Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

TEKNIK OTOPSI PADA BAYI

Oleh:
Anita Rachman
G99131016

Pembimbing:
dr. Sugiharto, M.Kes, MMR, S.H

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

1
DAFTAR ISI

I. Pendahuluan ................................................................................................
II. Pembagian Otopsi .......................................................................................
III. Otopsi Medikolegal .....................................................................................
IV. Dasar Hukum ..............................................................................................
V. Pemeriksaan Luar ......................................................................................
VI. Pemeriksaan Dalam ....................................................................................
Otopsi Bayi, Tes Apung Paru
VII. Pemeriksaan Khusus ..................................................................................
VIII. Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................
Daftar Pustaka.............................................................................................

2
I. PENDAHULUAN

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi


pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab
akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. 1,2

II. PEMBAGIAN OTOPSI

Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :


1. Otopsi Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa
fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke
rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu
kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah
diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya
satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum,
hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang
mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal
1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal
pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal
935.1,2,3
2. Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi
akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian
yang pasti, menganalisa kesesuaian antar diagnosis klinis dan diagnosis
postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan
dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri yang
memintanya.1,2,3
3. Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang
diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus
kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas

3
permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara.
Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
 Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau
belum jelas.
 Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan
saat kematian.
 Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
 Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum.1,3,4

III. OTOPSI MEDIKOLEGAL

Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan


adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada
korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis.4
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal :
1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah.
2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang
berwenang.
3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk
otopsi.
4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan
dahulu sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan
temuan-temuan dari pemeriksaan fisik.
5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi.
6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada
laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda
identifikasi, photo, sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh.

4
7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak
berwenang.
8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten.
9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.
10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.4

Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan otopsi


forensik/medikolegal adalah:
1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan,
termasuk surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan
visum et repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam
surat tersebut.
3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian
selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan
jenis pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.
4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi
tidak diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :
 Timbangan besar untuk menimbang mayat.
 Timbangan kecil untuk menimbang organ.
 Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.
 Guntung, berujung runcing dan tumpul.
 Pinset anatomi dan bedah.
 Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.
 Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.
 Gelas takar 1 liter.
 Pahat.
 Palu.
 Meteran.

5
 Jarum dan benang.
 Sarung tangan
 Baskom dan ember
 Air yang mengalir3,4

5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam


pembuatan laporan otopsi.

IV. DASAR HUKUM

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter


dalam membantu peradilan: 5
- Pasal 133 KUHAP :
 Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

6
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
 Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
 Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
- Pasal 134 KUHAP
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang
ini.
- Pasal 179 KUHAP:
1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.

7
V. PEMERIKSAAN LUAR

Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika


pemeriksaan luar adalah :
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada
jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas
pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin.
Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus
tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas
sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi
bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran,
merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada.
Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran
atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta
ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi :
i. Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
ii. Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada
tidaknya spasme kadaverik.
iii. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu
ruangan pada saat tersebut.

8
iv. Pembusukan
v. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur,
warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae
albicantes pada dinding perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas
khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali
dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.
Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara
memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi
kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan
yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda
kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata,
warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak
perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik.
Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil,
bandingkan kiri dan kanan.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi
dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu,
kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya.
14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran
pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara
menyeluruh.
15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan
bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita
dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang

9
sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka,
benda asing, darah dan lain-lain
16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus,
sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada
tubuh.
17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka
pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka,
lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua
tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan,
antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang
belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis mendatar
melalui pusat.
Contoh :
Luka panjang dua setengah sentimeter dan masuk ke dalam dada. Ujung
yang satu letaknya dua sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui
tulang dada dan dua sentimeter di atas garis mendatar melalui kedua puting
susu. Sedangkan ujung yang lain lima sentimeter sebelah kiri dari garis
tengah melalui tulang dada dan empat sentimeter di atas garis mendatar
melalui kedua puting susu. Saluran tusuk dilukis di bagian pemeriksaan
dalam, ditulis organ apa saja yang tertusuk.
18. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.1,3,4

VI. PEMERIKSAAN DALAM

Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :


 Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai
prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai
simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat.
 Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan
kemudian.

10
 Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan
suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher.3,4

Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati
dan dicatat :
1. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita
pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas
inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan adanya
pembesaran.
2. Bentuk
3. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang
lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika
terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.
4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh
tersebut.
5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ
itu. Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh
pada saat ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan
kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi
yang kuat.

11
6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur
permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna
organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh
jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan,
infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah
warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia.
Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus
juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab
kematian.4
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu :
1. Dada :
Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari
sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian
tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain
menekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2.
Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian
dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru diperiksa adanya perlengketan,
darah, pus atau cairan lain kemudian diukur.
Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru,
bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong
sedikit ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi
sternoklavikularis dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur
diulang untuk sendi yang lainnya.
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium dibuka
dengan Y terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50
cc dengan warna agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan
serambi kanan diperiksa adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis.
Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan
memotong pembuluh besar dekat perikardium.
 Seksi Jantung :

12
Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava
inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau
dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian ini
dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung mulai dari
apeks dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum.
Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena
pulmonalis kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup
mitral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian
dimasukkan melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar dengan
septum inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot
kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum.
Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai
dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan
epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.
 Paru-paru :
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan
pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka
dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru diiris
longitudinal dari apeks ke basis.
2. Perut :
Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum
dan rektum diikat ganda kemudian dipotong.
Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan
septa.
 Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat
ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit tadi dapat
diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati
dilepaskan terlebih dahulu.

13
Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan
isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung empedu ditekan,
bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila Vater,
kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan
adanya batu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas
dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.
Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipotong
longitudinal.
Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan
mukosa dan isinya, cacing.
 Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine
Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu
insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di
hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum
dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan
dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian
dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari telunjuk
dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian jari kelingking
dinaikkan ke atas dengan demikian rektum lepas dari sakrum. Rektum dan kandung
urine dipotong sejauh dekat diafragma pelvis.
Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal
dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul
ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari
belakang dan kandung urine melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari
prostat dan dengan demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong transversal,
perhatikan besarnya penampang.
Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal,
perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli semineferi dapat ditarik
seperti benang.

14
 Urogenital Perempuan :
Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka
dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri.
Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5 cm.
Ovarium diinsisi longitudinal.
Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke
dalam uterus, seluruhnya : kandung urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam
formalin 10% selama 7 hari, setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum
setebal 1,25 cm, kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam.
Saluran tusuk akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini
dibuat sediaan histopatologi.
3. Leher :
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan
sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil.
Pada kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah
tulang.
4. Kepala :
Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan
mata pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit
kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak
dilepaskan dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji
dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter
diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka.
Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang
dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang
karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan
cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula
oblongata diiris transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma
kepala perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.
5. Tengkorak Neonatus :

15
Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting
sutura yang masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah
dapat diangkat.3
VII. PEMERIKSAAN KHUSUS

Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam


tindakan otopsi, antara lain : insisi ”Y”, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes
emboli udara, tes apung paru, tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.
 Insisi ”Y”
Insisi ”Y”, dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah
yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan
bedah mayat. Ada dua macam insisi ”Y”, yaitu :

1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh
pria.

16
- Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan
sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada
bagian tengah (incisura jugularis).
- Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah
tepat di garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari
daerah umbilikus.
- Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang
bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama
kali.
- Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat
dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.
- Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang
biasa.
2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.
- Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari
bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian
lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan
arah garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga
dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan kanan).
- Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os
pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang
berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila
dibandingkan dengan insisi ”Y” yang dangkal.

 Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher


Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan,
penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah
dilakukan paling akhir.

17
- Buat insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah
seperti biasa, sampai ke simpisis os pubis.
- Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
- Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior,
vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
- Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
- Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah
leher akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas
ke arah tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan
demikian pemeriksaan dapat dimulai.
 Tes emboli udara
Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak
jarang terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada
di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang
merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya.
Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui
pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian
bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada
daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan
udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan
vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena
tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan,
yang ”menyedot”.
- buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke
symphisis pubis,
- potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan
tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
- potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,

18
- setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung
dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan
tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar),
- masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi,
sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini
merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
- tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang
berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90 derajat;
gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya
positip,
- bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah
bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
- bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip
yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,
- semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk
tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah : pada tes
emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang
pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan
diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang
keluar,
- dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli
sistemik hanya beberapa ml.
 Tes Apung Paru-paru

Tes apung paru-pau dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang


diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya
sama dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara
melakukan tes apung paru-paru:
- Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada
dalam satu kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
- Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.

19
- Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang
kanan.
- Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan
dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus
dan kiri dua lobus.
- Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam
dan mana yang terapung.
- Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong
dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
- Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung,
letakkan potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan
dengan menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke
dalam air.
- Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung
udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.
- Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan
partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
 Tes Pada Pneumothoraks
Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,
sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang
masuk ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat
keluar kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru
akan kolaps dan korban akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini,
bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara
melakukan test ini adalah sebagai berikut:
- buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu
sekitar iga ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang
tertinggi ),

20
- buat ”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari
daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
- pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk
dengan pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada
pneumothorax; dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut
tampak kollaps,
- cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar
dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut;
bila ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada
spuit tadi.
 Tes Alpha Naphthylamine
Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu
khususnya pada pakaian korban penembakan,
- kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine,
dan keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar
matahari,
- pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-
butir mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang
telah diberi alpha-naphthylamine,
- di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi
ditaruh lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,
- keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain
yang akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine
dan kertas saring yang basah,
- test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour),
pada kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-
bintik merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu
pada pakaian. 5
Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam
rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak

21
dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga
yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi
menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap
tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot
temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat
dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.1

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu :


1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.
Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi
dalam formalin 10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa,
pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat,
uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan
adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan
histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalh:
a. Lambung dan isinya
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan
pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm
c. Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari
perifer (v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50
ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain
tidak diberi bahan pengawet.
d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urine tidak tersedia.

22
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan
sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang
mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah
mengalami pembususkan.
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan
diekskresikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk
keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan
otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan
otak.
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh
pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat
digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl
mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa
untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan
spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil
dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang
steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan
pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan
dalam tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke laboratorium
bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan
untuk melihat parasit malaria.Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis
atau cairan mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa
biokimia.
6. Pemeriksaan urine dan feces.

23
7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.
8. Cairan uretra.3,4
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta.
2000: 187-9.
2. Anonim. Autopsy. Available At : HYPERLINK
http://en.wikipedia.org/wiki/Autopsy ᄉ http://en.wikipedia.org/wiki/Autopsy ᄃ.
3. Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.
4. Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
Kelima.
5. Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.
Edisi Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.
6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta.
2000: 187-9.
7. Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.
8. Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
Kelima.
9. Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.
Edisi Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.

24
25

Anda mungkin juga menyukai