Anda di halaman 1dari 19

Etika Kedokteran Forensik

Eddy Prijono
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Semula bernama Medicolegal Science.


Kemudian berkembang jadi Forensic Medicine.
- Forensic : asal kata Forum, tempat berlangsung
sidang dizaman Romawi
- Medicine : berarti kedokteran.
Di Indonesia :Paska kemerdekaan Medicolegal diganti menjadi Ilmu
Kedokteran Kehakiman.
- Sejak awal 1990, dipopulerkan menjadi
IlmuKedokteran Forensik
PENGERTIAN
Ilmu Kedokteran Forensik :
Cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
prinsip- prinsip dan pengetahuan kedokteran
untuk membantu proses hukum, baik sipil
maupun kriminal (Jaising P Modi)

Penggunaan pengetahuan dan keterampilan


dibidang kedokteran kepentingan hukum dan
peradilan (Prof.DR.Amri Amir SpF(K),DFM,SH).
3. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pelayanan ilmu kedokteran


Forensik meliputi :
Pemeriksaan orang hidup maupun orang mati
Pemeriksaan bahan yang berasal dari tubuh
manusia spt. darah, urine, semen, rambut,kuku,
dll untuk kepentingan penyidikan dan peradilan
Pembuktian ada atau tidaknya peristiwa pidana
berupa ada tidaknya cedera pada korban atau
perlakuan salah/kesengajaan/kelalaian dari pelaku.
Identifikasi merupakan puncak dari pembuktian
keseluruhan diri korban, karena peristiwa pidana
(dugaan pembunuhan atau kecelakaan) bertujuan
menghilangkan atau berakibat hilangnya diri atau
ciri unik korban.
Pendokumentasian bukti fisik tersebut (pada mayat
mulai dari spesimen/ serpihan/ potongan sampai ke
rekonstruksi keseluruhan potongan tersebut).
Namun perlu diingat bahwa identifikasi juga
diperlukan pada korban hidup (seperti kasus
penentuan keayahan), sehingga fakta dan bukti
tersebut perlu juga didokumentasikan
Ekspertise, dalam bentok Visumet
Repertum atau surat keterangan medik
dokter atau medical report. Ekspertise
merupakan gabungan dari pemerian
(deskripsi) fakta biomedik yang disajikan
dalam kelompokan tertentu yang dapat
digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan. .
Layanan komunikasional ke penegak hukum. Hal
ini penting karena seringkali pemahaman atau
penulisan ekspertis yang walaupun sudah dibuat
dalam bahasa awam, masih sering kurang
dipahami oleh pengacara, jaksa ataupun majelis
hakim.
Demikian pula fakta yang diperoleh tak dapat
sekaligus segera setelah sekali pemeriksaan,
misalnya penemuan bagian tubuh atau spesimen
dapat dijumpai waktu yang berbeda. Termasuk
layanan ini adalah aspek pembiayaan apabila
diperlukan pemeriksaan laboratorium khusus
seperti penggunaan uji DNA.
Layanan ke masyarakat, khususnya keluarga
yang ingin tahu kepastian korban atau pelaku.
Kegiatan identifikasi korban massal merupakan
jasa layanan forensik melalui upaya DVI (disaster
rictim identif cation). Sebelumnya, kegiatan
membantu masyarakat setempat untuk
menemukan "korban hilang", permintaan
pemeriksaan forensik oleh pihak masyarakat
(untok diotopsi) bila sebab musabab kematiannya
kurang jelas atau sekedar memicu agar pihak
berwajib melakukannya sebagaimana perkara-
perkara yang berkaitan dengan pelanggaran Hak
Asasi Manusia.
Etika Kedokteran Forensik
Perilaku dokter spesialis forensik bersandar pada etika
kedokteran forensik, suatu kekhususan etika
kedokteran yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut :
a. Imparsialitas (dalam prosedural dan penyajian
fakta ilmiahforensik)
b. Pengabdian khusus untuk penegakan keadilan
c. Obyektivitas medikolegal (berbasis fakta,
keterikatan pada dasar ilmu pengetabuan hukum dan
kedokteran).
d. Profesionalitas atau kemampuan dialogis etika
interprofesional dengan norma utama kejujuran ilmiah.
Sikap imparsial (tidak berpihak) dalam
bidang forensik merupakan ciri utama
yang khas, karena kiprah dekter disini
hanyalah demi tegaknya keadilan. Bagi
spesialis forensik yang memeriksa korban
mati, hal ini nampak lebih jelas karena
sebagian besar ia sebelumnya tak
mengenal korbannya, sehingga tugasnya
mengungkapkan patologi ketika
melakukan pemeriksaan luar atau otopsi,
imparsialitas ini mudah dilakukan
Imparsialitas sebagai dokter pemeriksa akan memberikan
warna tersendiri, yang makin lama makin terbiasa, sehingga
dokter yang menekuni bidang ini akan memiliki kemampuan
analisis etikolegal kasus, menyelesaikan kasus (resolusi
konflik), menyeimbangkan antara kepekaan terhadap Hak
Asasi Manusia yang sering mewarnai ketidakadilan kondisi
tertentu dengan kemaslahatan tujuan program kesehatan
masyarakat.
Pengabdian khusus profesi sebagai dokter pemeriksa akan
memunculkan daya kritis terhadap masalah kerahasiaan
medik (wajib simpan vs wajib buka), kapasitas pelaku
kejahatan untuk diadili /menjalani sanksi (kompeten atau tidak
kompeten) setelah beberapa waktu pasca dugaan kejahatan
yang dilakukannya dan kemampuan pembuatan peraturan
perundang-undangan (legislasi), khususnya hukum disiplin
profesi kedokteran.
Obyektivitas medikolegal mensyaratkan dua hal
pokok yakni:
a. Pemerian (deskripsi) gejala dan fakta di tubuh
manusia secara apa adanya oleh dokter sebagai
subyek yang independen (bebas nilai atau
kepentingan selain nilai ilmiah) untuk dijadikan
sebagai bukti. Dalam pemerian luka misalnya,
dokter menempatkannya di "bagian pemberitaan"
dari Visum et Repertum secara apa adanya,
secara tersendiri. Dalam pemerian ini dokter
mengaplikasikan traumatologi, suatu topik yang
dipelajari di Departemen Fisika, Anatomi, Fisiologi,
Patologi Anatomik, Penyakit Dalam dan Bedah di
Fakultas Kedokteran.
b. Sedangkan sikap jujur (termasuk dalam
interaksi/dialog dengan pihak/ahli penegak
hukum), dan hati-hati (dalam mengutarakan
pendapat) kepada rekan profesi penegak
hukum yang memiliki logika, tradisi dan
metodologi ilmiah tersendiri namun awam
medik karena perbedaan metodologis
keilmuan cenderung untuk terjadi
kesalahpahaman. Adanya kemampuan
komunikasi dan dialog antar profesi memang
mempersyaratkan adanya kejujuran antar
mereka
Dalam konteks forensik sebagai cabang ilmu yang
berkaitan dengan pembuktian, apalagi adanya
trias tanggungjawab: responsibility accountability
dan liabilty, memberi dampak bagi setiap dokter
untuk lebih memiliki kesadaran sejati untuk
mendahulukan tanggungjawab (altruistik) lebih
daripada hak-hak pribadinya. Hal ini merupakan
tujuan moral mereka yang akan menjadi
pemimpin.
Adanya kesadaran bahwa dokter mungkin dikenai
sanksi hukum (liability) akan menajamkan proses
pembelajaran empati di banyak FK. Hal ini akan
meredam setiap dokter untuk melakukan
professional misconduct
Dengan demikian profesi dapat lebih bersatu
sehingga dapat dimanfaatkan untok
kelancaran proses legislasi peraturan
perundang-undangan, kbususnya di bidang
kesehatan dan kedokteran serta untuk
menjadi "wasit" bila terdapat dua sejawat
bertikai, yang berpotensi atau telah aktual
bertikai. Imparsialitas juga akan meredam
konflik-etikolegal antar sejawat sehingga
mampu mencegah terjadinya
deprofesionalism korps kedokteran.
LINTAS DISIPLIN ILMU KEDOKTERAN
FORENSIK
4
Penyidik Dokter
2
1 3
5+ 5

Penuntut Umum korban 7

6+ 6

Hakim
KETERANGAN :

1 =Penyidik menemukan / mendapatkan laporan ada korban


2 = Penyidik mengirim permintaan VeR kepada dokter
3 = Dokter memeriksa korban
4 = VeR disampaikan kepada penyidik
5 = Penyidik mengirim berkas pemeriksaan termasuk VeR
kepada jaksa sebagai penuntut umum
5+= Jaksa mengembalikan berkas kepada penyidik untuk
diperbaiki
6 = Jaksa menuntut tersangka disidang pengadilan
6+= Hakim meminte jaksa untuk melengkapi berkas perkara
(termasuk VeR)
7 = Dokter diminta hadir disidang pengadilan
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAN HUKUM KESEHATAN

Hukum kedokteran atau Hukum Kesehatan adalah


cabang Ilmu yang mengatur tentang ketentuan2
hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan
dan pelayanan kesehatan.
Titik berat penerapan ilmu kedokteran forensik
adalah penegakan hukum & Keadilan,
Titik berat penerapan hukum kesehatan adalah
kepentingan kesehatan dan pemakai jasa dibidang
kesehatan, agar pelayanan kesehatan berlangsung
dengan baik
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai