Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN PENOLOGI DENGAN KEDOKTERAN FORENSIK

1.1 Latar Belakang

Kejahatan merupakan suatu kegiatan yang tidak akan pernah hilang dan setiap waktu
akan berubah dan berkembang sesuai dengan peradaban manusia. Kualitas kehidupan materil
manusia akan selalu berkembang dan meningkat baik alat/teknologi, cara/metode,
manajemen, maupun cara bergaul. Hal ini dapat mempengaruhi aspek kehidupan sosial dan
hukum yang akan menimbulkan sebuah konsekuensi, yaitu kejahatan akan ikut berkembang
baik secara kualitas maupun kuantitas, baik dari segi teknik maupun taktik kejahatan itu
sendiri.

Konsekuensi ini juga memberikan dampak terhadap perkembangan proses penegakan


hukum dan keadilan, yaitu adanya pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan di dalamnya.
Sehingga proses penegakan hukum dan keadilan adalah merupakan suatu usaha ilmiah dan
bukan sekedar commen-sense, nonscientific belaka. Sistem hukum Indonesia, yaitu civil law
system, menganut dengan ketat asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Para
tersangka ataupun terdakwa dalam setiap perkara pidana dilindungi oleh asas praduga tak
bersalah. Asas ini memberikan pedoman kepada aparat penegak hukum untuk
mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkatan pemeriksaan, dimana
tersangka/terdakwa bukanlah sekedar objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-
wenang. Dengan demikian pada tahap penyidikan, unsur-unsur melawan hukum yang
dilakukan oleh para tersangka/terdakwa harus dapat dibuktikan oleh para penyidik dengan
mengedepankan scientific investigation, yaitu dengan memanfaatkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan sebagai alat bantunya, antara lain logika, psikologi, kriminalistik, kedokteran
kehakiman (kedokteran forensik), psikiatri, kriminologi, penologi, dan viktimologi.

Berbagai ilmu pengetahuan yang dipergunakan sebagai alat bantu tersebut memiliki
peranan yang cukup penting dalam menjalankan fungsi hukum acara pidana yang ada. Dalam
penerapannya, masing-masing ilmu pengetahuan sangat disesuaikan dengan kebutuhan dari
proses penegakan hukum dan keadilan. Sebagai contoh, kriminalistik memiliki peranan yang
sangat berarti dalam proses pembuktian, terutama di dalam melakukan penilaian terhadap
fakta-fakta yang terungkap di sidang pengadilan. Dengan bantuan ilmu kriminalistik, hasil
pengumpulan dan pengolahan data yang tersusun secara sistematis dalam usaha melakukan
konstruksi suatu kejadian di dalam proses pembuktian akan lebih dipertanggungjawabkan
kebenarannya.

Begitu pula dengan ilmu kedokteran kehakiman (kedokteran forensik), yang


memiliki peranan penting dalam menangani kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan
dan nyawa manusia. Bantuan dokter dengan ilmu pengetahuan kedokteran forensik yang
dimilikinya, sebagaimana tertuang dalam visum et repertum yang dibuatnya mutlak
diperlukan. Sebagaimana disampaikan Kapolri Jenderal Pol Drs. Sutanto dalam makalahnya
yang dibacakan Kabareskrim Komjen Pol Drs. Bambang Hendarso Danuri, MM pada
Kongres Nasional Kedokteran Forensik di Danau Toba Internasional Hotel Jalan Imam
Bonjol Medan pada tanggal 24 Agustus 2007, bahwa ilmu kedokteran forensik sangat penting
artinya mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan hingga pengadilan.

Peranan dokter dan dokter forensik dalam mengidentifikasi manusia merupakan suatu
hal terpenting mengungkap suatu tindak pidana maupun perdata. Dalam hal ini, kedokteran
forensik sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai alat bantu telah memberikan
kontribusi besar bagi Polri dalam mencapai berbagai prestasi, terutamanya dalam
pengungkapan berbagai kasus besar. Sebut saja kasus bom Bali I, bom Bali II, bom Hotel JW
Marriot I, bom di Kedutaan Australia, bom Hotel JW Marriot II ataupun kasus terbakarnya
pesawat Garuda jenis G 737-400 di Yogyakarta. Dengan demikian, Polri sebagai garda
terdepan pada criminal justice system harus mampu memanfaatkan ilmu kedokteran forensik
sebagai ilmu bantu secara profesional.

Mengingat fungsi utama dari proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran
sejauh mungkin yang dapat dicapai manusia, dan tanpa mengorbankan hak dari tersangka /
terdakwa. Sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri akan memberikan keadilan
dan kepastian hukum, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Forensik
Kedokteran Dalam Proses Peradilan Pidana Proses peradilan pidana merupakan nafas dari
sebuah penegakan hukum dan keadilan, dimana di Indonesia terbagi tahap penyelidikan dan
penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap peradilan. Dengan demikian proses peradilan pidana
pun menghendaki adanya sebuah upaya ilmiah yang bukan sekedar commen-sense,
nonscientific belaka.

Pembuktian unsur melawan hukum para tersangka/terdakwa menjadi sentral dari


proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap pemeriksaan perkara
dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dimana dalam cara mempergunakan alat bukti
yang sah serta menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh undang-undang. Alat bukti yang sah dalam sistem
peradilan pidana (crminal justice system) di negara kita secara limitatif diatur dalam pasal
184 KUHAP, antara lain : a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e.
Keterangan Terdakwa dari ketentuan ini dapat kita simpulkan bahwa alat bukti yang sah
dalam sebuah proses peradilan pidana hanyalah meliputi lima alat bukti, sehingga diluar dari
kelima alat bukti tersebut bukanlah suatu alat bukti yang sah atau tidak dibenarkan
dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan unsur kesalahan/melawan hukum para
tersangka/terdakwa.

Pemanfaatan ilmu kedokteran forensik sebagai salah satu ilmu bantu dalam
pembuktian unsur kesalahan atau melawan hukum terdakwa merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari penggunaan alat bukti yang sah, yaitu keterangan ahli dan surat. Keterangan
ahli dan surat (keterangan dari seorang ahli) sebagai alat bukti yang sah merupakan sebuah
bukti suatu kemajuan dalam persidangan perkara pidana, dengan mengelaborasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini yang menjadikan kedua alat bukti ini
memegang peranan penting dalam proses peradilan pidana. Surat memiliki syarat mutlak
untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, yaitu surat yang dibuat atas sumpah
jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti ini dapat berupa surat resmi
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, surat keterangan dari seorang ahli, maupun
surat-surat lain pada umumnya. Surat sebagai alat bukti yang sah yang memiliki kaitan erat
dengan peranan kedokteran forensik adalah surat keterangan dari ahli (dokter). Dimana surat
ini memuat pendapat berdasarkan keahlian yang dimiliki seseorang mengenai suatu hal atau
keadaan, misalnya visum et repertum (VER).

Pendapat ahli (dokter) ini dituangkan ke dalam sebuah laporan yang dibuat
berdasarkan sumpat jabatan yang dimiliki oleh ahli yang dipergunakan dalam sidang
pengadilan. Point penting dari sebuah VER adalah terletak pada bagian kesimpulan dari VER
yang dibuat oleh seorang ahli (dokter). Pada bagian ini terdapat opini atau pendapat ahli
(dokter) yang merupakan sebuah fakta hukum mengenai sebab dan akibat (bukan kronologis)
dari perbuatan dalam sebuah peristiwa pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa
manusia. Sebagai contoh dalam kasus meninggalnya biduan Alda Risma di salah satu hotel di
ibu kota. Dalam kasus ini seorang ahli dapat memberikan opini atau pendapatnya yang
dituangkan ke dalam sebuah laporan atau surat (VER). Dimana dalam kesimpulan akan
terdapat opini atau pendapat ahli yang menyatakan ada tidaknya tanda-tanda kekerasan pada
tubuh mayat tersebut atau perkiraan waktu kematian. Bahkan untuk kepentingan lebih jauh,
penyidik dapat meminta ahli untuk melakukan autopsi terhadap mayat Alda Risma, sehingga
akan diketahui penyebab utama kematian dan perkiraan cara kematian. Dengan opini atau
pendapat ahli atas pemeriksaan dan autopsi yang telah dilakukan, maka penyidik dapat
menentukan tindakan lebih lanjut, sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada
berbagai pihak. Alat bukti yang sah berupa surat dalam kategori ini disamakan dengan alat
bukti keterangan ahli (expert testimony) sebagaimana diatur dalam pasal 187 butir c KUHAP.
Dimana keterangan ahli sesuai pasal 1 angka ke-28 KUHAP adalah keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli ini
merupakan opini atau pendapat seorang ahli yang dinyatakan dalam sidang pengadilan. Atau
jika ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian merupakan ahli kedokteran kehakiman yang
memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli yaitu mempunyai kekuatan pembuktian


bebas (vrij bewijskracht). Dan dalam hal pembuktian, keterangan ahli juga tidak
dipergunakan untuk memeriksa pokok perkara, melainkan sifatnya hanyalah menjelaskan
suatu hal yang dirasa masih kurang terang tentang suatu hal atau kejadian. Ahli kedokteran
kehakiman yang dapat dipergunakan sebagai keterangan ahli adalah seorang ahli yang
memiliki pengetahuan mengenai ilmu kedokteran forensik, dimana tujuan utamanya adalah
untuk membantu proses penegakkan hukum dan keadilan. Ahli melakukan pemeriksaan
terhadap barang bukti yang berada di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian
memberikan opini atau pendapat terhadapnya.

Dalam hal ini termasuk upaya untuk mengungkap identitas seseorang dengan
menggunakan metode identifikasi secara visual, dokumen, pakaian, perhiasan, medis, gigi,
sidik jari, serologi, dan DNA forensik serta metode eksklusi. Sebagai contoh adalah peranan
kedokteran forensik dalam mengungkap identitas orang paling dicari oleh Polri selama
periode 2002-2009, yaitu Noordin M. Top. Dimana pada saat penyergapan sarang teroris
diwilayah Malang, wonosobo dan Temanggung , kedokteran forensik berhasil mengungkap
identitas seorang pria yang diduga sebagai Noordin M. Top melalui pemeriksaan sidik jari
dan ditemukan adanya kesamaan disebelas titik antara sidik jari di TKP dengan data sidik jari
yang telah dimiliki oleh penyidik. Selain itu untuk memastikan lebih lanjut, para penyidik
memanfaatkan kemajuan tehnologi dengan melakukan uji DNA terhadap keluarga Noordin
M. Top, dan diperoleh hasil yang identik. Sehingga penyidik dapat memastikan bahwa pria
yang berhasil dilumpuhkan tersebut adalah benar Noordin M. Top, gembong teroris yang
cukup dikenal oleh dunia internasional. Begitu pula dengan pengungkapan identitas kawanan
Noordin M. Top, yaitu Dr. Azhari yang memiliki keahlian dalam merakit bom. Dalam
pengungkapan ini selain pembuktian dengan menggunakan DNA, para ahli kedokteran
forensik juga menggunakan susunan ataupun bentuk gigi yang dimiliki oleh Dr. Azhari.
Dimana dalam hal ini keluarga akhirnya dapat mengidentifikasi identitas Dr. Azhari melalui
susunan (bentuk) gigi seri yang dimiliki Dr. Azhari, setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim
kedokteran forensik.

Kedokteran forensik dalam sebuah sidang pengadilan tidak hanya berperan dalam
proses pembuatan visum (VER) saja, akan tetapi juga memberikan keterangan di muka
persidangan. Dan keterangan ahli (dokter) forensik sebagai alat bukti yang sah (keterangan
ahli) tentunya mengharuskan untuk terpenuhinya syarat materil dan syarat formil dari sebuah
proses peradilan pidana. Penutup Peranan ilmu kedokteran forensik sebagai salah satu ilmu
bantu sangat dibutuhkan dalam mengungkap suatu tindak kejahatan yang mengakibatkan
seseorang mengalami luka-luka dan atau akhirnya meninggal dunia. Peningkatan peranan
ilmu kedokteran forensik dalam penegakan hukum dan keadilan sangat diperlukan,
terutamanya dalam pembuktian kesalahan atau unsur melawan hukum yang dilakukan
tersangka/terdakwa.

Dalam hal ini dokter forensik adalah seseorang yang telah diambil sumpah dan
mengabdikan dirinya pada bidang kesehatan, dengan tujuan untuk kepentingan peradilan.
Dimana seorang dokter forensik mempelajari sebab-sebab terjadinya suatu tindak pidana atau
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga mempunyai
peranan yang penting dalam menjelaskan titik permasalahan di persidangan. Bantuan dokter
forensik dapat dilakukan secara tertulis dengan menuangkannya dalam bentuk sebuah laporan
atau surat (visum et repertum). Laporan atau surat seperti demikian dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
Dan selain itu juga dapat dilakukan secara lisan untuk memperjelas isi dari visum et repertum
yang dibuat oleh seorang dokter forensik. Alat bukti yang sah berupa surat keterangan dari
ahli (dokter) dapat dikategorikan ke dalam alat bukti keterangan ahli yang memiliki nilai
pembuktian bebas, dalam arti bahwa hakim bebas menilainya. Keterangan ahli (dan surat
keterangan ahli) tidak dipergunakan pada pokok perkara atau menjelaskan kronologis suatu
peristiwa pidana, namun menjelaskan hal yang belum jelas dalam suatu perkara pidana atau
menjelaskan sebab akibat sebuah perbuatan dalam suatu peristiwa pidana.

Dengan ilmu kedokteran forensik, seorang ahli dapat memberikan opini atau pendapat
menurut keahliannya mengenai identitas seorang (korban), penyebab kematian, perkiraan
waktu kematian, maupun perkiraan cara kematian. Baik dengan menggunakan metode
identifikasi secara visual, dokumen, pakaian, perhiasan, medis, gigi, sidik jari, serologi, dan
DNA forensik, maupun metode eksklusi. Penggunaan keterangan ahli (salah satunya dengan
berbasis ilmu kedokteran forensik) sebagai alat bukti merupakan salah satu ciri khas
perkembangan hukum acara pidana modern. Alat bukti ini sangat berguna dalam membuat
terang dan jelas suatu tindak pidana. Sehingga proses penegakan hukum dan keadilan
merupakan suatu usaha ilmiah dan bukan sekedar commen-sense, nonscientific belaka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari identifikasi forensik?

2. Apa saja dasar - dasar dari pemeriksaan pada identifikasi forensik?

3. Metode apa yang dipakai dalam identifikasi forensik?

4. Ada berapa jenis pemeriksaan identifikasi foresik?

5. Menyadari betapa pentingnya peran dokter dalam proses identifikasi forensik?


Daftar Pustaka :

Buku BAKHRI, Syaiful. 2009. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana,
Yoyakarta : Total Media. HARAHAP, M. Yahya. 2007. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika. . 2007, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengdilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjuan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika. IDRIES, Abdul Mun’im, ed. 2009. Pedoman
Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : CV. Sagung Seto. IDRIES, Abdul Mun’im dan
Agung Legowo Tjiptomartono. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan, Jakarta : CV. Sagung Seto. Undang-Undang YUSTISIA, Pustaka. 2009. KUHPer
KUHP KUHAP. Jakarta : Pustaka Yustisia.

Internet www.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai