Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TEKNIK AUTOPSI FORENSIK

OLEH :
Dinda Asari Zulkarnain
70700121008

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Denny Mathius, Sp.F, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:


“TEKNIK AUTOPSI FORENSIK”
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui
Pada Oktober 2022
Oleh:

Pembimbing

dr. Denny Mathius, Sp.F, M.Kes

Mengetahui,
Ketua program studi Pendidikan profesi dokter
UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin, Sp.OG, M.kes


198409052009012012

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga refarat dengan judul “Teknik Autopsi Forensik” dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
bantuan dan bimbingan dari dokter pembimbing bagian Ilmu Kedokteran Forensik di RSUD
Labuang Baji Makassar sehingga refarat ini dapat terselesaikan.

Terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan refarat ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Permohonan maaf juga kami sampaikan apabila dalam referat ini terdapat kesalahan. Semoga
referat ini dapat menjadi acuan untuk menjadi bahan belajar berikutnya.
Tidak lupa ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya untuk kedua orang tua tercinta,
yang selalu memberikan motivasi, dukungan do’a, dan selalu sabar dalam memberikan nasehat
serta arahan kepada penyusun. Semoga apa yang telah kita lakukan bernilai ibadah disisi Allah
SWT dan kita senantiasa mendapatkan Ridho-Nya.
Makassar, 06 Oktober 2022

PENULIS

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………………ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………4
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..……
6
A. Pengertian Autopsi…………………………………………...……………………………6
B. Jenis-jenis Autopsi ………………………………………..………………………………6
C. Dasar Hukum Penatalaksanaan Otopsi……………………………………………………7
D. Pemeriksaan Luar……………………………………………………….…………………8
E. Teknik Otopsi……………………………………………………………….……………10
F. Pemeriksaan Penunjang………………………………………………………….………11
G. Insisi……………………………………………………………………………………...12
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………
20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...xxi

4
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka proses penyidikan dan penegakan hukum untuk kepentingan peradilan
ilmu kedokteran forensik dapat dimanfaatkan dalam membuat terangnya perkara pidana
yang menimbulkan korban manusia, baik korban hidup maupun korban mati. Pemeriksaan
otopsi umumnya diperlukan apabila korban dari tindak perkara pidana tersebut korban
mati. Dari pemeriksaan otopsi yang dilakukan, dokter diharapkan dapat memberikan
keterangan setidaknya tentang luka atau cedera yang dialami korban, tentang penyebab
luka atau cedera tersebut, serta tentang penyebab kematian dan mekanisme kematiannya.
Dalam beberapa kasus dokter juga diharapkan untuk dapat memperkirakan cara kematian
dan faktor-faktor lain yang mempunyai kontribusi terhadap kematiannya1,2.
Pengertian otopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka
rongga kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan,
disertai dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik
maupun dengan dukungan pemeriksaan laboratorium. Pelaksanaan otopsi seperti
pengertian di atas mendapat istilah baru yaitu otopsi konvensional. Secara etimologi Bedah
mayat forensik adalah tindakan dengan jalan memotong bagian tubuh seseorang. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah Al- Jirahah yang berarti melukai, mengiris, atau operasi
pembedahan. Di Indonesia otopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua
kematian, namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya otopsi maka tidak ada lagi yang
boleh menghalangi pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan tidak
membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya1,2.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Autopsi

Secara etimologis, autopsi berasal kata dari Auto yang artinya sendiri dan Opsis yang
artinya melihat. Yang dimaksudkan dengan autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh
mayat yang terdiri dari pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam dengan
tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas
penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab
akibat antara kelainan -kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian3.

2. Jenis-jenis Autopsi

Berdasarkan tujuannya autopsi digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu autopsi klinik dan
autopsi forensik atau autopsi medikolegal.
1. Autopsi Klinik4
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat di Rumah
Sakit tetapi kemudian meninggal. Jenis autopsi ini mutlak diperlukan izin dari keluarga
terdekat mayat yang bersangkutan. Adapun tujuan dilakukan autopsi klinik adalah:
- Menentukan sebab kematian yang pasti
- Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan sesuai
dengan diagnosis post-mortem
- Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis
dan gejala – gejala klinik
- Menentukan efektifitas pengobatan
- Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
- Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter

2. Autopsi Forensik atau Medikolegal4

6
Dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan perundang – undangan.
Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan pemeriksaan
atau pembuatan Visum et Repertum (VeR) dari pihak yang berwenang, dalam hal ini
pihak penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang
menghalang – halangi dilakukannya autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut
berdasarkan undang – undang yang berlaku.
Adapun tujuan dilakukannya autopsi forensik adalah:
- Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
- Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta
memperkirakan saat kematian
- Mengumpulkan serta mengenali benda – benda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan
- Membuat laporan tertulis yang obyektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk
visum et repertum
- Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas
serta penuntutan terhadap orang yang bersalah

3. Dasar Hukum Penatalaksaan Otopsi

Aspek hukum yang terkait dengan autopsi antara lain; pihak yang berhak meminta
VeR, dasar hukum autopsi forensik, barang bukti, dan menentukan saat kematian. Pihak
yang berhak meminta VeR adalah; penyidik (KUHAP I butir 1, 6, 7, 120, 133, PP RI No 27
Th 1983) yakni pejabat polisi negara RI tertentu sekurang-kurangnya berpangkat PELDA
(AIPDA) serta berpangkat bintara dibawah PELDA (AIPDA). Selanjutnya penyidik
pembantu (KUHAP I Butir 3,10, PP RI No 27 Th 1983) yaitu pejabat polisi Negara RI
tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat SERDA polisi (BRIPDA). Selain itu Provos
berdasarkan UU No I Darurat Th 1958, Keputusan Pangab No Kep/04/P/II/1984. Terakhir
adalah hakim pidana (KUHAP 180)4,5.

Dasar hukum autopsi forensik adalah KUHAP 133, KUHAP 134, KUHP 222,
Reglemen pencatatan sipil Eropa 72, Reglemen pencatatan sipil Tionghoa, STBL 1871/91,

7
UU RI No 23 Th 1992 Pasal 70. Dasar hukum yang berkaitan dengan barang bukti
berdasarkan KUHAP 42, yakni barang bukti harus diperiksa oleh dokter untuk dicatat
kemudian dilaporkan dalam VeR; barang bukti setelah diperiksa diserahkan kepada
penyidik secepatnya dengan disertai surat tanda penerimaan yang ditanda-tangani oleh
penyidik4,5.

Untuk menentukan saat kematian berdasarkan PP No 18 th 1981, yakni secara


konvensional; seseorang telah meninggal dunia apabila keadaan insane yang diyakini oleh
ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti. Khusus untuk transplantasi; saat kematian ditentukan oleh dua
dokter yang tidak ada hubungan dengan dokter yang melakukan transplantasi dan
penentuan kematian di RS modern menggunakan EEG, yaitu alat yang mencatat aktivitas
otak4,5.

4. Pemeriksaan Luar

Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan luar dimulai dari pemeriksaan label pada
jempol kaki mayat yang berasal dari pihak kepolisian. Gunting pada tali pengikat, simpan
bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin.
Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar zenazah, harus tetap ada pada
tubuh mayat. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi
(ada tidaknya bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai di bawah,
dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan
corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial,
dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya
bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya3.

8
Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran
nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. Mencatat benda di samping mayat. Mencatat
perubahan tanatologi: Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam3.
- Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya
spasme kadaverik.
- Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu ruangan pada
saat tersebut.
- Pembusukan.
- Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.

Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit,
status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding
perut. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus,
meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.
Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut kepala harus
diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan mencabut sampai ke
akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini
disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya3.

Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan,
kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah
yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya
kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata.
Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada
daun telinga dan hidung. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi
geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak,
pewarnaan, dan sebagainya. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau
pelebaran pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara
menyeluruh3.

9
Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan
bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan
selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk
lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan lain-lain. Perlu
diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis, edema, bekas
pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh3.
Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada
tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka, lokasi, ukuran, dan
lain – lain. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan.
Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara lain: garis tengah
melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua
puting susu, dan garis mendatar melalui pusat. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang,
serta jenis/sifatnya3.

5. Teknik Otopsi

1. Teknik Virchow
Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah dilakukan pembukaan
rongga tubuh, organ – organ dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Dengan
demikian kelainan – kelainan yang terdapat pada masing – masing organ dapat segera
dilihat, namun hubungan anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistim
menjadi hilang. Dengan demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi
forensik, terutama pada kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan
senjata tajam, yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah serta dalamnya penetrasi
yang terjadi6.

2. Teknik Rokitansky
Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa
irisan in situ, baru kemudian seluruh organ – organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan –
kumpulan organ (en bloc). Teknik ini jarang dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan

10
yang nyata atas teknik lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk autopsi
forensik6.

3. Teknik Letulle
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher, dada, diafragma dan perut dikeluarkan
sekaligus (en masse). Kepala diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior
menghadap ke atas. Plexus coeliacus dan kelenjar para-aorta diperiksa, aorta dibuka sampai
arcus aortae dan Aa. Renales kanan dan kiridibuka serta diperiksa. Aorta diputus di atas
muara arteri renalis. Rectum dipisahkan dari sigmoid. Organ urogenital dipisahkan dari
organ lain. Bagian proksimal jejunum diikat pada dua tempat dan kemudian diputus antara
dua ikatan tersebut dan usus dapat dilepaskan. Esofagus dilepaskan dari trakea, tetapi
hubungannya dengan lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diputus di atas
diafragma dan dengan demikian organ leher dan dada dapat dilepas dari organ perut.
Dengan pengangkatan organ – organ tubuh secara en masse ini, hubungan antar organ tetap
dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian teknik ini adalah
sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar dalam penanganan karena panjangnya
kumpulan organ – organ yang dikeluarkan sekaligus6.

4. Teknik Ghon
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati dan
limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ (bloc). Saat ini
berkembang teknik autopsi yang merupakan modifikasi dari teknik Letulle. Organ tidak
dikeluarkan secara en masse, tetapi dalam 2 kumpulan. Organ leher dan dada sebagai satu
kumpulan, organ perut serta urogenital sebagai kumpulan yang lain, setelah terlebih dahulu
usus diangkat mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai perbatasan rectosigmoid6.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah disebutkan di atas
belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul dalam proses peradilan pidana.
Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana,

11
toksikologik, mikroskopik, serologik, DNA, dan sebagainya. Untuk pemeriksaan
toksikologik diperlukan bahan untuk mengawetkan sampel, yaitu etil alkohol. Jika tidak
ada dapat digunakan wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap
diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut lebar. Botol
pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding, botol kedua diisijaringan traktus
digestivus, botol ketiga traktus urinarius, dan botol ke empat diisi jaringan lain7.

Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa cairan formalin 10%
dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan dipotong-potong dalam ukuran yang tidak
terlalu besar (1cm x 1 cm x 2,5 cm) karena daya tembus formalin terbatas. Dalam hal
pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di tempat dilakukannya otopsi, maka
dokter wajib memberitahukan serta menyerahkan sampel dengan berita acara kepada
penyidik. Selanjutnya penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan
penunjang kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan7.

7. Insisi

1. Insisi I atau Y
Terdapat beberapa jenis insisi yang dapat digunakan untuk membuka tubuh. Pada
dasarnya, semua jenis insisi menggunakan pendekatan dari midline anterior, namun
berbeda pada diseksi leher. Terlepas dari jenis insisi yang dipilih, tubuh jenazah
sebaiknya diletakkan dalam posisi supinasi dan bahu ditopang oleh balok agar leher
terekstensi. Jenis insisi yang digunakan diharapkan aman bagi operator dan dapat
memberikan lapang pandang yang maksimal dengan tetap mempertertimbangkan aspek
rekonstruksi dari tubuh jenazah7.
Teknik pembukaan dapat menggunakan teknik insisi I atau insisi Y. Keuntungan
teknik insisi I adalah mudah dikerjakan dan daerah leher dapat diperiksa lapis demi lapis
sehingga semua kelainan yang ada dapat dilihat, tetapi keburukannya ialah dari segi
estetika karena ada irisan pada daerah leher. Sedangkan keuntungan teknik insisi huruf Y
ialah tidak adanya irisan di daerah leher, tetapi teknik ini agak sulit dan memerlukan
ketrampilan tinggi. Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai

12
prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusat sampai simfisis, dengan
demikian tidak perlu melingkari pusat. Insisi Y dilakukan semata-mata untuk alasan
kosmetik, sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya
jahitan setelah dilakukan bedah mayat7.
Ada 2 macam insisi Y, yaitu:
1) Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision), yang dilakukan pada
tubuh pria8,
- Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar
dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian
tengah (incissura jugularis),
- Lanjutkan sayatan, dimulai dari incissura jugularis ke arah bawah tepat
di garis pertengahan sampai ke symphisis os pubis; dengan
menghindari daerah umbilicus.
- Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati, sampai ke rahang
bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat untuk
pertama kali,
- Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat
dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan,
- Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan yang biasa dilakukan
pada bedah mayat biasa.
2) Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan pada tubuh
wanita8,
- Buat sayatan yang letaknya tepat di tepi bawah buah dada, dimulai dari
bagian lateral menuju bagian medial (processus xyphoideus); bagian
lateral di sini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan
garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga
dilakukan untuk sisi yang lain.
- Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai ke symphisis os
pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang
berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila
dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal

13
2. Insisi U
Insisi dimulai dari 1 cm di belakang meatus acusticus externa, menyusuri aspek
lateral leher dan melewati klavikula di sepertiga luar. Insisi yang sama dilakukan di sisi
yang lain dan bertemu dengan insisi sebelumnya di atas angulus sternalis. Insisi di
lanjutkan melalui garis tengah depan, menghindari umbilikus sampai ke mons pubis7.
Teknik lain yang dapat digunakan adalah single midline incision. Pada single line
incision, insisi dimulai dari prominensia laryngeal sampai ke mons pubis. Penggunaan
single midline incision dapat berbahaya bagi operator karena tidak dapat menyediakan
ruangan yang cukup untuk diseksi lidah dan leher7.
Pada saat tidak adanya persetujuan untuk membuka leher (dan thorax), tubuh
dapat dibuka dengan menggunakan insisi T subcostal. Insisi dimulai dari processus
xyphoideus sampai ke mons pubis. Kulit dan otot abdomen selanjutnya diinsisi sepanjang
batas costochondral. Pilihan teknik ini diserahkan sepenuhnya kepada dokter yang
hendak melakukan otopsi, tetapi pada kasus dengan trauma pada leher harus dilakukan
dengan teknik insisi I7.

14
Gambar 1. Teknik Insisi

3. Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher6,7


- Buat insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti biasa,
sampai ke simpisis os pubis.
- Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
- Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v. cava inferior, v. pulmonalis,
a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
- Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
- Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher akan bersih
dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah tengkorak dan ke bawah,
ke arah rongga dada; dengan demikian pemeriksaan dapat dimulai.

15
Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan,
penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah
dilakukan paling akhir6,7.

4. Tes Emboli Udara6,7


- Buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke symphisis

pubis,

- Potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan tulang

dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,

- Potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,

- Setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung

dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan tersebut

dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar)

- Masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi, sampai

jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini merupakan

pertanda adanya udara dalam bilik jantung,

- Tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang

berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90 derajat;

gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya positif,

- Bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah bilik

jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,

- Bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip

yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,

16
- Semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk tes

emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah pada tes emboli

sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a.

Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan

pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang keluar,

- Dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli

sistemik hanya beberapa ml.

Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak jarang

terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada di paru-

paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang merobek

paru-paru dan merobek pembuluh venanya. Emboli pulmoner adalah emboli yang

tersering, udara masuk melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi,

misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang

sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan

tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting,

mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga jika ada

robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi dengan

pergerakan pernapasan, yang ”menyedot” 6,7.

5. Tes Apung Paru-Paru6,7

- Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,

pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.

- Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.

17
- Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.

- Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan

masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus.

- Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana yang

terapung.

- Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran

5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.

- Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan potongan

tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan menggunakan berat badan,

kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.

- Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi

tersebut pernah dilahirkan hidup.

- Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi

tetap pernah dilahirkan hidup.

6. Tes Alpha Naphthylamine6,7

- Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan keringkan

dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,

- Pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir mesiu,

dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi alpha-

naphthylamine,

- Di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas

saring yang dibasahi oleh aquadest,

18
- Keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan

diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang

basah,

- Test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring

yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah jambu tadi sesuai

dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian. Test ini dilakukan untuk

mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada pakaian korban penembakan.

Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh.

Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam

rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat membuka

rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai

ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan

menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat

dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga6,7.

19
BAB III
KESIMPULAN

Pengertian otopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka


rongga kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan,
disertai dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik
maupun dengan dukungan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan tujuannya autopsi
digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu autopsi klinik dan autopsi forensik atau autopsi
medikolegal. Terdapat beberapa jenis insisi yang dapat digunakan untuk membuka tubuh.
Pada dasarnya, semua jenis insisi menggunakan pendekatan dari midline anterior, namun
berbeda pada diseksi leher. Terlepas dari jenis insisi yang dipilih, tubuh jenazah sebaiknya
diletakkan dalam posisi supinasi dan bahu ditopang oleh balok agar leher terekstensi. Jenis
insisi yang digunakan diharapkan aman bagi operator dan dapat memberikan lapang
pandang yang maksimal dengan tetap mempertertimbangkan aspek rekonstruksi dari tubuh
jenazah.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Afandi D. Otopsi Virtual. Maj Kedokt Indon. 2009;59:327-332.

2. Nugrogo N. FUNGSI BEDAH MAYAT FORENSIK (AUTOPSI) UNTUK MENCARI


KEBENARAN MATERIIL DALAM SUATU TINDAK PIDANA. J Spektrum Huk.
2017;14(1):44-70.

3. FKUI TPBKF. Teknik Autopsi Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2010.

4. Hatta M. Bedah mayat (autopsi) ditinjau dari perspekif hukum positif Indonesia dan
hukum Islam. Ijtihad J Wacana Huk Islam dan Kemanus. 2019;19(1):27-52.
doi:10.18326/ijtihad.v1i1.27-52

5. Sagai, B, Y, D. Aspek Hukum Terhadap Autopsi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan


Berencana Menggunakan Racun. Lex Crimen; 2017.

6. Collins, K.A., Hutchins, G.M. An Introduction To Autopsy Technique. USA : College of


American Pathologist; 2005.

7. Dahlan, S. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan IV. Badan Penerbit Universitas


Diponegoro; 2008.

8. Idries, A, M. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi Hukum. Cetakan
Pe. Sagung Seto; 2009.

xxi

Anda mungkin juga menyukai