)

Palpasi

: Dinding perut: tidak ada rigit, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), defans
muskular (-) , massa (-)
Hati

: tidak teraba

Limpa

: tidak teraba

Ginjal
Lain-lain

: ballotemen (-), nyeri ketuk CVA (-)


: tidak ada

Perkusi

: timpani.

Auskultasi : BU(+) 8x/menit


Refleks dinding perut: baik
Colok Dubur(atas indikasi)
Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi
Anggota Gerak
Lengan

Kanan

Kiri

Otot
Tonus

Normotonus

Normotonus

Massa

Eutrofi

Eutrofi

Sendi

tidak ada kelainan

tidak ada kelainan

Gerakan

aktif

aktif

Kekuatan

Lain-lain

ptekie (-), oedem (+)

ptekie (-), oedem (+)

Tungkai dan Kaki

Kanan

Kiri

Luka

tidak ada

tidak ada

Varises

tidak ada

tidak ada

Otot (tonus)

normotonus

normotonus

Massa

eutrofi

eutrofi

Sendi

normal

normal

Gerakan

aktif

aktif

Kekuatan

Oedem

ada

ada

Lain-lain

tidak ada

tidak ada

Reflex
Kanan
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis

Kiri
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 17 Juni 2015, pukul 10:40 di IGD

Darah rutin:
Hb

: 9.2 g/dL

12.5-16.0

Leukosit

: 7.530 /L

4.000-10.500

Ht

: 28.4%

37.0-47.0

Trombosit

: 189.000/L

182.000-369.000

Analisis Gas Darah :


pH

: 7.410

7.350-7.450

p CO2

: 27.7 mmHg

32.0-45.0

p O2

: 288.1 mmHg

95.0-100.0

HCO3

: 19.0 mEq / L

21,0-28,8

Base excess

: -5,3

-2.5-+2.5

O2 saturation

: 99.8

94.00-100.00

Na

: 139 mmol/L

135-147

: 4,62 mmol/L

3.5-5.0

Cl

: 108 mmol/L

96-108

Ureum

: 93.0 mg/dL

16.6-48.5

Kreatinin

: 9.29 mg/dL

0.51-0.95

Glukosa sewaktu

: 85 mg/dL

Elektrolit:

Neonatus 1 hari

: 40-60

Neonatus >1 hari

: 50-80

Anak-anak

: 60-100

Dewasa
70-99

: bukan Diabetes Melitus

100-199

: belum pasti Diabetes Melitus

>=200

: Diabetes Melitus

RINGKASAN
Pasien perempuan usia 61 tahun datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan nyeri ulu hati sejak
2 minggu SMRS, yang disertai mual, muntah sebanyak 2x serta nafsu makan yang semakin
menurun, OS mengatakan merasa sesak napas. Sesak dirasakan semakin berat saat melakukan
aktivitas ringan dan tidak berkurang bila istirahat. Oleh karena sesaknya pasien sering terbangun
saat malam hari. ada bengkak pada kedua kaki, dan tangan . Os juga mengeluh adanya lemas,
pusing dan memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol,
Pemeriksaan fisik didapatkan: KU TSS, TD 200/100mmHg, RR 25x/menit, kulit kering,
konjungtiva anemis +, bibir pucat, edema kedua kaki, dan lengan +, nyeri tekan epigastrium +.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan: Hb:9.2 g/dL, Ht:28.4%, pCO2 : 27,7 mmHg, pO2 :
288.1mmHg, HCO3 : 19.0 mEq /L, BE : -5,3 Ureum: 93.0mg/dL, Kreatinin: 9.29 mg/dL,

MASALAH
1.

Dispepsia

2.

Sesak

3.

Chronic Kidney Disease

4.

Hipertensi

5.

Anemia

PENGKAJIAN DAN RENCANA TATALAKSANA


1. Dispepsia
Dispepsia ini dipikirkan sebagai dispepsia organic diakibatkan CKD berdasarkan adanya
nyeri ulu hati, nyeri tekan epigastrium, mual, muntah. dan anemia. Namun nyeri ulu hati
ini masih mungkin disebabkan karena ulkus peptic ec H pylori karena adanya nyeri ulu
hati, mual, muntah dan anemia. Namun yang tidak mendukung adalah os tidak mengeluh
adanya riwayat perdarahan.
Rencana diagnostik:
-

Pemeriksaan endoskopi untuk identifikasi kelainan struktural dan mukosa, seperti


ulkus. jika dengan terapi empiris selama 2 minggu tidak ada perbaikan.

Pemeriksaan biopsi lambung untuk pemeriksaan H pylori

Pemeriksaan Urease breath test (UBT) digunakan sebagai baku emas untuk evaluasi
infeksi H.pylori

Rencana pengobatan
-

Diet lunak

IVFD Ringer Laktat 6 tetes per menit

Omeperazol 1x40 mg IV

Granisentron 1 x 3 mg IV

Sukralfat 4 x 10 cc PO

Rencana edukasi
-

Makan lebih sering dalam porsi lebih kecil dan tidak terlambat makan

Hindari makanan tinggi lemak, pedas, atau asam yang dapat mencetuskan gejala

Tidak merokok, minum alkohol, minum kopi

2. Sesak
Sesak napas pada kasus ini dipikirkan berkaitan dengan penyakit ginjal dikarenakan
adanya RR: 25x/menit, adanya bengkak pada kedua kaki, dan kedua tangan, peningkatan
ureum dan kreatinin, asidosis metabolik dan adanya anemia. Sesak napas pada CKD

berhubungan dengan adanya cairan yang berlebih pada paru akibat kerusakan ginjal
progresif, selain itu pada CKD bisa didapati adanya anemia, dan gejala sesak yang timbul
pada anemia merupakan respon tubuh karena sel kekurangan oksigen, selain itu juga bisa
dipikirkan akibat tingginya kadar ureum yang bisa menimbulkan sindrom uremia dengan
salah satu keluhannya adalah sesak nafas, selain itu pada OS ini didapatkan keadaan
asidosis metabolik yang terkompensasi yang mekanisme kompensasinya dapat
menimbulkan keluhan sesak. Sesak nafas pada kasus ini juga dipikirkan karena gagal
jantung kongestif (CHF) berdasarkan kriteria mayor yaitu paroxysmal nocturnal dyspnea,
dan kriteria minor yaitu : pitting edem pada kedua kaki dan lengan serta dispneu d effort.
Namun yang tidak mendukung adalah tidak ditemukan ronki paru, bunyai gallop S3,
peninggian tekanan vena jugularis, dan pada pemeriksaan fisik jantung dalam batas
normal
Rencana diagnostik:
-

Pemeriksaan elektrokardiografi untuk mengetahui apakah adanya kelainan pada


jantung, melihat ada/tidaknya hipertrofi, serta ada tidaknya infark (riwayat atau
sedang berlangsung).

Rontgen thoraks, dapat menilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi paru
dan kelainan non-jantung lainnya. (hipertensi pulmonal, edema paru)

Rencana pengobatan:
-

O2 3L / menit

Posisikan pasien setengah duduk.

Balance cairan seimbang

IVFD Ringer Laktat 6 tpm

Furosemid 1x20 mg iv (pagi)

Rencana edukasi:
-

Edukasi mengapa perlu pembatasan cairan.

3. CKD
CKD pada kasus ini dipikirkan akibat Hipertensi didasarkan karena OS memliliki riwayat
hipertensi yang sudah lama dan TD saat masuk 200/100 mmHg. Dipikirkan adanya CKD
grade V berdasarkan keluhan mual, muntah, edema pada kaki dan lengan, anemia dan
LFG : 5,61 ml/menit/1,73 m2 Namun masih ada kemungkinan lain penyebab CKD V
pada kasus ini yaitu DM. yang tidak mendukung adalah hasil GDS 85 mg /dL. selain itu
kemungkinan lain penyebab CKD V pada kasus ini yaitu batu. Yang mendukung adalah

batu dapat asimptomatik. Yang tidak mendukung adalah tidak ada riwayat keluar batu,
dan tidak ada riwayat kolik.
Rencana diagnostik:
-

Urin lengkap, untuk melihat proteinuria, sedimen eritrosit dan leukosit

Pemeriksaan Ureum Kreatinin ulang untuk memantau perkembangan keadaan ginjal.

Pemeriksaan GDS untuk menyingkirkan penyebab CKD Grade V oleh diabetes


melitus.

USG abdomen: untuk melihat apakah sudah terjadi kelainan struktural pada ginjal,
mengetahui ukuran ginjal, dan menyingkirkan kemungkinan CKD ec batu ginjal dan
saluran kemih.

Rencana pengobatan:
-

Diet tinggi kalori-rendah protein (0.8 g/Kg/hari protein)

Aminefron 3x1 capsul

Terapi pengganti: HD kronik (direncanakan elektif)

Rencana edukasi:
-

Kurangi asupan cairan

Perlu dijelaskan apa saja akibat gagal ginjal

Mengapa perlu cuci darah

Kapan sebaiknya cuci darah dimulai

4. Hipertensi
Hipertensi pada kasus ini dipikirkan adanya hipertensi sekunder akibat CKD TD
200/100mmHg, adanya peningkatan ureum kreatinin yang bermakna. Namun masih ada
kemungkinan adanya hipertensi esensial karena ada riwayat hipertensi TD 200/100
mmHg dan usia tua namun yang tidak mendukung karena adanya CKD
Rencana diagnostik:
-

Rencana diagnostik CKD hanya untuk menegaskan bahwa hipertensi pada kasus ini
adalah hipertensi skunder karena CKD.

Rencana pengobatan:
-

Captopril 3x12,5 mg PO

Rencana edukasi:
-

Diet DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang mencakup konsumsi


buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak total.

Penurunan asupan garam. Konsumsi NaCl yang disarankan adalah <6g/hari

Aktivitas fisik. Target aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit/hari,


dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu.

5. Anemia
Anemia dipikirkan karena konjungtiva anemis +, bibir pucat, Hb 9,2gr/dL. Anemia
diduga akibat dari CKD. CKD dapat menimbulkan anemia melalui defisiensi
eritropoetin. Namun masih ada kemungkinan anemia ini akibat defisiensi besi,
defisiensi asam folat.
Dasar yang mendukung anemia defisiensi besi dikarenakan prevalensi yang relative
tinggi terjadi pada wanita dan sering dijumpai di negara berkembang, serta adanya
riwayat berkurangnya nafsu makan. Pada anemia defisiensi besi juga didapatkan gejala
umum anemia seperti lemas, pucat, dan penurunan kadar Hb. Namun perlu dibedakan,
pada anemia defisiensi besi terdapat penurunan kadar besi serum <50 ug/dL dan kadar
Feritin serum <20mg/L, serta gejala khas koilonikia (kuku sendok), atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, disfagia, maupun pica.
Dasar yang mendukung anemia defisiensi asam folat adalah prevalensi yang meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, terdapat gejala umum anemia, yaitu lemas, mudah
lelah, nyeri kepala ringan, dan pucat, serta penurunan kadar Hb. Namun perlu dibedakan,
pada anemia defisiensi asam folat terdapat pembesaran sel sel darah merah (makrositik)
dan penurunan kadar asam folat serum <4ng/mL.
Rencana diagnostik:
-

Periksa kadar SI, TIBC, dan ferritin untuk menyingkirkan anemia defisiensi besi

Periksa indeks eritrosit dan kadar asam folat serum untuk menyingkirkan anemia
defisiensi asam folat

Rencana pengobatan:
-

Eritropoetin bila defisiensi besi tersingkir

Rencana edukasi:
-

Dijelaskan adanya kemungkinan akan diberikan eritropoetin jangka panjang

KESIMPULAN DAN PROGNOSIS


Wanita 61 tahun menderita Chronic Kidney Disease, tujuan tatalaksana antara lain untuk
menghambat penurunan LFG, dan mengatasi komplikasi dari CKD.
PROGNOSIS
a. Ad vitam

: dubia ad bonam

b. Ad functionam

: malam

c. Ad sanationam

: malam

CATATAN PERKEMBANGAN CATATAN PERKEMBANGAN


Tanggal 18 Juni 2015 Jam 06.30
1.

Dispepsia
S: nyeri ulu hati dan mual belum membaik, muntah mulai membaik
O: nyeri tekan epigastrium +
A: masalah dispepsia belum teratasi dikarenakan keluhan klinis belum membaik. Dispepsia
masih dipikirkan dispepsia organik dikarenakan CKD, ulkus peptikum belum dapat disingkirkan
karena belum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai dispepsia
P: terapi dilanjutkan

2.

Sesak
S: sesak belum membaik
O: KU :TSS, HR: 93x/menit, RR: 24x/menit, balance cairan +1000cc/24jam
A: sesak masih dipikirkan akibat CKD. klinis belum membaik dikarenakan balance cairan masih
positif (overload) dan anemia belum diatasi. Sesak yang disebabkan karena CHF

dapat

disingkirkan karena dari hasil EKG menunjukan tidak tampak kelainan


P: terapi dilanjutkan, balance cairan
Edukasi: Memberitahukan os agar membatasi konsumsi cairan.
Meminta pasien untuk mengukur urin dalam 24 jam
3.

Chronic Kidney Disease


S: bengkak pada kedua kaki, dan kedua lengan semakin membesar
O: TD : 200 /110 mmHg pitting edema (+) dikedua kaki dan lengan . hasil lab GDS.
Laboratorium 18 Juni 2015, pukul 05.00

GDS

: 120 mg/dL

A: sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, CKD masih dipikirkan akibat hipertensi. CKD karena
DM bisa disingkirkan karena dalam dua kali pemeriksaan GDS dalam batas normal. namun
untuk CKD karena batu belum dapat disingkirkan karena belum dilakukan pemeriksaan USG
abdomen dan pemeriksaan urinalisa.
P: terapi dilanjutkan
4.

Hipertensi

S: O: TD: 200/110mmHg
A: klinis hipertensi belum membaik karena belum terdapat perbaikan dibandingkan tekanan
darah sebelumnya
P: terapi dilanjutkan, observasi TTV
5.

Anemia
S: lemas, dan pusing
O: konjungtiva anemis +/+, bibir masih pucat, Hb 9,2gr/dL
A: masalah anemia belum teratasi, dipikirkan karena klinis belum membaik.Anemia def besi dan
anemia def asam folat belum dapat disingkirkan karena tidak dilakukan pemeriksaan SI, TIBC
dan ferritin, kadar asam folat serum.
P: lanjutkan terapi.
Tanggal 19 Juni 2015 Jam 06.30
1. Dispepsia
S: nyeri ulu hati dan mual belum membaik.
O: nyeri tekan epigastrium +
A: masalah dispesia belum teratasi dikarenakan keluhan klinis belum membaik dan pada
pemeriksaan fisik masih ditemukan nyeri tekan epigastrium (+)
P: batasi asupan protein, terapi dilanjutkan
2. Sesak
S: keluhan sesak berkurang.
O: keadaan TSS, HR: 89x/menit, RR: 23x/menit, balance cairan +200cc/24jam
A: masalah sesak teratasi sebagian di karenakan klinis berkurang, balance cairan masih positif
dan anemia belum teratasi.
P: terapi dilanjutkan, balance cairan,
Chronic Kidney Disease
S: bengkak pada kedua kaki dan lengan belum membaik.
O: TD : 170 /90 mmHg pitting edema (+) dikedua kaki dan lengan.
A: masalah CKD grade V belum teratasi dikarenakan klinis belum membaik, dan belum
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dari CKD.
P: terapi dilanjutkan, dan lakukan pemeriksaan USG abdomen

Hipertensi
S: O: 170/90mmHg
A: masalah hipertensi mengalami perbaikan dari 210/100mmHg menjadi 170/90mmHg
P: terapi dilanjutkan, observasi TTV
3. Anemia
S: os masih mengeluh lemas dan pusing
O: bibir pucat, konjungtiva anemis +/+, Hb 9,2 gr/dL
A: masalah anemia belum teratasi, dipikirkan karena klinis belum membaik .
P: lanjutkan terapi, dan perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin ulang untuk memantau Hb
Tanggal 20 Juni 2015 Jam 06.30
1. Dispepsia
S: nyeri ulu hati dan mual belum membaik,
O: nyeri tekan epigastrium (+)
A: dispepsia lebih jelas di sebabkan karena CKD karena adanya keluhan mual dan muntah yang
merupakan gejala gastrointestinal pada CKD
P: batasi asupan protein dan terapi dilajutkan
2. Sesak
S: keluhan sesak berkurang
O: keadaan TSS, HR: 80x/menit, RR: 21x/menit, balance cairan +200cc/24jam
A: masalah sesak masih teratasi sebagian di karenakan keluhan klinis berkurang. Dan balance
cairan +200cc/24 jam namun masalah anemia belum teratasi.
P: terapi dilanjutkan, balance cairan,
Chronic Kidney Disease
S: bengkak pada kedua kaki dan lengan sudang berkurang .
O: TD : 140/90mmHg, oedem kedua kaki dan lengan (+) hasil USG abdomen, hasil lab
urinalisis, hasil lab ureum dan kretainin sesuai dengan klinis CKD.
Hasil pemeriksaan Ultrasonografi 20 Juni 2015
Hepar: Besar, bentuk normal. Permukaan rata, tepi tajam, ekostruktur normal. Vena hepatika dan
vena porta normal. Saluran empedu intra dan ekstrahepatik normal. Tidak terlihat SOL

Kandung empedu: Besar, bentuk normal, dinding tidak menebal. Tidak terlihat batu/SOL
Pankreas: Besar, bentuk normal, duktus pankreatikus normal, tidak terlihat SOL
Lien: Besar, bentuk normal, ekostruktur normal. Tidak terlihat SOL.
Ginjal kiri: Ukuran mulai mengecil, permukaan tidak rata, korteks menipis, ekostruktur
hiperekoik, batas korteks dan medulla tidak jelas. System pelviokalises tidak melebar, tidak
terlihat batu,
Ginjal kanan: Ukuran mulai mengecil, permukaan tidak rata, korteks menipis, ekostruktur
hiperekoik, batas korteks dan medulla tidak jelas. System pelviokalises tidak melebar, tidak
terlihat batu,
Buli: Besat, bentuk normal, dinding tidak menebal, tidak terlihat batu/SOL
Kesan:

Chronic kidney disease

Laboratorium 20 Juni 2015, pukul 13:20


Urin Lengkap

Makroskopis:
Warna

: Kuning

Kuning pucat

Kekeruhan

: agak Keruh

Jernih

Berat jenis

: 1.025

1.002-1.035

pH

: 6.0

4.6-8.0

Protein

: 3+

(-) Negatif

Glukosa

: (-) Negatif

(-) Negatif

Keton

: (-) Negatif

(-) Negatif

Bilirubin

: (-) Negatif

(-) Negatif

Darah Samar

: (-) negatif

(-) Negatif

Leukosit Esterase

: (-) negatif

(-) Negatif

Nitrit

: (-) Negatif

(-) Negatif

Urobilinogen

: 0.2 EU

0.1-1.0

Leukosit

: 3-5 /LPB

<10

Eritrosit

: 0-1 /LPB

<3

Silinder

: (-) Negatif

(-) Negatif

Sel epitel

: 1+

Kristal

: (-) Negatif

(-) Negatif

Bakteria

: (-) negatif

(-) Negatif

Mikroskopis:

Jamur

: (-) Negatif

(-) Negatif

Laboratorium 20 Juni 2015, pukul 13:20


Ureum : 100,1 mg/dL
Kreatinin : 10,94 mg/dL
A: Diagnosis CKD menjadi lebih kuat karena adanya hasil USG yang sesuai dengan kesan
CKD,dan adanya proteinuria
P: terapi dilanjutkan
3. Hipertensi
S: O: 140/90mmHg
A: masalah hipertensi mengalami perbaikan dari 170/90mmHg menjadi 140/90mmHg
P: terapi dilanjutkan, observasi TTV
4. Anemia
S: os masih mengeluh lemas dan pusing
O: bibir pucat, konjungtiva anemis +/+ hasil lab Hb
Laboratorium 20 Juni 2015, pukul 13:27

Darah rutin:
Hb

: 8.6 g/dL

12.5-16.0

Leukosit

:6.800 /L

4.000-10.500

Ht

: 25.4%

37.0-47.0

Trombost

: 189.000/L

182.000-369.000

A: masalah anemia belum teratasi, karena terjadi penurunan Hb menjadi 8,6 g/dL dan klinis
tidak membaik
P: transfusi PRC 500cc dengan pre lasix 1 ampul dengan target 10 g/dL. Perlu dilakukan
pemeriksaan darah rutin ulang untuk memantau Hb
Tanggal 21 Juni 2015 Jam 06.30
1. Dispepsia

S: nyeri ulu hati dan mual sudah membaik,


O: nyeri tekan epigastrium (-)
A: Masalah dispepsia teratasi karena sudah tidak memiliki keluhan dan dari pemeriksaan fisik
sudah tidak ditemukan nyeri epigastrium.
P: masalah selesai
2. Sesak
S: keluhan sesak membaik
O: keadaan TSR, HR: 86x/menit, RR: 19x/menit, balance cairan +100cc/24jam
A: masalah sesak teratasi, di karenakan klinis membaik, balance cairan+100cc/24jam.
P: masalah selesai
3. Chronic Kidney Disease
S: bengkak pada kedua kaki dan lengan sudah berkurang.
O: 130/80 mmHg, piiting oedem kedua kaki dan lengan (+)
A: masalah CKD V teratasi sebagian dikarenakan klinis mulai membaik namun piiting oedem
kedua kaki dan lengan masih (+)
P: terapi dilanjutkan
3. Hipertensi
S: O: 130/80 mmHg
A: masalah hipertensi mengalami perbaikan dari 140/90mmHg menjadi 130/80mmHg dan telah
memenuhi batas perbaikan yaitu dibawah 140 / 90 mmHg
P: terapi dilanjutkan
4. Anemia
S: lemas dan pusing berkurang
O: bibir pucat, konjungtiva anemis +/+, hasil lab Hb
Laboratorium 20 Juni 2015, pukul 13:27

Darah rutin:
Hb

: 10,2 g/dL

12.5-16.0

Leukosit

: 7300 /L

4.000-10.500

Ht

: 30.4%

37.0-47.0

Trombost

: 189.000/L

182.000-369.000

A: masalah anemia teratasi sebagian dikarenakan setelah transfusi kadar Hb naik sesuai target
yaitu menjadi 10,2 g/dL, dan keluhan klinis yang berkurang
P: lanjutkan terapi dan batasi aktivitas
Tanggal 22 Juni 2015 Jam 06.30
2. Chronic Kidney Disease
S: bengkak pada kedua kaki dan lengan sudah berkurang.
O: oedem kedua kaki dan lengan (+),balance cairan +150cc/24jam, hasil lab ureum dan kreatinin
Laboratorium 22 Juni 2015, pukul 13:20
Ureum : 108,0 mg/dL
Kreatinin : 11,88 mg/dL
A: masalah CKD belum teratasi sepenuhnya. Karena pada pemeriksaan fisik masih ditemukan
pitting edema +, balance cairan yang masih +150cc/24 jam dan masih terjadi peningkatan ureum
dan kreatinin
P: direncanakan untuk rawat jalan dan pasien boleh pulang dengan terapi:
Aminefron 3 x 600 mg.
Edukasi : Kurangi asupan cairan
3. Hipertensi
S: O: TD :140/70mmHg
A: masalah hipertensi membaik,
P: direncanakan untuk rawat jalan dan pasien boleh pulang dengan terapi:
-

Captopril 3 x 12.5 mg PO

Edukasi :
-

Diet rendah garam (< 6g/hari)

Mengkonsumsi cukup buah, sayur, dan produk rendah lemak.

Aktivitas fisik disarankan minimal 30 menit/hari, dilakukan paling tidak 3 hari dalam
seminggu.

5. Anemia
S: lemas dan pusing berkurang
O: konjungtiva anemis +/+.

A masalah anemia teratasi sebagian dikarenakan setelah transfusi kadar Hb naik sesuai target
yaitu menjadi 10,2 g/dL, dan keluhan klinis yang berkurang
P: Pasien dipulangkan dan rencana rawat jalan,
Edukasi : Batasi aktivitas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan
asam basa dengan cara filtrasi darah atau reabsorpsi selektif air, elektrolit, dan non-elektrolit,
serta mengekskresi kelebihannya, sebagai urine. Ginjal juga mengeluarkan produk sisa
metabolisme, seperti urea, kreatinin, dan asam urat serta zat kimia asing. Akhirnya, selain fungsi
regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin, bentuk aktif vitamin D 3, serta eritropoietin.
Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi diatas menimbulkan keadaan yang disebut end
stage renal disease/ESRD.1 Penyakit ginjal memiliki 2 fase waktu yang berbeda, yaitu akut dan
kronik. Penyakit ginjal akut adalah suatu keadaan dimana fungsi ginjal dalam filtrasi plasma
menurun secara drastis dalam waktu singkat, dimana dapat terjadi nekrosis dari tubulus ginjal
maupun tidak, dan kerusakan ini masih dapat bersifat reversibel. Sementara penyakit ginjal
kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.2

PEMBAHASAN
Penyakit Ginjal Kronik/Chronic Kidney Disease
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3
bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal,
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging
tests) dan laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.2
Penyakit ginjal kronis biasanya merupakan akibat terminal destruksi jaringan dan
kehilangan fungsi ginjal yang berangsur-angsur. Keadaan ini dapat pula terjadi karena penyakit
yang progresif cepat disertai awitan mendadak yang menghancurkan nefron dan menyebabkan
kerusakan ginjal ireversibel.1
Beberapa gejala baru timbul sesudah fungsi filtrasi glomerulus yang tersisa kurang dari
25%. Parenkim normal kemudian memburuk secara progresif dan gejala semakin berat ketika
fungsi ginjal menurun. Sindrom ini akan membawa kematian jika tidak ditangani dengan baik,
namun terapi rumatan dengan dialysis atau transplantasi ginjal dapat mempertahankan kehidupan
pasien.1
Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit pada Tabel 1,
dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut:2
ml
( 140Umur ) x Berat Badan
menit
LFG
=
x 0.85 ( perempuan )
2
72Kreatinin Plasma
1.73 m

( )

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit.2


Derajat
Derajat I

Penjelasan
Kerusakan
ginjal

dengan

LFG
LFG 90

Derajat
Derajat
III
Derajat
IV
Derajat

normal atau
II Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29
berat
V Gagal Ginjal
< 15

Epidemiologi
Berdasarkan data survei penduduk di Amerika Serikat ada paling sedikit 6% dari populasi
yang menderita penyakit ginjal kronik (PGK/CKD) derajat I dan II. Sedangkan 4,5% dari
penduduk Amerika Serikat diperkirakan menderita penyakit ginjal kronik derajat III dan IV.
Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering diderita oleh penduduk Amerika Utara dan
Eropa adalah nefropati diabetik, yang biasanya berhubungan dengan riwayat diabetes melitus
tipe 2 (DMT2). Pasien yang baru didiagnosis menderita penyakit ginjal kronik sering juga
disertai dengan hipertensi. Bila tidak ada bukti yang jelas untuk mendukung penyakit glomerulus
primer atau penyakit ginjal tubulointerstitial, biasanya penyebab CKD dikaitkan dengan adanya
hipertensi. Meningkatnya insiden CKD pada orang tua dianggap berasal dari komplikasi
sebagian pasien jantung dan serebrovaskular akibat penyakit atherosklerosis yang angka
kematiannya menurun belakangan ini.3 Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan
terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.2
Etiologi
Penyebab penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Tabel 2 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pemefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 3. Dikelompokkan pada
sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan,
tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.2
Tabel 2. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat.2

Penyebab
Diabetes melitus
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah
besar
glomerulonefritis
Nefritis intestitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sistemik (misalnya lupus dan
vaskulitis
Neoplasma
Tidak diketahui
Penyakit lain

insiden
44%
27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%

Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000. 2
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan Infeksi
Hipertensi
Lain-lain

Insiden
46.4%
18.7%
12.9%
8.5%
13.7%

Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik


Gagal ginjal bisa ditemukan secara kebetulan bila fungsi ginjal dinilai dengan
pengukuran ureum atau kreatinin, adanya hipertensi, atau gejala gagal ginjal. Anamnesis pada
penyakit ginjal kronik tidaklah begitu khas pada suatu kelainan. Anamnesis tidak cukup
mengarah pada sesuatu yang khas, anamnesis harus dilakukan secara menyeluruh untuk
mengetahui pasti gejala sindrom uremia dari penyakit ini seperti mual dan muntah, pusing,
lemah, tidak nafsu makan, sesak nafas, atau kebingungan. Pada saat anamnesis, juga penting
untuk menanyakan riwayat hipertensi, diabetes, transplantasi ginjal, sering minum atau tidak,
riwayat adanya batu ginjal, serta riwayat memakai obat-obat tertentu.4
Pada anamnesis bisa ditanyakan apakah pasien mengalami gejala gagal ginjal, misalnya
dengan gejala mual, muntah, sesak napas (akibat asidosis atau edema paru), atau edema perifer,
rasa gatal, cegukan, neuropati perifer, lelah, malaise, keluaran urin berkurang, poliuria, atau
hematuria serta nokturia. Munculnya gejala penyerta seperti hemoptisis, ruam, nyeri punggung,
demam, dan penurunan berat badan akibat neuropati. Perlu ditanyakan juga riwayat sedang
menjalani pengobatan untuk gagal ginjal, misalnya hemodialisis, dialisis peritoneal, atau
transplantasi ginjal.4

Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan riwayat pernah didiagnosis penyakit
ginjal sebelumnya, atau riwayat hipertensi atau proteinuria. Adanya komplikasi penyakit ginjal,
seperti hipertensi, penyakit tulang ginjal, atau penyakit jantung, adakah prosedur untuk
memungkinkan dialisis, misalnya terbentuknya fistel ateriovena, kateter dialisis peritoneal
Tenckhoff. Adanya riwayat konsumsi obat dalam jangka panjang, karena hampir semua obat apa
pun bisa menyebabkan gagal ginjal, misalnya OAINS, inhibitor angiotensin converting enzyme
atau antibiotik, setiap terapi tertentu untuk gagal ginjal, misalnya eritropoietin, setiap obat yang
bisa terakumulasi dan menyebabkan toksisitas pada gagal ginjal, misalnya digoksin. Riwayat
keluarga seperti adakah riwayat penyakit ginjal, misalnya penyakit ginjal polikistik.4
Pada kasus penyakit ginjal kronik ini, pemeriksaan fisik langsung terhadap ginjal tidak
akan memberikan informasi yang berarti, pemeriksaan fisik lebih mengarah pada sindroma
uremia sistemik yang dihasilkan karena menurunnya fungsi ginjal. Pemeriksaan fisik dapat
dimulai tanda-tanda vital, untuk mengetahui frekuensi nafas yang mungkin meningkat, tekanan
darah untuk mengetahui ada tidaknya hipertensi, auskultasi pada paru dan jantung, terutama
stadium akhir dapat terjadi edema paru dan gagal jantung kongestif karena gangguan volume
cairan dan elektrolit yang parah. Asteriksis juga dapat diperiksa, karena toksik ureum dapat
menyebabkan asteriksis pada tangan.5 Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan pasien
apakah tampak sakit, adanya komplikasi gagal ginjal yang membahayakan jiwa di antaranya
adalah edema paru, asidosis, dan hiperkalemia. Apakah ditemukan sesak napas, atau pola
pernapasan Kussmaul, cepat dan dalam akibat asidosis, sianosis, tanda-tanda kelebihan cairan,
ronki pada paru, irama gallop, JVP meningkat, edema perifer, dan hipertensi. Sudah ditemukan
tanda-tanda kekurangan cairan atau syok, hipotensi. penurunan TD postural, takikardia, perifer
dingin, vasokonstriksi perifer, dan tanda-tanda penyakit tertentu yang menyebabkan gagal ginjal,
misalnya ginjal polikistik, ruam vaskulitik, sepsis, atau pankreatitis. Adakah tanda-tanda
kelainan fungsi ginjal, misalnya anemia, asidosis, mengantuk, kecenderungan perdarahan,
adakah bukti hipertensi berat, misalnya hipertrofi ventrikel kiri, retinopati hipertensif. Periksa
dengan teliti setiap tanda-tanda obstruksi seperti, kandung kemih teraba, pembesaran prostat,
massa pada pelvis.4
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi pemeriksaan yang sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan GFR yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Pemeriksaan lain adalah kelainan biokimiawi darah berupa peningkatan kadar mioglobin darah,

peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,


asidosis metabolik, kelainan urinalisis meliputi proteinuria, leukosituria, cast, isostenuria.2
Pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan adalah foto polos abdomen, bisa tampak batu
radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan
indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi, serta pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.2
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontra indikasi
dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi
yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.2
Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut adalah suatu penyakit
ginjal yang secara mendadak menurunnya fungsi ginjal sehingga produksi urin menurun bahkan
tidak terproduksi dalam 6 jam serta terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum lebih besar
sama dengan 0,3 mg/dl dalam waktu 48 jam dimana fungsi ginjal dapat membaik seperti
sermula, atau mengalami lesi minimal atau menjadi kerusakan ireversibel dan menjadi kronik.2
Gejala utama gagal jantung adalah kelelahan dan nafas yang pendek. Walaupun kelelahan
telah dihubungkan dengan cardiac output yang rendah pada gagal jantung, namun sepertinya
abnormaliti dari muskulo skleletal dan penyakit noncardiac lainnya juga terlibat pada gejala ini
(misalnya anemia). Pada stadium awal dari gagal jantung, dyspnea terlihat hanya saat aktifitas;
bagaimanapun, sesuai dengan berjalannya penyakit, dyspnea terjadi pada aktifitas yang lebih
ringan, dan akhirnya mungkin terjadi pada saat istirahat. Dyspnea pada gagal jantung mungkin
multifaktorial. Mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru dengan akumulasi
interstitial atau cairan intra alveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtracapillary J, yang pada
gilirannya merangsang pernafasan yang dangkal dan cepat sebagai karakteristik dari dyspnea.
Faktor faktor lainnya yang berkontribusi terhadap dyspnea saat beraktifitas termasuk

berkurangnya compliance paru, meningkatnya resistensi jalan nafas, kelelahan otot pernafasan
dan / atau diafragma, dan anemia. Dyspnea mungkin tidak sering bila kelainan pada ventrikel
kanan dan regurgitasi trikuspid.2
Prinsip dasar yang membedakan gagal jantung kongestif dengan gangguan ginjal kronik
adalah pada gagal jantung kongestif murni, biasanya gagal jantung akan bersifat progresivitas
buruk karena mekanisme kompensasi jantung terhadap gangguan akan memperburuk daya
pompa, sedangkan pada gagal jantung kongestif pada sindroma uremia karena gangguan ginjal
kronik, gagal jantung ini bersifat sementara dimana apabila toksin uremik ini disembuhkan atau
dosisi diturunkan maka gagal jantung akan sembuh sempurna. Selain itu manifestasi yg berbeda
pada gagal jantung kongestif murni tidak ditemukan peningkatan kadar BUN dan kreatinin
serum dimana pada gangguan ginjal kronik terdapat peningkatan dari BUN dan kreatinin serum.2
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors.2 Kerusakan nefron berlangsung progresif, nefron yang sudah
rusak tidak dapat berfungsi dan tidak bisa pulih kembali. Ginjal dapat mempertahankan fungsi
yang relatif normal sampai terdapat sekitar 75% nefron yang tidak berfungsi.1
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia.2
Urine dapat mengandung protein, sel darah merah, dan set darah putih atau sedimen
(endapan) dalam jumlah abnormal. Karena terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kadar

kreatinin plasma meninggi secara proporsional jika tidak dilakukan penyesuaian untuk
mengaturnya. Ketika pengangkutan natrium ke dalam nefron meningkat maka lebih sedikit
natrium yang direabsorpsi sehingga terjadi kekurangan natrium dan deplesi volume. Ginjal tidak
mampu lagi memekatkan dan mengencerkan urine.1
Jika penyebab gagal ginjal kronis tersebut adalah penyakit interstisial tubulus, maka
kerusakan primer pada tubulus renal, yaitu nefron dalam medula renal akan mendahului gagal
ginjal sebagaimana permasalahan yang ditemukan pada asidosis tubulus renal, yaitu deplesi
garam dan gangguan pengenceran serta pemekatan urine. Jika penyebab primernya adalah
kerusakan vaskuler atau glomerulus, maka gejala proteinuria, hematuria, dan sindrom nefrotik
lebih menonjol.1
Perubahan keseimbangan asam-basa akan mempengaruhi keseimbangan kalsium dan
fosfor. Ekskresi fosfat melalui ginjal dan sintesis l,25(OH)2-vitamin D3 oleh ginjal akan
berkurang. Hipokalsemia mengakibatkan hipoparatiroidisme sekunder, penurunan laju filtrasi
glomerulus, hiperfosfatemia yang progresif, dan disolusi tulang. Pada insufisiensi ginjal yang
dini terjadi peningkatan ekskresi asam dan reabsorpsi fosfat untuk mempertahankan pH pada
nilai normal. Ketika laju filtrasi glomerulus menurun hingga 30% sampai 40% maka terjadi
asidosis metabolik yang progresif dan sekresi kalium dalam tubulus renal meningkat. Kadar
kalium total tubuh dapat meningkat hingga taraf yang dapat menyebabkan kematian dan
memerlukan dialisis.1
Pada glomerulosklerosis terjadi distorsi lubang filtrasi dan erosi sel epitel glomerulus
yang meningkatkan transportasi cairan melalui dinding glomerulus. Protein berukuran besar
melintasi lubang tersebut tetapi kemudian terperangkap dalam membran basalis glomerulus dan
menyumbat kapiler glomerulus. Cedera epitel dan endotel menyebabkan proteinuria. Proliferasi
sel mesangial, peningkatan produksi matriks ekstrasel, dan koagulasi intraglomerulus
menyebabkan sklerosis.1
Cedera tubulointerstisial terjadi karena toksin atau kerusakan iskemik pada tubulus renal
seperti halnya nekrosis tubuler akut. Debris dan endapan kalsium menyumbat tubulus. Defek
transportasi tubulus yang diakibatkan akan disertai edema interstisial, infiltrasi leukosit, dan
nekrosis tubuler. Cedera vaskuler menyebabkan iskemia difus atau lokal pada parenkim renal
yang disertai penebalan, fibrosis atau lesi lokal pembuluh darah ginjal. Kemudian penurunan
aliran darah menimbulkan atrofi tubulus, fibrosis interstisial dan disrupsi fungsional pada filtrasi
glomerulus, gradien medula renal, dan pemekatan.1

Perubahan struktural memicu respons inflamasi. Endapan fibrin mulai terbentuk di


sekitar interstisium. Mikroaneurisma terjadi karena kerusakan dinding vaskuler dan peningkatan
tekanan yang timbul sekunder akibat obstruksi atau hipertensi. Kehilangan nefron yang akhirnya
terjadi akan memicu hiperfungsi kompensasi pada nefron yang belum mengalami cedera dan
keadaan ini memulai suatu lingkaran balik positif karena terjadi peningkatan kerentanan. Pada
akhirnya, glomerulus yang sehat menanggung beban kerja yang terlalu berlebihan sehingga
organ ini mengalami sklerosis, menjadi kaku, dan nekrosis. Zat-zat toksik menumpuk dan
perubahan yang potensial membawa kematian terjadi pada semua organ penting.1
Pada beberapa ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ginjal tidak dapat menyimpan
garam dan terjadi hiponatremia. Mulut yang kering, keluhan mudah lelah, mual, hipotensi,
kehilangan turgor kulit dan gejala gelisah dapat berlanjut menjadi somnolensia dan konfusi.
Selanjutnya, ketika jumlah nefron yang masih berfungsi semakin berkurang, kapasitas ginjal untuk
mengekskresi natrium dan kalium juga semakin menurun. Retensi natrium menyebabkan kelebihan muatan
cairan dan edema; kelebihan muatan kalium menyebabkan iritabilitas otot serta kelemahan otot dan aritmia
jantung yang mengancam jiwa pasien.1
Ketika sistem kardiovaskuler terlibat, maka terjadi hipertensi dan pada auskultasi dapat terdengar
bunyi jantung vang jauh serta tidak teratur bila pada keadaan ini terdapat pula efusi perikardial. Bunyi
krepitasi pada kedua dasar paru dan edema perifer mencerminkan gagal jantung.1
Perubahan pulmoner meliputi penurunan aktivitas makrofag dan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi. Penurunan bunyi pernapasan di daerah konsolidasi mencerminkan keberadaan pneumonia. Ketika
pleura semakin terkena, pasien dapat mengalami nyeri pleuritik dan pada auskultasi terdengar friction
rubs.1
Pernapasan Kussmaul dapat terlihat sebagai akibat asidosis metabolik. Mukosa GI mengalami
inflamasi serta ulserasi, dan gusi juga dapat memperlihatkan ulserasi serta perdarahan. Stomatitis, uremic
fetor (napas berbau amonia). singultus, ulkus peptikum, dan pankreatitis pada gagal ginjal stadium terminal
di yakini terjadi karena retensi asam hasil metabolisme dan produk sisa metabolik yang lain. Malnutrisi
dapat terjadi sekunder karena anoreksia, keadaan mudah lelah, dan penurunan asupan protein dari makanan.
Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan kapiler dan mengakibatkan penurunan fungsi
imun serta kesembuhan luka yang buruk.1
Anemia normokromik normositik dan gangguan trombosit dengan waktu perdarahan yang
memanjang akan terjadi ketika terjadi penurunan sekresi eritropoietin, yang menyebabkan penurunan

produksi sel darah merah di dalam sumsum tulang. Zat-zat toksik uremik yang menyertai gagal ginjal
kronis akan memperpendek kelangsungan hidup sel darah merah. Pasien akan mengalami letargi dan rasa
pening.1
Demineralisasi tulang (osteodistrofi renal), yang bermanifestasi dalam bentuk nyeri tulang dan
fraktur patologis, disebabkan oleh penurunan aktivasi vitamin D oleh ginjal yang mengurangi absorpsi
kalsium dari makanan, retensi fosfat yang meningkatkan ekskresi kalsium ke dalam urine, peningkatan
kadar hormon paratiroid di dalam peredaran darah akibat penurunan ekskresi hormon tersebut dalam urine.1
Kulit akan memperlihatkan noda warna kuning kelabu ketika pigmen urine (urokrom) menumpuk
di dalamnya. Zat-zat mediator inflamasi yang dilepaskan oleh toksin yang tertahan di dalam kulit
menimbulkan pruritus. Asam urat dan substansi lain dalam keringat akan mengkristal dan tertimbun pada
kulit sebagai uremic frost. Kadar kalsium plasma yang tinggi juga akan disertai dengan keluhan pruritus.
Gagal ginjal kronis meningkatkan risiko kematian akibat infeksi. Keadaan ini berhubungan dengan supresi
imunitas diantara sel dan penurunan jumlah serta fungsi limfosit dan sel-sel fagosit.1

Gejala Klinis
Manifestasi klinik penyakit ginjal kronik tidak spesifik dan biasanya ditemukan pada tahap akhir
penyakit. Pada stadium awal, stadium 1-3, tidak mengalami gejala apa apa atau tidak
mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik yang tampak
secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru terlihat pada
CKD stadium 4 dan 5. Tanda dan gejala penyakit ginjal kronik melibatkan berbagai sistem
organ. Gejala yang tersering dirasakan adalah gangguan pada gastrointestinal yaitu mual,
muntah, lemas, lelah, anoreksia, dan rasa pahit di lidah, yang termasuk dalam sindrom uremia.
Hipertensi juga sering dijumpai pada pasien CKD. Selain itu juga didapatkan keluhan oedem
perifer, efusi pleura, peningkatan JVP, asites, serta adanya gangguan elektrolit dan asam basa,
yaitu hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia. Pada pasien CKD, kulit terasa gatal,
bersisik, kering, dan mengalami pigmentasi. Otot mengalami kelemahan, fasikulasi, gangguan
memori, dan klinis menjadi berat karena adanya ensefalopati uremikum karena kadar ureum
yang tinggi. Pada pasien CKD, tidak jarang didapati anemia, gangguan hemostasis, gangguan
hormon seks, dan gangguan metabolisme glukosa.5

Komplikasi

Pasien dengan CKD, memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih besar dari
komplikasi cardiovascular disease pada populasi umum. Kematian akibat kardiovaskular
menyumbang 45% dari semua kematian pasien yang menjalani dialisis. Antara 80% - 90%
pasien dengan CKD mati, terutama dari kelainan jantung dan pembuluh darah bahkan sebelum
pasien mencapai kebutuhan untuk dialisis. Mekanisme biologis yang tepat menjelaskan
meningkatnya angka kematian ini tidak jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan keadaan
uremia yang berhubungan dengan kelainan homeostasis fosfat dan kalsium. Komplikasi
kardiovaskular pada pasien CKD, antara lain hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung,
dan perikarditis.5
Penyakit tulang metabolik dari CKD disebabkan oleh suatu proses yang kompleks akibat
gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, hormon paratiroid (PTH), vitamin D aktif, dan
mungkin fibroblast growth factor-23 (FGF-23). Pola khas pada awal CKD stadium 3 adalah
hiperfosfatemia, hipokalsemia, hypovitaminosis D, dan hiperparatiroidisme sekunder sebagai
hasil dari tiga kelainan sebelumnya. Kelainan ini dapat menyebabkan kalsifikasi vaskular, yang
mungkin sebagian bertanggung jawab untuk CVD yang muncul cepat. Studi epidemiologi di
manusia menunjukkan hubungan antara fosfor tinggi dengan peningkatan risiko kematian
kardiovaskular di CKD dini sampai ESRD. Penyakit tulang, atau osteodistrofi ginjal, pada CKD
stadium lanjut adalah umum dan ada beberapa jenis. Osteodistrofi ginjal hanya dapat didiagnosis
dengan biopsi tulang, yang jarang dilakukan.5
Komplikasi sistem hematologi pada CKD ada 2 macam, yaitu anemia dan koagulopati.
Anemia pada CKD terutama disebabkan penurunan produksi hormon erythropoietin, yang sering
menjadi gejala klinis yang signifikan pada CKD stadium 3. Banyak pasien kekurangan zat besi
juga karena penyerapan zat besi di traktus gastrointestinalis mengalami gangguan. Kelainan
koagulopati pada stadium lanjut CKD terutama disebabkan oleh disfungsi platelet yang
berkepanjangan dan menyebabkan waktu perdarahan memanjang bisa terjadi. Secara klinis,
pasien dapat memiliki petechiae, purpura, dan kecenderungan meningkat untuk perdarahan
selama operasi. Selain itu dapat terjadi hiperkalemia, kelainan asam-basa, dan komplikasi
neurologi seperti ensefalopati dan lainnya serta kelainan endokrin dalam hal ini adalah
membaiknya keadaan hiperglikemia pada pasien diabetes melitus hal ini berhubungan dengan
berkurangnya insulin yang di ekskresi di ginjal.5

Penatalaksanaan dan Pencegahan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik terhadap penyakit


dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat pemburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan terapi
penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya.2
Derajat
Derajat
I
Derajat
II
Derajat
III
Derajat
IV
Derajat
V

GFR
m2)
90

(ml/mnt/1,73 Rencana tatalaksana

60-89

Terapi penyakit dasar, komorbid, evaluasi


pemburukan fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardivaskuler
Menghambat perburukan fungsi ginjal

30-59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15-29

Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

< 15

Terapi pengganti ginjal

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.2
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal
kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.2
Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah, pembatasan
asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8
kgbb/hari, yang 0,35 0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori

yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan
mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran
darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia.2
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi, disamping
bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peran
yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan
faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan
dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat
antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.2
Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 4045% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kaediovaskular adalah,
pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dengan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.2

Penyakit ginjal kronik dapat memberikan berbagai komplikasi yang manifestasinya


sesuai dengan penurunan fungsi Ginjal. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal
kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal
hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
pendarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g
% atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,
kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber pendarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status
besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi
ginjal, sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.2
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2 D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran
cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia. Pembatasan asupan fosfat dengan pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.2
Pemberian pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, alumunium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat
absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan kalsium. Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent).
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar

paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent,
dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.2
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium
disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium carbonate
dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakaiannya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH) >2,5 kali
normal.2
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke
dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urine maupun insensible water
loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water antara 500-800 ml/hari
(sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah
jumlah urine. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
seperti buah dan sayuran, harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.2
Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang
dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau
transplantasi ginjal.2
Prognosis
Tingkat kematian yang terkait dengan CKD sangat luar biasa. Setelah penyesuaian usia,
jenis kelamin, ras, komorbiditas, dan rawat inap sebelumnya, angka kematian pada pasien
dengan CKD tahun 2009 adalah 56% lebih besar daripada pada pasien tanpa CKD. Untuk pasien
dengan stadium 4-5 CKD, angka kematian adalah 76% lebih besar. Tingkat kematian secara
konsisten lebih tinggi untuk laki-laki daripada perempuan, dan bagi orang-orang kulit hitam
dibandingkan orang kulit putih dan pasien dari ras lain. Angka kematian tertinggi adalah dalam 6
bulan pertama memulai dialisis. Kemungkinan kematian cenderung menurun untuk 6 bulan

berikutnya, sebelum meningkat secara bertahap selama 4 tahun ke depan. Tingkat kelangsungan
hidup 5 tahun untuk pasien yang menjalani dialisis jangka panjang di Amerika Serikat adalah
sekitar 35%, dan sekitar 25% pada pasien dengan diabetes.6
Penyebab kematian mendadak paling umum pada pasien dengan ESRD adalah
hiperkalemia, yang sering disebabkan oleh melewati dialisis atau ketidakpatuhan terhadap diet.
Penyebab paling umum kematian adalah penyakit jantung, mortalitas kardiovaskular adalah 1020 kali lebih tinggi pada pasien dialisis dari pada populasi umum.6
Daftar Pustaka
1

Kowalak, Welsh, Mayer, editor. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014.h.562-3.

Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.1035-40.

Bargman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 19 th
Edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.p.1811-20

Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;


2007.h.147.

Watnick S, Dirkx T. Chronic kidney disease. In: Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW.
Current Medical Diagnosis & Treatment 2015. 54th Edition. New York: McGraw Hill
Education; 2015: 900-8.

Wolfe RA, Ashby VB, Milford EL, Ojo AO, Ettenger RE, Agodoa LY, et al. Comparison
of mortality in all patients on dialysis, patients on dialysis awaiting transplantation, and
recipients of a first cadaveric transplant. N Engl J Med 1999 Dec 2; 341(23):1725-30.

Anda mungkin juga menyukai