Autopsy
Otopsimengacu pada pemeriksaan sistematis terhadap orang mati untuk tujuan medis, hukum
dan/atau ilmiah.
2. Patologis, rumah sakit atau klinis: Dilakukan oleh ahli patologi untuk mendiagnosis penyebab
kematian atau untuk memastikan diagnosis. Dokter tidak dapat memerintahkan otopsi ini tanpa
persetujuan yang ditandatangani oleh keluarga terdekat.
3. Medico-legal: Jenis pemeriksaan ilmiah terhadap jenazah yang dilakukan berdasarkan hukum
Negara untuk melindungi hak-hak warga negara. Tujuan dasar otopsi ini adalah untuk
mengetahui penyebab dan cara kematian.
1. Autopsi Klinik
Jenis Autopsi ini dilakukan di rumah sakit dengan persetujuan keluarga terdekat
jenazah. Tujuanya tidak hanya untuk menemukan kelainan-kelainan, penyebab
kelainan, hubunganya dengan gejala-gejala klinik maupun sebab kematian dari
jenazah, tetapi juga untuk menentukan kebenaran- kebenaran maupun kesalahan-
kesalahan dokter dalam mendiagnosa penyakit maupun dalam memberikan
pengobatan. Jenis autopsi ini dilakukan oleh dokter ahli ilmu urai dalam sakit
(Patologi Anatomi) yang mempunyai keahlian khusus untuk hal tersebut. Biasanya
yang meminta jenis autopsi ini adalah pihak keluarga dari jenazah untuk mengetahui
sebab kematian dari jenazah.
2. Autopsi Anatomis
Jenis autopsi ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk mem- pelajari
susunan alat-alat dan jaringan tubuh manusia dalam keadaan sehat. Jenis autopsi ini
dilakukan dalam bangsal anatomi di bawah pengawasan dari dokter ahli anatomi.
3. Autopsi Kehakiman
Autopsi ini adalah autopsi atas permintaan dari pihak yang berwajib
(Kepolisian/Penyidik). Penyidik akan meminta dilakukanya autopsi dengan terlebih
dahulu memberikan suatu permintaan yang disebut surat permintaan Visum et
Repertum (V.e.R) atas jenazah.
Pelaksanaan proses autopsi tidak boleh sembarangan dan harus ada permintaan surat Visum et
Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian (penyidik) dan surat persetujuan dari keluarga korban
yang bempa informed consent agar proses autopsi bisa dilakukan terhadap jenazah.
A. Sayatan vertikal tunggal dibuat dari bawah dagu (biasanya di bagian menonjol tulang rawan
tiroid).
B. Sayatan Y yang memberikan paparan yang baik pada daerah leher dimulai dari medial ke
setiap bahu dan bertemu di bagian atas
C. Sayatan subklavikula (berbentuk T) dimulai dari ujung kedua bahu dalam garis horizontal
melintasi
D. Sayatan kepala berada di belakang ubun-ubun dan telinga serta meluas ke kedua sisi leher.
Pada a, b, dan c potongan meluas hingga ke daerah suprapubik (membuat deviasi ke kedua sisi
umbilikus).
Jenis sayatan untuk membuka badan (batang tubuh) pada pemeriksaan postmortem: (i) sayatan
garis tengah standar—lurus dari bawah dagu hingga pubis, (ii) Bentuk V dari mastoid hingga
takik suprasternal lalu lurus hingga pubis dan (iii) bahu ke manubrium sterni dan kemudian lurus
ke pubis.
Prosedur Otopsi
Prosedurnya bervariasi dan bergantung pada keterampilan dan pengalaman ahli forensik.
Ini adalah bagian terpenting dari prosedur otopsi medikolegal karena sebagian besar informasi
yang dikumpulkan pada tahap ini selalu dapat banyak membantu dalam mengungkap kematian
paling misterius. Ini termasuk
pemeriksaan:
• Pakaian
• Noda lumpur, darah, urine, feses, dll.
• Identitas
• Lubang tubuh
• Kuku jari tangan/kaki
• Cedera/intervensi bedah
• Rigor mortis
• Pewarnaan postmortem
• Dekomposisi/perubahan lainnya.
Pemeriksaan Internal
Hal ini meliputi pembedahan dan pemeriksaan terhadap tiga badan besar tersebut
• Tengkorak/rongga tengkorak
• Rongga dada
• Rongga perut.
Otopsi tidak akan selesai sampai seluruh bagian tubuh dibedah dan diperiksa secara rinci.
Di sini rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu, kemudian sumsum tulang belakang, disusul
organ dada, leher rahim, dan perut secara berurutan.
2. Teknik C Rokitansky: Teknik ini ditandai dengan diseksi ‘in situ’, yang sebagian
dikombinasikan dengan pengangkatan blok organ.
3. Teknik A Ghon: Organ dada dan leher rahim, organ perut, dan sistem urogenital diangkat atau
organ diblok (pengangkatan 'en bloc').
4. Teknik M Letulle: Ogan serviks, toraks, perut, dan panggul diangkat sebagai satu massa organ
(pengangkatan 'secara massal') dan kemudian dibedah menjadi blok organ.
• Tergantung pada jenis kasusnya, salah satu rongga tubuh dapat dibuka terlebih dahulu. Tabel
14.2 memberikan gambaran rongga mana yang harus dibuka terlebih dahulu, bergantung pada
jenis kasusnya.
• Atur pemeriksaan histopatologi, analisis kimia, dll sesuai kebutuhan, terutama bila penyebab
kematian tidak jelas.
Visum
Visum et repertum adalah alat bukti yang sah. Visum adalah laporan ahli mengenai pemeriksaan
terhadap korban.
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi)
penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati
ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan
untuk kepentingan peradilan.
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184
KUHP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana
terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medis yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya
dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Jenis-jenis visum :
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk
kepentingan peradilan VeR digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut:
1. Visum et Repertum tempat kejadian perkara Visum ini dibuat setelah dokter selesai
melaksanakan pemeriksaan TKP.
2. Visum et Repertum penggalian jenazah Visum ini dibuat setelah dokter selesai
melaksanakan penggalian jenazah.
3. Visum et Repertum psikiatri Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di
sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
4. Visum et Repertum barang bukti Misalnya visum terhadap barang bukti yang
ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak
mani, selongsong peluru, pisau.
1. Penyidik
Dalam hal ini adalah penyidik Polri dengan pangkat serendah-rendahnya adalah Bripda.
Di daerah terpencil untuk jenjang kepangkatan ini bisa lebih rendah asal yang
bersangkutan bertugas sebagai penyidik.
2. Hakim Pidana
Hakim Pidana biasanya tidak langsung meminta Visum et Repertum (V.e.R) pada dokter,
tetapi memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan- nya
dengan Visum et Repertum (V.e.R). Misalnya terhadap terdakwa yang pada persidangan
menunjukkan gejala-gejala kelainan jiwa.
3. Hakim Perdata
Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim perdata meminta
Visum et Repertum (V.e.R) langsung kepada dokter. Misalnya sidang mengenai
pergantian kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya.
Dalam dunia medis proses kematian terjadi karena dua hal yaitu :
a. Meninggal secara wajar, pasien meninggal karena proses sakit yang dideritanya, misalnya
seperti meninggal karena penyakit jantung, diabetes, ginjal dan sebagainya;
b. Meninggal secara tidak wajar, biasanya proses kematian karena adanya unsur paksaan
misalnya seperti pembunuhan, bunuh diri, atau meninggal karena kecelakaan.
2.6 Death of Certificate
Pencatatan Kematian
1. Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.
2. Berdasarkan laporan dimaksud pejabat pencatatan sipil mencatat pada register Akta
Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian.
3. Pencatatan kematian dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang
berwenang.
4. Dalam hal terjadi ketidak jelasan keberadaan seseorang karena hilang/mati tetapi tidak
ditemukan jenazahnya pencatatan oleh pejabat pencatatan sipil baru dilakukan setelah
adanya penetapan pengadilan.
5. Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, instansi pelaksana
melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian.
Dasar Hukum
Persyaratan