Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

Landasan atau sebuah dasar untuk memahami sesuatu, tentunya harus diawali dengan Ilmu dan ilmu itu dapat kita peroleh dari mempelajari sebuah sejarah. Dari sejarahlah kita dapat melihat segala sesuatu secara komprehensif dan menyeluruh. Sejarah adalah rentetan peristiwa penting dari masa lalu sampai sekarang. Ia membawa kita ke pangkal bidang keilmuan dalam mengenal peristiwa, tokoh, temuan, kajian, waktu, tempat dan lain-lain yang mempunyai arti penting dalam perkembangan bidang ilmu tersebut. Sejarah suatu ilmu pengetahuan sangatlah penting untuk diketahui, bukan hanya karena menarik untuk dipelajari dan memberikan inspirasi. Namun, juga akan membantu kita dalam menempatkan ilmu pengetahuan pada masa sekarang kedalam suatu perspektif serta menstimulasi pemikiran-pemikiran awal sehingga dapat menghasilkan kemajuan yang lebih berarti di masa yang akan datang. Dan tentu saja dengan mempelajari sejarah, kita dapat menghindari kesalahan-kesalahan dari masa lalu. Termasuk juga sejarah mengenai ilmu kedokteran forensik dan mediko legal. Kedokteran forensik dapat didefinisikan secara singkat sebagai ilmu pengetahuan ilmiah yang dapat digunakan untuk tujuan administrasi hukum. Dalam pembahasan sejarahnya, jelas tidak mungkin untuk menunjukkan salah satu tanggal sebagai titik di mana kedokteran forensik muncul menjadi suatu disiplin ilmu. Asal-usul hukum juga dapat dikatakan sebagai sanksi awal yang pasti diterapkan pada pengganggu perdamaian di masyarakat yang paling primitif. Kita tidak bisa memulai memikirkan kedokteran forensik sebagai entitas. Namun, sampai tahap peradaban tercapai, di mana kita memiliki sistem hukum yang tertata baik, dan pada bidang yang lain yang terintegrasi dengan pengetahuan medis. Selanjutnya, kita tidak dapat mengetahui banyak tentang sejarah kedokteran forensik tersebut sampai munculnya suatu alat perekam. Dan sejarah

awal mengenai kedokteran forensik yang tercatat hanya membawa kita kembali sekitar lima ribu tahu ke masa silam1. Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun S.M. di Mesir yakni di Babylon, undang-undang dari raja Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah terdapat konstitusi mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Kemudian pada jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar sudah ada kemajuan dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu Julius Caesar di bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka tusukan yang ada di tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan kematiannya yaitu tusukan di dadanya2. Di masa sekarang ini ilmu kedokteran kehakiman diartikan sebagai ilmu yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu kedokteran kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagian besar masalah yang diteliti dalam ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan suatu tindak pidana, dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk meneliti sebab akibat (causal verband) antara suatu tindak pidana dengan luka pada tubuh, gangguan kesehatan atau matinya seseorang. Di masa sekarang ini ilmu kedokteran Kehakiman atau juga disebut ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang mengasuransi maupun yang diasuransi, dalam membantu memecahkan masalah paternitas (penetuan ke ayah-an), dan masih banyak hal lagi. Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam bidang ilmu kedokteran forensik juga dipelajari tata laksana mediko legal, tanatologi, traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang terkait, hal ini agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik, dapat

benar-benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Definisi Kata forensik didalam ilmu kedokteran forensik berasal dari kata Forensic

yang asal katanya Forum, yakni tempat berlangsung sidang dizaman Romawi Medicine berarti kedokteran. Ilmu kedokteran forensik adalah penggunaan pengetahuan dan keterampilan dibidang kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia atau organ manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. Dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan orang hidup. Dalam prakteknya kedokteran forensik tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik, serologi / biologi molekuler forensik, odontologi forensik dan juga dengan bidang ilmu lainnya3.

2.2

Hukum dan Ilmu Kedokteran Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana (tindak melawan

hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut. Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik. Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi, dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal4. Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam penegakan hukum.

Gambar 1. Ilustrasi penyelidikan suatu kasus kematian

Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode dari Bertillon sangat ampuh

digunakan pada personal indentifikasi. Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal identification). Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sekarang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi. Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering a dried bloodstain, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal dengan Ilmu Forensik. Saferstein dalam bukunya Criminalistics an Introduction to Forensic Science berpendapat bahwa ilmu forensik forensic science secara umum adalah the application of science to law. Ilmu Forensik dikategorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu)5. Selalu saja terdapat perselisihan, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, peracunan, dan perkara lain yang mengganggu ketentraman dan kepentingan pribadi dalam masyarakat. Untuk menyelesaikan perkara demikian diperlukan suatu sistem atau cara yang memberikan ganjaran dan hukuman yang setimpal kepada yang bersalah sehingga perbuatan yang serupa tidak terulang lagi dan sebaiknya yang tidak bersalah terbebas dari tuntutan dan hukuman. Sejak dahulu orang telah memikirkan bagaimana mendapatkan cara untuk menegakkan

keadilan ini. Diperlukan suatu cara pembuktian yang dapat dilakukan dan diterima masyarakat. Berbagai cara telah ditempuh sesuai dengan perkembangan pemikiran pada zamannya. Dikenal misalnya judicia aquae, judicia ignis, judicia ovae, dan judicia dei. Pada judicia aquae, orang yang dianggap bersalah ditenggelamkan ke dalam air untuk beberapa lama. Bila tertuduh tidak mati maka dianggap tidak bersalah, sebaliknya bila mati berarti bersalah. Pada judicia ignis, terdakwa disuruh memegang atau berjalan diatas bara api atau benda panas. Tersangka dinyatakan bersalah jika terjadi luka bakar pada tubuhnya. Judicia ovae merupakan pembuktian dengan menyuruh korban menelan racun, dimana sedikit saja timbul tanda keracunan sudah merupakan pedoman untuk menjatuhkan hukuman pada terdakwa. Melalui Judicia dei (keputusan tuhan) dengan bantuan tuhan, yang benar akan dimenangkan dan yang bersalah akan dihukum atau dikalahkan. Pada masa kebijakan ini dilaksanakan, semua orang (juga yang dituduh bersalah) dapat menerima dan meyakini keadilan dan kebenaran dengan cara-cara yang ditempuh ini. Perkembangan zaman dan kemajuan berpikir membuat cara mencari kebenaran dan keadilan melalui model ini secara perlahan ditinggalkan dan mencari cara lain yang lebih tepat. Para penegak hukum mendapat metode yang lain. Selain bukti dan kesaksian atau keterangan saksi yang tetap dipercaya sampai saat ini, dipergunakan keterangan terdakwa dibawah sumpah dan pengakuan. Penggunaan keterangan terdakwa dibawah sumpah berdasarkan kepercayaan atau agama yang dianut sampai sekarang masih dipakai. Mendapatkan pengakuan tertuduh yaitu dengan meminta atau memaksa tertuduh untuk mengakui perbuatannya dapat menimbulkan efek. Sering melakukan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan yang menguntungkan salah satu pihak. Dalam hukum acara pidana yang lama, pengakuan terdakwa ini masih digunakan dan baru ditinggalkan setelah berlakunya hukum acara pidana yang baru, Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku sejak akhir tahun 1981.

Pada masa sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang mendapatkan pembuktian secara ilmiah yang disebut saksi diam (silent witness). Di sini diperlukan peran ahli untuk memeriksa barang bukti (corpus delicti) secara ilmiah sehingga barang bukti tersebut dapat bercerita tentang apa yang telah terjadi. Barang bukti dapat berupa orang hidup, mayat, darah, semen, rambut, sidik jari, peluru, larva lalat, nyamuk, surat, tulisan tangan, suara, dan lain-lain. Kumpulan pengetahuan yang memeriksa barang bukti untuk kepentingan peradilan dikenal dengan nama Forensic Sciences. Dalam bidang kesehatan antara lain forensik (forensic medicine), odontologi forensik, psikiatri forensik, patologi forensik dan antropologi forensik3.

2.3

Sejarah kedokteran forensik di dunia Curran (1980) membagi perkembangan kedokteran forensik dalam

beberapa periode, masing-masing periode Mesir kuno dan Romawi, abad pertengahan, abad ke 17-18 dan perkembangan masa kini. Penulis lain membagi atas dua periode, yaitu periode awal dan periode baru. Dalam periode awal peranan bantuan kalangan kesehatan dalam bidang hukum belum diatur dengan jelas, belum ada pemisahan ilmu secara tegas, artinya pada masa ini kalangan kesehatan memberikan pelayanan yang diperlukan oleh kalangan penegak hukum menurut naluri yang terbaik saja. Situasi demikian tentu tidak menguntungkan karena kenyataan

menunjukkan keterangan dan penjelasan hasil pemeriksaan dokter sangat menentukan dalam penyelidikan penuntut maupun pemutusan perkara dengan adil. Oleh karena itu, kalangan kesehatan dan kalangan hukum menyadari bahwa dokter harus mendapat pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam pemeriksaan corpus delicti. Pemikiran demikian muncul dari awal abad ke-17 di Eropa yang saat itu merupakan pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Dari sini muncul periode baru dimana cabang baru ilmu kedokteran yang disebut Medicolegal Science ini disampaikan dalam pendidikan secara sistematis dan terstruktur. Sejak itu, pengetahuan ini terus berkembang3.

2.3.1

Mesir dan perkembangan kedokteran forensik

Pada zaman Mesir kuno terdapat bukti-bukti tertulis karya Homer, Herodus, Diodosus dan Papyrus (sekitar 3000 SM) tentang peranan dokter dalam bidang medikolegal, antara lain mengenai perkawinan, praktek-praktek kelainan seksual, diagnosis keracunan, dan lain-lain. Imhotep (2980-2900 SM) karena tugasnya sebagai ketua pengadilan dan juga sebagai dokter pribadi Pharaoh Zoser telah mempergunakan pengetahuan kesehatan untuk mendapatkan keadilan. Dia dianggap sebagai medicolegal expert pertama1.

Gambar 2. Imhotep sebagai medicolegal expert pertama Hubungan hukum dan kedokteran ini menjadi lebih jelas dengan diterbitkannya Code of Hammurabi (1700 SM) atau disebut juga Hukum Babylon yang menetapkan imbalan jasa bagi sang penyembuh sekaligus dengan sangsi hukum bila terjadi kegagalan dalam pengobatan yang diberikannnya. Pada masa itu, para penyembuh (the healer, dokter masa kini) telah menunjukkan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan dan siap menghadapi gugatan dari pemakai jasa. Itu menunjukkan hubungan antara pemberi dan pengguna jasa di bidang 8

pengobatan sudah terjalin dalam hak dan tanggung jawab. Begitu pula Code of the Hittites (1400 SM) yang berisi kompensasi terhadap perlukaan akibat tindakan dokter1. Bukti sejarah mengenai telah adanya cikal bakal kedokteran forensik dimesir ialah adanya prasasti kuno Mesir yang terdapat pada batu dan papirus. Ada beberapa bukti bahwa Menes, Firaun pertama, memiliki pengetahuan yang cukup tentang tanaman obat, dan tentang adanya pengetahuan tentang pengobatan yang tidak hanya luas tetapi juga sistematis dan jelas tentang pendekatan mengenai masalah medis. Banyak informasi tentang masa lalu yang bisa diperoleh saat ini oleh karena banyaknya papirus medis yang telah diterjemahkan.

Didalamnya termasuk Ebers (kedokteran), Edwin Smith (bedah), dan Hearst Papirus, dan beberapa orang lainnya yang agak lebih fragmentaris, seperti papirus medis di British Museum. Dari prasasti ilustratif dan mumi kita dapat menarik kesimpulan yang valid tentang hukum Mesir dan obat-obatan sejak awal 2500 SM dan seterusnya. Ada sistem hukum yang pasti yang berkaitan tidak hanya untuk kejahatan tetapi juga untuk properti, pernikahan, dan hal-hal perdata lainnya. Hukuman terhadap sautu tindak kejahatan telah ada, yang terdiri dari pukulan dengan tongkat atau cambuk, kadang-kadang bentuk penyiksaannya lebih rumit, seperti memotong telinga, hidung, tangan, atau kaki. Bahkan Tidak jarang, terpidana dilemparkan ke buaya sungai Nil, tetapi hukuman yang paling sering dari semua itu, setidaknya selama era tertentu, adalah menempatkan pelakunya untuk kerja paksa selama periode panjang pembangunan Piramida.

Gambar 3. Suatu papyrus sebagai alat pencatatan zaman Mesir kuno

Pengetahuan medis pada saat itu banyak yang terletak dalam domain ilmu sihir. Namun, ada yang mengejutkan tentang adanya sejumlah pengetahuan medis dan bedah. Yang lebih mengejutkan lagi adalah adanya bukti bahwa praktek kedokteran yang tunduk pada batasan hukum. Hak untuk praktek dibatasi kepada anggota dan untuk menjadi seorang kelas dokter harus mempelajari tertentu, ajaran yang

diturunkan turun temurun oleh para pendahulu mereka dalam buku-buku kuno tertentu. terdapat spesialisasi di semua cabang kedokteran dan bedah, bahkan ada bidang kedokteran yang teratrik secara khusus pada kepala, gigi, mata, usus, dll.

Terdapat juga sejumlah specialisasi kedokteran untuk penyakit perempuan dan anak-anak, dan terdapat catatan dari judul "Keeper of the Anus" pastinya spesialisasi yang sangat sempit. Gaji dokter dibayar oleh Departemen Keuangan Mesir, bahkan, kita dapat menemukan adanya layanan Negara pertama untuk kesehatan. Hal ini ditunjukkan dalam Papyrus Edwin Smith yang cukup besar tentang pengetahuan anatomi praktis yang sepertinya tidak diketahui selama

berabad-abad oleh dokter dari ras lain dan bangsa-bangsa karena prasangka keagamaan dan lainnya terhadap pembedahan mayat. Pengetahuan tentang obat,

10

termasuk racun seperti arsenik, merkuri, dan tembaga antara logam, dan hyoscine, coniine, dan racun nabati lainnya, sangat banyak. Ini mungkin dikarenakan Homer berbicara tentang kekayaan pengetahuan seperti yang telah diperoleh orang Yunani dari orang Mesir. Homer menulis nya pada dua buku best-seller sekitar tiga ribu tahun yang lalu, sehingga kita dapat meyakini bahwa penetahuan orang Mesir tentag medis lebih kuno dibanding tanggal yang ditemukan1.

2.3.2

Kedokteran forensik Romawi kuno Ketentuan hukum dalam Roman Law yang terkenal dengan sebutan

Twelve Tables dipedomani sejak 431 SM dan berlaku selama 900 tahun berisi peraturan di bidang kedokteran forensik antara lain mengenai gangguan jiwa, perkembangan manusia, dan pertumbuhan bayi. Antitius yang memeriksa mayat Julius Caesar (100-44 SM), yang mati dengan 23 tusukan, pada otopsi memastikan hanya satu tusukan pada jantung yang mematikan, karena pemeriksaannya ini dia dianggap sebagai ahli kedokteran foreksik yang pertama.

Gambar 4. Ilustrasi pembunuhan Julius Caesar (44 SM)

11

Bantuan dokter dalam persidangan perkara di pengadilan menampakkan bentuknya pada zaman Romawi dengan ditunjuknya ahli ini sebagai amicus curiae (friends of court, sahabat pengadilan) yang turut aktif mengikuti persidangan dan memberikan pendapat kepada hakim. Sebagai amicus curiae, ia mengikuti jalannya persidangan dan memberikan pendapat sesuai keahliannya dan tidak memihak3.

2.3.3

Kedokteran forensik Yunani kuno Di Yunani, Hippokrates (460-377 SM) yang diakui sebagai bapak ilmu

kedokteran, memberi sumbangan yang masih dipakai hingga sekarang tentang etika dibidang kedokteran yang tertuang dalam sumpah Hippokrates. Aristoteles (384-322 SM) menetapkan kehidupan pada foetus mulai pada hari ke-40 dan mendukung praktek abortus untuk membatasi jumlah keluarga3.

2.3.4

Kedokteran forensik di China Di belahan dunia lain seperti di negeri Cina (600 M) sudah ada tulisan

mengenai kedokteran forensik pertama dengan judul Ming Yuang Shih Lu dan pada tahun 1241-1253 M, hakim agung Sung Tzu menerbitkan buku petunjuk Hsi Yuan Lu yang berarti record of the washing of the wrong. Buku ini telah dipakai dan dipedomani untuk waktu yang lama. Terjemahan buku ini kedalam bahasa Inggris di Eropa disebut dengan judul Instruction to Coroner3.

2.3.5

Kedokteran forensik di Eropa Memasuki abad pertama sesudah masehi dan beberapa abad kemudian

yang dikenal sebagai zaman kegelapan (dark ages) tidak banyak perubahan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan juga di bidang kedokteran maupun hukum. Beberapa yang perlu diketahui antara lain, di Spanyol terdapat tulisan Testimony of Gaius Manicuis Valerianus yang membahas aspek medikolegal

12

Gambar 5. Ilustrasi tindakan autopsi Sementara itu di Eropa, hubungan kerjasama antara kalangan hukum dan kedokteran makin erat dan telah disusun suatu peraturan tentang keterlibatan dokter dalam sidang pengadilan. Pada tahun 1302 di Bologna dilakukan autopsi pertama untuk kepentingan pengadilan. Sementara itu pendidikan dibidang kedokteran telah menuntut perlunya pengetahuan anatomi tubuh manusia melalui autopsi. Kebutuhan kedua disiplin ilmu hukum dan kedokteran yaitu untuk pendidikan, kemajuan ilmu dan penegakan hukum dapat dipertemukan. Karena itu, selama bertahun-tahun pelaksanaan autopsi terhadap korban pembunuhan, bunuh diri, dan korban hukuman mati di penjara digunakan sebagai sumber bahan (mayat) bagi pendidikan anatomi3.

2.3.6

Periode baru Menjelang periode baru, peranan ilmu kedokteran untuk kepentingan

hukum semakin mendapat bentuk. Dalam perkembangannya telah diterbitkan beberapa buku mengenai bidang ini, di antaranya yang terkenal dan digunakan selama berabad-abad adalah Questions Medico-legales dalam beberapa jilid oleh

13

Paolo Zacchias (1584-1659) di Roma. Karena karya besarnya ini dia disebut sebagai the father of legal medicine. Sementara itu penemuan-penemuan baru di bidang ini terus bermunculan, salah satu yang patut dicatat adalah penemuan uji hidrostatik oleh Bartholini pada tahun 1663 untuk menentukan apakah seorang bayi pernah bernapas atau tidak setelah dilahirkan. Perhatian yang khusus dalam bidang medikolegal pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 bermula di Itali yang dengan cepat menyebar ke seluruh daratan Eropa, terutama di Jerman yang sudah siap untuk menerima kemajuan tersebut karena telah memiliki sistem hukum kriminal yang tertata baik. Pada tahun 1650 kuliah pertama Ilmu Kedokteran Forensik di Jerman disampaikan oleh Profesor Johann Michaelis di Universitas Leipzig. Penerusnya Johannes Bohn (1640-1719) merupakan ahli kedokteran kehakiman yang terkenal masa itu menyebut bidang ini sebagai Official Medicine atau State Medicine. Pada tahun 1720 dibuka bagian Ilmu Kedokteran Forensik di Universitas Leipzig dan mulai menerbitkan jurnal pertama tentang ilmu ini sejak tahun 1782. Pada tahun 1790 berdiri bagian Kedokteran Forensik di Paris, Strassbourg dan Montpellier. Tahun 1794 Perancis mendekritkan bahwa Ilmu Kedokeran Foremsik menjadi mata kuliah wajib di Fakultas Kedokteran. Kuliah pertama Ilmu Kedokteran Forensik di Fakultas Kedokteran di Inggris disampaikan oleh Sir Andrew Duncan (1744-1828) di Universitas Edinburgh pada tahun 1791. Duncan memakai istilah Medical Jurisprudence dalam kuliahnya. Ia memasukkan seluruh cakupan dari Ilmu Kedokteran Forensik seperti pada zaman Paolo Zacchias dan juga yang tercakup dalam bidang Medical Police yang dianut di Jerman. Pada tahun 1807 barulah dibentuk bagian Ilmu Kedokteran Forensik di Universitas ini dengan jabatan kepala yang pertama dipegang oleh putra beliau yaitu Andrew Duncan Jr. Di abad ke-20 Sir Sidney Smith yang terkenal adalah generasi penerus dari jajaran ahli kedokteran forensik grup ini.

14

Di Viena bagian kedokteran forensik didirikan tahun 1804 dengan nama Medical Police dan menyatukannya dengan bidang toksikologi. Di Rusia didirikan bagian Kedokteran Forensik tahun 1804, di Cracow tahun 1805, di Praha tahun 1807, di Universitas Coppanhagen (Skandinavia) tahun 1819 juga menggabungkannya dengan toksikologi, di Swedia tahun 1841, di Portugis pada tahun 1836, di Glasgow pada tahun 1839 dengan sebutan medical jurisprudence, sama dengan istilah di Edinburg, di Madrid pada tahun 1843 dan di Universitas Helsinki dimulai pada tahun 1857 dan menyatukannya dengan bagian Patologi Anatomi. Dari gambaran penyebaran pendidikan Kedokteran Forensik sampai pertengahan abad ke-18 tersebut diatas hampir di seluruh Universitas di Eropa termasuk Belanda telah dicantumkan kurikulum pendidikan Kedokteran Forensik kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran. Indonesia yang merupakan jajahan Belanda masa itu juga telah mengajarkan ilmu Kedokteran Forensik dalam pendidikan Dokter Jawa pada tahun 1864. Perkembangan di Amerika dimulai dari pidato ilmiah tentang Kedokteran Forensik pada inagurasi Colombia College of Physicians and Surgeon tahun 1804 dan dilanjutkan dengan dibentuknya bagian Kedokteran Forensik pada tahun 1813, selanjutnya di Harvard University Medical School yang

menggabungkannya dengan bagian Obstetri dari tahun 1815-1878. Di negara ini pada masa itu terkenal dua bersaudara T.R. Beck dan J.R. Beck dengan karyanya Element of Medical Jurisprudence (1823). Milton Helpen (1902-1977) dan G. Eckert merupakan penerus yang populer di bidang Kedokteran Forensik pada pertengahan dan akhir abad ke-20. Sama halnya dengan China, India juga mempunya sejarah Kedokteran Forensik yang tercatat dalam buku Manu-Smiriti (3102 BC), Vedas (3000-1000 BC), Arthashastra (abad ke-4 dan ke-3 SM), Susruta Samhita (200-300 M), Bagbhata dan Madhabakar yang ditulis pada abad ke-7. Pada waktu penjajahan Inggris telah didirikan Fakultas Kedokteran di Calcuta pada tahun 1822 dan telah terdapat juga materi pendidikan Kedokteran Forensik. Jaising P. Modi (18751954) adalah salah seorang yang terkenal di bidang ini dan menerbitkan buku

15

Textbook of Medical Jurisprudence and Toxicology yang merupakan buku yang tidak saja dipakai di India, juga di banyak negara lain termasuk Indonesia. Sejak terbitan pertama tahun 1920 telah dicetak ulang dan perubahan edisi sehingga terbitan terakhir adalah edisi yang ke-22 (1999). Banyak tokoh di bidang kedokteran forensik yang populer di India masa ini seperti Parikh, Gupta, Ramachandra Raw, dan lain-lain. Demikian pula di Singapura Chao Tzee Cheng, tidak saja diakui ahli di bidang kedokteran forensik, tetapi juga mengembangkan pengetahuan

medikolegal, forensic sciences dan hukum kesehatan melalui Singapore Medicolegal Society sejak tahun 19753.

2.4

Sejarah kedokteran forensik di Indonesia Perkembangan periode baru di Indonesia tidak terpisahkan dengan adanya

pendidikan Dokter Jawa yang dimulai pada bulan Januari 1851 di Batavia. Tujuan semula dari pendidikan Dokter Jawa adalah untuk mendapatkan mantri cacar sehubungan dengan adanya pandemi wabah penyakit cacar masa itu. Oleh karena itu, masa pendidikannya hanya dua tahun dan peserta pendidikan ini tidak tamat Sekolah Dasar. Pada tahun 1864, lama pendidikan diperpanjang menjadi tiga tahun dan pada masa inilah dimulai pendidikan Ilmu Kedokteran Forensik karena diperlukan untuk membantu polisi dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan. Tamatan dokter jawa generasi ini telah dapat berdikari, tetapi masih dibawah pengawasan dokter sipil Belanda. Tahun 1875 pendidikan diperpanjang menjadi 7 tahun, setahun kemudian menjadi 8 tahun bahkan menjadi 9 tahun pada tahun 1902. Pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik makin diperdalam melebihi dari yang diajarkan Belanda sendiri, mengingat kebutuhan tenaga kesehatan yang dapat tanah jajahan. Pada masa ini terkenal Dr. H.F Roll sebagai direktur pendidikan (1901-1908) yang semakin menaikkan pamor Ilmu Kedokteran Forensik dengan 2 jilid buku yang terkenal berjudul Gerechtelijke Geneskunde. Buku jilid 1 yang

16

diterbitkan tahun 1908 di Batavia. setebal 451 halaman dan jilid 2 setebal 310 halaman, tercatat dalam sejarah perkembangan Ilmu kedokteran Forensik di dunia. Sejak tahun 1903 nama sekolah kedokteran ini menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandse Artsen). Lulusannya diberi gelar dokter bumiputera dan berhak untuk mempraktekkan seluruh ilmunya setelah lulus ujian Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Bedah, Ilmu Kebidanan, Ilmu Penyakit Mata, Ilmu Kedokteran Forensik, dan Ilmu Farmasi secara sekaligus. Keadaan yang sama didapati di NIAS (Nerdelandsch indische Artsen School) sekolah tinggi kedokteran ke-2 di Indonesia yang didirikan di Surabaya pada tahun 1932 di mana Dr. H. Mueller memimpin bagian Patologi Anatomi dan Kedokteran Kehakiman. Pola di mana bagian Patologi Anatomi dan Kedokteran Kehakiman berada di bawah satu atap, terjadi di banyak Fakultas Kedokteran yang didirikan sesudah kemerdekaan. Dalam perkembangannya, ternyata pola ini tidak dapat dipertahankan karena semakin disadari bahwa ruang lingkup dari Ilmu Kedokteran Forensik terutama berkaitan dengan pemeriksaan korban untuk kepentingan hukum dan peradilan dalam banyak hal sangat berbeda dengan Ilmu Patologi Anatomi yang terutama memeriksa kelainan jaringan tubuh karena penyakit secara mikroskopis. Oleh karena itu, sejak akhir tahun enam puluhan mulailah terjadi pemisahan antara kedua disiplin Ilmu Kedokteran Forensik di Indonesia semakin menonjol sesudah pemisahan ini. Dalam organisasi profesi Ikatan Ahli Patologi Indonesia (IAPI) yang didirikan tahun 1970-an, Ilmu Kedokteran Forensik yang juga dikenal sebagai Patologi Forensik berada di bawah payung organisasi profesi IAPI yang juga membawahi bagian Patologi Anatomi dan Patologi Klinik. Pendidikan keahlian ketiga disiplin ilmu ini dengan pesat berkembang di berbagai pusat pendidikan. Pusat pendidikan Ilmu Kedokteran Forensik yang semula di Jakarta (Universitas Indonesia) dan Surabaya (Universitas Airlangga), untuk luar pulau Jawa didirikan di Medan (Universitas Sumatera Utara) pada tahun 1987 dan

17

selanjutnya di Makassar (Universitas Hasanuddin). Pada waktu ini ada lima pusat pendidikan termasuk Universitas Gajah Mada dan Universitas Diponegoro. Pada tahun 1993 organisasi profesi IAPI ini dibubarkan dan masingmasing disiplin mengembangkan jurusan masing-masing. Organisasi Ilmu Kedokteran Forensik sekarang memakai nama

Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). Para dokter spesialis bidang ini di berbagai provinsi telah menjalani perannya dalam membantu kalangan hukum dan peradilan baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Peristiwa pembunuhan missal dukun AS, kecelakaan pesawat udara di berbagai daerah di Indonesia, peristiwa Semanggi, perang saudara di Kossovo, tragedi bom Bali, peledakan bom di Hotel Marriot dan lain-lain telah melibatkan para spesialis Kedokteran Forensik. Pada peristiwa bom Bali peranan ahli forensik dalam menentukan identifikasi dan menentukan sebab kematian bersama disiplin forensik yang lain dapat mengidentifikasi 199 dari 202 korban mati. Jaringan teroris di Indonesia terungkap dari identifikasi salah seorang korban pelaku pemboman dalam peristiwa ini3.

BAB III KESIMPULAN

Kata forensik didalam ilmu kedokteran forensik berasal dari kata Forensic yang asal katanya Forum, yakni tempat berlangsung sidang dizaman Romawi Medicine berarti kedokteran. Ilmu kedokteran forensik adalah penggunaan pengetahuan dan keterampilan dibidang kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Selalu saja terdapat perselisihan, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, peracunan, dan perkara lain yang mengganggu ketentraman dan kepentingan pribadi dalam masyarakat. Sejak dahulu orang telah memikirkan bagaimana mendapatkan cara untuk menegakkan keadilan ini. Diperlukan suatu

18

cara pembuktian yang dapat dilakukan dan diterima masyarakat. Maka berkembanglah ilmu kedokteran forensik untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam pembahasan sejarahnya, jelas tidak mungkin untuk menunjukkan salah satu tanggal sebagai titik di mana kedokteran forensik muncul menjadi suatu disiplin ilmu. Sejarah awal mengenai kedokteran forensik yang tercatat hanya membawa kita kembali sekitar lima ribu tahun ke masa silam, melalui prasasti mesir kuno berupa catatan pada batu ataupun pada lembaran-lembaran Papyrus. Dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan orang hidup. Dalam prakteknya kedokteran forensik tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik, serologi / biologi molekuler forensik, odontologi forensik dan juga dengan bidang ilmu lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smith S. 1951. History and Development of Forensic Medicine. Br Med J. 1(4707): 599607. 2. Ranumihardja RA.1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsito. Hal: 10. 3. Amir A. 2009. Sejarah Perkembangan Ilmu Kedokteran Forensik. Dalam: Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Bagian Ilmu Kedokteran FK-USU. Medan. Hal: 1-15.

19

4. Eckert, WG. 1980, Introduction to Forensic sciences. The C.V. Mosby Company, St. Louis : Missori 5. Purwandianto A. 2000. Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai