Anda di halaman 1dari 10

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Islam datang untuk mengangkat derajat umat manusia ke tempat yang tinggi setelah begitu
terpuruk pada masa jahiliyah. Islam sangat menghormati jiwa manusia dengan banyak
memberikan perhatian terhadapnya.
Islam bahkan menganggap bahwa membunuh satu jiwa manusia sama dengan membunuh
manusia seluruhnya, firman Allah swt., Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi
Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..
(QS. Al Maidah : 32)
Seorang yang membunuh orang lain bukan dikarenakan qishosh maka bagai membunuh
seluruh manusia, misalnya; bisa jadi orang yang terbunuh itu adalah kepala rumah tangga
yang memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya Seandainya ia dibunuh, berarti si
pembunuh itu telah menelantarkan keluarga yang terbunuh karena tidak ada yang
memberikan nafkahnya setelah itu dan efek terburuk bagi keluarga ini yang mungkin saja
terjadi adalah juga kematian karena kelaparan. Begitu pula sebaliknya jika si pembunuh tadi
menahan diri untuk tidak membunuh orang itu.
Kejahatan yang menyebabkan si pembunuhnya harus dibunuh lagi adalah pembunuhan yang
menghilangkan jiwa manusia secara sengaja, sebagaimana hadits Rasulullah saw.,
Pembunuhan yang disengaja (pelakunya) wajib dilakukan qishash kecuali kalau wali korban
pembunuhan memaafkan. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Adapun persyaratan-persyaratan untuk bisa dilakukan qishosh (pembunuhan itu) adalah :
1. Si pembunuh itu sudah baligh.
2. Berakal.
3. Si pembunuh bukanlah ayah dari yang dibunuh.
4. Orang yang terbunuh tidak lebih rendah dari si pembunuh, seperti kafir atau budak.
(Kifayatul Akhyar hal.98)
Adapun dengan apakah qishosh tersebut dilaksanakan telah terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama :
1. Qishsosh terhadap pembunuh dilaksanakan seperti ia membunuh orang yang dibunuhnya.
Barangsiapa yang membunuhnya dengan menenggelamkannya maka ia pun harus dibunuh
dengan cara ditenggelamkan. Barangsiapa yang membunuh dengan cara memukulnya dengan
batu maka ia pun harus dibunuh dengan cara itu pula, demikianlah pendapat Malik dan
Syafii. Mereka mengatakan, Kecuali (jika dengan cara yang sama) dia mengalami
penyiksaan yang sama maka baginya pedang lebih tepat."
Di kalangan para ulama, Maliki telah terjadi perbedaan pendapat terhadap seorang yang
membunuh dengan cara membakar; apakah ia harus dibakarseperti pendapat Malik dalam
kesamaan modus pembunuhan? Juga dalam hal pembunuhan dengan anak panah.
2. Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat dengan apa pun orang itu membunuh
maka tidaklah ia dibunuh kecuali dengan pedang. Mereka berdalil dengan yang diriwayatkan
oleh Hasan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, Tidaklah diqishosh kecuali dengan
besi (pedang).
Ada pun dalil kelompok pertama adalah hadits Anas bahwasanya seorang Yahudi telah
memecahkan kepada seorang wanita dengan batu maka Nabi saw pun memecahkan
kepalanya dengan batu. Atau dia berkata,Diantara dua buah batu. Juga firman Allah swt :
Diwajibkan atas kalian untuk melakukan qishosh dalam pembunuhan. Dan Qishosh adalah
menuntut hal yang semisal. (Bidayatul Mujtahi, juz II hal 330)
Di dalam Fatawa Al Azhar juz VI hal 6 disebutkan:
Apabila pelaksanaan qishosh dengan selain pedang lebih mudah dan lebih cepat maka
sesungguhnya qishosh itu boleh dilakukan dengannya berdasarkan nash hadits : Tidaklah
qishosh dilaksanakan kecuali dengan pedang. Apabila dengan selain (pedang) rasanya
seperti (pedang) itu juga dalam hal kemudahan, cepatnya ruh itu terlepas. Di dalam
permasalahan qishosh adalah bahwa pembunuhan dengan pedang itu lebih gampang dan
mudah.
Namun apabila didapati ada suatu jenis pembunuhan (di dalam qishosh) dengan cara yang
masih belum dikenal namun lebih cepat kematiannya maka seacara lahiriyah hal itu
dibolehkan, berdasarkan nash hadits tersebut diatas.
Apabila pembunuhan dengan digantung itu lebih cepat dan mudah daripada pembunuhan
dengan pedang maka hal itu dibolehkan.
Dari penjelasan diatas tampak bahwa dasar dibolehkannya suatu alat itu digunakan dalam
pembunuhan hukuman mati adalah bahwa alat itu ketika digunakan tidak menyiksa dan
menyengsarakan korban tapi mempermudah serta mempercepat kematiannya sebagaimana
hadits Rasulullah saw : Apabila kamu membunuh maka lakukanlah dengan cara yang baik
dan apabila kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik. (HR. Muslim)
Jadi penggunaan suntik mati dalam mengeksekusi tahanan diperbolehkan jika memang suntik
mati itu tidak membuat tahanan tersebut menderita, tersiksa dalam waktu yang lama dan lama
menemui ajalnya.
Wallahu Alam
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-suntik-mati-dlm-fiqih-
islam.htm#.UTLo-qAgY9o
Dalam ilmu kedokteran memang lazim dikenal praktik euthanasia (qatl ar-rahma atau
taisir al-maut) yaitu tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan untuk meringankan penderitaan
si sakit. Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai
harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan
tertentu melalui injeksi (suntikan) yang dapat mematikan atau dengan menghentikan
pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal
dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian mempercepat kematian dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam
ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49). Dengan demikian
euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat
persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu, euthanasia pasif dan
euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah
atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang
sudah parah.
Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat
kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Ada
lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam euthanasia pasif, yaitu upaya dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
Contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
1. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan
tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan
kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam
kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau
penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan
kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini
akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama
hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan
yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh tersebut, penghentian pengobatan merupakan salah satu bentuk
eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama
anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah
kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang
tuanya.
Contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
1. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian
otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat
keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan
alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat
disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan
pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari
sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981).
Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi
keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama,
karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan
tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-
undang.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang,
baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan;
sebagaimana disebutkan dalam hadits: Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali
karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia
harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam
(murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan
diasingkan dari tempat kediamannya (HR Abu Dawud dan An-Nasai)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain
dimasukkan dalam kategori perbuatan jarimah/tindak pidana (jinayat), yang mendapat
sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah
dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana.
Dalil syariah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Quran
surat Al-Isra:33, An-Nisa:92, Al-Anam:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain
hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta
suaka (muahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti
mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan
mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan
Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda:
Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu. (HR
Bukhari dan Muslim). Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia
hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau
kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah
memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan
proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt
yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti
pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syariah. Sebab yang demikian itu berarti
dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Dalam hal ini
dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa
besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun
yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang
dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. Eutanasia demikian juga menandakan bahwa
manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh
manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia
tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan,
sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw
disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad
dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana
dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam kategori praktik
penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan
yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-
akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan
oleh para ulama fikih apakah wajib atau sekedar sunnah. Menurut jumhur ulama
mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun
segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafiiyah dan
hambali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat
ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak
berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab
shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi
agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: Jika engkau mau bersabar (maka
bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab akan bersabar dan
memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan
penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabiin yang tidak
berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti
Ubay bin Kaab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes
oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabaiin lainnya sebagaimana dikupas oleh
Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul Kitab at-Tawakal dalam kitab
Ihya Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada
dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada
harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang
sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di
kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Maad. Dan paling tidak,
petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila
penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat
medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai
dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli
maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib. (tidak
perlu)
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai
macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya,
atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam
waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka
melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana
difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Muashirahnya, bahkan mungkin
kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam
kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang
terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya
tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut
syariah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi
seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syariah apabila keluarga pasien
mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan
alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah
mati atau dikategorikan telah mati karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf
sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut
semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan
pengobatan. Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif
lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori
eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan
syariah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya
dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan
dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien
tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan
tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua
aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban.
Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu
hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang
mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada sejumlah
pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan
Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih
dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut.
Penggunaan eutahansia pada hewan hukumnya lebih ringan dan lebih longgar
dibandingkan pada manusuia, sebab jiwa manusia pada prinsipnya adalah haram untuk
dihilangkan selama masih dapat dipertahankan secara wajar sehingga pengecualian dari
prinsip tersebut perlu ketentuan yang ketat dan penanganan yang sangat ektra hati-hati
agar tidak keluar dari kimah tasyri (kemaslahatan syariah).
http://liulilabshor.blogspot.com/2012/05/hukum-euthanasia.html
EUTHANASIA (Suntik Mati)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia yang
semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan
hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam masyarakat modern seperti
dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi,
sehingga berdasarkan itu, suatu produk hokum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam
masyarakat, maka interfretasi terhadap hokum pun bisa berubah. Masalah
euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para
praktisi hokum di Negara-negara barat. Di Indonesia ini juga pernah dibahas,
seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminar tahun
1985 yang melibatkan para ahli kedokteran ahli hokum positif dan hokum islam.
Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan, terutama
ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu
hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini, kami
berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai
euthanasia menurut hokum islam, hokum positif dari segi ilmu kedokteran. B.
Rumusan Masalah Apa pegertian Euthanasia? Sebutkan macam-macam
Euthanasia? Bagaimana Kreteria mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran
Dan Para Fuqaha? Bagaimana Tinjauan Euthanasiadalam KUHP, Ilmu
Kedokteran, dan Hokum Islam? Apa saja yang menjadi motivasi terjadinya
euthanasia? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal
dari kata Yunani eu berarti baik/gampang dan thanatos artinya mati. Maksudnya
adalah mengakhiri hidup dengan cara mudah dan tanpa rasa sakit. Oleh karna
itu, euthanasia sering di sebut juga dengan istilah mercy killing / a good death
(mati dengan tenang) . Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan
atau penderitaan yang di alami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya . Hal ini dapat terjadi karna
pertolongan dokter atas permintaan pasien atau keluarganya karna penderitaan
yang sangat hebat, dan tiada akhir ataupun tindakan membiarkan saja oleh
dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa
memberikan pengbatan seperlunya . Euthanasia pada hakikatnya adalah
pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar
permintaan atau kepentingan orang itu sendiri. Euthanasia masih menimbulkan
problem keagamaan, hokum, dan moral di semua budaya dan tradisi
keagamaan. B. Macam- macam Euthanasia o Euthanasia aktif Euthanasia aktif
adalah tindakan sengaja yang dilakukan oleh medis untuk mengakhiri hidup
pasiennya. Tindakan ini dilakukan untuk mempercepat proses kematian, baik
dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat- alat pembantu medika,
seperti melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan
sebagainya. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah
jika pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan
adanya harapan hidup. o Euthanasia Sukarela Euthanasia sukarela tindakan
seorang pasien yang sakit keras meminta pada petugas medis yang merawatnya
untuk segera mengakhiri hidupnya sebagai jalan keluar bagi rasa sakit yang
dideritanya, maka permintaan itu disebut euthanasia sukarela atau bunuh diri
dengan bantuan. Al- quran melarang keras tindakan dan dengan tegas
menyatakan : 1 %!# (## (# ) 2 1 ? 39 , &
6 / 6 , 9/ ) & 3? <# ? _ 3
4 (# ) , ) ? _ 3 & 4 ) !# %. _ 3/
janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah maha
Penyayang kepadamu. ( Q.S. al- Nisa 4:29 ) Bunuh diri, baik dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain. Menurut syariat adalah tindak kejahatan
dan karenanya meerupakan dosa di mata Allah Swt. o Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah ketiadaan penanganan yang seharusnya diberikan oleh
petugas medis untuknya, atau suatu tindakan membiarkan pasien atau
penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan
pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup atau tanda-
tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karna salah satu organ
pentingnya sudah rusak atau lemah. Contohnya, bocornya pembuluh darah yang
menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlaruh tinggi atau
tidak memasang alat bantu pernafasan pada pasien yang sakit parah, sehingga
berdampak kematian pada si pasien. Dalam konteks ini, petugas medis tersebut
tidak dikenai tanggungjawab atas tindakannya yang mengakibatkan kematian si
pasien berdasarkan pada kaidah hokum islam Artinya: tidak ada
kerusakan dan tidak ada pengrusakan Prinsip ini membenarkan seseorang untuk
membiarkan kematian terjadi secara alamiah . Terjadinya euthanasia aktif tidak
terlepas dari pertimbangan berikut : 1. Dari pihak pasien, meminta kepada
dokter karena sudah tidak tahan dengan penyakit yang dideritanya atau karena
tidak ingin meninggalkan beban ekonomi bagi keluarganya, dan pasien merasa
bahwa harapan untuk hidup sangat jauh. Dan apabila ini terjadi, maka hal
tersebut merupakan suatu refleksi iman. Sakit adalah ujian keimanan, jadi tidak
tepat kalau di selesaikan dengan mengakhiri hidup dengan euthanasia (aktif),
kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat di sembukan lagi, atau
biaya terlalu mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang saja dari
rumah sakit. Jadi jelas, bahwa islam tidak membenarkan seorang yang sakit
berkeinginan mempercepat kematiannya. 2. Dari pihak keluarga atau wali, yang
merasa kasihan terhadap penderitaan si pasien dan tidak sanggup memikul
biaya pengobatan, sementara pasien masih terlihat menyimpan tanda- tanda
kehidupan(belum mati batang otak ) Maka apabila dilakukan euthanasia, berarti
perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja. Surah An- nisa : 93
_ , ) # !# 1 ##
1 !# , 9 & 9 /#
Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya. 3. Dari pihak keluarga bekerja sama dengan dokter, karena
menginginkan harta pasien. Maka tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan
sengaja. Dalam KUHP perbuatan ini di kategorikan sebagai pembunuhan
berencana . Jadi apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif
yang berupa suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan islam mengharamkannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif,
para ahli baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana maupun para ulama
sepakat membolehkannya. Kebolehan euthanasia ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi
organ- organ yang memberi kepastian hidup( mati batang otaknya) C. Kriteria
Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para Fuqaha o Menurut ilmu
kedokteran Masalah euthanasia berkaitan erat dengan definisi mati. Dan definisi
mati itu sendiri mengalami perkembangan dikarnakan semakin majunya ilmu
pengetahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran. Adapun perkembangan-
perkembangan definisi mati ialah: - Dilihat pada nafas, - berfungsinya jantung -
Gerak nadi - Batang otak Jadi, dari perkembangan definisi diatas. Para ahli
kedokteran sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menentukan kematian
adalah batang otak. Jika batang otak betul-betul sudah mati, maka harapan
hidup seseorang sudah terputus. Menurut dr. Yusuf Misbach (ahli saraf)terdapat
dua macam kematian otak, yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat
kegiatan intelektual, dan kematian batang otak. Kerusakan pada batang otak
lebih fatal, karena dibagian itulah terdapat pusat saraf penggerak yang
merupakan motor semua saraf tubuh. o Menurut para Fuqaha Menurut Dr.
Peunoh Daly, menentukan ukuran hidup seseorang dengan empat kriteria yaitu: -
Masih adanya gerak/nafas, baik gerakan sedikit maupun banyak - Adanya suara
maupun bunyi. Biasa terdapat pada mulut, jeritan tangis, rasa haus dll -
Mempunyai kemampuan berfikir, terutama bagi orang dewasa - Nmempunyai
kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati. Dari keempat kriteria diatas,
dapat diterapkan bagi rumah sakit yang memiliki peralatan medis yang
sederhana. Hanya saja untuk rumah sakit yang lengkap peralatan dan tenaga
medisnya, maka kriteria yang dikemukakan kalangan kedokteran lebih tepat . D.
Tinjauan Euthanasiadalam KUHP, Ilmu Kedokteran dan Hokum Islam Menurut
KUHP Dilihat dari segi prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana yang
berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan,
sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya
menjadi terjamin. Oleh karena itu KUHP yang berlaku sekarang di Indonesia
memuat pasal-pasal yang mengancamdengan hukuman bagi orang yang
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau kurang hati-hati Di dalam
pasal 344 KUHP dinyatakan bahwa : barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang di sebutkannya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama- lamanya dua belas tahun.
Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain dan seorang dokter
pun bisa di tuntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia,
walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena
perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam pasal di atas,
kalimat permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati haruslah
mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah
orang yang melakukan dapat di pidana atau tidak. Dari unsur permintaan yang
jelas dan sungguh- sungguh ini harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi
atau pun oleh alat- alat bukti yang lainnya, sesuai dengan yang tertera dalam
pasal 295 HIR sebagai berikut : Kesaksian- kesaksian, Surat- surat, Pengakuan
dan Isyarat- isyarat . Dan bagi pasien yang sakit jiwa, anak- anak, atau penderita
yang sedang comma. mereka memakai pasal 388 KUHP. Maka dapat di
simpulkan bahwa masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan umum,
yaitu pasal 344 dan 388 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah pasal 344
KUHP. Menurut ilmu Kedokteran Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh
umat manusia mengakui serta mengetahui akan adanya beberapa sifat
fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang dokter yang baik
dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan
hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak di ragukan. Di dalam Kode Etik
Kedokteran yang di tetapkan Menteri Kesehatan Nomor 434/Men. Kes/ SK/X/1983
pada pasal 10 : Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup makhluk insani. Kemudian penjelasan dari pasal ini dengan
tegas disebutkan bahwa naluri yang terkuat pada setiap makhluk yang
bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu
merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani. Karena naluri terkuat dari manusia
adalah mempertahankan hidupnya, dan ini termasuk salah satu tugas seorang
dokter, maka menurut Kode Etik Kedokteran, dokter tidak diperbolehkan : 1.
Menggugurkan Kandungan 2. Mengakhiri hidup seorang pasien, yang menurut
ilmu dan pengalaman tidak mungkin aka sembuh lagi (euthanasia). Di dalam
Ilmu Kedokteran, kata Euthanasia di pergunakan dalam tiga arti : 1) Bepindah ke
alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan 2) Waktu hidup akan
berakhir, diringankan penderitaaan si sakit dengan memberikan obat penenang.
3) Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari ketiga jenis euthanasia di atas,
ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang senada dengan euthanasia yan di
larang oleh hukum pidana kita dan di atur dalam pasal 344 KUHP. Menurut
Hokum Islam Islam sangat menghargai jiwa, lebih- lebih terhadap jiwa manusia.
Cukup banyak ayat Al- Quran maupun hadist yang mengharuskan kita untuk
menghormati dan memelihara jiwa manusia. Jiwa meskipun merupakan hak asasi
manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Oleh karenanya, seseorang sama
sekali tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah Sendiri.
Tindakan menghilangkan jiwa hanya di berikan pada lembaga peradilan sesuai
dengan aturan pidana islam, dan ini di lakukan atas dasar memelihara dan
melindungi jiwa manusia secara keseluruhan. Sebagaimana firman Allah dalam
surah Al- Baqarah : 179 _ 39 ] ) , 9# 4 <
6 , 9{# _ 6 9 )? Dan dalam qishas itu ada
jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang- orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa. Dari segi nash, islam secarateas melarang pembunuhan. Tetapi
apaah Euthanasia dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan? E.
Motivasi Euthanasia Para pendukung euthanasia menjustifikasi pendirian mereka
berdasarkan hal-hal berikut: a. Factor Ekonemi b. Pertimbangan ruangan, tempat
tidur, petugas, dan peralatan medis di rumah sakit yang justru dapat
dimanfaatkan oleh pasien-pasien yang lain c. Mati dengan layak BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh
karna itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alas an yang
bertentangan dengan ketentuan agama, seperti euthanasia aktif, adalah
perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman
neraka selama-lamanya. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi
Kode Etik Kedokteran, Undang-undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut islam,
yang menghukumkannya haram, terhadap keluarga yang menyuruh, maupun
dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja
dengan ancaman qishash-diyat. Sedangkan dokter yang melaksanakan
euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu
terlaksananya bunuh diri. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang
kondisi organ organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami
kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, cortex otak
dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat
dikatakan pasien sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan,
terutama rumah sakit yang mempunyai peralatan yang lengkap. Maka tindakan
euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
DAFTAR PUSTAKA - Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak-
hak manusia dan Hokum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984 - Hasan, M. Ali.
Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-masalah Kontenporer Hukum Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo. 2000 - Mujiburrahman. Tranplarasi Organ Tubuh,
Euthanasia, Cloning dan Percobaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2001 -
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: PT Pustika Firdaus. 2002
http://perbandinganmazhab.blogspot.com/2010/01/euthanasia-suntik-mati.html

Anda mungkin juga menyukai