Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh jenazah secara menyeluruh,
meliputi pemeriksaan terhadap tubuh bagian luar maupun bagian dalam serta
pemeriksaan tambahan lainnya. Otopsi bertujuan untuk menemukan adanya
cedera atau proses penyakit yang menjadi sebab kematian. 1, 2 Seluruh pemeriksaan
dan interpretasi dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten.2
Sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1302 di Bologna, otopsi terus
mengalami perkembangan. Awalnya, otopsi hanya dilakukan untuk membantu
memecahkan masalah-masalah hukum. Saat ini, otopsi juga digunakan untuk
tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, serta
pendidikan calon dokter dan tenaga kesehatan lainnya.1, 2
Pelaksanaan otopsi di Indonesia pada kenyataannya tidak semudah yang
dibayangkan. Agama tertentu meyakini bahwa tubuh seorang jenazah harus
dihormati dan diperlakukan seperti seseorang yang masih hidup. 3, 4
Pandangan
agama dan kepercayaan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat untuk menolak
dilakukannya suatu otopsi. Penolakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini
juga terjadi di beberapa negara maju yang memiliki budaya dan adat istiadat yang
berbeda. Terjadi penurunan angka yang signifikan terhadap jumlah jenazah yang
diotopsi secara konvensional di seluruh dunia selama lebih dari 50 tahun. 5
National Center for Health Statistics (NCHS) menyebutkan bahwa angka
pelaksanaan otopsi di Amerika menurun dari 19,1% pada tahun 1972 menjadi
8,5% pada tahun 2007.6 Sedangkan di Indonesia, terjadi penurunan dari 44,6%
pada tahun 2000 menjadi 36% pada tahun 2010 di RSCM Jakarta. 7 Di Australia,
angka pelaksanaannya menurun sekitar 50% selama 1992-2003.8 Alasan
penolakan yang dikemukakan dari pihak keluarga tidak jauh berbeda dengan yang
terjadi di Indonesia. Di sisi lain, dokter yang melakukan otopsi juga mempunyai
alasan tersendiri untuk menghindari otopsi. Dokter merasa tidak nyaman saat
meminta persetujuan kepada keluarga, malas mengikuti proses kepolisian, jenazah
tidak dapat segera diserahkan kepada pihak keluarga, risiko penularan kuman
patogen dan ketakutan akan tuntutan malpraktik juga menjadi bahan pertimbangan
dokter dalam melakukan otopsi.7, 9
Perkembangan teknologi yang semakin pesat terutama di negara-negara
maju menghadirkan suatu solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Salah
satu solusi yang ditawarkan adalah otopsi virtual. Berbeda halnya dengan
otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak memerlukan diseksi
(pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik
canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ- organ dalam. Dengan
menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara komplit
keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan
ukuran luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan
didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini
menjadi solusi untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi
konvensional.10
Penggunaan otopsi virtual di Indonesia masih sangat terbatas. Pembahasan
mengenai topik tersebut juga masih sangat jarang. Penulisan referat ini diharapkan
dapat memberikan informasi lebih jelas mengenai penggunaan otopsi virtual di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah pengertian otopsi virtual?
1.2.2. Apakah keuntungan dan kerugian otopsi virtual?
1.2.3. Bagaimanakah dasar hukum otopsi virtual di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan
pengetahuan mengenai otopsi virtual kepada tenaga medis khususnya
dokter dan calon dokter
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian otopsi virtual.
2. Mengetahui keuntungan dan kerugian otopsi virtual.
3. Mengetahui dasar hukum otopsi virtual di Indonesia.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi penulis:
1. Menambah pengetahuan mengenai otopsi virtual
2. Menambah keterampilan dalam menulis karya ilmiah
1.4.2 Manfaat bagi pembaca:
1. Menjadi sumber bacaan dan bahan acuan untuk referensi penelitian
2. Memperkenalkan dan menambah pengetahuan mengenai otopsi
virtual
3. Memberikan informasi lebih lan jut agar aplikasi klinis dari otopsi
virtual dapat dipergunakan lebih luas.
4. Meningkatkan minat pembaca untuk memanfaatkan penggunaan
teknologi biang kedokteran forensik .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otopsi
2.1.1 Definisi Otopsi
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang
meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan
tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan
interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan
penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara
kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.1, 2, 11
2.1.2 Sejarah Otopsi
Ahli anatomi dan patologi zaman dahulu adalah pemburu,
penjual daging, dan koki yang harus mengenali organ-organ dan
menentukan organ tersebut dapat digunakan atau tidak. Di zaman
Babylonia kuno, sekitar 3500 SM, pelaksanaan otopsi pada hewan
bertujuan untuk kepentigan mistik seperti memprediksi masa depan
dengan berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Pembedahan manusia
pertama kali dilakukan satu abad setelah kematian Hippocrates oleh
Herophilos (335-280 SM) dan Erasistratos (304-250 SM). Sebuah
perubahan penting terjadi pada tahun 1209 ketika Paus Innocentius III
menyatakan bahwa dalam kasus kematian yang tidak dapat dijelaskan,
penyebab kematian harus diselidiki oleh dokter yang berpengalaman.12,
13

Sikap umum masyarakat sebelum abad ke-17 terhadap otopsi


tubuh manusia adalah negatif. Pada akhir tahun 1302, Fakultas Hukum
Universitas Bologna memerintahkan otopsi untuk membantu
memecahkan masalah-masalah hukum (otopsi medikolegal). Pada
akhir tahun 1400, Paus Sixtus IV mengeluarkan aturan yang
mengizinkan pembedahan tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran
untuk pendidikan. Sebelum aturan dari pemimpin agama tersebut
dikeluarkan, pembedahan tubuh manusia termasuk tindakan
kejahatan.2,12,13
Pada tahun 1500, otopsi secara umum diterima oleh Gereja
Katolik, sehingga pemeriksaan terhadap anatomi tubuh manusia dapat
dilakukan secara sistemik. Beberapa ahli seperti Vesalius (1514-1564),
Pare (1510-1590), Lancisi (1654-1720), dan Boerheave (1668-1771)
berperan besar dalam perkembangan otopsi. Giovanni Bathista
Morgagni (1682-1771) dianggap ahli otopsi pertama terhebat. Selama
observasinya selama 60 tahun, Morgagni menegaskan hubungan antara
penemuan patologi dengan gejala klinis. Hal ini menunjukkan bahwa
otopsi berperan dalam ilmu kedokteran untuk memahami penyakit. Di
Jerman, seorang ahli patologi Rudolph Virchow (1821-1902)
mempertimbangkan pemeriksaan mikroskopis sebagai pelengkap
pemeriksaan otopsinya. Virchow mengembangkan doktrin yang
menyatakan keadaan patologi seluler adalah dasar penyakit. Virchow
dapat dianggap sebagai ahli biologi molekular pertama. Di bawah
kepemimpinan Virchow, Berlin menggantikan Vienna sebagai pusat
utama pendidikan kedokteran.11, 13
2.1.3 Klasifikasi Otopsi
Berdasarkan tujuannya, otopsi diklasifikasikan menjadi1, 2, 11:
1. Otopsi anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas
kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit
yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman
tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium
anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan
untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat
dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya
menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada
kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas
kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935.
2. Otopsi klinik, dilakukan untuk menentukan penyebab kematian yang pasti,
menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,
patogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan
persetujuan tertulis ahli waris.
3. Otopsi forensik/medikolegal, dilakukan terhadap mayat yang diduga
meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan,
pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan
penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara.
Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
o Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau
belum jelas.
o Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian,
dan saat kematian.
o Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
o Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum.
2.1.4 Dasar Hukum Otopsi
Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga jenis
yaitu otopsi klinik, otopsi anatomi dan otopsi medikolegal. Masing-masing
jenis otopsi tersebut diatur oleh aturan perundang-undangan dalam
pelaksanaannya. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh UU RI nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor
18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan pelaksanaan otopsi
klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu hidup misal
dalam surat wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal dunia.
Namun dalam keadaan tertentu otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien
menderita suatu keadaan yang membahayakan orang lain misal penyakit
baru yang mematikan. Tempat dilakukan otopsi klinik hanya boleh
dilakukan di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk itu, dan
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
(Dokter Spesialis Forensik).Sebaiknya otopsi klinik dilakukan secara
lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga otopsi
parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada
kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat.
Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI
nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan
Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan untuk pendidikan calon dokter
serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis.
Syarat-syarat tersebut adalah adanya persetujuan dari pasien atau keluarga
jenazah, dilakukan oleh mahasiswa kedokteran atau tenaga kesehatan di
bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia), tempat
pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas
Kedokteran.
Otopsi medikolegal atau otopsi forensik dilakukan untuk mengetahui
sebab kematian, identifikasi korban, mengumpulkan bukti medis dan
mencari adanya penyakit yang dapat memberikan kontribusi pada kematian.
Dasar hukum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah UU RI nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134,
KUHP pasal 222 serta Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975.
Pelaksanaan otopsi medikolegal ini harus berdasarkan permintaan tertulis
dari penyidik sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 133 KUHAP.
Dalam hal persetujuan dari keluarga berdasarkan KUHAP pasal 134
keluarga tidak mempunyai hak menolak namun mempunyai hak untuk
diberitahu. Namun undang-undang memberikan kesempatan pada keluarga
untuk berunding, bila tidak ada tanggapan setelah dua hari dari
pemberitahuan, maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan
otopsi sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam pasal 133 ayat 3
KUHAP.
UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan
dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis
keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan
persetujuan.
Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik
dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di
institusi pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus
oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya
atau persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan,
dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-
kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanyadapat dilakukan
oleh dokter sesuai dengan keahlian dankewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis danbedah mayat
anatomis ditemukan adanya dugaan tindakpidana, tenaga kesehatan wajib
melaporkan kepadapenyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat
forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli
forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak
dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya
pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik
diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau
Jaringan Tubuh Manusia
Pasal 2
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut :
a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat
setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat
ditentukan dengan pasti;
b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di duga
penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat
sekitarnya;
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam
jangka waktu 2 x 24 (dua kaii duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat
dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.
Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan data rumah sakit yang disediakan
untuk keperluan itu.
Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 5
Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit
dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
a dan c.
Pasal 6
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu
fakultas kedokteran.
Pasal 7
Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana
kedokteran di bawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai.
Pasal 8
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis
dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pasal 222
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara
Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum
Pasal 3
Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali
tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan
pemeriksaan luar saja.
Pasal 6
Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka
adalah kewajiban petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasive
memberikan penjelasan tentang perlunya dan pentingnya otopsi untuk
kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP.
2.2 Otopsi Virtual
Otopsi virtual adalah suatu teknik otopsi dengan melakukan
pencitraan postmortem, dalam versi tiga dimensi menggunakan Computed
Tomography (CT) scan dan teknik-teknik Direct Volume Rendering (DVR).23,
24
Teknik pencitraan postmortem sebenarnya bukan merupakan hal baru di
bidang kedokteran forensik. Pencitraan postmortem sudah mulai
diperkenalkan pada tahun 1898. Pada tahun 1977, Wullenweber et al
melaporkan penggunaan CT scan untuk mendeskripsikan pola radiografik
luka tembak kepala. Flodmark et al pada tahun 1980 melakukan sebuah studi
komparasi antara penemuan hasil otopsi konvensional dan hasil penggunaan
CT scan pada kasus asfiksia perinatal.25 Pada tahun 1990 sudah mulai
digunakan radiografi tiga dimensi dalam pemeriksaan post mortem9, 25 Pada
tahun 2000, Prof. Richard Dirnhofer memulai sebuah penelitian mengenai
otopsi virtual (Virtopsy® Project) di Universitas Zurich, Swiss.25
Ada beberapa alasan yang mendasari peningkatan minat dan
ketertarikan pada otopsi virtual. Otopsi virtual dapat melengkapi standar
otopsi yang memungkinkan pemeriksaan yang luas dan sistematis terhadap
seluruh tubuh. Hal tersebut umumnya sulit dan memakan waktu, misalnya
pemeriksaan struktur seluruh tulang atau mencari keberadaan air dalam
tubuh. Otopsi virtual dengan menggunakan Multi Detector Computed
Tomography (MDCT), dapat mengambil hingga 8000 gambar. Beberapa studi
menunjukkan potensi besar pencitraan postmortem dalam penyelidikan
forensik. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan
prosedur dan protokol pelaksanaan otopsi virtual sehingga dapat dipakai
secara luas.26, 27
2.3 Teknik Otopsi Virtual
Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak
memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan
alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-
organ dalam.10 Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-
rongga badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunaan
teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh
dalam tiga dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran
luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan
didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini
diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi
konvensional.10
Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian
canggih yang saling melengkapi yaitu:
1. Multi-slice computed tomography (MSCT)
Sebelum ditemukannya MSCT, teknologi CT yang digunakan
adalah single slice CT di mana hanya satu baris detector array. Dengan
MSCT, jumlah detector array yang digunakan lebih banyak dan data yang
diakuisisi menjadi lebih besar. Keuntungan utama MSCT adalah dapat
melakukan scan dalam bidang yang luas dan secara bersamaan
menghasilkan potongan tipis dan tebal dengan waktu akuisisi yang lebih
pendek. Data potongan tipis penting untuk menghasilkan rekonstruksi
multiplanar, maximum intensity projection (MIP) dan rekonstruksi tiga
dimensi. CT angiografi, CT cardiac, high resolution CT (HRCT) menjadi
berkembang sejak ditemukannya MSCT.28
Rekonstruksi tiga dimensi (3D) adalah salah satu keunggulan
MSCT dan hasilnya berpotensi membantu investigasi polisi. Misalnya
pada kasus kecelakaan lalu lintas, rekonstruksi 3D dari jenazah dapat
dibandingkan dengan kondisi kendaraan pasca kecelakaan untuk
memetakan proses kejadian dan mencari penyebab kematian korban.
Secara umum, MSCT baik digunakan untuk kasus trauma, yaitu
mendeteksi fraktur, kelainan pada tulang, benda asing, dan adanya udara.
MSCT juga baik digunakan pada kasus cedera kepala dan luka tembak.28
Gambar 1. (a) Bagian CT dari luka tembak ini menunjukkan fragmen tulang dan peluru
pada jalur luka (panah). (b) Tampilan anterior kanan dari CT scan 3D kepala
menunjukkan lubang luka tembak masuk. (c) Tampilan posterior kiri
menunjukkan luka tembak keluar.29
2. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memvisualisasikan tubuh bagian dalam sehingga dapat
diperiksa secara detail setiap potongan bagian tubuh.10, 23, 30 MRI merupakan
pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk cedera jaringan lunak, trauma
neurologis/non neurologis, kontusio, dan hematom. 25 Selain itu, dengan
menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan
melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak.10
3. 3D Virtual Autopsy Table
Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh
The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa
untuk merepresentasikan tubuh jenazah secara virtual dengan sangat rinci dari
berbagai sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah yang dimasukkan ke
dalam program The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table, pemeriksa dapat
menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah atau
menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan
memperkecil, serta memotong bagian-bagian tubuh menggunakan pisau
virtual. Tubuh korban akan ditempatkan pada meja pemeriksaan di bawah
scanner CT dan/atau mesin MRI dan diproses menggunakan software yang
dikembangkan oleh para peneliti. CT scan hanya membutuhkan waktu 20
detik dan menampilkan tulang, gas, dan benda asing dalam tubuh.26, 30
2.4 Akurasi Otopsi Virtual
Sejak berkembangnya otopsi virtual yang dimotori oleh Richard
Dirnhofer, banyak para peneliti melakukan penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan otopsi virtual ini.10 Titik perhatian utama para peneliti
adalah seberapa akurat otopsi virtual dibandingkan dengan otopsi
konvensional. Hal ini untuk menjawab alasan-alasan penolakan seperti yang
tertulis pada awal tulisan ini. Berikut ini adalah paparan beberapa hasil
penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
1. Kekerasan di Kepala dan Leher
Pada penelitian yang dilakukan oleh Aghayev et al membuktikan
bahwa dengan menggunakan MSCT dan MRI, terjadi herniasi tonsil pada
3 pasien yang meninggal karena kekerasan di kepala. Hasil tersebut
kemudian dikonfirmasi dengan otopsi konvensional. Baik hasil
pemeriksaan dengan MSCT, MRI maupun otopsi konvensional didapatkan
hasil sama (Gambar 2).

Gambar 2. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional 26
Dalam penelitian ini, mereka merekomendasikan penggunaan
kombinasi antara MSCT dan MRI, karena dengan CT seringkali dipengaruhi
oleh artefak tulang dan efek volume parsial.26

Gambar 3. Perdarahan Intramedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a)


MRI, (b) Otopsi Konvensional, (c) Histopatologi H&E x40028
Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Switzerland menyebutkan
bahwa sebab kematian 3 dari 5 kasus yang mereka teliti dapat ditegakkan
menggunakan MSCT dan MRI, sebelum dilakukan otopsi konvensional.
Penelitian ini juga menunjukkan kemampuan MRI untuk mendeteksi adanya
perdarahan intramedular dari 3 kasus yang sesuai dengan hasil pemeriksaan
histopatologi (Gambar 3).31
2. Kematian Mendadak pada Bayi dan Anak
Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa pemeriksaan Post Mortem
Computed Tomography (PMCT) dengan menggunakan MRI dan MSCT
berperanan penting dalam mendiagnosis kasus-kasus kematian mendadak
pada bayi dan anak-anak. Untuk mengetahui penyebab pasti kematian
mendadak pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pemeriksaan PMCT dan
pemeriksaan lain seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri.
Dari 15 pasien yang meninggal secara mendadak, 2 kasus dilakukan otopsi
konvensional dan hasil otopsi sesuai dengan hasil PMCT.32 Hasil yang
berbeda ditemukan pada penelitian di Norwegia, terdapat perbedaan hasil
yang nyata antara temuan radiologi dan temuan otopsi konvensional. Angka
kesalahan pemeriksaan radiologi dan temuan otopsi konvensional berkisar
antara 57,14% - 66,67% (Tabel 1).33
Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dan Hasil Temuan Otopsi Konvensional 33

3. Infark Miokardium
Gambar 4. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada
Lesi dengan Serat-Serat Eosinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band Necrosis. HE
x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) Histologi.
H&E x 10034
Penelitian otopsi virtual juga dilakukan untuk mendeteksi ada
tidaknya infark miokardium. Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI
yang hasilnya kemudian dikofirmasi dengan pemeriksaan histologi. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa baik MRI maupun pemeriksaan histologi tidak
mampu mendiagnosis infark miokardium perakut. Sementara itu untuk
keadaan subakut, akut, dan kronik dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan
hasilnya sesuai dengan hasil histopatologi. Keadaan seperti yang terlihat pada
gambar 4 merupakan keadaan yang penting bagi forensik sebagai penyebab
kematian akibat berlanjutnya penurunan fraksi ejeksi yang menyebabkan
insufisiensi jantung akut atau oleh letal ventrikular takikardi.34
4. Tenggelam
Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir
atau cairan tempat di mana korban tenggelam dalam saluran napas atau paru,
paru yang menggembung dan kongesti, cairan dalam sinus paranasal,
lambung dan dilatasi paru kanan dan pembuluh darah vena.25 Tanda-tanda
tersebut merupakan variabel-variabel yang diteliti dengan menggunakan MRI
dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada trakea dan percabangan bronkus
utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan dalam sinus
paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass.
Sementara itu 89% lambung korban mengalami distensi.35 Hasil yang sama
juga ditemukan pada penelitian di Switzerland, meskipun pada penelitian ini
mereka menggunakan MSCT. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa
dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh
berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.36
5. Trauma
Tabel 2. Kemampuan mendeteksi trauma antara PMCT dan otopsi
Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering

menyebabkan kematian. Tulang yang paling sering terkena berturut-turut


adalah tulang iga (72,3%), kepala (55,15%), wajah (49,4 %), tibia (37,9%)
dan pelvis (36%). Sementara itu organ dalam yang paling sering mengalami
laserasi akibat kekerasan tumpul adalah liver (48,1%), paru (37,6%), jantung
(35,6%) dan lien (30,1%). Dilakukan penelitian di Israel dengan cara
membandingkan otopsi virtual (PMCT) dengan otopsi konvensional dengan
tujuan untuk menilai keakuratan dari PMCT dalam mendiagnosis trauma.
Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat bahwa
PMCT memiliki kelemahan dalam mendeteksi kelainan yang terdapat pada
lesi superfisial, paru, jantung serta solid organ, akan tetapi memiliki
kemampuan yang baik dalam mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh. 37
Mahesh S, et al dalam jurnalnya mengambil sebuah contoh kasus trauma.
Pada kasus tersebut dilakukan pemeriksaan otopsi virtual dan otopsi
konvensional yang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda berupa
kelainan-kelainan yang ada pada tulang seperti dislokasi dan fraktur serta
ruptur aorta (Gambar 5 dan 6).38

Gambar 5. (a) MSCT 3D, model tulang tanpa sternum dan bagian ventral (b) Gambar otopsi
jaringan lunak sekitar vertebra yang fraktur, perdarahan paravertebral
ekstrapleural38

Gambar 6. Gambar a (MSCT), b (MRI), dan c (otopsi) menunjukkan ruptur aorta 38

Selain itu, penelitian di Kuwait pada tahun 2012 juga menunjukkan hasil yang
sama antara otopsi virtual dan otopsi konvensional yang dilakukan terpisah pada
kasus kecelakaan lalu lintas, luka tembak, trauma kepala, tenggelam, dan
penjeratan.7
2.5 Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual
2.5.1. Keuntungan9, 23, 28, 39, 40
1. Otopsi virtual bersifat non-invasif , tidak membutuhkan pisau
bedah serta tidak harus memotong tubuh.
2. Jenazah tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh
pihak keluarga.
3. Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat
tembakan senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi
tanpa merusak struktur tubuh.
4. Teknik otopsi virtual yang menggunakan CT scan dapat
memperlihatkan kerangka, gambaran luka, dan kerusakan otak.
Sementara pemindai MRI menghasilkan gambar yang lebih halus
pada jaringan lunak. Angiography memperlihatkan bagian dalam
pembuluh darah.
5. Pemeriksaan yang mudah pada jenazah yang infeksius,
terkontaminasi racun, radionuklir, dan bahan-bahan biologis yang
berbahaya.
6. Tidak perlu pertimbangan dosis radiasi saat melakukan studi
pencitraan post mortem.
7. Memungkinkan berbagi pencitraan data di antara para ahli di
lokasi fisik yang berbeda.
8. Pemanfaatan teknik-teknik visualisasi modern mencakup
kemampuan untuk mendeteksi fraktur kecil yang tidak dapat
terlihat pada otopsi konvensional, mengidentifikasi denistas benda
asing tubuh (yaitu, peluru atau pisau) yang tertanam dalam
jaringan lunak dan memperjelas lintasan luka tembus (yaitu,
peluru, pisau, dll) .
9. Dapat melihat jenazah dari berbagai sudut dan juga bisa
memindahkan lapisan demi lapisan seperti kulit dan otot,
menambahkan dan menghilangkan jaringan serta sistem sisrkulasi,
dapat diperbesar atau diperkecil dan dipotong menggunakan pisau
virtual.
10. Data tersimpan secara digital dan rekonstruksi ulang jenazah dapat
dilakukan bertahun-tahun setelah kejadian saat tubuh jenazah
sudah rusak dan sulit dianalisis lagi.
11. Rekonstruksi 3D berguna di pengadilan karena gambaran yang
dihasilkan lebih mudah dimengerti dibandingkan bahasa medis.
2.5.2. Kerugian9, 23, 39, 40
1. Biaya yang cukup besar
2. Memiliki bias dalam mendiagnosis.
3. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan
dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat.
4. Tidak dapat mendeteksi semua penyebab kematian. Tidak
memiliki kemampuan untuk menunjukkan ekstravasasi kontras
aktif atau proses lainnya yang membutuhkan metabolisme
dan/atau peredaran darah aktif.
5. Tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat
membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem,
sulit membedakan artefak postmortem, sulit membedakan
perubahan warna organ, serta melewatkan jaringan kecil.
6. Otopsi Virtual di Indonesia
Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan
otopsi konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical
imaging.23, 39
Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik
senantiasa mengikuti perkembangan dalam konteks keilmuannya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa otopsi virtual telah membawa angin segar terutama dalam
menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi, otopsi virtual lebih baik
jika dibandingkan otopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk
kepentingan klinis, akan tetapi tidak untuk kepentingan medikolegal.
Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba
mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual. Untuk Indonesia,
penerimaan otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional tidaklah
serta merta dapat diterima. Banyak hal yang harus dibahas mengenai
penerimaan otopsi virtual di Indonesia. Hal-hal yang harus dipertimbangkan
antara lain:
a. Benefit
Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat
tembakan senjata api, karena dapat mempelajari apa yang terjadi tanpa
merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat
diterima oleh pihak keluarga karena tidak harus memotong tubuh.
Di sisi lain, data yang ada saat ini belum cukup untuk membuktikan
bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional. Otopsi virtual
tidak dapat memperlihatkan dengan jelas kelainan patologi yang ada, tidak
dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka
antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak
postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, serta jaringan kecil
mungkin terlewatkan.39
b. Biaya
Biaya yang dibutuhkan untuk teknik otopsi virtual cukup besar.
Alat-alat untuk melakukan otopsi virtual belum tersedia di setiap rumah
sakit di Indonesia.
c. Faktor bias dalam mendiagnosis33, 39
d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal
yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat.27
e. Aspek medikolegal otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem
peradilan di Indonesia
7. Dasar Hukum Otopsi Virtual
Sampai saat ini belum ada aturan perundang-undangan baku yang
mengatur penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal. CT
scan postmortem dapat membantu mendokumentasikan posisi yang benar
atau salah dari tube, kateter, probe dibandingkan prosedur otopsi lainnya. Hal
ini memberikan keuntungan medikolegal yang besar terutama pada kasus
pasien meninggal selama atau setelah dilakukan prosedur invasif atau invasif
yang minimal.34, 41
Otopsi virtual dapat menjelaskan lima prinsip medikolegal penting
dalam otopsi konvensional yaitu:35
1. Atrium mortis, menjelaskan penyebab kematian.
2. Temuan patomorfologi di tulang, jaringan, dan organ.
3. Reaksi vital, yaitu urutan cedera dan kematian. Apakah cedera didapatkan
sebelum atau setelah meninggal.
4. Rekonstruksi cedera, misalnya akibat kekerasan, biomekanikal, dan dinamis.
5. Rekapitulasi dan visualisasi, dapat menjelaskan sesuai temuan objektif.
Otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di
Indonesia memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih otopsi virtual lebih
mengarah kepada mendiagnosis penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep
otopsi forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakkan hukum
dan peradilan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh jenazah untuk menemukan


cedera atau proses penyakit penyebab kematian yang meliputi pemeriksaan luar
maupun dalam. Selain untuk memecahkan masalah hukum otopsi juga digunakan
untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan,
serta pendidikan calon dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Namun pelaksanaan
otopsi di Indonesia tidak mudah karena adanya pandangan dari sisi agama dan
kepercayaan tertentu yang meyakini bahwa jenazah harus dihormati dan
diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup. Masyarakat Indonesia
cenderung berpegang erat pada ajaran agama sehingga masih banyak terjadi
penolakan terhadap tindakan otopsi.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat menghadirkan suatu solusi
dari permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang dikembangkan adalah
teknologi otopsi virtual. Hal yang membedakan dengan otopsi konvensional yaitu
pada otopsi virtual tidak memerlukan adanya diseksi jaringan tubuh. Digunakan
alat-alat diagnostik canggih dengan menggunakan teknik pemindaian yang
memungkinkan melihat keadaan tubuh secara 3 dimensi sehingga dapat melihat
kelainan yang terjadi di organ dalam tanpa melalui proses invasif. Teknik ini
diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi
konvensional.
Penggunaan otopsi virtual di Indonesia masih sangat terbatas dan belum
banyak pembahasan mengenai topik ini. Selain itu otopsi virtual juga masih
memiliki kekurangan dari segi biaya, faktor bias, ketelitian yang kurang
dibandingkan melihat organ secara langsung dan kegunaannya yang belum dapat
mencakup diagnosis beberapa kasus seperti keracunan zat.
3.2 Saran

Dianjurkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan pengembangan


alat-alat yang digunakan dalam otopsi virtual terutama untuk menutupi
kekurangan pada teknik ini. Dianjurkan juga untuk memperbanyak penggunaan
otopsi virtual untuk mengembangkan keahlian di bidang ini. Disarankan untuk
melakukan pelaksanaan skrining yang rutin terhadap jenazah untuk menentukan
sebab kematian dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
otopsi konvensional.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharto G, Sadad A, Intarniati., et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran


Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
2012:67.
2. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
2007:177.
3. Burton E, Gurevitz S, Collins K. Religions and the Autopsy, 2012.
4. Kadarmo D. Prosedur medikolegal penolakan otopsi ditinjau dari sudut
pandang penyidik. Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia,
2005.
5. Turnbull A, Osborn M, Nicholas N. Hospital autopsy: Endangered or
extinct? J Clin Pathol 2015;68:601-4.
6. Hoyert DL. The changing profile of autopsied deaths in the United States,
1972-2007. NCHS Data Brief 2011:1-8.
7. Sampurna B. Aspek Manajemen Pemanfaatan CT scan di RS untuk
Kepentingan Forensik. Workshop Kedokteran Forensik. Rumah Sakit
Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015.
8. Party RCoPoAAW. The decline of the hospital autopsy: a safety and quality
issue for healthcare in Australia. Med J Aust 2004;180:281-5.
9. Stawicki S, Aggrawal A, Dean A, et al. Postmortem use of advance imaging
technique: Is autopsy going digital? Scientist 2008;2:17-26.
10. Patowary A. Virtopsy one step forward in the field of forensic medicine- A
review. J Indian Acad Forensic Med 2008;30:32-6.
11. Prameng B, Yulianti A. Petunjuk Teknik Otopsi. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2011:1-2.
12. Philippe C, Geoffroy L, Herve C. Two Centuries of Autopsies in the New
England Journal of Medicine: Evolution of the Status of the Cadaver in
Occidental Medicine (1812-2012). Anthropol 2013;1:1-6.
13. van den Tweel JG, Taylor CR. The rise and fall of the autopsy. Virchows
Arch 2013;462:371-80.
14. Mohammed M, Kharoshah MA. Autopsy in Islam and current practice in
Arab Muslim countries. J Forensic Leg Med 2014;23:80-3.
15. Payne-James J, Busuttil A, Smock W. Shari’ah law and the judicial system.
Forensic medicine: clinical and pathological aspects. London: Greenwich
Medical Media Ltd, 2003.
16. Hastuti D. Perspektif Hukum Islam terhadap Otopsi. Fakultas Syari'ah.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009.
17. MUI. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Otopsi
Jenazah. Jakarta, 2009:541-5.
18. Prayson RA. Autopsy: Learning from the Dead: Cleveland Clinic Press,
2007.
19. Numrich P. The Buddhist Tradition - Religious Beliefs and Healthcare
Decisions. Chicago: The Park Ridge Center, 2001.
20. Australia. DoLGaCW. Culture and Religion Information Sheet - Buddhism,
2015.
21. Keown D. End of life: the Buddhist view. Lancet 2005;366:952-5.
22. Gordijn S, Erwich J, Khong T. The perinatal autopsy: pertinent issues in
multicultural Western Europe. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol
2007;132:3-7.
23. Takatsu A, Suzuki N, Hattori A, Shigeta A, Abe S. High-dimensional
medical imaging and virtual reality techniques. Rechtsmedizin 2007;17:13-
18.
24. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R. VIRTOPSY
- the Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;9:100-4.
25. Kusuma S. Traditional autopsy vs modern autopsy. Workshop Kedokteran
Forensik. Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015.
26. Aghayev E, Yen K, Sonnenschein M, et al. Virtopsy post-mortem multi-slice
computed tomography (MSCT) and magnetic resonance imaging (MRI)
demonstrating descending tonsillar herniation: comparison to clinical
studies. Neuroradiology 2004;46:559-64.
27. Hayakawa M, Yamamoto S, Motani H, Yajima D, Sato Y, Iwase H. Does
imaging technology overcome problems of conventional postmortem
examination? A trial of computed tomography imaging for postmortem
examination. Int J Legal Med 2006;120:24-6.
28. Sidipratomo P, Aji D. Peranan multi-slice computed tomography pada
kedokteran forensik. Workshop Kedokteran Forensik. Rumah Sakit
Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015.
29. Thali MJ, Yen K, Vock P, et al. Image-guided virtual autopsy findings of
gunshot victims performed with multi-slice computed tomography and
magnetic resonance imaging and subsequent correlation between radiology
and autopsy findings. Forensic Sci Int 2003;138:8-16.
30. Tejaswi KB, Hari Periya EA. Virtopsy (virtual autopsy): A new phase in
forensic investigation. Journal of Forensic Dental Sciences 2013;5:146-148.
31. Yen K, Sonnenschein M, Thali M, et al. Postmortem Multislice Computed
Tomography and Magnetic Resonance Imaging of odontoid fractures,
atlantoaxial distractions and ascending medullary edema. International
Journal of Legal Medicine 2005;119:129-136.
32. Oyake Y, Aoki T, Shiotani S, et al. Postmortem computed tomography for
detecting causes of sudden death in infants and children: retrospective
review of cases. Radiat Med 2006;24:493-502.
33. de Lange C, Vege A, Stake G. Radiography after unexpected death in infants
and children compared to autopsy. Pediatr Radiol 2007;37:159-65.
34. Jackowski C, Christe A, Sonnenschein M, Aghayev E, Thali MJ.
Postmortem unenhanced magnetic resonance imaging of myocardial
infarction in correlation to histological infarction age characterization. Eur
Heart J 2006;27:2459-67.
35. Levy AD, Harcke HT, Getz JM, et al. Virtual autopsy: two- and three-
dimensional multidetector CT findings in drowning with autopsy
comparison. Radiology 2007;243:862-8.
36. Christe A, Aghayev E, Jackowski C, Thali MJ, Vock P. Drowning--post-
mortem imaging findings by computed tomography. Eur Radiol
2008;18:283-90.
37. Levy G, Goldstein L, Blachar A, et al. Postmortem computed tomography in
victims of military air mishaps: radiological-pathological correlation of CT
findings. Isr Med Assoc J 2007;9:699-702.
38. Mahesh S, Kumar S, Ruskin A. Critical Evaluation and Contribution of
Virtopsy to Solved Crime. Res. J. Forensic Sci 2015;3:1-4.
39. Ezawa H, Shiotani S, Uchigasaki S. Autopsy imaging in Japan.
Rechtsmedizin 2007;17:19-20.
40. Peschel O, Szeimies U, Vollmar C, Kirchhoff S. Postmortem 3-D
reconstruction of skull gunshot injuries. Forensic Science International
2013;233:45-50.
41. Bolliger SA, Thali MJ, Ross S, Buck U, Naether S, Vock P. Virtual autopsy
using imaging: bridging radiologic and forensic sciences. A review of the
Virtopsy and similar projects. Eur Radiol 2008;18:273-82.

Anda mungkin juga menyukai