Supervisor
dr. Adriansyah Lubis, M.Kes, M.Ked(For), Sp.FM
OLEH
dr. Muhammad Akbar Hasibuan
NIM : 227113001
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Refarat ini.
Dalam penulisan refarat ini, saya sebagai penulis mengambil judul
”Pengantar Forensik Patologi Dan Forensik Klinik ” yang merupakan salah
satu Judul refarat dalam program pendidikan Dokter Spesialis dibagian
Kedokteran Forensik.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada
pembimbing saya dr. Adriansyah Lubis, M.Kes, M.Ked(For), Sp.FM yang
telah membimbing penulisan dalam menyelesaikan Refarat ini dan juga kepada
teman sejawat saya para dokter-dokter lainnya.
Akhir kata penulis berharap agar kiranya Refarat ini bermanfaat bagi
pembaca. Kami juga mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran
yang bersifat membangun agar pada penulisan yang akan datang lebih baik
lagi.
Medan,...................... 2022
Penulis,
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................1
BAB I................................................................................................................2
1.1Latar Belakang...........................................................................................2
BAB II...............................................................................................................7
BAB III............................................................................................................23
1.1 kesimpulan..............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan
dimanfaatkan secara luas sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang
dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk
kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal
dengan Ilmu Forensik.
Saferstein dalam bukunya “Criminalistics an Introduction to Forensic
Science” berpendapat bahwa ilmu forensik ”forensic science“ secara umum
adalah „the application of science to law”.
Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan
dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu
sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau
pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap
orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu
dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur
bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat
dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa
tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000).
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu
keharusan menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah.
Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan
proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran materiil.
Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03
tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim
tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam
5
penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat
berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan
keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan
kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud.
Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal
istilah ilmu forensik dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat
diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan penegakan hukum dan keadilan
Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu
kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan
hukum dan pemecahan masalah – masalah di bidang hukum. Memang pada
mulanya ilmu kedokteran forensik hanya diperuntukan bagi kepentingan
peradilan, namun dalam perkembangannya juga dimanfaatkan dibidang –
bidang yang bukan untuk peradilan.
Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu.
Dari semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/
tak diduga, mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih
hidup, atau bahkan kerangka, jaringan, dan bahan biologis yang diduga
berasal dari manusia. Jenis perkaranya pum meluas dari pembunuhan,
penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child abuse
and neglect, perselisihan pada perceraian, anak yang mencari ayah (paternity
testing), hingga ke pelangggaran hak asasi manusia. Apabila Ilmu Kedokteran
Forensik yang digunakan utuk menangani korban mati disebut sebagai
patologi forensik, maka yang menangani korban hidup ataupun tersangka
pelaku disebut sebagai kedokteran forensik klinik (clinical forensic medicine,
atau di beberapa negara disebut police surgeon).
Korban tindak pidana dapat juga berupa korban luka – luka, korban
keracunan, atau korban kejahatan seksual. Dalam penanganan medis korban –
korban tersebut mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan
keahlian klinis lain, seperti dokter bedah, dokter kebidanan, dokter penyakit
dalam, dokter anak, dokter saraf, dan lain – lain.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Forensik Patologi
7
Hukum untuk medis – hukum kesehatan :
1. Informed concent
2. Rekam medis
3. Rahasia medis
4. PP no 10 tahun 1966
1. PP 32 tahun 1996
2. Standart tenaga profesi
3. Standar pelayanan profesi kesehatan
4. Standar sarana
5. Standar administrasi
Operasional KUHAP
Operasional KUHAP
Kasus yang terjadi di masyarakat sehingga akibat tindak pidana atau yang
diduga untuk pidana. Meliputi kasus kecelakaan, kriminal, misteri, dan mati
mendadak dan gelandangan. KUHP antara lain pasal 90, 351, 352, 338, 339,
340, 341, 342, 287, 288, 289, 356, 347, 348, 349. Hukum HAM adalah
memperhatikan hak manusia baik secara korban, pelaku dan keluarga pelaku.
8
suatu kejadian merupakan kecelakaan murni atau disengaja ( bunuh diri atau
tindak kriminal), perlu dilakukan pemeriksaan forensik.
Landasan hukum :
UU No.8 tahun 1981 : “ dokter sebagai ahli dapat ngeluarkan surat
keterangan ahli berdasarkan permintaan penyidik.”
UU No.8 tahun1987 : “ sebagai tambahan proses operasiobnal yang
merupakan UU kepolisisan”
Hukum pidana
Hukum perdata
UU perlindungan konsumen
Hukum Kesehatan
9
Ketentuan pasal Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep./B/17/VI/1975
Instruksi Kapolri No. 20/E/IX/1975
Dasar Penyidikan: suatu landasan yang digunakan untuk penyidikan
dan disebut dengan heksameter yang arah mencari jawaban pertanyaan
tersebut dibawah ini:
What (apa) > kejadian apa, apa yang terjadi
Who (siapa) > siapa yang tersangkut
Where (dimana) > dimana tempat kejadiannya
When (kapan) > kapan kejadiannya
Why (mengapa) > mengapa terjadi dan apa motifnya
How (bagaimana) > bagaimana jalan terjadinya, dengan apa, secara
bagaimana dilaksanakan.
Seperti diketahui bersama, dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, perkembangan di segala bidang kehidupan yang
membawa kesejahteraan bagi umat manusia pada kenyataannya juga
menimbulkan berbagai akibat yang tidak diharapkan. Salah satunya adalah
meningkatnya kuantitas maupun kualitas mengenai cara atau teknik
pelaksanaan tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan upaya pelaku
tindak pindana dalam usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak jarang
dijumpai kesulitan bagi para petugas hukum untuk mengetahui korban atau
pelakunya. Selain itu kemajuan teknologi yang dijumpai oada sarana-sarana
angkutan baik itu udara, laut, maupun darat yang menggunakan mesin-mesin
modern dan canggih sehingga mampu menempuh dalam ruang dan waktu
dengan kecepatan yang sangat tinggi, begitu juga dengan daya angkut yang
besar. Hal ini semua mempunyai resiko terhadap adanya kemungkinan terjadi
musibah kecelakaan massal, atau kebakaran, demikian pula persenjataan
perang dan bencana alam yang akan dapat menghancurkan semua benda dan
manusia yang menjadi korbannya sehingga sulit atau bahkan tidak dikenali
lagi. Di situlah semua, identifikasi mempunyai arti penting baik ditinjau dari
segi untuk kepentingan forensik maupun non forensik.
PENGERTIAN IDENTIFIKASI
10
Identifikasi adalah suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang
melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal,sedemikian rupa
sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang hilang
yang diperkirakan yang sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu.
SARANA IDENTIFIKASI
Berdasarkan penyelenggaraan penanganan pemeriksaannya,dapat
dikelompokan:
1.Sarana Identifikasi Konvensional berbagai macam pemeriksaan
identifikasi yang biasanya sudah dapat diselenggarakan penangannanya oleh
pihak polisi antara lain:
11
a.Pemeriksaan secara visual&fotografi mengenai ciri muka atau sinyalemen
tubuh lainnya.
b.Pemeriksaan benda milik pribadi seperti:pakaian,perhiasan dsb.
c.Pemeriksaan kartu pengenal:KTP,SIM,surat tugas atau dokumen lainnya
d.Pemeriksaan sidik jari
2.Sarana Identifikasi Medis berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang
diselanggarakan penanganannya oleh pihak medis,yaitu apabila pihak polisi
tidak dapat menggunakan sarana identifikasi konvensional seperti:
a.Pemeriksaan Ciri-Ciri Tubuh yang spesifik maupun non-spesifik secara
medis melalui pemeriksaan luar dan dalam waktu otopsi. Beberapa contoh
ciri yang spesifik misalnya:cacat bibir sumbing,bekas luka,hiperpigmentasi
daerah kulit tertentu,tahi lalat,tato. Beberapa contoh ciri yang non-spesifik
misalnya:tinggi badan,jenis kelamin,warna kulit,warna serta bentuk rambut
dan mata.
b.Pemeriksaan ciri-ciri gigi melalui pemeriksaan odontologis
c.Pemeriksaan ciri-ciri badan atau rangka melalui pemeriksaan
anthropologi,antroskopi dan antropometri
d.Pemeriksaan golongan darah berbagai
sistem:ABO,Rhesus,MN,Keel,Duffy,HLA
e.Pemeriksaan ciri-ciri biologi molekuler sidik DNA dll.
PENGERTIAN IDENTIFIKASI FORENSIK
Identifikasi forensik adalah usaha untuk mengetahui identitas
seseorang yang ditujukan untuk kepentingan proses peradilan. Contoh dari
kasus forensik perdata antara lain kasus paternitas seperti kasus bayi dewi dan
cipluk,kasus pembunuhan bayi untuk mengetahui asal orang tua bayi tersebut
juga umur. Dari umur bayi kita bisa melihat dari panjang badan bayi jika
menurut Haase dari puncak kepala ke tumit sedangkan menuru Streeter dari
puncak kepala ke tulang ekor. Untuk mengetahui apakah bayi lahir hidup atau
mati bisa dapat diketahui dari tes apung paru atau dapat juga melalui
pemeriksaan histologis garis neonatal gigi. Pada gigi-gigi yang proses
kalsifikasinya mulai prenatal yaitu gigi susu dan geraham pertama.
Di samping kasus-kasus forensik,terdapat pula kasus non forensik
yang juga memerlukan penanganan identifikasi untuk kepentingan
12
kemanusiaan seperti:repatriasi,asuransi,sertifikat kematian,ahli waris sosial
beberapa contoh kasus antara lain: Kasus ditemukannya jenazah orang
gelandangan atau rangka tak dikenal yang tidak didapati adanya tanda
kecurigaan sebagai korban pembunuhan. Kasus repatriasi seperti
pengembalian ke negara asal dan distribusi kepada masing-masing
keluarganya atas rangka jenazah korban Vietnam,Korea dsb.,selain itu juga
kecelakaan pesawat terbang ataupun musibah massal lainny seperti
kecelakaan di Condet,musibah tempat hiburan diskotik,kebakaran bus Kramat
Jati serta musibah gedung WTC di USA. Terakhir adalah penggalian
antropologis dan arkeologis rangka nonspesifik untuk kepentingan suatu
penelitian rekonstruksi sejarah manusia dan budayanya
METODE IDENTIFIKASI
1.Identifikasi Membandingkan Data adalah identifikasi yang dilakukan
dengan cara membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan orang tak
dikenal dengan data ciri orang hilang yang diperkirakan pernah dibuat
sebelumnya.Pada penereapan identifikasi kasus korban jenazah tak
dikenal,maka kedua data ciri yang dibandingkan tersebut adalah data post
mortem dan data ante mortem. Data ante mortem yang baik adalah berupa
medical record atau dental record.
Metode ini berpeluang menghasilkan identitas sampai taraf individu.
Hasil dari metode ini hanya ada dua alternatif yaitu
a.Identifikasi Positif : apabila kedua data yang dibandingkan adalah
sama,sehingga dapat disimpulkan bahwa jenazah yang tidak dikenali itu
adalah sama dengan orang yang hilang. Adapun syarat dari data ante mortem
itu adalah:lengkap,akurat dan up to date
b.Identifikasi Negatif : apabila kedua data yang dibandingkan tidak sama
2.Identifikasi Cara Rekonstruksi : merekonstruksi data hasil pemeriksaan post
mortem ke dalam perkiraan mengenai jenis kelamin,umur,ras,tinggi,dan
bentuk badan yang sesuai.
2.2 Definisi Forensik Klinik
Forensik klinik merupakan pemeriksaan pasien hidup dimana subjek
dengan cedera atau tersangka tersangkut kasus pelanggaran hukum dan
memerlukan bukti medis. Pemeriksaan korban kejahatan dan kasus
13
pelanggaran hukum dengan tujuan memperoleh,
mencatat/mendokumentasikan dan menginterpretasikan bukti medis.
Yang melaksanakan pelayanan forensic klinik adalah dokter klinik
yang menangani atau memeriksa pasien yaitu dokter yang bertugas di IGD
bagi pasien gawat darurat dan dokter yang bertugas di IRJ bagi pasien yang
masuk ke rawat jalan serta dokter yang bertugas di ruang perawatan bagi
pasien yang dirawat.
Pembuatan VeR dilakukan oleh dokter klinik yang memeriksa atau
menangani pasien dibantu oleh dokter forensik.
Pemeriksaan / penanganan Forensik klinik dilakukan di IGD, IRJ, atau
ruang perawatan. Visum et Repertum dibuat bila ada surat permintaan dari
kepolisian yang datang bersama korban atau pasien, serta diantar langsung
oleh polisi. Pasien yang disertai surat permintaan Visum et Repertum
dikenakan biaya, sesuai dengan ketentuan Rumah Sakit dan ketentuan
KUHAP. Bila pasien datang tanpa permintaan Visum et Repertum hasil
pemeriksaan adalah menjadi rahasia pasien.
Jenis Kasus Forensik Klinik
Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia,
mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran, khususnya Ilmu
Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian kejahatan tersebut
memang telah terjadi. Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya
pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan, perkiraan umur, serta pembuktian apakah seseorang itu memang
sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.
Persetubuhan
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan
oleh undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab
XIV KUHP, yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang
meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di
luar perkawinan. Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang itu belum
14
mampu dikawin dapat menimbulkan permasalahan bagi dokter, oleh karena
penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis
dan pengertian menurut undang-undang.
Perkosaan
Umumnya negara-negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai
perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan
(force), menciptakan ketakutan (fear), atau dengan cara memperdaya (fraud).
Bersenggama dengan wanita idiot atau imbisil juga termasuk perkosaan
(statutory rape), tidak mempersoalkan apakah wanita tersebut menyetujui atau
menolak ajakan bersenggama sebab dengan kondisi mental seperti itu tidak
mungkin yang bersangkutan mampu (berkompeten) memberikan konsen yang
dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Berdasarkan pasal 285 KUHP,
perkosaan di Indonesia digolongkan sebagai tindak pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki (male crime) terhadap wanita yang bukan istrinya
dan persetubuhannya pun harus bersifat intravaginal coitus. Persetubuhan oral
atau anal yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan tidak
dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan, melainkan perbuatan menyerang
kehormatan kesusilaan (pasal 289 KUHP).
Jadi tindak pidana perkosaan di Indonesia harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
Unsur pelaku, yaitu:
Harus orang laki-laki
Mampu melakukan persetubuhan
Unsur korban:
Harus orang perempuan
Bukan istri dari pelaku
Unsur perbuatan, terdiri atas:
Persetubuhan dengan paksa (against her will)
Pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik
atau ancaman kekerasan.
Dokter hanya dapat diminta bantuannya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap:
15
Korban, dengan tujuan untuk:
Mengungkap apakah betul korban seorang perempuan.
Mengungkap apakah betul telah terjadi senggama.
Mengungkap identitas laki-laki yang menyetubuhi.
Mengungkap apakah betul telah terjadi kekerasan fisik.
Tersangka, dengan tujuan untuk:
Mengungkap apakah tersangka benar-benar laki-laki.
Mengungkap apakah tersangka dapat melakukan senggama (tidak
impoten).
Tanda langsung:
Robeknya selaput dara akibat penetrasi penis.
Lecet atau memar akibat gesekan-gesekan penis
Adanya sperma akibat ejakulasi
Tanda tidak langsung
Terjadinya kehamilan
Terjadinya penularan penyakit kelamin
Kekerasan
Kekerasan adalah tindakan pelaku yang bersifat fisik yang dilakukan dalam
rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi. Termasuk kekerasan di sini
adalah penggunaan obat-obatan yang dapat mengakibatkan korban tidak
sadar.
Pemeriksaan forensik pada korban yang diduga tindak pidana, dalam
hal ini penganiayaan (KUHP bab XX : tentang penganiayaan); khususnya
pasal 351 dan 352, serta arti atau pengertian luka berat dalam pasal 90,
berkaitan dengan penentuan derajat atau kualifikasi luka. Penentuan tersebut
amat menentukan putusan hakim yang akan dijatuhkan pada terdakwa.
Pemeriksaan forensik yang dilakukan oleh dokter sebagaimana dituangkan
dalam Visum et Repertum, harus memuat kejelasan sebagai berikut:
Jenis luka yang ditemukan
Jenis kekerasan yang menyebabkan luka
16
Yang lazim dinyatakan oleh dokter di dalam kesimpulan VR kasus
penganiayaan atau perlukaan; terbatas pada jenis luka dan jenis kekerasan;
dan bukan jenis senjata yang melukai korban.
17
tangan, lipat
paha, dada, dll.
Jenis luka Biasanya luka Lika tusuk, Abrasi,
potong atau laserasi memar,
tusuk laserasi
Arah luka Dari kiri ke Tidak tentu Tidak tentu
kanan dan dari
atas ke bawah
Tingkat Biasanya tidak Paling parah Tingkat
keparahan parah keparahan
bervariasi
Luka lainnya Tidak ada Mungkin Berkaitan
ada, karena dengan
ada kecelakaan
perlawanan.
Pakaian Tidak rusak Biasanya Rusak dan
rusak terkena
kotoran
Alat yang Terdapat di Tidak ada Ada
menyebabkan sekitar korban,
luka dalam
genggaman
18
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Pengantar Forensik Patologi Dan Forensik Klinik merupakan bagian
dari Ilmu kedokteran forensik yang digunakan untuk hukum. Forensik
patologi banyak digunkan untuk korban yang sudah meninggal, sedangkan
forensik klinik banyak digunakan pada korban yang masih hidup.
19
DAFTAR PUSTAKA
20