Oleh:
Muhammad Ilmawan 1500702000011110
Safitri Nindya Kirana S 1500702000011161
Amuthen A/L Karunagaran 150070200011176
Bima Perwirayuda 150070200011020
Pembimbing:
dr. Ngesti Lestari, SH, Sp.F(K)
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autopsi atau Bedah Jenazah
2.1.1 Pengertian Autopsi
Otopsi merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan untuk menemukan proses penyakit dan
atau adanya cedera, melakukan interpretasi pada penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-
kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer,2000).
2.1.2 Pembagian Otopsi
Berdasarkan tujuannya, Autopsi dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a. Autopsi Klinik
Autopsi klinik merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan
untuk penilaian hasil pemulihan kesehatan. Tujuannya untuk menentukan penyebab
kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis
postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan
persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya. Jenis
autopsi ini dilakukan oleh dokter ahli ilmu patologi anatomi yang mempunyai keahlian
khusus di bidang tersebut. Autopsi klinik biasanya diminta oleh pihak keluarga dari jenazah
untuk mengetahui sebab kematian dari jenazah (Hamdani, 2000).
b. Autopsi Anatomis
Autopsi Anatomis dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas
kedokteran. Bahan yang dipakai adalah jenazah yang dikirim ke rumah sakit yang setelah
disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang
mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, jenazah disimpan sekurang-
kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini
dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik
negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan
mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan
KUHPerdata pasal 935. Jenis autopsi ini dilakukan dalam bangsal anatomi di bawah
pengawasan dari dokter ahli anatomi (Hamdani, 2000).
c. Autopsi Forensik atau Autopsi Medikolegal
Autopsi forensik merupakan autopsi yang dilakukan atas dasar perintah yang berwajib untuk
kepentingan peradilan, karena peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Tindakan
autopsi forensik dilakukan dengan cara pembedahan terhadap jenazah untuk mengetahui
dengan pasti kelainan yang menjadi sebab kematian. Tujuan dari otopsi forensik atau otopsi
medikolegal adalah (Hamdani, 2000) :
Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan.
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum.
2.1.3 Hal-Hal yang Diperhatikan Pada Otopsi Forensik atau Otopsi Medikolegal
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal (Chada, 1995):
3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi.
6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada laporan.
Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo, sidik
jari, dan lain-lain harus diperoleh.
7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang.
4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak
diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :
o Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.
o Pahat.
o Palu.
o Meteran.
o Sarung tangan.
5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam pembuatan
laporan otopsi.
2.1.4 Teknik Autopsi
Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus
xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai simfisis, dengan demikian
tidak perlu melingkari pusat.
Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan kemudian.
Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan
suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher. (Idries, 1997)
Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan dicatat :
5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya
dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat ditarik.
Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan
jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang kuat.
Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga
bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian.
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu (Idries, 1997):
1. Dada :
o Seksi Jantung :
o Paru-paru :
2. Perut :
o Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat
ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit
tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya
melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas
dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.
Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan
mukosa dan isinya, cacing.
o Urogenital Perempuan :
Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka
dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke
kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5
cm. Ovarium diinsisi longitudinal.Pada abortus provokatus kriminalis yang
dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung urine,
uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari,
setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm,
kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk
akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat
sediaan histopatologi.
Usus halus: dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan
rektum diikat ganda kemudian dipotong.
Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa.
3. Leher :
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai
satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil. Pada
kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.
4. Kepala :
Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata
pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala
kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan
dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan
beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel
dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah
dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian
medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang
otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil
dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris
transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala
perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.
5. Tengkorak Neonatus :
Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang
masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat
diangkat (Idries, 1997).
Insisi Y
1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh
pria.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan
sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu
pada bagian tengah (incisura jugularis).
Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat
dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.
2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari
bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian
lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan
arah garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga
dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan kanan).
o Buat insisi I, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti
biasa, sampai ke simpisis os pubis.
o Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
o Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior,
vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
o Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher
akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah
tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian
pemeriksaan dapat dimulai.
Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan,
penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah
dilakukan paling akhir (Idries, 1997).
o potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan
tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
o potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
o setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung
jantung dengan insisi I, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung
sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air
yang keluar),
o masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi,
sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal
ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
o tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan,
yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90
derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli
hasilnya positif,
o semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner,
untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya
adalah : pada tes emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi
sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial
beberapa tempat, dan diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak
gelembung kecil yang keluar,
o dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli
sistemik hanya beberapa ml.
Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak
jarang terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada
di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang
merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya. Emboli pulmoner adalah
emboli yang tersering, udara masuk melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang
terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar
rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena
pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi.
Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara
luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini
ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang menyedot (Idries, 1997).
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang diperiksa
itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test
emboli udara, yakni mayatnya harus segar.
o Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu
kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
o Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
o Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.
o Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan
ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
o Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara,
bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.
o buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga
ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
o buat kantung dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah
iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
o pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan
pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan
bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
o cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar
dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada
pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.
o keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan
diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring
yang basah,
o test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada
kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah
jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian (Idries,
1997).
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada
pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.
c. Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer
(v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi
dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan
pengawet.
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya
atau bila urine tidak tersedia.
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami
pembususkan.
i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot,
lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa
untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel
yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung
injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa
dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril
diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua
tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan untuk
melihat parasit malaria.Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan
mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia.
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau
rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental
sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien
akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran
Informed consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan
tanpa Informed consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Prosedur Ekshumasi
- Permintaan secara tertulis oleh penyidik, disertai permintaan untuk otopsi.
- Penyidik harus memberikan keterangan tentang modus dan identifikasi korban
sehingga dokter dapat mempersiapkan diri.
- Yang harus diperhatikan dalam identitas korban adalah :
a. Jenis kelamin
b. Tinggi badan
c. Umur korban
d. Pakaian, perhiasan yang menempel pada tubuh korban
e. Sidik jari
f. Tanda-tanda yang ada pada tubuh korban :
Warna dan bentuk rambut serta panjangnya
Bentuk dan susunan gigi
Adanya cacat pada tubuh korban
- Label identitas diikat erat pada ibu jari atau gelang tangan dan kaki (Amir, 2007).
Jika ada kecurigaan tertentu, sampel tanah harus diambil pada permukaan kuburan,
bagian di sekitar makam dan tanah di atas peti mayat. Saat peti telah dipindahkan, ahli
forensik akan mengambil sampel tanah dari pinggir dan bawah peti mayat. Saat ada
kevurigaan atau diduga tindak kriminal, rekaman gambar pada setiap bagian identifikasi
dimakamkan harus diambil untuk menemukan bukti-bukti selama otopsi (Amir, 2007).
Jika dicurigai diracun, perlengkapan peti mati dan benda yang hilang seperti cairan
harus dianalisis. Mayat dipindahkan dilucuti pakaian dan dilakukan otopsi sesuai kondisi
pada tubuh. Sebelum mayat dikubur kembali harus dipastikan apakah bahan-bahan yang
diperlukan sudah cukup untuk menghindari penggalian ulang (Amir, 2007).
Identifikasi kuburan harus dilakukan dengan perencanaan dan dicatat segala
sesuatunya atas ijin petugas pemakaman dan pihak yang berwenang. Prosedur penggalian
mayat di atur dalam KUHAP dan memerlukan surat permintaan pemeriksaan dari penyidik
(Amir, 2007).
BAB 3
PEMBAHASAN
Informed consent adalah hal yang sangat vital dalam bidang kedokteran. Dalam
istilah bahasa Indonesia, Informed consent adalah persetujuan tindakan medis ang terdiri
dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent
berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed consent dapat diartikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik
yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut
(Sampurna,2006)
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29 Tahun
2004, persetujuan Tindakan Medik adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya (PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008).
Informed consent dibuat bukan tanpa adanya dasar hukum. Informed consent atau
persetujuan tindakan kedokteran telah diatur dalam pasal 45 Undang-undang no.29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran. Informed consent ini dibuat agar Dokter dan pasien bisa
terlindungi secara Hukum. Namun apabila ada terdapat perbuatan diluar peraturan yang
sudah dibuat, tentu saja hal ini dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum.
pelanggaran Informed consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan
tindakan tanpa Informed consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik. Adapun fungsi dan tujuan dibentuknya
informed consent adalah sebagai berikut :
Fungsi dari Informed consent adalah:
1. Promosi dari hak otonomi perorangan
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik (Sampurna,
2003).
Tujuan dari Informed consent adalah :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ). Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351
( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes /
PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ).
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh
yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ) (Sampurna, 2003).
Otopsi merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan untuk menemukan proses penyakit dan
atau adanya cedera, melakukan interpretasi pada penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-
kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer,2000). Pembagian otopsi
dibagi menjadi 3 yaitu otopsi klinik, otopsi anatomis, otopsi forensik atau medikolegal dan
yang paling sering menggunakan informed consent adalah tindakan otopsi forensik atau
medikolegal. Hal ini dilakukan karena tindakan otopsi memiliki dasar Hukum yang diatur oleh
perundang-undangan. Pelaksanaan tindakan autopsi di Indonesia seringkali mengalami
kesulitan, tindakan autopsi ini merupakan tindakan bedah jenazah yang kontroversial dan
banyak mendapatkan kendala dari keluarga korban. Namun di Indonesia, pelaksanaan
autopsi forensik bukan merupakan suatu keharusan bagi semua kematian, tetapi apabila
sekali diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak ada lagi yang boleh
menghalangi pelaksanaannya dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekat.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam
membantu peradilan (Hamdani, 2000) :
Pasal 133 KUHAP :
Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg
memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP:
Ayat 1
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
Ayat 2
Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
Ayat 3
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
BAB 4
KESIMPULAN
Dari penjelasan pada pembahasan yang telah diulas oleh penulis maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Algozi, A.M. 2010. Rahasia Kedokteran. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran. UNAIR. https://mazhoinside.files.wordpress.com /2010/04/rhs-
kedokteran.pdf. Diakses 20 Februari 2017. Jam 20.30.
Chadha, PV. 1995. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi.Edisi Kelima.
Jakarta: Cahaya Ilmu.
Fitantra, Johny Bayu. 2014 Peranan Ilmu Kedokteran dalam Hukum dan Keadilan.
www.medicinesia.com. Diakses tanggal 20 Februari 2017
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
Jakarta, 2002
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius.
Permenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012
Tentang Rahasia Kedokteran, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 915.
PP. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran, Pasal 1.
PP. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1960 Tentang Lafal Sumpah
Dokter atas Kode Etik Kedokteran Indonesia, dalam penjelasan dan pedoman
pelaksanaan (Depok: Rona Pancaran Ilmu), hal 21.
Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka
Dwipar, 2003.
Soerjono Soekanto. 1998. Aspek Hukum Kesehatan (Kumpulan Catatan). Jakarta : Ind-Hill
CO.
Supriadi, Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju
UU. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dalam
Undang-Undang Praktik Kedokteran, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2012), hal 25.
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 48.
http://hukum. unsrat.ac.id/uu/uu_29_04.htm. Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.51