Anda di halaman 1dari 8

Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu
penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak
segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau
meninggal. (Sudjito, 2003).Sesuai dengan Permenkes no. 585tahun 1989
tanggal 21 April 1999 mengenai persetujuan tindakan medis bab 2, Pasien
tidak sadar, tidak ada keluarga bila dalam kondisi gawat darurat,
persetujuan tindakan medis tidak diperlukan dan berdasarkan Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2 setiap dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang
tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika
umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang
pelayanan kesehatan dan situasi setempat. (MKEK, 2002).
Jika dalam penanganan pasien gawat darurat mengalami kegagalan
dan pasien kehilangan nyawanya, maka perlu dilakukan otopsi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan
tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan
interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab
kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan
yang ditemukan dengan penyebab kematian. (Mansjoer, 2000).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:


Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa
penolong ke RS. Korban dalam keadaan tidak sadar, dimasukkan imstalasi
gawat darurat. Dokter bersama paramedik dengan profesional memberikan
pertolongan sesuai standar profesi. Usaha penyelamatan pasien gagal,
setelah dilakukan pertolongan di IGD selama 10 menit korban meninggal.

Korban dibawa ke kamar jenasah untuk dilakukan otopsi untuk mengetahui


sebab kematian.
Belakangan ini, banyak kasus gugatan malpraktik yang dilaporkan ke
pengadilan. Masyarakat menggugat dokter karena merasa tindakan dokter
itu merugikan atau mencelakakan pasien. Pada umumnya, mereka hanya
melihat dari hasil tindakan medis, tidak menilai adanya proses. Upaya
tenaga kesehatan dinilai seperti jual beli barang, padahal hal ini sebenarnya
upaya pelayanan jasa kesehatan. (Wujoso, 2008)
Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis penatalaksanaan
pasien gawat darurat dari segala aspek yang terkait. Permasalahan ini
penting untuk dibahas karena pada dasarnya skenario ini merupakan suatu
jembatan di dalam mempelajari, menghubungkan, dan menerapkan ilmu
kedokteran, khususnya di bidang bioetika dan humaniora.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar
profesi kedokteran dan standar prosedur operasional?
Bagaimana prosedur penatalaksanaan korban meninggal pasien tanpa
identitas?
Bagaimanakah otopsi dalam pandangan hukum, agama, etika, dan disiplin
ilmu?
Apakah kejadian meninggalnya pasien pada skenario merupakan Kejadian
Tidak Diinginkan (KTD)?
C. TUJUAN PENULISAN
Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar
profesi kedokteran dan standar prosedur operasional.
Mengetahui prosedur penatalaksanaan korban meninggal tanpa identitas.
Mengetahui hukum otopsi dari berbagai aspek, yaitu hukum, agama, etika,
dan disiplin ilmu
Dapat membedakan kasus-kasus yang termasuk KTD maupun yang bukan.
D. MANFAAT PENULISAN
1.

Mengembangkan sikap profesionalisme dalam menghadapi permasalahan.

2.

Memahami aspek etika dan medikolegal dalam praktik kedokteran gawat


darurat.

3.

Memahami kaidah bioetik dan penerapannya dalam praktik kedokteran.


4. Menjadi dokter yang humanis dan profesional dalam pelayanan
kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan
medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien. (UU Pradok, 2004). Dalam UU No. 29 tahun 2004,
pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan. (UU Pradok, 2004). Dalam penanganan penderita gawat darurat
yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah mempertahankan jiwa
penderita,

mengurangi

penyulit

yang

mungkin

timbul,

meringankan

penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan


penyakit menular dari penderita. (Sudjito, 2003).
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 14 & pasal 10
yang berbunyi dokter harus berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan penuh
perhatian dalam menyelamatkan jiwa penderitadisertai sikap manusiawi
simpati pada saat penderita mengalami saat-saat kritis walaupun jika pada
akhirnya penderita meninggal.
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa
persetujuan apapun dapat dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam
pasal 351 KUHP. Apabila mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah
dipidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter
dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh perlindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional. (UU Pradok, 2004).
A. Otopsi
Autopsi dibagi berdasarkan tujuannya, yaitu :
1. Otopsi Klinik

Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu


penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti,
menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,
patogenaesis penyakit, dsb. Untuk otopsi ini mutlak diperlukan ijin keluarga
terdekat mayat tersebut. Sebaiknya otopsi klinis dilakukan secara lengkap,
namun dalam keadaaan amat memaksa dapat dilakukan otopsi parsial atau
needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan
tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat.
2. Otopsi Forensik / Medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu
sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaaan, pembunuhan,
maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan otopsi forensic adalah untuk:
Membantu penentuan identitas mayat
Menentukan penyebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat
kematian
Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam membentuk
visum et repertum
Otopsi forensic harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh dokter
sendiri, dan seteliti mungkin. Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah
tidak diperlukan dalam prosedur autopsi forensik. Dokter hanya merupakan
pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini Kepolisian) untuk melakukan
autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas pelaksanaan autopsi,
keberatan dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992)
3. Otopsi Anatomi
Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit. Dilakukan oleh
mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia.
Untuk otopsi ini diperlukan ijin dari korban (sebelum meninggal) atau
keluarganya. Dalam keadaan darurat jika dalam 2x24 jam seorang jenazah
tidak ada keluarganya, maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk otopsi
anatomi.

Prosedur Otopsi sebagai berikut:


a.

Membuat identifikasi dari tubuh memperkirakan ukuran, fisik dan


perawatan

b. Menetapkan sebab kematian


c. Menetapkan cara kematian dan waktu kematian yang penting dan mungkin
d. Untuk mendemonstrasikan segala kelaian luar dan dalam, malformasi dan
penyakit
e. Mendeteksi, menggambarkan dan mengukur luka luar dan luka dalam
f. Mendapatkan sampel untuk analisis, pemeriksaan mikrobiologi dan histologi
dan infestigasi penting lainnya
g. Menahan organ dan jaringan yang relevan sebagai bukti
h. Mendapatkan foto dan video untuk keterangan dan pendidikan
i. Menyediakan laporan tertulis yang lengkap untuk temuan otopsi
j. Memberikan interpretasi ahli terhadap semua yang ditemukan
k. Memperbaiki kondisi tubuh, sebelum diberikan kepada keluarga.(Rachman,
et. al., 2006)
Otopsi Menurut Pandangan Hukum
Menurut PPRI No.18 Tahun 1981 Bab 2, Bedah Mayat Klinis Pasal 2:
1. Otopsi diperbolehkan bila ada surat permintaan dari kepolisian
2. Otopsi diperbolehkan jika dalam 2x24 jam tidak ada keluarga korban yang
datang ke rumah sakit
3. Otopsi diperbolehkan jika jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi
masyarakat (menular)
Otopsi Menurut Agama
Menurut agama Islam, otopsi dalam tinjauan syari :
1. Dalam kedaan darurat dan lebih memntingkan manfaat
2. Untuk kepentingan pengembangan ilmu kesehatan
3. Untuk menegakkan hukum secara adil
B. Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat
Berdasarkan buku penanggulangan korban gawat darurat yang ditulis
oleh dr. MH. Sudjito. SpAn terdapat 5 tahapan yang dapat di simpulkan
dalam menangani korban dalam kondisi gawat darurat :

a.

Persiapan : pada tahapan persiapan dibagi menjadi dua yang pertama


adalah persiapan pra-rumah sakit yaitu seluruh kejadian yang berlangsung
dilakukan dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Persiapan
selanjutnya adalah persiapan di rumaha sakit yaitu persiapan yang dilakukan
untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan
cepat.

b.

Triase : triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan


terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada pada
kebutuhan ABCDE ( airway, breathing, circulation, disability, exposure).

c.

Resusitasi : dalam hal ini dapat dilakukan terapi suportif yang diberikan
berdasarkan prioritas kegawatannya yaitu ABCDE yang dengan tujuan untuk
mengevaluasi hipoksemi dan hiperkarbia yang mungkin telah terjadi akibat
gawat napasnya.

d. Pemantauan dan re-evaluasi berlanjut : tindakan yang akan dilakukan lebih


lanjut tergantung luka dan jenis pertolongan sealanjutnya yang dibutuhkan
penderita.
e.

Penanganan definitif : penanganan yang sesuai terapi yang dibutuhkan


setelah diketahui bagian kerusakan pada tubuh penderita.
( Sudjito, 2000)
. Tujuh Langkah Keselamatan Pasien
Dokter dan tenaga medis lain juga harus menerapkan tujuh langkah
keselamatan pasien (KP), yaitu:

Bangun kesadaran akan nilai KP, Ciptakan kepemimpinan & budaya yg


terbuka & adil.

Pimpin dan dukung staf Anda, Bangunlah komitmen & fokus yang kuat &
jelas tentang KP di RS Anda

Integrasikan aktiivitas dan pengelolaan resiko, Kembangkan sistem &


proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yang
potensial bermasalah

Kembangkan sistem pelaporan, Pastikan staf Anda agar dgn mudah dapat
melaporkan kejadian / insiden, serta RS mengatur pelaporan kepada KKPRS.

Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara-cara


komunikasi yg terbuka dgn pasien

Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP, Dorong staf anda utk
melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana &

mengapa

kejadian itu timbul

Cegah cedera melalui implementasi sistem KP, Gunakan informasi yang


ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada sistem
pelayanan. (Yahya, 2006)

C.

Konsep Malpraktek
Adalah suatu kelalaian dari seorang tenaga medis untuk menerapkan
tingkatketrampilan

dan

pengetahuan

di

dlam

memberikan

pelayanan,pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang


lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit di wilayah
yang sama.
Seorang dokter dikatakan melakukan malpraktik bila :
1. Kurang menguasai iptek kedokteran
2. Memberikan pelayanan di bawah standar profesi
3. Melakukan kelalaian dan tidak hati-hati
4. Melakukan hal yang melanggar hukum. (Chazawi, 2008 )
D. Aspek Hukum dan Etik Kedokteran Pelayanan Gawat Darurat
Pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan
gawat darurat adalah:
-

UU No 23/1992, pasal 32 ayat 7 tentang Kesehatan

o Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan


terjangkau oleh mayarakat
-

Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 pasal 53 ayat 2 tentang


Persetujuan Tindakan Medis.

Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan

tindakan

medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi, tidak perlu
persetujuan dari siapapun.

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Rumah

No.159b/1988

pasal

23

tentang

Sakit

o Kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24


jam per hari
-

Pasal 5l UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran

o Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat, di mana


seorang

dokter

wajib

melakukan

pertolongan

darurat

atas

dasar

sebagai

tugas

kemanusiaan.
-

Pasal 13 Kode Etik Kedokteran tentang Pertolongan Darurat

Setiap dokter

wajib

melakukan

pertolongan

darurat

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
lebih mampu memberikannya.(Herkutanto, 2007)
BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
kedokteran, penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan
tanpa persetujuan tindakan medic (informed consent) dari siapapun. Tenaga
kesehatan harus mengusahakan kesehatan seoptimal mungkin agar pasien
dapaat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat darurat. Dalam KTD,
sepanjang dokter dan paramedic telah berpegang pada konsep standar
profesi dan prosedur operasional, tindakan medis yang dilakukan tidak dapat
disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi hokum oleh
peraturan kesehatan yang berlaku.
Pelaksanaan otopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan
apabila :
1. Ada surat permintaan dari kepolisian
2. Dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga korban yang datang ke rumah
sakit
3. Diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat

Anda mungkin juga menyukai