1. Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik Ilmu Kedokteran yang
memanfaatkan Ilmu Kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan masalah – masalah
dibidang hukum. Ilmu ini bertujuan untuk memberikan informasi medis atau ilmiah yang dapat
digunakan dalam proses hukum, seperti pengidentifikasian korban kecelakaan atau kematian yang
tidak diketahui penyebabnya, evaluasi kerusakan fisik atau psikologis yang diderita korban
kekerasan atau pelecehan seksual, atau menentukan apakah ada unsur tindak pidana dalam suatu
kasus.
2. A. Autopsi Forensik adalah Pemeriksaan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap mayat yang
meliputi pemeriksaan luar dan bedah mayat dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut dan
panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai dengan/tanpa pemeriksaan penunjang
(jaringan dan organ tubuh di dalamnya), baik secara fisik maupun dengan dukungan-dukungan
pemeriksaan laboratorium.
>UU NO 36 TAHUN 2009 Pasal 122 :
1. Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Bedah mayat forensik dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak
ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak
dimungkinkan.
Dasar hukum untuk melakukan otopsi forensik juga ada di Pasal 9 ayat (2) huruf e dan f Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 12 ayat (1)
huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan undangan. Undang-undang kedua tersebut memberikan kewenangan kepada lembaga
negara yang memiliki tugas dan fungsi melakukan penyidikan untuk melakukan pemeriksaan mayat
untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana.
Selain itu, otopsi forensik juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Pemeriksaan Medis dan/atau Kedokteran Forensik untuk Keperluan Penegakan
Hukum. Peraturan tersebut mengatur tentang prosedur pelaksanaan otopsi forensik dan kewajiban
dokter forensik dalam melakukan pemeriksaan.
E. Apabila keluarga menolak autopsi forensik, maka autopsi tersebut tidak dapat dilakukan tanpa
persetujuan mereka. Dasar hukumnya adalah Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa “Pemeriksaan medis atau pengobatan terhadap
orang yang bersangkutan dilakukan dengan persetujuan dari orang yang bersangkutan atau
keluarganya atau wali dari orang yang bersangkutan jika orang yang bersangkutan belum dewasa
atau tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan sendiri." Namun, terdapat
tambahan di mana autopsi forensik dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga korban, yaitu:
Kematian karena kejahatan: Autopsi forensik dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga
korban dalam kasus kematian yang diduga sebagai kejahatan atau tindak pidana. Hal ini
karena otopsi forensik merupakan bagian dari proses pengungkapan dan pengungkapan
kejahatan.
Kematian yang harus dilaporkan kepada pihak yang menilai: Autopsi forensik dapat
dilakukan tanpa persetujuan keluarga korban pada kasus kematian yang harus dilaporkan
kepada pihak yang berwenang seperti kematian akibat wabah penyakit menular atau
kecelakaan kerja.
Keadaan darurat: Autopsi forensik dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga korban dalam
keadaan darurat yang mengancam keselamatan masyarakat atau pasien lainnya. Contohnya,
jika terdapat indikasi kematian akibat penyakit menular yang dapat menyebar, autopsi
forensik dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga korban untuk mencegah penyebaran
penyakit tersebut.
3. Di Indonesia otopsi forensik bukan merupakan keharusan bagi semua kematian, namun sekali
dibebaskan oleh penyidik perlunya otopsi maka tidak ada lagi yang dapat menghalangi
pelaksanaanya. Dan juga Autopsi forensik tidak harus ada izin keluarga.
Pada dasarnya autopsi forensik tidak harus ada izin keluarga. Namun Ketika keluarga tidak
memberikan izin, autopsy forensic tetap dapat dilakukan. Pada tahap awal berdasarkan pasal
PASAL 134 KUHAP :
1. Dalam hal yang sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidikan wajib ditemukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
2. Dalam hal keberatan keluarga, penyidik wajib menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya tuduhan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Jika memang tidak mendapat persetujuan dari keluarga korban, maka autopsy forensic tetap
dapat dilakukan. Dasar hukum untuk melakukan otopsi forensik tanpa izin keluarga korban
adalah Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
menyatakan bahwa penyidik dapat melakukan pemeriksaan mayat tanpa persetujuan keluarga
korban jika terdapat alasan yang jelas dan diperlukan untuk kepentingan penyidikan.
4. peran ilmu kedokteran forensik dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban yang diminta
oleh penyidik:
Mengidentifikasi korban: Dokter forensik dapat melakukan pemeriksaan terhadap korban
untuk mengidentifikasi identitasnya, seperti melalui sidik jari, DNA, atau menghubungi gigi.
Penentu penyebab kematian: Dokter forensik dapat melakukan otopsi untuk menentukan
penyebab kematian korban, apakah karena kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri.
Menentukan jenis luka: Dokter forensik dapat menentukan jenis luka yang dialami korban,
seperti luka tembak, luka tusuk, atau luka benturan.
Membantu penyelidik dalam proses penyelidikan: Dokter forensik dapat memberikan
informasi yang berguna dalam penyelidikan, seperti waktu kematian korban, jenis senjata
atau benda yang digunakan, dan kemungkinan pelaku kejahatan.
Memberikan keterangan dalam perkara: Dokter forensik dapat memberikan keterangan di
perkara sebagai ahli forensik untuk membantu memperkuat bukti-bukti dalam kasus tindak
pidana.
peran dokter dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban dalam hal diminta oleh penyidik yaitu
untuk membuat terang tentang peristiwa pidana yang telah terjadi.
5. Visum et repertum adalah Surat keterangan Dokter untuk peradilan yang berupa keterangan
tertulis yang dibuat oleh dokter, yang berisi tentang hasil pemeriksaan terhadap tubuh manusia baik
hidup maupun mati, berdasarkan keilmuannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 ayat (1)
dan Pasal 185 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap perkara tindak pidana harus didukung dengan
bukti-bukti yang sah, termasuk visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter .
Pasal 187 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan bahwa : “Surat dari seorang ahli keterangan yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi darinya”.
PASAL 1 STAATSBLAD 350 TAHUN 1937 : Visa et reperta dari dokter dokter yang dibuat atas
sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di belanda atau di indonesia,
atau atas sumpah khusus, mempunyai daya bukti yang kuat dalam perkara pidana, sejauh itu
mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
DALAM PENYIDIKAN : PASAL 133 (1) KUHAP Dalam hal penyidikan untuk mempersoalkan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia memutuskan “mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
PROSEDUR PERMINTAAN KETERANGAN AHLI Pasal 133 (1), (2) KUHAP
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
KHUSUS MAYAT
Mayat yang dikirim ke ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain
badan mayat.
Pasal 186 : Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Untuk penjelasan masing masing gatra, Berikut adalah penjelasan standar atau gatra visum et
repertum yang harus diikuti oleh dokter yang membuat laporan tersebut antara lain :
A. Gatra identitas: berisi informasi tentang identitas korban atau saksi, seperti nama lengkap,
tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan.
B. Gatra anamnesis : berisi informasi tentang keluhan yang dialami oleh korban atau saksi,
riwayat penyakit sebelumnya, dan pengobatan yang pernah diterima.
C. Gatra pemeriksaan fisik: berisi pemeriksaan fisik terhadap korban atau saksi, seperti tanda-
tanda trauma, luka, atau cidera. Dokter juga harus mencatat apakah korban atau saksi sadar
atau tidak selama pemeriksaan.
D. Gatra laboratorium: berisi hasil pemeriksaan laboratorium, seperti tes darah atau urine, yang
dapat mendukung diagnosis atau mengungkap keadaan korban atau saksi. Hal ini juga dapat
membantu mengungkap keberadaan obat-obatan atau zat-zat berbahaya dalam tubuh korban
atau saksi.
E. Gatra radiologi: berisi hasil pemeriksaan radiologi, seperti foto rontgen atau CT scan, yang
dapat membantu mendeteksi keadaan internal tubuh korban atau saksi. Dokter juga harus
mencatat teknik pemeriksaan yang digunakan dan memastikan bahwa peralatan yang
digunakan dalam pemeriksaan tersebut telah dikalibrasi dengan benar.
F. Gatra diagnosis: berisi diagnosa medis dan penjelasan tentang kondisi kesehatan korban atau
saksi. Dokter harus menyertakan penjelasan yang jelas dan rinci tentang diagnosis yang
ditegakkan, dan harus menjelaskan bagaimana diagnosis tersebut didapatkan dari hasil
pemeriksaan dan temuan medis.
G. Gatra tindakan dan rekomendasi: berisi rekomendasi pengobatan atau tindakan medis yang
diperlukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan korban atau saksi, serta saran mengenai
tindakan hukum atau tindakan lanjutan yang perlu diambil dalam kasus tersebut. Dokter
harus memberikan rekomendasi yang jelas dan rinci tentang tindakan yang perlu diambil,
serta memberikan saran mengenai risiko dan manfaat dari setiap tindakan yang diusulkan.