Anda di halaman 1dari 40

REFERAT FORENSIK

BEDAH JENAZAH PANDANGAN DARI INFORMED CONSENT DAN


RAHASIA KEDOKTERAM

Oleh:
Muhammad Ilmawan 1500702000011110
Safitri Nindya Kirana S 1500702000011161
Amuthen A/L Karunagaran 150070200011176
Bima Perwirayuda 150070200011020
Pembimbing:
dr. Ngesti Lestari, SH, Sp.F(K)

Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar
Malang
2017

BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autopsi atau Bedah Jenazah
2.1.1 Pengertian Autopsi
Otopsi merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan untuk menemukan proses penyakit dan
atau adanya cedera, melakukan interpretasi pada penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-
kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer,2000).
2.1.2 Pembagian Otopsi
Berdasarkan tujuannya, Autopsi dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a. Autopsi Klinik
Autopsi klinik merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan
untuk penilaian hasil pemulihan kesehatan. Tujuannya untuk menentukan penyebab
kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis
postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan
persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya. Jenis
autopsi ini dilakukan oleh dokter ahli ilmu patologi anatomi yang mempunyai keahlian
khusus di bidang tersebut. Autopsi klinik biasanya diminta oleh pihak keluarga dari jenazah
untuk mengetahui sebab kematian dari jenazah (Hamdani, 2000).
b. Autopsi Anatomis
Autopsi Anatomis dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas
kedokteran. Bahan yang dipakai adalah jenazah yang dikirim ke rumah sakit yang setelah
disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang
mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, jenazah disimpan sekurang-
kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini
dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik
negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan
mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan
KUHPerdata pasal 935. Jenis autopsi ini dilakukan dalam bangsal anatomi di bawah
pengawasan dari dokter ahli anatomi (Hamdani, 2000).
c. Autopsi Forensik atau Autopsi Medikolegal
Autopsi forensik merupakan autopsi yang dilakukan atas dasar perintah yang berwajib untuk
kepentingan peradilan, karena peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Tindakan
autopsi forensik dilakukan dengan cara pembedahan terhadap jenazah untuk mengetahui
dengan pasti kelainan yang menjadi sebab kematian. Tujuan dari otopsi forensik atau otopsi
medikolegal adalah (Hamdani, 2000) :
Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan.
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum.

2.1.3 Hal-Hal yang Diperhatikan Pada Otopsi Forensik atau Otopsi Medikolegal

Otopsi forensik atau medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan


dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada
korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis (Chadha, 1995).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal (Chada, 1995):

1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah.


2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang
berwenang.

3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi.

4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan dahulu


sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan dari
pemeriksaan fisik.

5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi.

6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada laporan.
Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo, sidik
jari, dan lain-lain harus diperoleh.

7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang.

8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten.

9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.

10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.

Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan otopsi forensik/medikolegal adalah


(Chada, 1995):
1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan, termasuk
surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam surat
tersebut.

3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian


selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan jenis
pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.

4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak
diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :

o Timbangan besar untuk menimbang mayat.

o Timbangan kecil untuk menimbang organ.

o Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.

o Gunting, berujung runcing dan tumpul.

o Pinset anatomi dan bedah.

o Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.

o Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.

o Gelas takar 1 liter.

o Pahat.

o Palu.

o Meteran.

o Jarum dan benang.

o Sarung tangan.

o Baskom dan ember.

o Air yang mengalir

5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam pembuatan
laporan otopsi.
2.1.4 Teknik Autopsi

Teknik pemeriksaan autopsi terdiri dari pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam,


pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus.
2.1.4.1. Pemeriksaan Luar
Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika pemeriksaan
luar adalah:
a. Identitas Jenazah
Identitas merupakan hal yang pertama kali diperhatikan pada pemeriksaan luar
jenazah. Pencocokan nomor, nama, tanggal dan jam kematian dengan yang ada di surat
permintaan visum at repertum. Pencocokan jenazah terutama dilakukan apabila jenzah lebih
dari satu. Untuk jenazah yang sudah pasti identitasnya maka hanya dilakukan identifikasi
umum yaitu jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, ras, umur. Sedangkan, pada jenazah
yang belum pasti identitasnya maka dilakukan identifikasi sekunder yaitu sidik jari, gigi geligi,
golongan darah, tatto, properti yang menempel di tubuh jenazah (Mansjoer, 2000).
b. Lebam dan Kaku Jenazah
Lebam mayat muncul terkadang 30-45 menit setelah kematian. Kemunculan lebam
mayat menunjukkan posisi kematian jenazah. Pada jenazah yang terlentang, lebam mayat
muncul pertama kali di bagian tengkuk. Terbentuknya lebam mayat dikarenakan oleh
hipostasis aliran darah kapier yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Efek hipostasis juga
terjadi pada organ internal yang dapat dilihat pada bagian posterior paru-paru, bagian
posterior dinding lambung, bagian inferior traktus intestinum dan pada bagian ginjal.
Terdapatnya lebam mayat pada organ internal harus dapat dibedakan dengan kondisi
patologik (Glaisters, 1973 dalam Mansjoer 2000). Hipostasis juga dapat melebar apabila
terdapat subcutaneus haemorhage. Pada regio occipital, hipostasis harus dapat dibedakan
dengan adanya suspek perdarahan akibat trauma.
Warna lebam mayat pada kulit sangat bervariasi, hal tersebut dipengaruhi oleh
warna kulit dan penyebab kematian. Pada jenazah yang berkulit hitam, lebam mayat sedikit
sulit untuk terihat. Sedangkan pada jenazah berkulit putih maka akan terlihat berwarna
merah-keunguan. Jenazah yang meninggal diakibatkan keracunan zat sianida atau karbon
monoksida lebam mayat akan terlihat berwarna merah (Cherry red). Warna ebam mayat
gelap menunjukkan asfiksia. Sedangkan lebam mayat berwarna biru menunjukkan
keracunan nitrat dan lebam mayat berwarna merah coklat menunjukkan kemungkinan
keracunan potasium (Spitz, 1997 dalam Mansjoer, 2000). Tidak adanya lebam mayat bukan
berarti menunjukkan onset kematian yang cepat tapi bisa juga disebabkan karena terjadinya
perdarahan yang hebat atau terjadinya anemia kronis pada jenazah.
Dua jam atau tiga jam seteah kematian, maka akan muncul kondisi relaksasi otot
secara umum. Pada kondisi ini terjadi pendataran otot menonjol yang diakibatkan kontak
dengan permukaan keras. Bagian tubuh yang sering mengaami hal tersebut adalah bagian
pantat dan betis yang menjadi rata akibat tekanan dari permukaan keras. Hal ini berguna
untuk keperluan penyidikan apabila terjadi perubahan posisi pada jenazah.Kondisi relaksasi
otot secara umum akan mulai di gantikan dengan kekakuan otot secara progresif. Kekakuan
tersebut terjadi pada otot volunter maupun involunter. Menurut teori Szent-Gyorgyi
menjelaskan secara kimiawi kenapa terjadi keadaan kaku jenazah yang disebabkan
kontraksi dari otot. Menurut Szent-Gyorgyi, faktor prinsip yang menyebabkan kelenturan otot
adalah derajat hidrasi protein. Hal ini tergantung pada jumlah Adenosine triphosphate (ADP)
yang di absorbsi pada myosin otot. ADP yang lama kelamaan akan habis setelah kematian
akan menyebabkan dehidrasi protein yang pada akhirnya menyebabkan kaku jenazah
(Glaisters, 1973 dalam Mansjoer, 2000).
Manifestasi pertama kaku jenazah dapat ditemukan pada otot kelopak mata dan
rahang bawah yang biasanya terjadi tiga atau empat jam pertama setelah kematian. Setelah
itu, kekakuan akan terjadi berurutan pada bagian otot leher, wajah, thorax, ekstremitas atas,
dan ekstremitas bawah. Kekakuan otot secara umum akan bertahan selama 10-12 jam lalu
akan terjadi periode relaksasi sekunder. Otot-otot yang pertama kali mengalami kekakuan
maka akan menjadi otot yang pertama kali mengalami relaksasi sekunder (Glaisters, 1973
dalam Mansjoer, 2000).
c. Penampakan Fisik dan Deformitas
Pada pemeriksaan luar akan dapat terlihat apakah terdapat deformitas atau kelainan
pada jenazah seperti Dwarfism, Gigantism, Spinal Deformities, obesitas, Cachexia,
Septicemia, Edema, perdarahan dan kelainan pada pigmen kulit (Mansjoer, 2000).
d. Rambut
Kehilangan rambut pada kepala dapat menunjukkan keadaan malignancy pada
jenazah. Hal tersebut kemungkinan dapat diakibatkan karena sinar radiasi atau proses
pengobatan sel kanker. Selain itu, rambut kepala yang tipis dan kering dapat menunjukkan
bahwa terjadi cretinism pada jenazah. Kehilangan rambut tubuh pada pria dapat
menunjukkan kemungkinan jenazah mengidap penyakit sirosis hepatis (Mansjoer, 2000).
e. Wajah
Karakteristik wajah dapat menunjukkan kondisi pada jenazah seperti akromegali,
cretinism, dan mongolism. Wajah juga dapat menunjukkan terjadinya malformasi dan
simetri. Edema mengindikasikan sindroma nefrotik, Cushings disease, overdosis steroid.
Uremic frost juga dapat terlihat pada jenazah yang mengalami gagal ginjal. Eksopthalmus
bilateral pada mata menunjukkan terjadinya hipertiroid. Edema pada kelopak mata dapat
mengindikasikan infeksi atau terjadinya trauma pada kelopak mata atau terjadinya fraktur
basis cranii. Ulcerasi pada mata juga dapat menunjukkan terjadinya trauma baik tumpul atau
tajam. Petechial haemorrhage pada ujung bola mata dapat menunjukkan terjadinya asfiksia
pada jenazah (Mansjoer, 2000).

2.1.4.2 Pemeriksaan Dalam


Pemeriksaan dalam merupakan pemeriksaan bedah jenazah. Pada pemeriksaan
dalam organ-organ yang dikeluarkan untuk dilakukan pemeriksaan adalah organ dalam
leher, organ dalam dada, dan rongga perut. Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan
beberapa cara berikut ini :

Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus
xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai simfisis, dengan demikian
tidak perlu melingkari pusat.
Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan kemudian.

Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan
suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher. (Idries, 1997)

Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan dicatat :

1. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur.


Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ
hati yang mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran.
2. Bentuk.

3. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut,


berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat penebalan,
permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.

4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut.

5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya
dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat ditarik.
Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan
jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang kuat.

6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan


penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah keabu-
abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada organ
tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen
bisa merubah warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia (Idries,
1997).

Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga
bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian.
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu (Idries, 1997):

1. Dada :
o Seksi Jantung :

Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava


inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau
dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian
ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung
mulai dari apeks dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum.
Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena
pulmonalis kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui
katup mitral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau
kemudian dimasukkan melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks
dipotong sejajar dengan septum inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah
terbuka, diperiksa katup, otot kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum
interventrikulorum.Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang
4-5 mm mulai dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di
pertengahan sejajar dengan epikardium dan endokardium, demikian pula
dengan septum interventrikulorum.

o Paru-paru :

Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan


pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka
dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru
diiris longitudinal dari apeks ke basis. Tulang dada diangkat dengan
memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya dengan cara pisau
dipegang dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal diarahkan
pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain menekan pada
punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang
dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian
dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru diperiksa adanya
perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur. Kemudian pisau
dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru, bagian tajam
tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit
ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis
dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang
untuk sendi yang lainnya. Mediastinum anterior diperiksa adanya timus
persistens. Perikardium dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan
perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning.
Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa
adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di
bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar
dekat perikardium.

2. Perut :
o Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :

Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat
ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit
tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya
melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu.

Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan isi


lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung empedu
ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke
arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung empedu
dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu.

Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas
dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.

Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipotong


longitudinal.

Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan
mukosa dan isinya, cacing.

o Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:


Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu
insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh
darah di hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung
urine dan rektum dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral
dari kandung urine dan dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke
belakang rektum. Kemudian dilakukan sama pada bagian sebelahnya.
Tempat bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan
kiri dapat bertemu, kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas dengan
demikian rektum lepas dari sakrum. Rektum dan kandung urine dipotong
sejauh dekat diafragma pelvis. Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka
dengan irisan longitudinal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting
sampai kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya.
Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urine melalui uretra
dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan demikian terlihat
vesika seminalis. Prostat dipotong transversal, perhatikan besarnya
penampang. Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris
longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli
semineferi dapat ditarik seperti benang.

o Urogenital Perempuan :

Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka
dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke
kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5
cm. Ovarium diinsisi longitudinal.Pada abortus provokatus kriminalis yang
dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung urine,
uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari,
setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm,
kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk
akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat
sediaan histopatologi.

Usus halus: dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan
rektum diikat ganda kemudian dipotong.

Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa.

3. Leher :
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai
satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil. Pada
kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.

4. Kepala :

Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata
pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala
kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan
dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan
beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel
dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah
dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian
medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang
otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil
dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris
transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala
perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.

5. Tengkorak Neonatus :

Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang
masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat
diangkat (Idries, 1997).

2.1.4.3 Pemeriksaan Khusus

Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam


tindakan otopsi, antara lain : insisi Y, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes emboli
udara, tes apung paru, tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine (Mansjoer,
2000).

Insisi Y
1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh
pria.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan
sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu
pada bagian tengah (incisura jugularis).

Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat


di garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari
daerah umbilikus.

Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang


bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama
kali.

Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat
dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.

Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang


biasa.

2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari
bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian
lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan
arah garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga
dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan kanan).

Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os


pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang
berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila
dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal.

Insisi Y, dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang


sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah
mayat. Ada dua macam insisi Y, yaitu :

Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher

o Buat insisi I, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti
biasa, sampai ke simpisis os pubis.

o Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
o Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior,
vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.

o Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.

o Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher
akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah
tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian
pemeriksaan dapat dimulai.

Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan,
penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah
dilakukan paling akhir (Idries, 1997).

Tes emboli udara


o buat sayatan I, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke
symphisis pubis,

o potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan
tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,

o potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,

o setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung
jantung dengan insisi I, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung
sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air
yang keluar),

o masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi,
sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal
ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,

o tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan,
yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90
derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli
hasilnya positif,

o bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke


arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
o bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan
prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,

o semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner,
untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya
adalah : pada tes emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi
sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial
beberapa tempat, dan diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak
gelembung kecil yang keluar,

o dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli
sistemik hanya beberapa ml.

Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak
jarang terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada
di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang
merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya. Emboli pulmoner adalah
emboli yang tersering, udara masuk melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang
terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar
rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena
pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi.
Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara
luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini
ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang menyedot (Idries, 1997).

Tes Apung Paru-paru

Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang diperiksa
itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test
emboli udara, yakni mayatnya harus segar.

o Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu
kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
o Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.

o Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.

o Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan


pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua
lobus.
o Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana
yang terapung.

o Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan
ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.

o Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan


potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan
menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.

o Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara,
bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.

o Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial,


bayi tetap pernah dilahirkan hidup (Idries, 1997).

Tes Pada Pneumothoraks

o buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga
ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),

o buat kantung dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah
iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )

o pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan
pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan
bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,

o cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar
dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada
pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.

Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,


sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ventil di mana udara yang masuk ke
paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar kembali,
sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps dan korban
akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak
dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai
berikut (Idries, 1997):
Tes Alpha Naphthylamine

o kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan


keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,

o pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir


mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi
alpha-naphthylamine,

o di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi


kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,

o keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan
diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring
yang basah,

o test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada
kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah
jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian (Idries,
1997).

Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam


rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak
dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang
dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi
menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap
tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot
temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat
dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga. (Mansjoer,
2000).

2.1.4.4 Pemeriksaan Penunjang

Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu :

1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.


Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam
formalin 10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot
jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal
ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi.
a. Lambung dan isinya.

b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada
pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.

c. Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer
(v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi
dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan
pengawet.

d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.

e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya
atau bila urine tidak tersedia.

f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami
pembususkan.

g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan


melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk keracunan narkotika,
alkohol dan stimulan.

h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.

i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot,
lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.

Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil


sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan
histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalah:

Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh


pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan
untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus
untuk pengawet urine.

3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa
untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel
yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung
injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa
dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril
diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua
tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.

4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan untuk
melihat parasit malaria.Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan
mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia.

6. Pemeriksaan urine dan feces.

7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.

8. Cairan uretra (Hamdani, 2000).

2.1.5 Dasar Hukum Autopsi


Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam
membantu peradilan (Hamdani, 2000) :
Pasal 133 KUHAP :
Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat
identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki
atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP:
Ayat 1
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Ayat 2
Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
Ayat 3
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
133 ayat (3) undang-undang ini.

Pasal 179 KUHAP:


Ayat 1
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
Ayat 2
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.

2.2 Persetujuan Tindakan Medis


2.2.1 Pengertian Informed consent atau persetujuan tindakan medis
Informed consent teridiri dari dua kata yaitu informed yang berarti informasi atau
keterangan dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian
Informed consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.
Dengan demikian Informed consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran
yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat
persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus
dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan (Ramadhan, 2013).
Istilah Bahasa Indonesia Informed consent diterjemahkan sebagai persetujuan
tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna
Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed consent dapat
diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu
tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan
tindakan tersebut (Sampurna,2006)
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29 Tahun
2004, persetujuan Tindakan Medik adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya (PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008).

2.2.2 Dasar Hukum Informed consent


Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang-undang no. 29
tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang berisi: Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara
tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan
risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan
tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :

Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau
rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental
sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.

Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Peraturan Informed consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien
akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran
Informed consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan
tanpa Informed consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.

2.2.3 Tujuan Informed consent


Fungsi dari Informed consent adalah:
1. Promosi dari hak otonomi perorangan
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik (Sampurna,
2003).
Tujuan dari Informed consent adalah :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ). Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351
( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes /
PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ).
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh
yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ) (Sampurna, 2003).
2.2.4 Bentuk Persetujuan Informed consent
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi. Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian (Dept of Health
Circulars and Guidelines)

2.2.5 Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab dokter
pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan bahwa
persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat
mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung
jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan
diperoleh secara benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima persetujuan
pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu
menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan
tindakan yang akan dilakukan terhadapnyauntuk memastikan bahwa persetujuan tersebut
dibuat secara benar dan layak.

2.2.6 Pemberi Persetujuan


Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia, maka
seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah
menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18
tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi
apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan
hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur 21
tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya
dapat memberikan persetujuan.
2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang
berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak. Dengan
demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong
anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat
sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka
mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan
tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus
dapat menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan
dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang
tua atau wali atau penetapan pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap
kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau lebih tidak
boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan.
Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten, dapat menjadi tidak kompeten
sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan
kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus
menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran
yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan kompleksitas
tindakan.

2.2.7 Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan


Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya
dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan
kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini
terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya
tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah
mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua
kemungkinan efek sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan
tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien.
Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali
kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan
keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi
harus secara jelas didokumentasikan dengan baik

2.3 Tindakan Kedokteran Forensik Yang Membutuhkan Persetujuan Tindakan Medis


2.3.1 Visum et repertum korban hidup
Visum et repertum pada korban hidup merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh
seorang dokter untuk kepentingan justisia, atas permintaan yang berwenang tentang apa
yang dilihat dan ditemukan pada korban hidup, sepanjang pengetahuannya yang sebaik-
baiknya dan berdasarkan sumpah. Visum hidup ini dibuat berdasarkan permintaan penyidik
baik atas permintaan penyidik sendiri atau atas permintaan korban. Visum hidup ini terdiri
dari :
a. Visum et Repertum
Diberikan bila korban setelah diperiksa/ diobati, tidak terhalang menjalankan
pekerjaan jabatan/mata pencaharian (Apuranto, Hariadi dan Hoediyanto, 2006).
Dengan demikian dapat dikatakan visum et repertum luka diberikan bila korban
tidak memerlukan perawatan lebih lanjut
Dalam visum et repertum ini pada kesimpulannya digolongkan pada luka
kualifikasi C (sesuai dengan penganiayaan ringan). Tetapi dalam visum et
repertum, dokter sama sekali tidak boleh menulis kata penganiayaan dalam
kesimpulannya, karena istilah penganiayaan adalah istilah hukum (Apuranto,
Hariadi dan Hoediyanto, 2006).

b. Visum et Repertum sementara


Diberikan apabila setelah diperiksa ternyata korban perlu perawatan lebih
lanjut baik di rumah sakit ataupun di rumah, dan atau korban terhalang
menjalankan pekerjaan jabatan/ mata pencaharian (Apuranto, Hariadi dan
Hoediyanto, 2006). Jadi, bila seseorang masih dipandang perlu oleh dokter untuk
mendapatkan pengawasan, maka dibuatlah visum et repertum sementara.
c. Visum et Repertum lanjutan
Diberikan apabila setelah korban dirawat/diobservasi ternyata korban
sembuh, meninggal, pindah rumah sakit, atau pindah dokter. Dalam visum ini
dimuat kualifikasi luka setelah korban dirawat. Bila ternyata korban meninggal maka
dibuat visum et repertum jenazah.
Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan/ proses pembuatan visum hidup,
seorang dokter harus menjelaskan kepada korban atau orang yang bertanggung
jawab terhadap korban apabila korban belum/tidak kompeten. Penjelasan yang
diberikan adalah mengenai pemeriksaan apa yang akan dilakukan dan bagaimana
prosedur pemeriksaannya sehingga pasien dan dokter sama-sama terlindungi oleh
hukum.

2.3.2 Visum et repertum jenazah


Pada jenazah, Visum et Repertum dapat didefinisikan sebagai laporan tertulis yang
dibuat oleh seorang dokter untuk kepentingan justisia, atas permintaan yang berwenang
tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada jenazah, sepanjang pengetahuannya yang
sebaik-baiknya dan berdasarkan sumpah (Wening 2015)
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaiman tertulis
dalam pasal 184 KUHP (Wujoso 2008). Melalui visum et repertum, kesimpulan mengenai
cara kematian korban, yaitu apakah kematian wajar atau tidak wajar dapat dibuat
berdasarkan luka luka yang ditemui pada tubuh jenazah. Ini karena visum menguraikan
segalanya yang ditemukan pada korban. Visum et Repertum dapat disebut sebagai suatu
proses pembuktian apakah ada perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa korban
tersebut. Pada korban yang meninggal di Rumah sakit atau yang mendapat perawatan
sebelumnya, visum et repertum akan memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
pemeriksaan medik yang telah dilakukan terhadap korban. Dengan demikian visum et
repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga
dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi
pada korban, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada
perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia (Budiyanto 1997).
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian
tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau
pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah) (Fitantra 2012)
Pada pemeriksaan otopsi, yang wajib memberikan pemberitahuan maupun penjelasan
kepada keluarga korban adalah pihak penyidik seperti yang disebut dalam dasar hukum
otopsi seperti dibawah:
Pasal 133 KUHAP (Peraturan Bidang-bidang kedokteran 2014) :
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi labelyg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP dimana (Peraturan Bidang bidang kedokteran 2014) :
1. Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Dokter melakukan bedah mayat setelah mendapat surat permintaan Visum et
repertum dari penyidik. (Hamdani 1992). Namun begitu, pada kasus dimana penyidik tidak
bisa menunggu di Rumah Sakit, dokter yang akan bertanggungjawab memberikan informed
consent kepada keluarga. Dokter merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal
ini Kepolisian) untuk melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas
pelaksanaan autopsi, keberatan dapat disampaikan pada penyidik (Atmadja 2004).
Jika keluarga melakukan penolakan dan melakukan pulang paksa jenazah, visum et
repertum tidak dapat diberikan. Visum et repertum hanya bisa diberikan apabila semua
pemeriksaan yang diminta penyidik sudah dilakukan (Atmadja 2004).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar yang dilakukan
tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Kemudian, dapat dilakukan pemeriksaan bedah
jenazah menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul.
Juga, kadang dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan histopatologik,
toksikologik, serologik dan sebagainya (Ramadhan 2013).
Pada pemeriksaan luar, jenazah diperiksa secara teliti dan sistematik serta dicatat
secara rinci mulai dari bungkus jenazah atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar
jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi geligi, dan luka
atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar (Ramadhan 2013).
Sebab mati tidak dapat ditentukan jika penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja.
Pada kesimpulan disebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan
penyebabnya. Apabila dapat diperkirakan, perkiraan kematian juga dapat dicantumkan.
Untuk mengetahui sebab kematian korban, perlu dilakukan pemeriksaan bedah jenazah
(Atmadja 2004)
Kesimpulannya, seorang dokter memerlukan surat permintaan Visum et Repertum dari
penyidik untuk membuat bedah mayat. Persetujuan dari keluarga jenazah didapatkan oleh
penyidik dan apabila penyidik berhalangan, dokter yang akan membuat visum bisa
mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga korban.

2.3.3 Visum et repertum barang bukti


Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam
tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Syamsuddin. 2011)
Visum et Repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang
ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani,
selongsong peluru, pisau
Barang bukti walaupun secara yuridis formal tidak termasuk sebagai alat bukti yang
sah, tetapi dalam praktek hukum atau peradilan dapat berubah fungsi sebagai alat bukti
yang sah. Berdasarkan pasal 181 KUHAP, bahwa dalam proses pidana, kehadiran barang
bukti dalam persidangan sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan
kebenaran materiil atas perkara yang ditangani (Syamsuddin..2011)
Barang bukti diperoleh penyidik sebagai instansi pertama dalam proses peradilan.
Barang bukti dapat diperoleh penyidik melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Pemeriksaan TKP
b. Penggeledahan
c. Diserahkan langsung oleh saksi pelapor atau tersangka
d. Diambil dari pihak ketiga
e. Barang temuan
Dalam proses persidangan di pengadilan, barang bukti akan diperlihatkan guna
memperjelas perkara pidana yang sedang diperiksa oleh hakim. Barang bukti mempunyai
kekuatan hukum yang berkaitan dengan proses pemeriksaan di pengadilan dalam rangka
pembuktian. Barang bukti dapat memperkuat dakwaan penuntut umum terhadap tindak
pidana yang dilakukan terdakwa. Barang bukti juga dapat menguatkan keyakinan hakim
atas kesalahan terdakwa.
Terhadap benda atau barang bukti yang tersangkut dalam tindak pidana, guna
kepentingan penyelidikan, penuntutan, dan pembuktian sidang pengadilan, maka untuk
sementara penyidik dapat melakukan penyitaan. Hukum acara pidana memberikan
kewenangan terhadap penyidik untuk melakukan penyitaaan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam undang-undang
Tindakan penyitaan dilakukan berdasarkan laporan polisi, berita acara pemeriksaan di
TKP, laporan hasil penyidikan, berita acara pemeriksaan saksi, berita acara pemeriksaan
tersangka, dimana penyidik memperoleh keterangan tentang adanya benda atau benda-
benda lain yang dapat dan perlu disita guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pembuktian yang bersangkutan di sidang pengadilan.
Dalam pengaturannya, penyidik dalam melakukan penyitaan sifatnya dibatasi, yakni
harus ada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (PasaL 38 ayat (1) KUHAP).
Pasal 38 KUHAP berbunyi:
1) Penyitaan hanya dapat dilakukan penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan
Negeri setempat
2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1) Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat guna memperoleh persetujuan.
Menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP, benda yang dapat dilakukan penyitaan antara lain:
1) Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana.
3) Benda yang dipergunakan untuk menghalng-halangi penyidikan tindak pidana.
4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Sebelum melakukan tindakan penyitaan terhadap barang bukti, penyidik harus
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan tergantung pada situasi dan kondisi
peristiwa pidana, yakni sebagai berikut:
1) Mengajukan surat permintaan izin Ketua Pengadlan Negeri setempat, hal ini
dilakukan penyidik khusus dalam hal atau keadaan tidak mendesak.
2) Membuat surat perintah penyitaan, dalam hal tidak mendesak surat perintah
penyitaan dibuat setelah mendapat izin penyitaan. Sedangkan dalam keadaan
mendesak dan harus segera dilakukan tindakan, makan penyidik dapat mebuat
surat perintah penyitaan tanpa terlebih fshulu mrngajukan izin dari Ketua
Pengadilan negeri.
3) Petugas, peralatan dan perlengkapan. Hal ini untuk memperlancar pelaksanaan
penyitaan benda bukti oleh penyidik.
4) Menentukan atau memperkirakan nama, jenis, sifat, kemasan, jumlah barang
bukti yang akan disita. Hal ini tergantung pada kasus tindak pidana yang dihadapi
oleh penyidik.

2.3.4 Visum et repertum exhumatio


Ekshumasio atau penggalian mayat adalah pemeriksaan terhadap mayat yang sudah
dikuburkan dari dalam kuburannya yang telah disahkan oleh hokum untuk membantu
peradilan. Pada umunya penggalian mayat dilakukan kembali karena adanya kecurigaan
bahwa mayat mati secara tidak wajar, adanya laporan yang terlambat terhadap terjadinya
pembunuhan yang disampaikan kepada penyidik atau adanya anggapan bahwa
pemeriksaan mayat yang telah dilakukan sebelumnya tidak akurat (Amir, 2007).
Tujuan dari visum et repertum exhumatio adalah untuk membantu mengumpulkan
jejas-jejas yang ada pada jenazah atau kelainan-kelainan yang ada pada jenazah atau
pakaiannya (Amir, 2007).Indikasi dilakukan penggalian mayat atau ekshumasi adalah
sebagai berikut (Solichin, 2008)
a. Terdakwa telah mengaku dia telah membunuh seseorang dan telah menguburnya
di suatu tempat.
b. Jenazah setelah dikubur beberapa hari baru kemudian ada kecurigaan bahwa
jenazah meninggal secara tidak wajar.
c. Atas permintaan hakim untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap jenazah
yang telah dilakukan pemeriksaan dokter untuk membuat visum et repertum.
d. Pada kasus kriminal untuk menentukan penyebab kematian yang diragukan,
misalnya pada kasus pembunuhan, yang ditutupi seakan bunuh diri.
Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Ekshumasi
- Persiapan penggalian kuburan termasuk kendaraan, perlengkapan untuk
melakukan penggalian misalnya cangkul, ganco, linggis, secrop dan
perlengkapan untuk melakukan otopsi, yaitu pisau dapur, scalpel, gunting, inset,
gergaji, jarum karung goni, benang, timbangan berat, penggaris, ember.
- Waktu yang baik
Bila mayat masih baru maka dilakukan secepat mungkin sedangkan bila
mayat sudah lama atau lebih dari satu bulan dapat dicari waktu yang tepat untk
menggalian.
Waktu penggalian dilakukan pada pagi hari untuk mendapatkan cahaya yang
cukup terang, udara masih segar, matahari belum terlalu terik dan untuk
menghindari kerumunan masyarakat yang sering mengganggu pemeriksaan.bila
tidak memungkinkan dilakukan pada pagi hari, pemeriksaan dilakukan pada
siang hari dengan cuaca yang baik. Penggalian saat sore hari sebiknya dihindari.
- Kehadiran petugas
- Keamanan, yaitu penyidik harus mengamankan tempat penggalian dari
kerumunan massa.
- Pemeriksaan mayat
Pemeriksaan mayat sebaiknya dilakukan ditempat penggalian agar
mempermudah penguburan kembali selain karenamengingat adanya masalah
transportasi dan waktu. Akan tetapi pmeriksaan di kamar mayat lebih baik karena
dapat dilakukan dengan tenang tanpa harus ditonton oleh masyarakat banyak
dan lebih teliti (Amir, 2007).

Prosedur Ekshumasi
- Permintaan secara tertulis oleh penyidik, disertai permintaan untuk otopsi.
- Penyidik harus memberikan keterangan tentang modus dan identifikasi korban
sehingga dokter dapat mempersiapkan diri.
- Yang harus diperhatikan dalam identitas korban adalah :
a. Jenis kelamin
b. Tinggi badan
c. Umur korban
d. Pakaian, perhiasan yang menempel pada tubuh korban
e. Sidik jari
f. Tanda-tanda yang ada pada tubuh korban :
Warna dan bentuk rambut serta panjangnya
Bentuk dan susunan gigi
Adanya cacat pada tubuh korban
- Label identitas diikat erat pada ibu jari atau gelang tangan dan kaki (Amir, 2007).
Jika ada kecurigaan tertentu, sampel tanah harus diambil pada permukaan kuburan,
bagian di sekitar makam dan tanah di atas peti mayat. Saat peti telah dipindahkan, ahli
forensik akan mengambil sampel tanah dari pinggir dan bawah peti mayat. Saat ada
kevurigaan atau diduga tindak kriminal, rekaman gambar pada setiap bagian identifikasi
dimakamkan harus diambil untuk menemukan bukti-bukti selama otopsi (Amir, 2007).
Jika dicurigai diracun, perlengkapan peti mati dan benda yang hilang seperti cairan
harus dianalisis. Mayat dipindahkan dilucuti pakaian dan dilakukan otopsi sesuai kondisi
pada tubuh. Sebelum mayat dikubur kembali harus dipastikan apakah bahan-bahan yang
diperlukan sudah cukup untuk menghindari penggalian ulang (Amir, 2007).
Identifikasi kuburan harus dilakukan dengan perencanaan dan dicatat segala
sesuatunya atas ijin petugas pemakaman dan pihak yang berwenang. Prosedur penggalian
mayat di atur dalam KUHAP dan memerlukan surat permintaan pemeriksaan dari penyidik
(Amir, 2007).

KUHAP Pasal 135


1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 2 dan
pasal 134 ayat 1 undang-undang ini.
2. Dalam penjelasan pasal 135 KUHAP ini lebih lanjut disebut : yang dimaksud dengan
penggalian mayat termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan
penguburan (Amir, 2007).
KUHAP Pasal 133 ayat 2
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat (Amir, 2007).
KUHAP Pasal 134 ayat 1
1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban.
2. Mengenai biaya untuk kepentingan penggalian mayat, bila merujuk ke dalam
ketentuan hukum KUHP dinyatakan ditanggung oleh Negara, walaupun dalam
pelaksanaannya ada ketegasan dan kejelasan (Amir, 2007).
KUHAP Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam bagian kedua BAB XIV ditanggung oleh Negara (Amir, 2007).
KUHAP Pasal 7 ayat 1 h
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara.
KUHAP Pasal 180
1. Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
2. Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hokum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2).
KUHP Pasal 222
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan dihukum dengan penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus ribu rupiah (Amir, 2007).

2.3.5 Visum et repertum TKP


Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti dan/atau
tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian
(Dagnan, 2005). Lokasi-lokasi yang dapat digolongkan sebagai TKP adalah :
a. Tempat dimana korban ditemukan
b. Tempat dimana tubuh korban dipindahkan
c. Tempat dimana telah terjadi serangan yang mengakibatkan kematian korban
d. Tempat-tempat dimana ditemukan barang bukti yang ada hubungannya engan
kejahatan (bagian dari tubuh manusia, kendaraan yang dipakai untuk mengangkut
korban, dan lain-lainnya).
Tempat lain yang perlu dan bahkan sering banyak memberikan informasi serta barang
bukti adalah rumah kediaman tersangka (Ballou, 2013).
1. Tujuan
- Menentukan saat kematian
- Menentukan cara kematian
- Menentukan sebab akibat luka (karena benda tumpul, benda tajam, tembakan)
- Mengumpulkan barang bukti
2. Tata Cara Pengolahan TKP
Pengolahan TKP merupakan rangkaian penyelidikan dimana penyidik bersama
dengan unsure dukungan beberapa pihak berupaya mengungkapkan peristiwa yang
telah terjadi dari bukti-bukti yang didapatkan di TKP (Ballou, 2013).
Pengolahan TKP ini terdiri dari pengamatan umum, membuat sketsa dan
pemotretan, penanganan korban, saksi dan tersangka, serta pengumpulan barang
bukti.
Pengamatan Umum
Pengamatan umum ini paling penting, karena pada tahap ini penyidik mendapat
kesempatan untuk berpikir dan tidak emosional (Ballou, 2013). Pemeriksaan dilakukan
untuk meyakinkan bahwa teori dari kasus yang sedang dihadapi sesuai dengan
pengamatan penyidik. Pemeriksaan TKP dilakukan untuk mengidentifikasi barang
bukti yang memungkinkan, awal dan akhir dari kasus, dan mendapatkan gambaran
umu dari TKP (Miller, 2012).

BAB 3
PEMBAHASAN

Informed consent adalah hal yang sangat vital dalam bidang kedokteran. Dalam
istilah bahasa Indonesia, Informed consent adalah persetujuan tindakan medis ang terdiri
dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent
berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed consent dapat diartikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik
yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut
(Sampurna,2006)
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29 Tahun
2004, persetujuan Tindakan Medik adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya (PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008).

Informed consent dibuat bukan tanpa adanya dasar hukum. Informed consent atau
persetujuan tindakan kedokteran telah diatur dalam pasal 45 Undang-undang no.29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran. Informed consent ini dibuat agar Dokter dan pasien bisa
terlindungi secara Hukum. Namun apabila ada terdapat perbuatan diluar peraturan yang
sudah dibuat, tentu saja hal ini dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum.
pelanggaran Informed consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan
tindakan tanpa Informed consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik. Adapun fungsi dan tujuan dibentuknya
informed consent adalah sebagai berikut :
Fungsi dari Informed consent adalah:
1. Promosi dari hak otonomi perorangan
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik (Sampurna,
2003).
Tujuan dari Informed consent adalah :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ). Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351
( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes /
PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ).
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh
yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ) (Sampurna, 2003).
Otopsi merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan untuk menemukan proses penyakit dan
atau adanya cedera, melakukan interpretasi pada penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-
kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer,2000). Pembagian otopsi
dibagi menjadi 3 yaitu otopsi klinik, otopsi anatomis, otopsi forensik atau medikolegal dan
yang paling sering menggunakan informed consent adalah tindakan otopsi forensik atau
medikolegal. Hal ini dilakukan karena tindakan otopsi memiliki dasar Hukum yang diatur oleh
perundang-undangan. Pelaksanaan tindakan autopsi di Indonesia seringkali mengalami
kesulitan, tindakan autopsi ini merupakan tindakan bedah jenazah yang kontroversial dan
banyak mendapatkan kendala dari keluarga korban. Namun di Indonesia, pelaksanaan
autopsi forensik bukan merupakan suatu keharusan bagi semua kematian, tetapi apabila
sekali diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak ada lagi yang boleh
menghalangi pelaksanaannya dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekat.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam
membantu peradilan (Hamdani, 2000) :
Pasal 133 KUHAP :
Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg
memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP:
Ayat 1
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
Ayat 2
Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
Ayat 3
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Pasal 179 KUHAP:


Ayat 1
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Ayat 2
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.

BAB 4
KESIMPULAN

Dari penjelasan pada pembahasan yang telah diulas oleh penulis maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA

Algozi, A.M. 2010. Rahasia Kedokteran. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran. UNAIR. https://mazhoinside.files.wordpress.com /2010/04/rhs-
kedokteran.pdf. Diakses 20 Februari 2017. Jam 20.30.
Chadha, PV. 1995. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi.Edisi Kelima.
Jakarta: Cahaya Ilmu.
Fitantra, Johny Bayu. 2014 Peranan Ilmu Kedokteran dalam Hukum dan Keadilan.
www.medicinesia.com. Diakses tanggal 20 Februari 2017

Guwandi, J. 1992. Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta :FKUI


Hamdani, Njowito. Autopsi. 2000. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Idries, AM. 1997. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi
Pertama. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kotabagi, Lt Col RB, Lt Col SC Charati, Maj D Jayachandar. 2005. Clinical Autopsy vs
Medicolegal Autopsy. MJAFI.p: 258-263
KUHP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 112 dalam Kejahatan terhadap
Keamanan Negara. http://id.tongkataliingredients.com/undang-undang/kuhp/penal
code keamanan neg.htm. Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.23.
KUHP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 113 dalam Kejahatan terhadap
Keamanan Negara. http://id.tongkataliingredients.com/undang-undang/kuhp/penal
code keamanan neg.htm. Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.23.
KUHP. Kitab Undang-Undang Perdata pasal 1365 dalam Perikatan yang Lahir Karena
Undang-Undang. http://id.tongkatali- ingredients.com /undang-undang / perdata /
karena.htm. Diakses Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.40.
KUHP. Kitab Undang-Undang Perdata pasal 1366 dalam Perikatan yang Lahir Karena
Undang-Undang. http://id.tongkatali- ingredients.com /undang-undang / perdata /
karena.htm. Diakses Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.40.
KUHP. Kitab Undang-Undang Perdata pasal 1367 dalam Perikatan yang Lahir Karena
Undang-Undang. http://id.tongkatali- ingredients.com /undang-undang / perdata /
karena.htm. Diakses Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.40.
Kusuma, SE., dan Yudianto, A. 2012 Identifikasi Medikolegal dalam Buku Ajar Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Ed 8. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik FK
Unair.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
Jakarta, 2002
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius.
Permenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012
Tentang Rahasia Kedokteran, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 915.
PP. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran, Pasal 1.
PP. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1960 Tentang Lafal Sumpah
Dokter atas Kode Etik Kedokteran Indonesia, dalam penjelasan dan pedoman
pelaksanaan (Depok: Rona Pancaran Ilmu), hal 21.
Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka
Dwipar, 2003.
Soerjono Soekanto. 1998. Aspek Hukum Kesehatan (Kumpulan Catatan). Jakarta : Ind-Hill
CO.
Supriadi, Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju
UU. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dalam
Undang-Undang Praktik Kedokteran, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2012), hal 25.
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 48.
http://hukum. unsrat.ac.id/uu/uu_29_04.htm. Diakses 20 Februari 2017. Jam 17.51

Anda mungkin juga menyukai