Anda di halaman 1dari 45

SEMESTER VI – MODUL 21 (KEDOKTERAN KEHAKIMAN)

SKENARIO 1

DOKTER DITUNTUT

Bapak M marah – marah dikamar mayat suatu rumah sakit karena keberatan jika anaknya

yang menjadi korban pembunuhan akan diotopsi, malah beliau akan menuntut dokter dan

rumah sakit jika tetap melaksanakan otopsi terhadap anaknya tersebut. Namun penyidik yang

ada dirumah sakit dengan sabar menerangkan dengan sejelas-jelasnya akan perlunya korban

diotopsi luar dan dalam, tapi tetap saja bapak M menghalang – halangi otopsi sehingga

penyidik mohon kepada dokter untuk memasukkan korban kelemari pendingin selama 2x24

jam.

1
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bila dokter melakukan pembedahan pada orang hidup, tujuannya adalah emlakukan

tindakan medik invasif ke dalam tubuh pasien untuk pengobatan. Bila ini dilakukan pada

orang mati, maka tindakan itu disebut pemeriksaan bedah mayat atau autopsi. Selain kedua

kata ini sering pula disebut pemeriksaan post mortem, necropsi, obduksi, dan seksi. Dalam

istilah Indonesia dipakai bedah mayat atau bedah jenazah. Pemeriksaan post mortem (post-

sudah, mortem-mati) berarti pemeriksaan yang dilakukan pada orang yang telah mati.

Necropsi berasal dari necros (jaringan mati). Seksi berasal dari sectio (potong, bedah).

Autopsi (autopsy) bila diterjemahkan langsung berarti lihat sendiri (auto-sendiri, opsi-lihat).

Sekarang istilah yang terakhir ini yang lebih sering dipakai. Autopsi dimaksud sebagai

pemeriksaan luar dan dalam pada mayat untuk kepentingan pendidikan, hukum dan ilmu

kesehatan.

Autopsi sudah dilakukan sejak beberapa abad yang lalu. Untuk perkembangan

pendidikan di bidang ilmu kedokteran , Raja Frederik II (Jerman) pada abad ke 13 telah

memerintahkan dilakukan autopsi setiap 5 tahun di muka umum.

Autopsi untuk kepentingan hukum (medicolegal autopsy) dimulai di Bologna (Itali)

oleh Bartholomeo Devarignana tahun 1302.

Sejak abad ke 13 dan 14 autopsi telah merupakan bagian dari pendidikan mahasiswa

fakultas kedokteran. Pada mulanya dipergunakan mayat dari autopsi medikolegal, yaitu

korban pembunuhan dan bunuh diri serta korban hukuman itu. Demikian penting peranan

autopsi pendidikan pada masa itu sehingga Giovanni Morgagni (1628-1771) yang dianggap

sebagai Bapak Ilmu Anatomi menyatakan : Those who have dissected or inspected many

2
bodies have at least learned to doubt, while those who are ignorance of anatomy and do not

take the trouble to attand to it, are in no doubt at all.

STEP I

1. Otopsi

Proses investigasi secara medis untuk mengetahui penyebab kematian.

2. Pembunuhan

Suatu tindakan menghilangkan nyawa secara sengaja

STEP II

- Seorang bapak menghilangi Tim Penyidik untuk mengotopsi anaknya

- Dokter memasukkan korban kelemari pendingin selama 2x24 jam

STEP III

1. Manfaat dari otopsi?

2. Apa yang dilakukan di otopsi?

3. Tujuan memasukkan korban kelemari pendingin 2x24 jam?

4. Apakah tindakan Bapak M salah? Apakah tim otopsi tetap otopsi anaknya?

5. Apa yang dimaksud otopsi luar dalam?

6. Apakah ada batasan yang dilakukan terhadap korban pembunuhan?

JAWAB

1. Untuk memeriksa penyebab kematian

2. Otopsi luar adalah untuk mengamati tubuh pada bagian luar

3. Agar tidak terjadi kebusukan terhadap mayat

4. Untuk skenario salah, otopsi boleh dilakukan

3
5. Otopsi dalam adalah melakukan pembedahan untuk mengukur luas lukanya

6. Tidak ada batasan

STEP IV

KEMATIAN

OTOPSI

JENIS - JENIS PIHAK YANG BERPERAN TUJUAN MANFAAT

ANATOMI KLINIK FORENSIK DOKTER DOKTER PEMBUKTIAN


TO KNOW PENDIDIKAN
FORENSIK UMUM KASUS

PENUNTUTAN
SEBAB
DAN CARA
KEMATIAN

4
STEP V

A. Otopsi

1. Menjelaskan ketentuan – ketentuan hukum yang berkaitan dengan otopsi

2. Menjelaskan prosedur tindakan otopsi jenazah

a. Menjelaskan pemeriksaan luar terhadap korban

b. Menjelaskan pemeriksaan dalam terhadap korban

3. Menjelaskan teknik pengambilan bahan dan cara pengawetan serta pengirimannya

4. Menjelaskan prosedur tindakan otopsi jenazah

STEP VI

BELAJAR MANDIRI

5
BAB II

PEMBAHASAN

STEP VII

PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES

A. Otopsi

1. Menjelaskan Ketentuan – Ketentuan Hukum Yang Berkaitan Dengan Otopsi

Pemeriksaan aytopsi diatur dengan jelas dalam ketentuan hukum. Dalam RIB (Reglememen

Indonesia yang diperbaharui), hukum acara pidana sebelum KUHAP yang berlaku sejak 31

Desember 1981, dinyatakan adanya wewenang pegaiwai penuntut umum dan magistrat

pembantu (termasuk kepolisian) untuk meminta bantuan dokter untuk melakukan

pemeriksaan jenazah.

RIB pasal 68

“Kalau hal itu dianggap perlu oleh penuntut umum, hendaklah ia membawa serta

seorang atau dua orang ahli yang dapat meninimbang sifat dan keadaan kejahatan itu.”

RIB pasal 69

6
Ayat 1: “Bila suatu kematian disebabkan karena kekerasan (ruda paksa) atau suatu

kematian yang sebabnya menimbulkan kerugian, demikan jua halnya dengan lika parah atau

percobaan meracuni seseoang dan makar lain terhadap nyawa seseorang, hendaklah ia

membawa serta seseorang atau dua orang dokter yang akan memberi keterangan mengenai

sebab kematian atau sebab luka dan mengenai keadaan mayat atau keadaan orang yang

dilukai dsn bila perlu mayat diperiksa bagian dalamnya.”

Ayat 2: “Hendaklah orang yang dipanggil tersebut, dalam pasal ini dan pasal yang

lalu disumpah dihadapan penuntut umum, bahwa mereka akan memberi keterangan

kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh – sungguhnya, yakni menurut

pengetahuannya yang sebaik – baiknya.”

Dalam ketentuan hukum ini tidak dijelaskan siapa yang menentukan perlu dilakukan

bedah mayat, apakah pihak penyidik atau dokter. Dilema ini akhirnya diatasi dengan

diterbitkanya Instruksi Kapolri tahun 1975, yaitu Instruksi Kapolri: Ins/FJ20/DU/75, yang

mengharuskan aparat kepolisian meminta pemeriksaan lengkap yaitu pemeriksaan luar dan

dalam (autopsi) kepada dokter. Dijelaskan dalam instruksi tersebut: “Dengan visum atas

mayat, badan mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan

visum et repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.” (lampiran 3)

Ternyata instruksi kapolri ini tidak mudah dilaksanakan. Masih banyak visum yang

dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan luar. Tatalaksana pencabutan belum dilaksanakan

sesuai ketentuan.

Dalam KUHAP yang mulai berlaku pada penutup tahun 1981, terdapat ketentuan

yang menjelaskan keterlibatan dokter dalam melakukan autopsi.

7
Pasal 133 KUHAP :

Ayat 1: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban

baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak

pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”

Ayat 2: “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan

secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”

Ayat 3: “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada

rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut

dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari

kaki atau bagian lain badan mayat.”

Pasal 134 KUHAP

Ayat 1: “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah

mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada

keluarga korban.”

Ayat 2: “Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya

tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.”

8
Ayat 3: “Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau

pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.”

Pasal 179 KUHAP:

Ayat 1: “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman

atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”

Ayat 2: “Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang

memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau

janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut

pengetahuan dalam bidang keahliannya.”

Ini berarti di Indonesia menurut KUHAP autopsi hanya dilakukan jika terpaksa.

Sementara dari segi medis pemeriksaan jenazah tanpa autopsi hanya akan menyulitkan dokter

dalam menentukan sebab kematian.

Dalam ketentuan hukum ini dengan tegas dijelaskan bahwa penyidiklah yang

menentukan perlu dilakukan bedah mayat dan bahwa penyidiklah yang menerangkan kepada

keluarga korban bahwa mayat akan diperiksa bagian luar saja atau melalui bedah mayat.

Untuk keperluan penyidikan bila keluarga korban keberatan dilakukan bedah mayat, penyidik

dapat menggunakan pasal 222 KUHP, yaitu sanksi hukum bagi yang menghalang – halangi

bedah mayat untuk pengadilan.

KUHP pasal 222

9
“Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau menggagalkan

pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya 9

bulan atau dengan sebanyak – banyaknya tiga ratus ribu rupiah.”

2. Menjelaskan Prosedur Tindakan Otopsi Jenazah

a. Menjelaskan Pemeriksaan Luar Terhadap Korban

Pemeriksaan luar adalah pemeriksaan jenazah dengan mengamati sangat hati – hati atas

kelainan yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan pada tubuh korban dan kemudian dicatat

dan dibuat deskripsi secara sistematis dengan memggunakan titik – titik anatomis yang tetap

pada tubuh korban.Khusus pada korban wanita tidak boleh digunakan puting susu sebagai

titik anatomis, karena puting susu merupakan titik anatomis yang mobile ( tidak tetap ).

Selain itu dianjurkan agar dapat menggunakan titik anatomis yang lebih dekat dengan luka

atau jejas.

Pemeriksaan forensik meliputi pemeriksaan dalam dan luar atas jenazah yang

dimintakan oleh polisi penyidik yang menangani kasus sesuai dengan KUHAP Pasal 133 ayat

1 yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan pengadilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan

tindak pidana,ia berwenang mengajukan permintaan keterangan kepada ahli Kedokteran

Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.

a. Identitas korban

10
Identitas korban yang dimintakan visum termasuk dalam bagian pendahuluan dari Visum

et Repertum.Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis didalam Visum et Repertum, melainkan

langsung dituliskan berupa kalimat kalimat dibawah judul.

Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban sesuai

dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan Visum et Repertum ( SPV ). Bila

terdapat ketidak sesuaian identitas korban antara SPV dengan catatan medis atau pasien yang

diperiksa, dokter dapat meminta penjelasan kepada penyidik.

Contoh pembuatan identitas korban hidup :

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ( nama dokter yang memeriksa ), dokter pada

Rumah Sakit Pirngadi menerangkan bahwa berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala

Kepolisian Medan Area Sektor Medan tertanggal 5 Mei 2016 no: 19/VER/IV/2016, maka

pada tanggal lima mei dua ribu enambelas, pukul sepuluh Waktu Indonesia Barat, bertempat

di Rumah Sakit Pirngadi Medan telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan nomor

registrasi 54321, yang menurut surat tersebut adalah :

Nama : Imam xxxxx

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki – laki

Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jalan Karya Sehati No. 5 Medan Johor

Khusus untuk mayat ( korban mati ), prosedur permintaan visum telah diatur didalam

pasal 133 dan 134 KUHAP, yaitu dimintakan secara tertulis, mayatnya harus diperlakukan

dengan baik dengan penuh penghormatan, disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang

11
diminta, dan mayat diberi label yang memuat identitas yang dilak dan diberi cap jabatan dan

dilekatkan kebagian tubuh mayat tersebut. Pemberian label pada mayat tersebut dimaksudkan

selain untuk memberi identitas pada mayat juga untuk menegaskan bahwa mayat tersebut

adalah barang bukti yang menjadi milik negara.

Contoh pembuatan identitas korban mati :

Berdasarkan, surat permintaan penyidik, nama : Mr.A, NRP : 01120099, pangkat : IPDA,

jabatan : Kepala Kepolisian Sektor X, nomor surat : B/175/IV/2016/sek.x, tanggal surat : 11

Januari 2016, maka Tim Kedokteran Forensik dibawah pimpinan : dr.XXX,SpF, dibantu

dokter muda forensik , beserta staf dari Instalasi Kedokteran Forensik RS Pirngadi pada hari :

Senin , tanggal : 12 Januari 2016 mulai pukul 08.00 sampai pukul 09.00 melakukan

pemeriksaan ( luar/dalam/identifikasi ) di ruang otopsi RS Pirngadi Medan, terhadap

almarhum/almarhumah, Nama : Aldo, Umur : 20 tahun, Jenis Kelamin : Pria, Agama : Islam,

Pekerjaan : Mahasiswa, Pendidikan : SMU, Status nikah : duda, Alamat :........,Perkiraan

kematian oleh polisi :.......

Hasil Pemeriksaan :

1. Label

Pada pemeriksaan luar harus dijelaskan label pada mayat terletak atau terikat pada bagian

tubuh yang mana, terbuat dari apa, berwarna apa, ada atau tidak materai / cap, bertuliskan

apa.

Contoh pembuatan label :

Label terikat pada : jempol kaki kanan korban, terbuat dari : kertas manila, berwarna :

merah muda, dengan / tanpa materai, bertuliskan : No.456/I/SekDg.

2. Tutup / bungkus mayat

12
Dijelaskan dengan rinci apa yang digunakan untuk menutup/ membungkus mayat

lapis demi lapis, bahannya apa, bertuliskan apa, ukurannya berapa, bila ditutup koran

sebutkan koran apa, terbitan tanggal berapa, bila mayat diikat sebutkan diikat dengan apa,

bila ditutup dengan kain sebutkan jenis kainnya, warnanya, corak/motifnya, merknya bila

ada.

Contoh deskripsi tutup mayat :

Jenazah dibungkus kardus warna coklat, bertuliskan mesrania 2T super pertamina

dengan ukuran 53x43x16 cm tertutup tanpa diplester. Bungkus dibuka tanpa alas kardus

berupa koran Padang Ekspress, terbitan 14 november 2007, 4 lembar. Jenazah dibungkus

plastik transparan, kedua ujungnya diikat tali rafia warna biru, plastik dibuka, jenazah

dibungkus kain batik warna coklat tua dan coklat muda, motif bunga – bunga.

3. Perhiasan mayat :

Dijelaskan jenis perhiasan, jumlahnya, dari bahan apa, bentuknya, warnanya, bila

bermata jelaskan.

Contoh deskripsi perhiasan :

Jenazah memakai sepasang anting berbahan logam berwarna kuning keemasan

berbentuk bunga bermata batu berwarna putih.

4. Pakaian Mayat.

Dijelaskan secara lengkap, jenis pakaian, merk, warna dasar, corak dan warnanya,

tulisan, saku – saku dijelaskan jumlahnya, letaknya, isi saku dirinci satu persatu.Selain itu

juga dicatat apabila terdapat robekan, robekan ini diukur dari tepi jahitan atas dan samping,

tepi sobek bagaimana. Kancing hilang atau adanya tanda – tanda kerusakan pada pakaian

karena usaha perlawanan. Bercak pada pakaian berupa darah, cairan sperma, minyak, racun,

13
bekas muntah, faeces, dll harus disimpan untuk dianalisa. Pakaian yang basah diletakkan

ditempat terbuka agar mengering. Pada kasus – kasus yang diduga pembunuhan pakaian tidak

boleh disobek, tapi dilepas satu persatu, tetapi pada kasus kecelakaan lalu lintas baju boleh

disobek.

Contoh deskripsi pakaian :

Jenazah memakai kaos ketat lengan pendek merk Adidas, warna merah jambu, motif

bunga – bunga mawar warna merah pada bagian depan, dan celana jeans selutut warna biru

pudar, tanpa merk bertuliskan “girls” warna merah tua pada bagian depan, bersaku dua pada

bagian belakang, saku berisi hand phone merk NOKIA tipa 3200 warna merah, pada baju

jenazah terdapat bercak darah pada bagian bahu dan dada.

.5. Benda samping mayat :

Dijelaskan secar rinci benda apapun yang terdapat didekat mayat pada waktu mayat

ditemukan atau diantar oleh pihak yang berwajib.

Contoh deskripsi benda samping mayat :

Disamping mayat terdapat kantong plastik berwarna hitam berisi pasir.

6. Kaku mayat dan Lebam mayat :

Kaku mayat ( rigor mortis )

Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat

seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi.

Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka

serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan dalam otot habis, maka energi tidak

terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.

14
Tingkat kaku mayat ( rigor mortis ) dinilai dengan memfleksikan lengan dan kaki

untuk mengetes tahanan. Kaku mayat mulai tampak kira – kira 2 jam setelah mati klinis,

dimulai dari bagian luar tubuh ( otot – otot kecil )kearah dalam ( sentripetal ). Teori lama

menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kranio kaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku

mayat menjadi lengkap, dipertahankan selam 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan

yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum

terjadi kaku mayat, otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan

terjadi pemendekan otot.

Faktor – faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik

sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot- otot kecil dan suhu

lingkungan yang tinggi.

Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan

memperkirakan saat kematian. Terdapat beberapa kekakuan pada mayat yang menyerupai

kaku mayat;

Cadaveric Spasme ( Instantaneous rigor )

Adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric Spasm

sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan itensitas yang sangat kuat tanpa

didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan

ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat

sesaat sebelum meninggal. Cadaveric Spasme ini jarang dijumpai, tetapi sering terjadi pada

masa perang.

Kepentingan mediko legalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya

misalnya, tangan yang menggenggam erat banda yang diraihnya pada kasus mati akibat

tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.

15
Heat Stiffening

Yaitu kekauan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot – otot berwarna merah

muda, kaku tetapi rapuh ( mudah robek ). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban meti

terbakar. Pada heat stiffening serabut – serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan

fleksi leher, siku, paha, lutut, membentuk sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap

semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

Cold Stiffening

Yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh,

termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi

ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

Lebam mayat ( livor mortis )

Setelah kematian klinis, maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya

tarik bumi ( gravitasi ), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu

( livide ) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras.

Dara tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel

pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit paska mati, makin lama

intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8 – 12 jam. Sebelum

waktu ini, lebam mayat masih hilang ( memucat pada penekanan dan dapat berpindah jika

posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila

penekanan atau perubahan posisi tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis.

Tetapi walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup air sehingga sejumlah darah masih

dapat mengalir dan membentuk lebam mayat ditempat terendah yang baru. Kadang – kadang

dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah.

Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah yang

16
cukup banyak, sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot – ototdinding

pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.

Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian, memperkirakan sebab

kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN, warna

kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, mengetahui perubahan posisi pada mayat yang

dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan memeperkirakan sebab

kematian.

Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap

dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan terbentuk

lebam mayat baru didaerah dada dan perut.

Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan, menunjukkan

saat kematian kurang dari 8 – 12 jam sebelum saat pemeriksaan. Mengingat pada lebam

mayat darah terdapat didalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk

membedakan dengan resapan darah akibat trauma ( ekstravasasi ). Bila pada daerah tersebut

dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau

pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.

7. Identifikasi umum jenazah :

Setelah identifikasi dan pengeluaran beberapa pakaian, ras dan seks dilaporkan. Umur

secar nyata dinilai pada anak – anak dengan ukuran dan pada dewasa dengan perubahan pada

kulit dan mata, seperti kehilangan elastisitas kulit, hiperkeratosis senilis, bintik Campbell de

Morgan, purpura senilis dan arkus senilis. Warna rambut, kehilangan gigi dan perubahan

arthritik juga merupakan tanda yang jelas dari penuaan. Umur yang jelas harus dibandingkan

dengan umur yang diperkirakan dan penyelidikan dibuat tentang ketidak sesuaian yang nyata,

hal ini dapat ditemui pada kematian masal dimana terdapat mayat yang tertukar.

17
Panjang tubuh diukur dari tumit sampai puncak kepala. Pada bayi juga diukur lingkar

kepala, Ø fronto occipitale, Ø Mento Occipitale, dan lingkkar dada. Panjang tubuh harus

diukur karena panjang post mortem mungkin berbeda beberapa cm dari tinggi yang diketahui

semasa hidup. Ada beberapa variasi penyebab yang berlawanan, yang tidak perlu dibtalkan

satu swama lain. Contohnya, kelemahan otot memerlukan sendi yang relaks, kecuali bila

kaku sudah ada, tetapi diskus intervertebralis tampak menyusut, sehingga mengalami

pemendekan.

Berat badan dalam kilogram diukur bila tersedia fasilitas, jika tidak ada sebaiknya

ditaksir. Berat badan bayi harus selalu diukur. Bentuk badan dan status gizi harus dinilai pada

obesitas, kurus, dehidrasi, udema, pengurusan, dsb

Keadaan kebersihan, hygiene, panjang rambut dan jenggot, keadaan jari kaki dan

tangan, urin dan feses dicatat. Beberapa infestasi parasit seperti kuku atau tuma, pada laki –

laki dilihat apakah zakar disunat atau tidak.

Warna kulit secara umum dicatat, terutama hipostasis. Cari kongesti atau sianosis dari

wajah, tangan dan kaki. Perubahan warna yang terlokalisasi khususnya anggota badan

unilateral, merngarah pada emboli arteri atau gangren yang baru mulai. Cetakan merah atau

merah kecoklatan diatas sendi – sendi besar mengindikasikan hipotermia. Warna abnormal

yang lain termasuk warna coklat dari methemoglobinemia pada beberapa keracunan, bintik

perunggu dari clostridial septicaemia dan merah gelap dari sianida mirip dengan warna cherry

pink dari carboxyhemoglobin. Pigmentasi ras secara alami akan bermodifikasi dengan warna

kulit abnormal yang dapat dilihat.

8. Identifikasi khusus :

Kelainan kongenital dari beberapa tipe dilaporkan dari talipes equinovarus sampai

spina bifida, dari nevus sampai kaki tambahan. Tanda luar bawaan mungkin penting untuk

18
maksud identifikasi atau dalam hubungannya dengan luka lama dan penyakit. Tattoo,

sirkumsisi, amputasi, luka bekas operasi, deformitas fraktur lama dan bekas luka, luka bakar

atau percobaan bunuh diri pada pergelangan tangan dan kerongkongan dicatat. Sebagai

tambahan, artefak baik yang diluar maupun didalam tubuh, muncul dari percobaan resusitasi

dan harus dibedakan dengan hati – hati dari trauma yang sebenarnya.

9. Rambut :

Dijelaskan secara rinci seluruh keadaan rambut. Yang dimaksud rambut disini mencakup

seluruh rambut yang terdapat pada bagian kepala, yakni meliputi rambut kepala, alis mata,

bulu mata, kumis, dan jenggot.

Rambut dijelaskan warnanya, jenisnya, tumbuhnya, panjangnya, sukar dicabut atau

tidak. Termasuk disini keadaan bagian yang tertutup rambut, apakah tampak pengelupasan

atau tidak, pada bayi dijelaskan keadaan ubun – ubun, apakah masih terbuka, terdapat luka

atau hematom, warnanya, dan konsistensinya lunak atau tidak.

10. Mata :

Mata harus diperiksa dengan cermat, terutama untuk mendeteksi petekie pada sisi luar

dari kelopak mata, konjungtiva dan sklera. Petekie juga dicari dibelakang telinga dan pada

kulit dari wajah, terutama sekeliling mulut, dagu dan dahi. Disamping itu sangat penting

untuk dilihat apakah mata mayat dalam keadaan tertutup atau terbuka, dilihat keadaan

kekeruhanselaput bening mata ( kornea ) dan lensa, Ø teleng mata ( pupil ), warna tirai mata (

iris ) termasuk kemungkinan pemakaian lensa kontak, selaput bola mata ( konjungtiva bulbi ),

selaput kelopak mata ( konjungtiva palpebra ) dan kemungkinan mata palsu.

11. Hidung, Telinga, dan Mulut :

19
Hidung : Dianalisa dengan teliti bentuk hidung, ada kelainan anatomis atau kelainan akibat

trauma, warna, cairan yang keluar, dan adanya krepitasi

Telinga : Dilihat bentuk telinga, apakah ada kelainan atau tidak dan apakah telinga masih

utuh atau tidak.

Mulut : Mulut mungkin terdapat benda asing, obat – obatan, gigi yang rusak, gusi dan bibir

yang luka ( terutama frenulum yang ruptur pada kekerasan terhadap anak – anak), dan lidah

yang tergigit pada epilepsi atau pukulan pada rahang ataupun karena menahan sakit sesaat

sebelum kematian. Gigi palsu sebaiknya diidentifikasi dan dipindahkan sebelum otopsi. Isi

lambung dan mulut mungkin tidak mengidentifikasikan regurgitasi ante mortem, tetapi

sebaiknya dicatat. Bubuk kering pada bibir mungkin bisa didapat obat – obatan atau racun;

korosi dari mulut, bibir dan dagu mungkin dapat dilihat pada racun yang mengiritasi.

Perdarahan dari mulut, lubang hidung atau telinga harus dicatat, dan kemudian diteliti sebagai

sumber dari pemeriksaan dalam.

12. Gigi geligi :

Pemeriksaan gigi geligi ini apabila dilakukan secara terperinci dapat melibatkan

pemeriksaan yang rumit, mulai dari pemeriksaan yang sederhana sampai pemeriksaan yang

modern. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi ( odontogram ) dan rahang yang dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manua, sinar X, dan pencetakan gigi serta

rahang. Odontogram memaut data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi

dan sebagainya.

Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang

khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data

temuan dengan data pembanding ante mortem.

20
Pada tempat – tempat dimana tidak tersedia pemeriksaan gigi geligi yang canggih,

pemeriksaan manual harus dipertajam, periksa gigi geligi dengan meraba dan menhitung gigi

satu persatu dengan tangan, dilihat apakah gigi masih utuh atau sudah ada yang hilang,

apabila sudah ada yang hilang sebutkan bagian gigi mana yang hilang dan digambarkan pada

skema gigi geligi, juga dilihat apakah gigi yang hilang tersebut secara alamiah atau akibat

trauma, dan apabila memungkinkan dilihat juga apakah gigi korban ada tambalan atau bentuk

– bentuk perawatan lainnya.

13. Rongga – rongga tubuh :

Muntahan, busa, atau darah mungkin terdapat pada mulut atau lubang hidung, dan

feses serta urin tidak terdapat lagi. Ini harus dihubungkan dengan tingkat dekomposisi post –

mortem, yang sering mengarah pada pembersihan cairan dari orifisium; kebanyakan ahli

patologi forensik mempinyai pengalaman sehingga dipanggil oleh polisi untuk melihat

perdarahan yang fatal, hanya untuk menemukan cairan seperti darah untuk dibersihkan oleh

gas dari mayat yang membusuk. Sekret vagina atau perdarahan dicatat dan pemeriksaan

telinga untuk kebocoran darah atau cairan otak. Ejakulasi semen post mortem dari meatus

eksterna tidak ada artinya dan dapat dilihat pada tiap tipe kematian serta tidak berhubungan

dengan aktifitas seksual segera sebelum mati dan terutama tidak dihubungkan dengan

kematian akibat asfiksia.

Genitalia eksterna memerlukan pemeriksaan yang cermat, seperti pada anus. Patulous

anus sering terlihat pada post – mortem, mengarah pada kelemahan sfingter. Mukosa dalam

sering tampak melalui orifisium. Ini juga pada kasus bayi dan anak – anak, diagnosis dari

kejahatan seksual tidak harus diambil tanpa bukti jelas yang lain seperti sediaan apus mukosa

atau swab yang positif untuk semen. Pemeriksaan rutin pada genitalia pria biasanya hanya

menyampaikan inspeksi umum dari penis, glans dan skrotum, dengan palpsi dari testis.

21
14. Luka – luka :

Pengukuran jarak luka dengan titik – titik anatomis dibuat secara proyeksi, untuk kekerasan

tumpul pada badan dan kepala dua ordinat. Satu dari garis pertengahan depan ( GPD ) / garis

pertengahan belakang ( GPB ) dan lainnya dari titik anatomis terdekat.

Pada kasus pembunuhan biasanya akibat kekerasan tajam, dibuat tiga koordinat dimana satu

lagi diukur dari tumit, sedangkan pada luka anggota gerak atas / bawah hanya dibuat satu

koordinat.

Contoh Pelaporan Koordinat tubuh manusia / deskripsi luka

1. Akibat kekerasan tumpul :

Pada dada kiri 6 cm dari GPD, 3 cm diatas puting susu terdapat luka lecet tekan seluas

3 x4 cm dikelilingi luka memar seluas 8 x 7 cm.

Pada lengan atas kiri bagian depan 4 cm diatas lipat siku ditemukan luka terbuka

pinggir tidak rata, sudut tumpul, terdapat jembatan jaringan dengan luas 5x 2 cm.

Pada dahi kiri 6 cm dari GPD, 2 cm diatas sudut mata luar ditemukan luka memar

seluas 4 x 6 cm.

2. Akibat kekerasan tajam :

Pada lengan bawah kiri bagian depan, 7 cm diatas pergelangan tangan ditemukan luka

terbuka sudut lancip, pinggir rata, jika dirapatkan membentuk garis lurus sepanjang 4 cm,

yang membentuk sudut 30 derajat dengan garis mendatar.

Pada dada kiri 5 cm dari GPD, 2 cm dibawah puting susu, 145 cm diatas tumit,

ditemukan luka terbuka, pinggir rata, sudut lancip, jika dirapatkan membentuk garis lurus

sepanjang 3 cm, sejajar dengan garis mendatar.

22
15. Fraktur :

Diperiksa secara teliti apakah terdapat fraktur pada mayat akibat trauma. Fraktur

disini bisa terbuka atau tertutup, pada fraktur tertutup bagian tulang yang dicurigai fraktur

harus diraba untuk menentukan adanya krepitasi, termasuk disini juga diperiksa apakah juga

terdapat dislokasi.

Visum et Repertum

Setelah dilakukan pemeriksaan luar, maka hasil pemeriksaan dituangkan dalam

visum et repertum, dimana bagian – bagiannya tetap memenuhi kaidah yang ditetapkan oleh

undang – undang.

Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah sesuai dengan artinya, yaitu dibuat

secara khusus hanya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai surat resmi dan tidak memerlukan meterai untuk menjadikannya

berkekuatan hukum.

Di bagian atas tengah dapat dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et Repertum. Pada

umumnya, visum et repertum dibuat mengikuti struktur atau anatomi yang seragam, yaitu :

1.Bagian Pendahuluan.

Bagian ini sebenarnya tidak diberi judul "Pendahuluan", melainkan langsung merupakan

uraian tentang identitas dokter pemeriksa beserta instansi dokter pemeriksa tersebut, instansi

pemintah visum et repertum berikut nomor dan tanggal suratnya, tempat dan waktu

pemeriksaan, serta identitas yang diperiksa sesuai dengan yang tercantum di dalam surat

permintaan visum et repertum tersebut.

Waktu pemeriksaan dapat dilakukan dalam satu titik waktu dan dapat juga dalam suatu

rentang waktu tertentu yang dapat pendek dan dapat pula panjang (lama).

23
2.Bagian Hasil Pemeriksaan ( Bagian Pemberitaan).

Bagian ini diberi judul "Hasil Pemeriksaan", memuat semua hasil pemeriksaan terhadap

"barang bukti" yang dituliskan secara sistematik, jelas dan dapat dimengerti oleh orang yang

tidak berlatar belakang pendidikan kedokteran. Untuk itu teknik penggambaran atau

pendeskripsian temuan harus dibuat panjang lebar, dengan memberikan uraian letak

anatomis yang lengkap, tidak melupakan kiri atau kanan bagian anatomis tersebut, serta bila

perlu menggunakan ukuran. Pencatatan tentang perlukaan atau cedera dilakukan dengan

sistematis mulai dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.

3.Bagian Kesimpulan.

Bagian ini diberi judul "Kesimpulan" dan memuat kesimpulan dokter pemeriksa atas seluruh

hasil pemeriksaan dengan berdasarkan keilmuan atau keahliannya. Pada kesimpulan visum et

repertum kejahatan seksual (perkosaan) harus dijelaskan adanya tanda – tanda persetubuhan

yang didapat dari hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium serta tanda – tanda kekerasan

pada bagian tubuh lain.

4.Bagian Penutup.

Bagian ini tidak diberi judul "Penutup", melainkan merupakan kalimat penutup yang

menyatakan bahwa visum et repertum tersebut dibuat dengan sebenar-benarnya, berdasarkan

keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah dan sesuai dengan ketentuan dalam

KUHAP. Visum et repertum diakhiri dengan tandatangan dokter pemeriksa atau pembuat

visum et repertum dan nama jelasnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, visum et

repertum juga bisa ditanda-tangani ganda, yaitu oleh dua orang dokter pemeriksa, atau dokter

pemeriksa dan oleh dokter ahli kedokteran forensik sebagai konsulen mediko-legalnya, atau

24
bahkan oleh lebih dari dua orang dokter. Cara ini digunakan untuk meningkatkan nilai dari

visum et repertum tersebut.

b. Menjelaskan Pemeriksaan Dalam Terhadap Korban

Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :

Insisi I, dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus

xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai simfisis, dengan demikian tidak

perlu melingkari pusat.

Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan kemudian.

Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan suprasternal ini

dibuat sayatan melingkari bagian leher. (3,4)

Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan dicatat :

Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur. Secara

tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ hati yang

mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran bentuk.

Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut, berkilat

dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat penebalan, permukaan yang

kasar , penumpulan atau kekeruhan.

Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut.

25
Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya dengan

memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat ditarik. Jaringan yang mudah

teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah

menunjukkan kohesi yang kuat.

Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan penampang

organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini

juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan,

infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah warna organ. Warna

yang pucat merupakan tanda anemia. Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya

penyakit. Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung

dari dugaan penyebab kematian.

Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu :

A. Dada

Seksi Jantung :

Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava inferior sampai

keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup

trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian ini dipotong. Ujung pisau lalu

dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung mulai dari apeks dipotong sejajar dengan

septum interventrikulorum.

Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis kiri

dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar di insisi bilik

kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan melalui katup aorta dan otot

jantung dari apeks dipotong sejajar dengan septum inetrventrikulorum. Jantung sekarang

26
sudah terbuka, diperiksa katup, otot kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum

interventrikulorum.

Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai dari lubang

dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan epikardium dan

endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.

Paru-paru :

Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan pembuluh darah di hilus,

setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka dengan gunting, kemudian bronkhi dan

terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru diiris longitudinal dari apeks ke basis.

Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya

dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal diarahkan

pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain menekan pada punggung pisau.

Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari

diafragma kanan dan kiri kemudian dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru

diperiksa adanya perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur.

Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru, bagian

tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke

lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis dengan

menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi yang lainnya.

Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium dibuka dengan

Y terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna

agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa

adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi

kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium.

27
B. Perut :

Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :

Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat ganda dan

dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit tadi dapat diangkat. Sebelum

diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu.

Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan isi

lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung empedu ditekan, bulu empedu

akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke

arah hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu. Buluh kelenjar

ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas dilepaskan dari duodenum dan

dipotong-potong transversal.

Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipotong longitudinal.

Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa

dan isinya, cacing.

Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:

Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu insisi lateral

dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di hilus, kemudian ureter

dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum dilepaskan dengan cara

memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan dengan cara tumpul membuat jalan

sampai ke belakang rektum. Kemudian dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat

bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu,

28
kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas dengan demikian rektum lepas dari sakrum.

Rektum dan kandung urine dipotong sejauh dekat diafragma pelvis.

Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal dari lateral

ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan

perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urine

melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan demikian terlihat vesika

seminalis. Prostat dipotong transversal, perhatikan besarnya penampang. Testis dikeluarkan

melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi,

normal, tubuli semineferi dapat ditarik seperti benang.

Urogenital Perempuan :

Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka dengan

insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri. Ke kornu. Tuba

diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal.

Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus,

seluruhnya : kandung urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama

7 hari, setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm, kemudian

semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk akan terlihat sebagai noda

merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat sediaan histopatologi. Usus halus dipisahkan

dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan rektum diikat ganda kemudian

dipotong.

Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa.

C. Leher :

29
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai satu

unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil. Pada kasus

pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.

D. Kepala :

Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau

menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian

dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan

menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan

tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji.

Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan

saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di

belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas

dengan cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula

oblongata diiris transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala

perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.

Tengkorak Neonatus :

Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang

masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat diangkat. (3)

Pemeriksaan Khusus

Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam tindakan

otopsi, antara lain : insisi ”Y”, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes emboli udara, tes

apung paru, tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.

30
Insisi ”Y”

Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh pria.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar dengan tulang

tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian tengah (incisura jugularis). Lanjutkan

sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat di garis pertengahan sampai ke

sympisis os pubis menghindari daerah umbilikus.

Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang bawah; tindakan ini

dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama kali. Dengan kulit daerah leher dan dada

bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan. Tindakan

selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang biasa. Insisi yang lebih dalam

(deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita. Buat sayatan yang letaknya tepat di

bawah buah dada, dimulai dari bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus);

bagian lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan arah garis ketiak

depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan

kanan).

Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os pubis, dengan

demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada dalam rongga mulut, leher, dan

rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi ”Y” yang dangkal. Insisi ”Y”,

dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian,

tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada dua macam insisi

”Y”, yaitu :

Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher

31
Buat insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti biasa,

sampai ke simpisis os pubis. Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-

iga. Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior, vv.pulmonalis,

a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta. Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ

otaknya. Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher akan

bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah tengkorak dan ke bawah,

ke arah rongga dada; dengan demikian pemeriksaan dapat dimulai. Insisi ini dimaksudkan

agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga kelainan yang minimalpun dapat terlihat;

misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini

adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir.

Tes emboli udara

Buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke symphisis

pubis,potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan tulang

dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3, potong tulang dada setinggi

perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3, setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada

bagian depan kandung jantung dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua

ujung sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar),

masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi, sampai jantung

terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini merupakan pertanda adanya

udara dalam bilik jantung, tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik

jantung kanan, yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90

derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya positif,

bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah bilik jantung,

untuk melihat keluarnya gelembung udara, bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus,

32
maka pemeriksaan dengan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada

jantung, semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk tes

emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah : pada tes emboli sistemik

tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra

ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan pengurutan atas nadi tersebut,

agar tampak gelembung kecil yang keluar, dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130

ml, sedangkan untuk emboli sistemik hanya beberapa ml. Emboli udara, baik yang sistemik

maupun emboli udara pulmoner, tidak jarang terjadi.

Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada di paru-paru,

misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang merobek paru-paru dan

merobek pembuluh venanya. Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk

melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian

bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain,

misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui

jarum infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan

udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini

ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang ”menyedot”.

Tes Apung Paru-paru

Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,

pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak

yang berisi air. Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.

Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-

masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus. Apungkan semua lobus tersebut,

catat yang mana yang tenggelam dan mana yang terapung.

33
Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran

5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil

tersebut, bila terapung, letakkan potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan

dengan menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila

terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut pernah

dilahirkan hidup.

Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap

pernah dilahirkan hidup. Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang

diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test

emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung paru-paru:

Tes Pada Pneumothoraks

Buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga ke 4

dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ), buat ”kantung” dari kulit dada

tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm ) pada kantung

tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan pisau, adanya gelembung udara

yang keluar berarti ada pneumothorax; dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut

tampak kollaps,

cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar dengan jarum besar

yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada pneumothorax, tampak gelembung-

gelembung udara pada spuit tadi.

Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek, sedemikian rupa

sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang masuk ke paru-paru akan diteruskan

ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar kembali, sehingga terjadi kumulasi udara,

dengan akibat paru-paru akan kolaps dan korban akan mati. Diagnosa pneumothorax yang

34
fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya

dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai berikut:

Tes Alpha Naphthylamine

Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan keringkan

dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari, pakaian yang akan diperiksa, yaitu

yang diduga mengandung butir-butir mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring

yang telah diberi alpha-naphthylamine, di atas kertas saring yang mengandung alpha-

naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest, keringkan dengan

cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan diperiksa, kertas yang

mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang basah, test yang positif akan

terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring yang mengandung alpha-

naphthylamine; bintik-bintik merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu

pada pakaian. Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada

pakaian korban penembakan.

Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga

tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke

dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat

membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai

dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan

difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi.

Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.

c. Menjelaskan Teknik Pengambilan Bahan Dan Cara Pengawetan Serta Pengirimannya

35
Dengan semakin tingginya mobilitas dan penyebaran penduduk ke seluruh penjuru dunia,

maka pada kematian salah seorang anggota keluarga ada kemungkinan perlunya dilakukan

penundaan penguburan/kremasi untuk menunggu kerabat yang tinggal jauh di luar kota atau

luar negeri. Pada kematian yang terjadi jauh dari tempat asalnya, terkadang perlu dilakukan

pengangkutan jenazah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada kedua keadaan ini diperlukan

pengawetan jenazah untuk mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari jenazah ke

lingkungan.

Pada prinsipnya pengawetan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan

pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga

penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup. Pengawetan

jenazah dapat dilakukan langsung pada kematian wajar, akan tetapi pada kematian tidak

wajar pengawetan jenazah baru boleh dilakukan setelah pemeriksaan jenazah atau autopsi

selesai dilakukan.

Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:

Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini penting karena

di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai membusuk,

mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya.

Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu

tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak berbau, tidak

menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama proses pengangkutan. Dalam hal ini

perusahaan pengangkutan, demi reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di

belakang hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik,

yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.

36
Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal akibat penyakit

menular akan lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas kamar jenazah, keluarga

serta orang-orang di sekitarnya. Pada kasus semacam ini, walaupun penguburan atau

kremasinya akan segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan pengawetan jenazah untuk

mencegah penularan kuman/ bibit penyakit ke sekitarnya

Untuk mempertahankan bentuk dan penampilan: Anggota keluarga yang berduka

biasanya menginginkan almarhum(ah) diawetkan sedemikian rupa sehingga penampilannya

dipertahankan semirip mungkin dengan keadaannya sewaktu hidup. Sayangnya pengawetan

jenazah yang ada di Indonesia saat ini pada umumnya masih kurang memperhatikan aspek

kosmetik ini sehingga hasil pengawetannya masih jauh dari sempurna. Keluhan yang biasa

muncul pada pengawetan jenazah cara konvensional dengan formalin adalah muka yang

hitam, kulit yang kaku, obat yang perih dan meleleh dari mulut dan hidung. Dengan

pengembangan metode dan bahan kimia baru, pada saat ini telah berhasil dibuat pengawetan

jenazah yang tidak mengubah warna kulit, tekstur tidak keras, tidak meleleh dan tidak perih,

malahan dilengkapi dengan bau wangi yang dapat dipilih jenisnya.

Di Inggris pengawetan jenazah dilakukan oleh orang yang mempunyai sertifikat

sebagai embalmer setelah yang bersangkutan mengikuti pendidikan selama 3 tahun. Kasus

yang diawetkan adalah kasus kematian wajar dan kasus kematian tidak wajar setelah

dilakukan autopsi oleh dokter forensik. Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi

pendidikan yang khusus mendidik seorang untuk menjadi embalmer. Dalam pendidikan S1

kedokteran tidak ada pelajaran mengenai pengawetan jenazah, sehingga dokter pada

umumnya tidak menguasai tehnik melakukan pengawetan jenazah. Dalam pendidikan S2,

spesialisasi kedokteran forensik adalah satu-satunya program pendidikan yang

mencantumkan pelajaran mengenai pengawetan jenazah dalam kurikulumnya. Atas dasar

itulah, maka dalam konteks hukum di Indonesia, maka pengawetan jenazah sebaiknya

37
dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, yaitu dokter

spesialis forensik. Adapun alasannya adalah sbb:

Karena Indonesia tidak menganut sistim koroner atau medical examiner yang bertugas

memilah kasus kematian wajar dan tidak wajar, maka tugas memilah kasus seringkali justru

ada pada embalmer yang menjadi orang pertama yang *memeriksa jenazah. Embalmer di

Indonesia, yang secara sengaja maupun tidak melakukan pengawetan pada kasus kematian

tidak wajar sebelum dilakukan autopsi, dapat menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan

karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat

dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Jika pada

kasus ini dilakukan juga gugatan perdata, maka pihak Rumah Duka pun dapat saja ikut

dilibatkan sebagai turut tergugat. Kewenangan dan keahlian untuk melakukan pengawetan

jenazah ada pada dokter spesialis forensik, berdasarkan pendidikannya.

Sertifikat pengawetan jenazah yang dibuat oleh dokter spesialis forensik diterima di

seluruh dunia. Pada prinsipnya sertifikat adalah tanda pengakuan bahwa seseorang adalah

ahli dan berwenang dan telah melakukan pengawetan jenazah sesuai standar international dan

berani menjamin bahwa pengawetannya bagus dan ia siap untuk mempertanggungjawabkan

hasil pekerjaannya. Atas dasar itu tentu dapat dimengerti mengapa beberapa embalmer yang

sebenarnya tidak punya keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengawetan berani

melakukan pengawetan tetapi tidak berani memberikan sertifikat. Dalam hal telah dilakukan

pengawetan tanpa sertifikat dan hasilnya jelek dan merugikan keluarga, maka pihak Rumah

Duka sebagai pihak yang memfasilitasi pengawetan tersebut dapat turut digugat secara

perdata berdasarkan pasal 1365 KUHP Perdata.

Perawatan Jenazah

38
Perawatan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan pemberian bahan kimia

tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah

supaya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup. Perawatan jenazah dapat dilakukan

langsung pada kematian wajar, akan tetapi kematian pada tidak wajar pengawetan jenazah

baru boleh dilakukan setelah pemeriksaan jenazah atau otopsi dilakukan.

Perawatan jenazah dilakukan karena ditundanya penguburan/kremasi, misalnya untuk

menunggu kerabat yang tinggal jauh diluar kota/diluar negeri. Pada kematian yang terjadi

jauh dari tempat asalnya terkadang perlu dilakukan pengangkutan atau perpindahan jenazah

dari suatu tempat ketempat lainnya. Pada keadaan ini, diperlukan pengawetan jenazah untuk

mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari jenazah kelingkungannya.

Jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan cepat membusuk dan potensial

menular petugas kamar jenazah. Keluarga serta orang-orang disekitarnya. Pada kasus

semacam ini, kalau pun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan tetap dilakukan

perawatan jenazah untuk mencegah penularan kuman atau bibit penyakit disekitarnya.

Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan dengan selalu

menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi budaya dan agama yang

dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama perawat harus dapat menasihati

keluarga dan mengambil tindakan yang sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah

resiko penularan penyakit seperti halnya Hepatitis B, AIDS, Kolera dan sebagainya. Tradisi

yang berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan

memperhatikan hal yang telah disebut diatas, seperti misalnya mencium jenazah sebagai

bagian dari upacara penguburan. Perlu diingat bahwa virus HIV hanya dapat hidup dan

berkembang dalam manusia hidup, maka beberapa waktu setelah penderita infeksi HIV

meninggal, virus pun akan mati.

39
B. Tujuan Perawatan Jenazah

Adapun tujuan dari perawatan jenazah yaitu :

- Untuk mencegah terjadinya pembusukan pada jenazah

- Dengan menyuntikan zat-zat tertentu untuk membunuh kuman seperti pemberian injeksi

formalin murni, agar tidak meningalkan luka dan membuat tubuh menjadi kaku. Dalam

injeksi formalin dapat dimasukan kemulut hidung dan pantat jenazah.

C. Tindakan Diluar kamar jenasah

Adapun tindakan yang dilakukan diluar kamar jenazah yaitu :

- Mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan

- Memakai pelindung wajah dan jubah

- Luruskan tubuh jenazah dan letakkan dalam posisi terlentang dengan tangan disisi atau

terlipat didada.

- Tutup kelopak mata atau ditutup dengan kapas atau kasa, begitu pula multu dan telinga.

- Beri alas kepala dengan kain handuk untuk menampung bila ada rembesan darah atau cairan

tubuh lainnya.

- Tutup anus dengan kasa dan plester kedap air.

- Lepaskan semua alat kesehatan dan letakan alat bekas tersebut dalam wadah yang aman

sesuai dengan kaidah kewaspadaan universal.

- Tutup setiap luka yang ada dengan plester kedap air.

- Bersihkan tubuh jenasah tutup dengan kain bersih untuk disaksikan oleh keluarga

- Pasang label identitas pada laki-laki

- Beritahu petugas kamar jenazah bahwa jenazah adalah penderita penyakit menular

- Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.

40
D. Tindakan dikamar jenazah

Adapun tidakan dikamar jenazah yaitu :

- Lakukan prosedur baku kewas padaan universal yaitu cuci tangan sebelum mamakai sarung

tangan.

- Petugas memakai alat pelindung :

• Sarung tangan karet yang panjang (sampai kesiku).

• Sebaiknya memakai sepatu boot sampai lutut

• Pelindung wajah (masker dan kaca mata)

• Jubah atau celemek sebaiknya yang kedap air.

- Jenazah dimadikan oleh petugas kamar jenasah yang telah memahami cara membersihkan

atau memandikan jenasah penderita penyakit menular

- Bungkus jenazah dengan kain kafan atau kain pembungkus lain sesuai dengan agama dan

kepercayaan yang dianut.

- Cuci tangan dengan sabun sebelum memakai sarung tangan dan sesudah melepas sarung

tangan

- Jenazah yang telah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.

- Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik atau pengawetan kecauli oleh petugas khusus

yang telah mahir dalam hal tersebut.

- Jenazah tidak boleh diotopsi, dalam hal tertentu, otosi dapat dilakukan setelah mendapat

persetujuan dari pimpinan rumah sakit dan dilaksanakanoleh petugas rumah sakait yang telah

mahir dalam hal tersebut.

E. Hal-hal yang diperhatikan dalam proses perawatan

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perawatan yaitu :

41
- Segera mencuci kulit dan permukaan lain dengan air mengalir bila tekenah darah atau cairan

tubuh lain.

- Dilarang memanipulasi alat suntik atau menyarungkan jarum suntik ke tutupnya. Buang

semua alat atau bendah tajam dalam wadahyang tahan tusukan

- Semua permukaan yang terkena percikan atau tumpuahan darah atau cairan tubuh lainnya

segera dibersihkan dengancairan klorin 0,5 %

- Semua peralatan yang akan digunakan kembali harus diproses dengan urutan :

dekontaminasi, pembersihan, desinfeksi, atau sterilisai

- Sampah dan bahan terkontaminasi lainnya ditempatkan dalam kantong plastic

- Pembuangan sampah dan bahan yang tercemar sesua pengolah sampah medis.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap

bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau

adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan

penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan

dengan penyebab kematian.

Otopsi sangatlah penting untuk perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Otopsi

bisa berkembang berkat ketekunan kerja para ahlinya dan mendorong berkembangnya aturan

hukum yang mengatur hak dan kewajiban keduanya saat berinteraksi. Otopsi dilakukan

terhadap mayat seseorang yang diduga akibat suatu penyakit dan dengan persetujuan tertulis

ahli warisnya. Tidak lengkapnya pelaksanaan prosedur otopsi akan berakibat tidak dapat

42
ditentukannya sebab kematian. Di Indonesia otopsi sangatlah rendah maka Rumah Sakit yang

ada di Indonesia perlu di akuntabilitas.

Dengan pembahasan diatas jelas bahwa sangatlah penting Otopsi di Indonesia. Dan di

bidang kedokteran, Otopsi berdiri sendiri dan ada hukum-hukum tersendiri pula. Jadi tidak

pelu kita bimbang atas perkara ini yaitu Otopsi, karena orang-orang yang dapat melakukan

Otopsi adalah orang-orang yang dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

 Amri Amir. Autopsi Medikolegal. Edisi Kedua. Ramadhan. Medan. 2004

 Di Maio D,Di Maio VJM.Forensic Pathology,New York.

 FK Unair 99. Visum et Repertum dalam www.wikipedia.com

 Knight B,Forensic Pathology,Second Edition.New York.Oxford University.

 Bagian Kedokteran Forensik FKUI.Ilmu Kedokteran Forensik.Jakarta:Forensik FKUI.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.

 Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.

 Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi

Kelima.

43
 Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi

Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.

 Haglund WD, Sorg MH. Forensic taphonomy, the postmortem fate of human remains.

Boca Raton: CRC Press 1999: 165, 486-7.

 Spitz WU, Fisher RS. Medicolegal investigation of feath. 2nd ed. Springfield: Charles C

Thomas 1973: 30-1, 253-4, 474.

 Hamzah A. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996

 AtmaDja DS. Perawatan jenasah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran

Indonesia (Inpress, Agustus 2002)

 Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.

NAMA – NAMA PENYUSUN

TUTOR : dr. Refi Sulistiasari Sp.P

KETUA : Jaka Prasetya Vidya Ananta (7113080213)

SEKRETARIS : Nusa Intan Tata Rahmani (7113080311)

ANGGOTA :

 Afni Kartika (7113080052)

 Isnadiar (7113080056)

 Mhd. Wahyu Setiawan (7113080188)

 Ryan Primadi Jasman (7113080174)

 Zainal Arifin Rambe (7113080077)

44
 Cut Syella Rica (7113080318)

 Faisal Akmal (7113080119)

 Maulana Ihsan (7113080302)

 Julaika Riastuti (7113080047)

45

Anda mungkin juga menyukai