Anda di halaman 1dari 10

TGL AKSES 21 MEY 2014

(CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN


LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG.
KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002)
Posted: Januari 7, 2010 in My Campus
Tag:anak ni sibutar-butar on, medizton Na mion
14
Bab I
Pendahuluan
(CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI
SEMARANG. KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002)
Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini
terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih
dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain
itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam
bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah (Bapedalda) Semarang. Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum
melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.
Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan.
Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul, kata Mohammad Wahyudin, Kepala
Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin
menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota
Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai
Amdal.
Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi
ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. Bapedalda berkali-kali menelpon
pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka.
Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi
Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah, ujarnya. Wahyudin menyayangkan
sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan
industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.
Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli
terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap
masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan
industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda.
Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa ikan
laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada lingkungan,
kepada Bapedalda.
Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru.
Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui
perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan
industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi
kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri
mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini,
orang terlalu sering hanya menyoroti industry berskala besar.
(Kompas, 2 Agustus 2002)
Bab II
Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah
Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH).
Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability)
dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor
pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:
1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
8) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20
UUPLH disebutkan:
(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke
media lingkungan hidup.
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke
media lingkungan hidup Indonesia.
(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berada pada Menteri.
(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-
undangan.
Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh,
memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta
keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut UU 23 Tahun 1997 juga
menggunakan asas kerja sama (cooperation principle) dalam upaya preventif terhadap
terjadinya kerusakan lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi:
Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai
dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku
pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 11 ayat (1): Pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat
kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri. Juga tercantum dalam Pasal 13 ayat (1):
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan
sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Asas kerjasama ini penting mengingat lingkungan hidup merupakan permasalahan global dan
lingkungan hidup adalah miliki kita bersama.
Upaya preventif juga dilakukan melalui jalur perijinan antara lain:
Pasal 15:
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara
penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP No
27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang
dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu
instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana
mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum
dalam pasal 16-17:
Pasal 16
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah
hasil usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun.
(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan
argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan lingkungan
terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum ada
upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal
pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini.
Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan
kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan
kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata
Usaha Negara.
2. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana
Sanksi Administrasi
Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen
hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum
administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena
penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat
tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal:
Pasal 25
(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya
pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-
undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada
Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang
berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului
dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila
tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan
pengalengan ikan yang terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat
mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang
berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan
kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya
tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan
upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya
yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.
Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat
dalam pasal 30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (2) Selain pembebanan
untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas
setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Selanjutnya pasal 34 tidak
menetapkan lebih lanjut mengenai tata cara menggugat ganti kerugian. Pengaturan mengenai
tanggunggugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.
Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:
Kesalahan
Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah melakuakan
perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict
liability). Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat
harus mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar Pengambengan
yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan adanya kesalahan dari pelanggar.
Kerugian (Schade)
Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus
dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2
Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan
dengan sempurna dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti
rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan
Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: Setiap perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian
tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 35:
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya
dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung
jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan
kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian
pengusaha berupa kematian tambak udang.
Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang atau suatu syarat dalam
iizin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan
perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi
Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 37 UUPLH:
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan
ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan
perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok
masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup
dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut
tercantum dalam Pasal 41:
1. Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
2. Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya
terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak
selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di
Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal
47 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
a. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup
b. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/ tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya
c. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas
Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya;
e. kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana
Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh individu
saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang dilakukan
secara kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan
sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun
terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi
perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak
pidana secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi
lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada
pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat
memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula
dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 47 UUPLH, yaitu berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
1.Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil Semarang
diatur dalam UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten
untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.
2. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di
Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Administratif,
Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah
dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
1. Saran
1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri
Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan
harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus
didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain,
sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi
2. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup.
Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar
memberikan efek jera kepada pelakunya.
3. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta
dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran
perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan
terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah
pembangunan berkelanjutan.
http://medizton.wordpress.com/2010/01/07/contoh-kasus-amdal-kawasan-lingkungan-industri-
kecil-di-semarang-kompas-2-agustus-2002/

Anda mungkin juga menyukai