Anda di halaman 1dari 20

REFARAT

Pengantar Forensik Patologi Dan


Forensik Klinik

Supervisor
dr. Adriansyah Lubis, M.Kes, M.Ked(For), Sp.FM

OLEH
dr. Muhammad Akbar Hasibuan
NIM : 227113001

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Refarat ini.
Dalam penulisan refarat ini, saya sebagai penulis mengambil judul
”Pengantar Forensik Patologi Dan Forensik Klinik ” yang merupakan salah
satu Judul refarat dalam program pendidikan Dokter Spesialis dibagian
Kedokteran Forensik.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada
pembimbing saya dr. Adriansyah Lubis, M.Kes, M.Ked(For), Sp.FM yang
telah membimbing penulisan dalam menyelesaikan Refarat ini dan juga kepada
teman sejawat saya para dokter-dokter lainnya.
Akhir kata penulis berharap agar kiranya Refarat ini bermanfaat bagi
pembaca. Kami juga mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran
yang bersifat membangun agar pada penulisan yang akan datang lebih baik
lagi.

Medan,...................... 2022

Penulis,

dr. Muhammad Akbar


Hasibuan

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................1

BAB I................................................................................................................2

1.1Latar Belakang...........................................................................................2

BAB II...............................................................................................................7

2.1Definisi Forensik Patologi..........................................................................7

BAB III............................................................................................................23

1.1 kesimpulan..............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pinada (tindak


melawan hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu
forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam
penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan
interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama
dalam penyidikan tersebut.
Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura
Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan
dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga
menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh
mistik.
Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi,
dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal (Eckert, 1980).
Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik
dalam penegakan hukum.
Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang
pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai
parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode dari
Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal indentifikasi. Bertillon
dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal identification).
Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan
mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya
sekarang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi.
Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di
Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang
mengering „a dried bloodstain”, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4

4
klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan
dimanfaatkan secara luas sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang
dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk
kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal
dengan Ilmu Forensik.
Saferstein dalam bukunya “Criminalistics an Introduction to Forensic
Science” berpendapat bahwa ilmu forensik ”forensic science“ secara umum
adalah „the application of science to law”.
Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan
dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu
sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau
pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap
orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu
dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur
bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat
dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa
tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000).
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu
keharusan menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah.
Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan
proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran materiil.
Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03
tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim
tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam

5
penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat
berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan
keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan
kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud.
Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal
istilah ilmu forensik dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat
diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan penegakan hukum dan keadilan
Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu
kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan
hukum dan pemecahan masalah – masalah di bidang hukum. Memang pada
mulanya ilmu kedokteran forensik hanya diperuntukan bagi kepentingan
peradilan, namun dalam perkembangannya juga dimanfaatkan dibidang –
bidang yang bukan untuk peradilan.
Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu.
Dari semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/
tak diduga, mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih
hidup, atau bahkan kerangka, jaringan, dan bahan biologis yang diduga
berasal dari manusia. Jenis perkaranya pum meluas dari pembunuhan,
penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child abuse
and neglect, perselisihan pada perceraian, anak yang mencari ayah (paternity
testing), hingga ke pelangggaran hak asasi manusia. Apabila Ilmu Kedokteran
Forensik yang digunakan utuk menangani korban mati disebut sebagai
patologi forensik, maka yang menangani korban hidup ataupun tersangka
pelaku disebut sebagai kedokteran forensik klinik (clinical forensic medicine,
atau di beberapa negara disebut police surgeon).
Korban tindak pidana dapat juga berupa korban luka – luka, korban
keracunan, atau korban kejahatan seksual. Dalam penanganan medis korban –
korban tersebut mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan
keahlian klinis lain, seperti dokter bedah, dokter kebidanan, dokter penyakit
dalam, dokter anak, dokter saraf, dan lain – lain.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Forensik Patologi

Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik kedokteran sejak


1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati untuk
kepentingan orang hidup (learn from the dead for the living). Patologi forensik
membuat mayat dan barang bukti diam lain (silent witness) menjadi mampu
berbicaran dan bersaksi untuk kepentingan hukum. Patologi forensik
melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun melakukan autopsi,
dan kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak jarang
pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi
forensik bekerjasama dengan ilmu – ilmu forensik lainnya, dalam
mengungkap tindak pidana, seperti entomologi, toksikologi, antropologi,
balistik, odontologi, serologi, forensik molekular (DNA) dan lain – lain.
Forensik patologi merupakan pendidikan kedokteran forensik dalam
menentukan penyebab kematian dan informasi lain yang relevan secara hukum
dari tubuh seseorang yang mati dalam keadaan non-medis maupun
kemungkinan kejahatan. Autopsi mencakup kebanyakan, namun tak semua
kerja patologi forensik yang berpraktek, dan patologi forensik adakalanya
berkonsultasi untuk memeriksa yang selamat dari serangan kejahatan.
Instalasi Kedokteran Forensik tidak hanya menangani kasus patologi
forensik mati, tetapi juga menangani kasus tindak pidana hidup seperti
memeriksa dan menyusun visum et repertum. Namun demikian tidak
kompeten memberikan tindakan terapi.

Hukum untuk forensik :


1. KUHAP : Hukum Acara Pidana ( Penyidikan Perkara)
2. KUHAP : penerapan Pidana
3. UU No. 2 tahun 2002 : Penyidik ( Petugas Kepolisian)
4. PP No 10 tahun 1966 dan 170 KUHAP : wajib simpan rahasia baik itu
medis hukum pribadi dan instansi

7
Hukum untuk medis – hukum kesehatan :

1. Informed concent
2. Rekam medis
3. Rahasia medis
4. PP no 10 tahun 1966

Hukum untuk tenaga medis

1. PP 32 tahun 1996
2. Standart tenaga profesi
3. Standar pelayanan profesi kesehatan
4. Standar sarana
5. Standar administrasi

Operasional KUHAP

1. Pasal 120 : saksi ahli di depan penyidik


2. Pasal 133: penanganan korban
3. Pasal 134 : informasi kepada keluarga
4. Pasal 135 : pembongkaran jenazah
5. Pasal 136 : biaya pemeriksaan
6. Pasal 170 : resiko hukum
7. Pasal 184 : alat bukti
8. Pasal 185 : pengkajian alat bukti
9. Pasal 186 : saksi ahli di pengadilan.

Operasional KUHAP
Kasus yang terjadi di masyarakat sehingga akibat tindak pidana atau yang
diduga untuk pidana. Meliputi kasus kecelakaan, kriminal, misteri, dan mati
mendadak dan gelandangan. KUHP antara lain pasal 90, 351, 352, 338, 339,
340, 341, 342, 287, 288, 289, 356, 347, 348, 349. Hukum HAM adalah
memperhatikan hak manusia baik secara korban, pelaku dan keluarga pelaku.

Latar belakang adanya kedokteran forensik


Peristiwa, penyebab kematian terbanyak saat ini adalah kecelakaan lalu lintas
darat, laut, atau udara serat kecelakaan kerja. Tetapi untuk mengetahui apakah

8
suatu kejadian merupakan kecelakaan murni atau disengaja ( bunuh diri atau
tindak kriminal), perlu dilakukan pemeriksaan forensik.

Landasan hukum :
 UU No.8 tahun 1981 : “ dokter sebagai ahli dapat ngeluarkan surat
keterangan ahli berdasarkan permintaan penyidik.”
 UU No.8 tahun1987 : “ sebagai tambahan proses operasiobnal yang
merupakan UU kepolisisan”
 Hukum pidana
 Hukum perdata
 UU perlindungan konsumen
 Hukum Kesehatan

Tempat Kejadian Perkara Definisi:

Tempat Kejadian Perkara adalah tempat ditemukannya benda-benda


bukti dan atau tempat terjadinya suatu peristiwa kejahatan atau yang diduga
tindak kejahatan; walaupun di kemudian hari di tempat itu tidak terbukti
tindak pidana, tempat itu tetap disebut sebagai TKP.
Suatu tindak kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 104
sampai pasal 448 tidak hanya mengkait satu tempat saja, tetapi sangat
mungkin melibatkan beberapa bahkan mungkin berjauhan namun masih ada
korelasinya.
Dokter sebagai salah satu dari beberapa saksi ahli sesuai dengan kewajiban
perundang undangan bila diminta oleh penyidik tidak dapat menghindar
untuk mengadakan
penyidikan/pemeriksaan di tempat perkara, terutama yang berbau atau
berhubungan dengan manusia sebagai korban atau pelaku kejahatan dalam
kaitannya dengan penentuan cara kematian (manner of death) serta (cause of
death) sebab kematian.
Perundang-undangan yang mengatur:
 KUHAP: Pasal 120, 133
 KUHP: Pasal 5, 7, 11, 170, 179, 224
 UU Pokok Kepolisian Pasal 13 No. 13 Tahun 1961

9
 Ketentuan pasal Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep./B/17/VI/1975
 Instruksi Kapolri No. 20/E/IX/1975
Dasar Penyidikan: suatu landasan yang digunakan untuk penyidikan
dan disebut dengan heksameter yang arah mencari jawaban pertanyaan
tersebut dibawah ini:
 What (apa) > kejadian apa, apa yang terjadi
 Who (siapa) > siapa yang tersangkut
 Where (dimana) > dimana tempat kejadiannya
 When (kapan) > kapan kejadiannya
 Why (mengapa) > mengapa terjadi dan apa motifnya
 How (bagaimana) > bagaimana jalan terjadinya, dengan apa, secara
bagaimana dilaksanakan.
Seperti diketahui bersama, dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, perkembangan di segala bidang kehidupan yang
membawa kesejahteraan bagi umat manusia pada kenyataannya juga
menimbulkan berbagai akibat yang tidak diharapkan. Salah satunya adalah
meningkatnya kuantitas maupun kualitas mengenai cara atau teknik
pelaksanaan tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan upaya pelaku
tindak pindana dalam usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak jarang
dijumpai kesulitan bagi para petugas hukum untuk mengetahui korban atau
pelakunya. Selain itu kemajuan teknologi yang dijumpai oada sarana-sarana
angkutan baik itu udara, laut, maupun darat yang menggunakan mesin-mesin
modern dan canggih sehingga mampu menempuh dalam ruang dan waktu
dengan kecepatan yang sangat tinggi, begitu juga dengan daya angkut yang
besar. Hal ini semua mempunyai resiko terhadap adanya kemungkinan terjadi
musibah kecelakaan massal, atau kebakaran, demikian pula persenjataan
perang dan bencana alam yang akan dapat menghancurkan semua benda dan
manusia yang menjadi korbannya sehingga sulit atau bahkan tidak dikenali
lagi. Di situlah semua, identifikasi mempunyai arti penting baik ditinjau dari
segi untuk kepentingan forensik maupun non forensik.

PENGERTIAN IDENTIFIKASI

10
Identifikasi adalah suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang
melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal,sedemikian rupa
sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang hilang
yang diperkirakan yang sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu.

ARTI PENTING IDENTIFIKASI


Dalam fungsi pelayanan ilmu kedokteran forensik kepada masyarakat
(biasanya di suatu instalasi kedokteran forensik RS tipe C ke atas oleh dokter
atau dokter ahli forensik/Sp.F atau tim kedokteran
forensik(multidisipliner)),identifikasi merupakan bagian tunggal yang
mempunyai arti cukup penting.
Seperti diketahui,sumbangan ilmu kedokteran forensik dalam
membantu penyidikan perkara pidana menyangkut barang bukti tubuh
manusia sebagaimana dituangkan dalam bentuk surat keterangan ahli berupa
V et R antara lain:menentukan saat kematian,cara kematian dan sebab
kematian,serta pada kasus tertentu dengan keaadaan korban tidak dikenal
adalah menentukan identitasnya.
Dalam proses penyidikan suatu tindakan pidana,mengetahui identitas
korban merupakan suatu hal yang mempunyai arti sangat penting, yaitu
sebagai langkah awal penyidikan yang harus dibuat jelas lebih dahulu
sebelum dapat dilakukan langkah-langkah selanjutnya dalam proses
penyidikan tersebut. Apabila identitas korban tidak dapat diketahui,maka
penyidikan tidak dapat dilakukan. Dengan diketahui identitas korban,maka
dapat dihindari adanya kekeliruan dalam proses peradilan yang dapat
berakibat fatal. Hal ini sesuai semboyan:lebih baik membebaskan yang
bersalah daripada menghukum yang tidak bersalah.

SARANA IDENTIFIKASI
Berdasarkan penyelenggaraan penanganan pemeriksaannya,dapat
dikelompokan:
1.Sarana Identifikasi Konvensional  berbagai macam pemeriksaan
identifikasi yang biasanya sudah dapat diselenggarakan penangannanya oleh
pihak polisi antara lain:

11
a.Pemeriksaan secara visual&fotografi mengenai ciri muka atau sinyalemen
tubuh lainnya.
b.Pemeriksaan benda milik pribadi seperti:pakaian,perhiasan dsb.
c.Pemeriksaan kartu pengenal:KTP,SIM,surat tugas atau dokumen lainnya
d.Pemeriksaan sidik jari
2.Sarana Identifikasi Medis  berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang
diselanggarakan penanganannya oleh pihak medis,yaitu apabila pihak polisi
tidak dapat menggunakan sarana identifikasi konvensional seperti:
a.Pemeriksaan Ciri-Ciri Tubuh yang spesifik maupun non-spesifik secara
medis melalui pemeriksaan luar dan dalam waktu otopsi. Beberapa contoh
ciri yang spesifik misalnya:cacat bibir sumbing,bekas luka,hiperpigmentasi
daerah kulit tertentu,tahi lalat,tato. Beberapa contoh ciri yang non-spesifik
misalnya:tinggi badan,jenis kelamin,warna kulit,warna serta bentuk rambut
dan mata.
b.Pemeriksaan ciri-ciri gigi melalui pemeriksaan odontologis
c.Pemeriksaan ciri-ciri badan atau rangka melalui pemeriksaan
anthropologi,antroskopi dan antropometri
d.Pemeriksaan golongan darah berbagai
sistem:ABO,Rhesus,MN,Keel,Duffy,HLA
e.Pemeriksaan ciri-ciri biologi molekuler sidik DNA dll.
PENGERTIAN IDENTIFIKASI FORENSIK
Identifikasi forensik adalah usaha untuk mengetahui identitas
seseorang yang ditujukan untuk kepentingan proses peradilan. Contoh dari
kasus forensik perdata antara lain kasus paternitas seperti kasus bayi dewi dan
cipluk,kasus pembunuhan bayi untuk mengetahui asal orang tua bayi tersebut
juga umur. Dari umur bayi kita bisa melihat dari panjang badan bayi jika
menurut Haase dari puncak kepala ke tumit sedangkan menuru Streeter dari
puncak kepala ke tulang ekor. Untuk mengetahui apakah bayi lahir hidup atau
mati bisa dapat diketahui dari tes apung paru atau dapat juga melalui
pemeriksaan histologis garis neonatal gigi. Pada gigi-gigi yang proses
kalsifikasinya mulai prenatal yaitu gigi susu dan geraham pertama.
Di samping kasus-kasus forensik,terdapat pula kasus non forensik
yang juga memerlukan penanganan identifikasi untuk kepentingan

12
kemanusiaan seperti:repatriasi,asuransi,sertifikat kematian,ahli waris sosial
beberapa contoh kasus antara lain: Kasus ditemukannya jenazah orang
gelandangan atau rangka tak dikenal yang tidak didapati adanya tanda
kecurigaan sebagai korban pembunuhan. Kasus repatriasi seperti
pengembalian ke negara asal dan distribusi kepada masing-masing
keluarganya atas rangka jenazah korban Vietnam,Korea dsb.,selain itu juga
kecelakaan pesawat terbang ataupun musibah massal lainny seperti
kecelakaan di Condet,musibah tempat hiburan diskotik,kebakaran bus Kramat
Jati serta musibah gedung WTC di USA. Terakhir adalah penggalian
antropologis dan arkeologis rangka nonspesifik untuk kepentingan suatu
penelitian rekonstruksi sejarah manusia dan budayanya
METODE IDENTIFIKASI
1.Identifikasi Membandingkan Data adalah identifikasi yang dilakukan
dengan cara membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan orang tak
dikenal dengan data ciri orang hilang yang diperkirakan pernah dibuat
sebelumnya.Pada penereapan identifikasi kasus korban jenazah tak
dikenal,maka kedua data ciri yang dibandingkan tersebut adalah data post
mortem dan data ante mortem. Data ante mortem yang baik adalah berupa
medical record atau dental record.
Metode ini berpeluang menghasilkan identitas sampai taraf individu.
Hasil dari metode ini hanya ada dua alternatif yaitu
a.Identifikasi Positif : apabila kedua data yang dibandingkan adalah
sama,sehingga dapat disimpulkan bahwa jenazah yang tidak dikenali itu
adalah sama dengan orang yang hilang. Adapun syarat dari data ante mortem
itu adalah:lengkap,akurat dan up to date
b.Identifikasi Negatif : apabila kedua data yang dibandingkan tidak sama
2.Identifikasi Cara Rekonstruksi : merekonstruksi data hasil pemeriksaan post
mortem ke dalam perkiraan mengenai jenis kelamin,umur,ras,tinggi,dan
bentuk badan yang sesuai.
2.2 Definisi Forensik Klinik
Forensik klinik merupakan pemeriksaan pasien hidup dimana subjek
dengan cedera atau tersangka tersangkut kasus pelanggaran hukum dan
memerlukan bukti medis. Pemeriksaan korban kejahatan dan kasus

13
pelanggaran hukum dengan tujuan memperoleh,
mencatat/mendokumentasikan dan menginterpretasikan bukti medis.
Yang melaksanakan pelayanan forensic klinik adalah dokter klinik
yang menangani atau memeriksa pasien yaitu dokter yang bertugas di IGD
bagi pasien gawat darurat dan dokter yang bertugas di IRJ bagi pasien yang
masuk ke rawat jalan serta dokter yang bertugas di ruang perawatan bagi
pasien yang dirawat.
Pembuatan VeR dilakukan oleh dokter klinik yang memeriksa atau
menangani pasien dibantu oleh dokter forensik.
Pemeriksaan / penanganan Forensik klinik dilakukan di IGD, IRJ, atau
ruang perawatan. Visum et Repertum dibuat bila ada surat permintaan dari
kepolisian yang datang bersama korban atau pasien, serta diantar langsung
oleh polisi. Pasien yang disertai surat permintaan Visum et Repertum
dikenakan biaya, sesuai dengan ketentuan Rumah Sakit dan ketentuan
KUHAP. Bila pasien datang tanpa permintaan Visum et Repertum hasil
pemeriksaan adalah menjadi rahasia pasien.
Jenis Kasus Forensik Klinik
 Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia,
mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran, khususnya Ilmu
Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian kejahatan tersebut
memang telah terjadi. Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya
pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan, perkiraan umur, serta pembuktian apakah seseorang itu memang
sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.
 Persetubuhan
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan
oleh undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab
XIV KUHP, yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang
meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di
luar perkawinan. Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang itu belum

14
mampu dikawin dapat menimbulkan permasalahan bagi dokter, oleh karena
penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis
dan pengertian menurut undang-undang.
 Perkosaan
Umumnya negara-negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai
perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan
(force), menciptakan ketakutan (fear), atau dengan cara memperdaya (fraud).
Bersenggama dengan wanita idiot atau imbisil juga termasuk perkosaan
(statutory rape), tidak mempersoalkan apakah wanita tersebut menyetujui atau
menolak ajakan bersenggama sebab dengan kondisi mental seperti itu tidak
mungkin yang bersangkutan mampu (berkompeten) memberikan konsen yang
dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Berdasarkan pasal 285 KUHP,
perkosaan di Indonesia digolongkan sebagai tindak pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki (male crime) terhadap wanita yang bukan istrinya
dan persetubuhannya pun harus bersifat intravaginal coitus. Persetubuhan oral
atau anal yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan tidak
dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan, melainkan perbuatan menyerang
kehormatan kesusilaan (pasal 289 KUHP).
Jadi tindak pidana perkosaan di Indonesia harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
 Unsur pelaku, yaitu:
 Harus orang laki-laki
 Mampu melakukan persetubuhan
 Unsur korban:
 Harus orang perempuan
 Bukan istri dari pelaku
 Unsur perbuatan, terdiri atas:
 Persetubuhan dengan paksa (against her will)
 Pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik
atau ancaman kekerasan.
Dokter hanya dapat diminta bantuannya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap:

15
 Korban, dengan tujuan untuk:
 Mengungkap apakah betul korban seorang perempuan.
 Mengungkap apakah betul telah terjadi senggama.
 Mengungkap identitas laki-laki yang menyetubuhi.
 Mengungkap apakah betul telah terjadi kekerasan fisik.
 Tersangka, dengan tujuan untuk:
 Mengungkap apakah tersangka benar-benar laki-laki.
 Mengungkap apakah tersangka dapat melakukan senggama (tidak
impoten).
 Tanda langsung:
 Robeknya selaput dara akibat penetrasi penis.
 Lecet atau memar akibat gesekan-gesekan penis
 Adanya sperma akibat ejakulasi
 Tanda tidak langsung
 Terjadinya kehamilan
 Terjadinya penularan penyakit kelamin
 Kekerasan
Kekerasan adalah tindakan pelaku yang bersifat fisik yang dilakukan dalam
rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi. Termasuk kekerasan di sini
adalah penggunaan obat-obatan yang dapat mengakibatkan korban tidak
sadar.
Pemeriksaan forensik pada korban yang diduga tindak pidana, dalam
hal ini penganiayaan (KUHP bab XX : tentang penganiayaan); khususnya
pasal 351 dan 352, serta arti atau pengertian luka berat dalam pasal 90,
berkaitan dengan penentuan derajat atau kualifikasi luka. Penentuan tersebut
amat menentukan putusan hakim yang akan dijatuhkan pada terdakwa.
Pemeriksaan forensik yang dilakukan oleh dokter sebagaimana dituangkan
dalam Visum et Repertum, harus memuat kejelasan sebagai berikut:
 Jenis luka yang ditemukan
 Jenis kekerasan yang menyebabkan luka

16
Yang lazim dinyatakan oleh dokter di dalam kesimpulan VR kasus
penganiayaan atau perlukaan; terbatas pada jenis luka dan jenis kekerasan;
dan bukan jenis senjata yang melukai korban.

Trauma Tumpul Tajam

Bentuk luka Tidak teratur Teratur

Tepi luka Tidak rata Rata

Jembatan jaringan Ada Tidak ada

Rambut Tidak ikut Terpotong


terpotong

Dasar luka Tidak teratur Berupa garis atau


titik

Sekitar luka Ada luka lecet atau Tidak ada luka


memar lain

Bunuh diri Pembunuhan Kecelakaan


Jumlah luka Banyak Banyak Satu atau
banyak
Letak luka Pada daerah Bagian Di mana
yan mudah tubuh yang saja,
dijangkau, vital, biasanya
misalnya misalnya bagian
bagian depan kepala, tubuh yang
dan samping dada, menonjol.
tubuh, seperti abdomen.
leher,
pergelangan

17
tangan, lipat
paha, dada, dll.
Jenis luka Biasanya luka Lika tusuk, Abrasi,
potong atau laserasi memar,
tusuk laserasi
Arah luka Dari kiri ke Tidak tentu Tidak tentu
kanan dan dari
atas ke bawah
Tingkat Biasanya tidak Paling parah Tingkat
keparahan parah keparahan
bervariasi
Luka lainnya Tidak ada Mungkin Berkaitan
ada, karena dengan
ada kecelakaan
perlawanan.
Pakaian Tidak rusak Biasanya Rusak dan
rusak terkena
kotoran
Alat yang Terdapat di Tidak ada Ada
menyebabkan sekitar korban,
luka dalam
genggaman

18
BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan
Pengantar Forensik Patologi Dan Forensik Klinik merupakan bagian
dari Ilmu kedokteran forensik yang digunakan untuk hukum. Forensik
patologi banyak digunkan untuk korban yang sudah meninggal, sedangkan
forensik klinik banyak digunakan pada korban yang masih hidup.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr.Amri Amir, Sp.F(K), DFM,SH,Sp.Akup. Ilmu Kedokteran


Forensik. Medan. 2005.
2. Dahlan Sofwan. Ilmu kedokteran kehakiman. Semarang. 2000.
3. KUHPer, KUHP, KUHAP. Jakarta. 2008
4. Idris AM, Tjiptomartono Agung Legowo. Penerapan Imu Kedokteran
Forensik Dalam Proses Penyidikan. Edisi revisi. Jakarta. 2008.
5. Budianto A. Widiatmika W. Sudiono S. Winardi T. Ilmu Kedokteran
Forensik. FK-UI. Jakarta. 1997.
6. Hamdani Njowito. Ilmu Kedokteran kehakiman. Edisi kedua.
Jakarta.1972.

20

Anda mungkin juga menyukai