Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS YURIDIS DNA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS

HUKUM

PROPOSAL TESIS

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Hukum Militer Untuk Memenuhi


Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum Kesehatan

Oleh
dr. Idul Saputra
NIM:2003008

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


PROGRAM PASCA SARJANA
JAKARTA
2023
A. Latar Belakang

Di dalam dunia peradilan, pembuktian adalah proses terpenting

dalam persidangan, baik itu dalam perkara pidana maupun perdata.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Ia berisikan ketentuan-ketentuan mengenai pedoman tentang

tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana telah mengatur alat-alat bukti yang

dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam

membuktikan kesalahan yang didakwakan, sehingga majelis hakim tidak

bisa secara subjektif memvonis terdakwa, Menurut Undang-Undang No.8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 (1) ada disebutkan

bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk, keterangan terdakwa1.

DNA, atau Deoxyribose Nucleic Acid adalah asam nukleotida,

biasanya dalam bentuk heliks ganda yang mengandung instruksi genetik

yang menentukan perkembangan biologis dari seluruh bentuk kehidupan

sel. DNA mengandung informasi genetika yang diwariskan oleh keturunan

dari suatu organisme; informasi ini ditentukan oleh barisan pasangan

basa. Sebuah untai DNA mengandung gen, sebagai cetak biru organisme
2
. DNA membuat genom organisme.

1
“Alat Bukti dalam Perkara Pidana Menurut Alat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHP)” https://www.pn-jantho.go.id/

2
Michel Peyrard, Nonlinear Dynamics and Statistical Physics of DNA, 2004
Sedangkan Analisis DNA merupakan suatu metode yang sangat

potensial yang dewasa ini telah diterima secara luas sebagai suatu cara

identifikasi dalam bidang forensik, sebab hanya dibutuhkan sedikit sampel

saja yang dapat diambil dari semua sel berinti di seluruh tubuh.

berkembang pesat sesuai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas

suatu kriminalitas, di samping itu digunakan dalam penentuan hubungan

keluarga.3

Makin banyaknya kasus yang memerlukan keotentikan suatu alat

bukti yang dapat meyakinkan Hakim dalam pengambilan keputusan

mengenai perkara pidana yang terjadi, membuat Tes DNA dirasa perlu

untuk digunakan sebagai alat bukti baik di Indonesia maupun di mata dunia.

Adanya keraguan atas legalitas tes DNA membuatnya tidak mampu menjadi

bukti mandiri atau dikualifikasi sebagai satu macam alat bukti saja, sehingga

perlu adanya bukti pendukung lain untuk saling memperkuat sebagaimana

Pasal 184 KUHAP. Untuk itu diperlukan hukum yang mengaturnya secara

tertulis khusus mengenai tes DNA sehingga memiliki kekuatan pembuktian

yang mengikat. Tes DNA dalam proses peradilan mampu memberikan data

yang akurat dan tidak terbantahkan karena sampel yang digunakan untuk

diteliti adalah bagian-bagian yang diambil dari tubuh korban maupun pelaku.

Proses penggunaan hasil tes DNA yaitu melalui surat oleh pejabat

berwenang yang memuat seluruh keterangan berdasarkan objek yang

diperiksa atau diteliti dilakukan oleh ahli forensik (dokter ahli). Kemudian

3
Pertiwi, Kartika Ratna (2014). Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. Majalah
WUNY XVI No.2 (2014).
didukung oleh keterangan ahli tersebut yang memeriksa sendiri sebagai

penguat dari catatan yang dikeluarkan. Berdasarkan dua alat bukti yang

saling mendukung pengelompokan tes DNA, dari situlah hakim dapat

menggunakannya sebagai alat bukti petunjuk 4.

Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil

pemeriksaan yang diperlukan dalam proses pengadilan. Ilmu forensik (

Forensic Science ) adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang

mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan

bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian kasus kejahatan ilmu - ilmu

forensik memegang peranan penting 5.

Dimana Salah satu yang paling menonjol Kemampun Kedokteran

Kepolisian dalam kegiatan Kedokteran Forensik adalah Database DNA.6

Hubungan ilmu forensik dan hukum pidana adalah ilmu forensik

dapat memberikan bantuannya dalam hubungan dengan proses

peradilan, dalam hal pemeriksaan di tempat kejadian perkara, ini biasanya

dimintakan oleh pihak yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang

dalam keadaan meninggal dunia. pemeriksaan oleh ahli forensik ini akan

sangat penting dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk

mengetahui sebab - sebab dari kematiannya tersebut, ilmu forensik

sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkapkan suatu


4
Fuady, Munir, Buku “Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2012.

5
R Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana
(Bandung: Mandar Maju, 2011) Hal 11.
6
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
kedokteran Kepolisian
tindakan pidana yang terjadi mulai dari tingkat penyidik sampai pada

tahap pengadilan terhadap kasus yang berhubungan dengan tubuh atau

jiwa manusia sehingga membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi.

Dengan karakteristik individu yang tidak mungkin sama 100%, tes DNA

pada dasarnya amat potensial untuk dimanfaatkan dalam melacak

individu seseorang, maupun asal usul seseorang. Pengembangan ini tes

DNA dapat berperan dalam perkara tindak pidana dengan asal usul

keturunan seseorang, seperti kasus pemerkosaan, pemalsuan wali,

pemalsuan ahli waris dan sebagainya, lain halnya kaitannya dengan

pembunuhan di mana DNA dipergunakan sebagai identifikasi baik pada

mayat atau bendanya, maka informasi genetik dalam DNA itu bisa sangat

bermanfaat untuk upaya-upaya pembuktian di pengadilan 7.

Adapun Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alai-alat yang

diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara

pidana dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,

kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan

dan sumpah8.

Dalam upaya mengungkap kasus ini polisi menggunakan

KUHAP9(Kitab Undang-Undang Acara Pidana) yang merupakan kumpulan

aturan aturan hukum yang berisi tata cara dalam membuat dan

7
Yulia Monita dan Dheny Wahyudi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pidana,
dalam Jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia, Hal 7.
8
Soebekti dan R Tjitrosoudibjo, Kamus Hukum (Pradnya Paramita 1980), Hlm 21.
9
Mahkamah,Agung,KUHAP,
https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/file/KUHAP.pdf diakses pada
25 Mei 2023
menjalankan hukum yang ada. Selama proses pemeriksaan sidang di

pengadilan pun melibatkan banyak saksi untuk dapat mengungkap kasus

ini. Pemeriksaan sidang di Pengadilan merupakan suatu agenda dalam

pengadilan yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi-

saksi dengan bertujuan mengungkapkan fakta di peradilan.

Sebagai penguat untuk alat bukti10 yang diperbolehkan, jaksa

menggunakan Pasal 184 KUHAP yang membahas tentang bentuk-bentuk

alat bukti yang dapat diterima oleh pemerintah. Bentuk bentuk bukti yang

dimaksud dalam pasal ini adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, keterangan terdakwa, dan juga hal yang secara umum dapat

dibuktikan bahwa hal tersebut salah dengan menggunakan DNA, akan

tetapi sebenarnya belum ada aturan khusus dalam 184 KUHAP ini.

Namun hal ini bisa menjadi salah satu bukti yuridis dikarenakan DNA

dapat muncul apabila adanya keterangan dari ahli yang memberikan

validasi dari suatu kejadian.

Jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan formal mengenai alat-

alat bukti yang sah, baik dalam hukum positif (KUHAP), seperti telah

dikemukakan di atas, maka jelas sekali bahwa hasil tes DNA tidak

termasuk sebagai salah satu poin di dalamnya. Sampai saat ini

penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di indonesia

hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai alat bukti

yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih

10
Et.Sq
memerlukan dukungan alat bukti lain. Seperti yang dikutip dalam Pasal

184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah adalah salah satunya adalah

keterangan ahli, hal ini merujuk pada tes DNA yang perlu diperkuat

dengan keterangan ahli sehingga alat bukti tes DNA secara mandiri belum

dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian

pelaku tindak pidana. padahal jelas bahwa alat bukti tes DNA sebagai alat

bukti petunjuk yang mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam

upaya menegakkan hukum dan keadilan. DNA sering digunakan oleh tim

forensik untuk mengungkap pelaku kejahatan. ketika terjadi pembunuhan,

maka yang pertama kali dicari oleh kepolisian di tempat kejadian perkara,

selain sidik jari, adalah jejak biologis pelaku. melalui analisa DNA, atau

sidik jari genetika, kepolisian sudah berulang kali menuntaskan kasus

kriminal 11.

Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang

tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah

legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih

jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di

persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang

terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA

paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk12.


11
Massoara Tommy, Kajian Hukum Tes Dna (Deoxyribonucleis Acid) Sebagai Alat Bukti
Petunjuk Dalam Persidangan Perkara Pidana (Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016). Hal 2

12
Ekky Elvira Yolanda, Kekuatan Pembuktian Tes DNA Dan Visum Et Repertum Tulang
Kerangka Korban Pembunuhan Yang Disertai Dengan Tindak Pidana Lain (Jurnal Verstek Vol. 6
No. 1 2015). Hal 7
Dilihat dari tingkat validitasnya sebagai sebuah instrumen

pembuktian tes DNA dalam kajian DNA Forensik berupaya

mengidentifikasi individu melalui pendekatan profiling DNA. Profil DNA

diperoleh dari analisis beberapa fragmen short tandem repeat (STR) 13.

Dalam sebuah kasus pernah menggunakan DNA sebagai bukti

yuridis dalam peradilan. Hal ini terjadi pada kasus bom JW Marriot pada

tanggal 5 Agustus 2003, Hotel JW Marriottt menjadi korban dimana

terjadinya kasus bom yang menewaskan 14 orang dan 156 orang lainnya

mengalami luka dari skala kecil hingga berat, Untuk mengungkap kasus

ini polisi melakukan tes DNA kepada anggota keluarga dari 2 jenazah

yang dicurigai sebagai pelaku utama dari kejadian ini, Tes DNA dilakukan

kepada M. Nasir dan Tumini yang merupakan kedua orangtua dari Nur

Said yang berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Ia diduga tersangka

yang merupakan tamu di kamar No. 1808, tempat dimana polisi

menemukan bom yang belum meledak. Selain itu, uji DNA ini juga

dilakukan kepada Keluarga Ibrahim yang merupakan pegawai di hotel ini

yang berasal dari cirebon. Hal yang membuat pihak berwajib curiga

kepada dia dikarenakan hilang sejak kejadian ledakan bom tersebut 14.

Tes DNA dilakukan pada potongan kepala yang ditemukan di Hotel

JW Marriot cocok dengan DNA penghuni kamar 1808, Setelah tim forensik

13
Kartika Ratna Pertiwi,Skripsi: Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik,
(Yogyakarta: UNY, 2020) Hal 5.
14
Detik.Net, Rangkaian terror bom di Hotel JW Mariot, https://news.detik.com/berita/d-
1009934/rangkaian-teror-bom-di-hotel-jw-marriot diakses pada 25 Mei 2023
melakukan tes, terdapat match (kecocokan) DNA di kamar 1808 dengan

kepala yang ditemukan, dan hasil identifikasi umur pelaku berusia 16-17

tahun salah satu ciri pelaku memiliki tinggi badan sekitar 180-190 cm,

berdasarkan temuan paha pelaku usai pemboman, tim forensik melihat

dari struktur daging pahanya. Hasil rekonstruksi dan sketsa wajah pelaku

bom bunuh diri di Hotel JW Marriott , tim Disaster Victim Identification

Markas Besar Polri, memperkuat dugaan bahwa pelaku pengeboman

adalah orang asing, Pakar hubungan internasional Universitas

Parahyangan Prof Anak Agung Banyu Perwita mengatakan hal serupa.

Ada banyak kemungkinan pelaku. Orang-orang Asia Tengah juga memiliki

ciri fisik ukuran badan yang tinggi, 15.

Ahli memberikan keterangan hasil pemeriksaan DNA yang

dilakukan pihak kepolisian atas dua potongan kepala yang diduga kuat

sebagai pelaku bom bunuh diri, tidak cocok dengan DNA dari keluarga

Muhammad Nasir dan Demikian pula dengan keluarga Ibrahim. Polisi

telah memeriksa sampel DNA keluarga Ibrahim tetapi tidak cocok dengan

kepala tersebut. Dua jenazah korban tewas yang saat ini masih tersimpan

di RS Polri RS Soekanto itu bukan Nur Said atau Nur Hasbi maupun

Ibrahim yang selama ini sering diduga sebagai pelaku 16.

15
DNA Penghuni Kamar 1808 Cocok dengan Potongan Kepala di Marriott,
https://news.detik.com/berita/d-1171165/-dna-penghuni-kamar-1808-cocok-dengan-
potongan-kepala-di-marriott

16
Pelaku Bom JW Marriott Mungkin Orang Asing,
https://hidayatullah.com/berita/nasional/2009/07/23/42050/pelaku-bom-jw-marriott-
mungkin-orang-asing.html
Setelah melalui serangkaian proses pengusutan, polisi

menyimpulkan bahwa ledakan di Mega Kuningan merupakan aksi bom

bunuh diri. Polisi akhirnya menetapkan pelaku bom JW Marriott adalah

Asmar Latin Sani. Dia ikut terbunuh dalam peristiwa itu. Dia ditemukan

dalam kondisi tubuhnya telah terpisah-pisah. Sejumlah saksi

mengenalinya dari kepala (wajah) nya.

Polisi total menangkap 22 orang aktor di balik ledakan di Mega

Kuningan. Mereka yang ditangkap memiliki peran yang berbeda-beda

mulai dari pelaku bom bunuh diri, perakit bom, perencanaan lapangan,

pendanaan, membantu kelancaran operasional, perekrut, surveyor, dan

lainnya. Dari 22 orang, 12 di antaranya ditangkap hidup-hidup oleh

Densus 88, antara lain Aris Susanto, Indra Arif Hermawan, Muhammad

Jibril, Ali Muhammad, Amir Abdullah, Rohmad Budi alias Bejo, Supono

alias Kedu, Fajar Firdaus, Sony Jayadi, Putri Munawaroh, dan lainnya.

Sedangkan yang tewas ditembak yakni Noordin M Top, Ari Setiawan, Eko

Joko Sarjono, Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Susilo, Ario Sudarso alias

Aji, Syaifudin Zuhri, Muhammad Syahrir 17.

Dapat dilihat bahwa DNA merupakan salah satu hal yang sangat

penting dalam upaya pembuktian suatu kasus hukum, semakin maraknya

tindak criminal atau bahkan nantinya kemajuan kedokteran akan semakin

17
Mengenang Tragedi Bom JW Marriott dan Ritz - Corlton
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/18/16223131/mengenang-13-tahun-tragedi-
bom-jw-marriott-dan-ritz-carlton-2009-di-jakarta#:~:text=Para%20pelaku,Jakarta%20
bernama%20Dani%20Dwi%20Permana.
membantu didalam upaya penyidikan kasus. Untuk itu diperlukan sebuah

literatur yang dapat menguatkan tes DNA18 dalam upaya independen

sebagai alat bukti dalam kasus hukum, hal ini diharapkan dapat

mendorong sebuah best practice dalam kajian DNA Forensik, karena di

negara lain pengaplikasian Tes DNA untuk kepentingan hukum telah

secara luas digunakan bukan hanya dalam kepentingan alat bukti semata

namun berhubungan dengan penentuan kewarganegaraan dan banyak

hal lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kajian literatur tidak hanya

untuk melihat sejauh mana Tes DNA diaplikasikan dalam proses suatu

kasus hukum ataupun pidana, namun juga untuk melihat sejauh mana

potensi Tes DNA dikembangkan, sehingga dapat menjadi dasar best

practice dalam DNA Forensik.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih mendalam mengenai kondisi tersebut melalui penulisan

tesis yang berjudul:

18
Simanjuntak, Tesis, Kekuatan Pembuktian Tes DNA Sebagai Alat Bukti Dalam Proses
Peradilan Pidana di Indonesia, (Semarang: UB, Tahun 2012)
B. Rumusan permasalahan

1. Bagaimanakah kedudukan hukum Tes DNA sebagai alat bukti

dalam suatu kasus Hukum?

2. Bagaimanakah pemanfaatan tes DNA untuk mengidentifikasi

pelaku berdasarkan hukum secara forensik?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan hukum tes DNA

sebagai alat bukti dalam suatu kasus Hukum?

2. Untuk mengkaji dan menganalisis pemanfaatan tes DNA untuk

mengidentifikasi pelaku berdasarkan hukum secara forensic.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Informasi mengenai Best Practice Tes DNA

dalam ilmu forensik, serta bagaimana pengaplikasian tes DNA

sebagai alat bukti independen dalam suatu kasus hukum

2. Manfaat Praktis Dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai

pengembangan metode untuk pemeriksaan DNA forensik.

E. Kerangka Teori dan Definisi Operasional

1. Kerangka Teori

1.1 Teori pembuktian

Untuk menyikapi sesuai dengan penelitian di atas di dalam

membuktikan suatu perkara yang akan di sidangkan ataupun

diambil sebagai acuan terhadap permasalahan/kasus, maka teori

pembuktian dapat di ambil sebagai salah satu referensi.


Dalam lapangan hukum pidana, sumber hukum

pembuktian berasal dari undang-undang antara lain yaitu

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merupakan hukum

formil untuk melaksanakan dan menegakkan hukum pidana

materiil yang diatur dalam KUHP. Selain itu, sumber hukum

pembuktian berasal dari undang-undang tindak pidana khusus di

luar KUHP berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali

antara lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-Undang tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-

Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-

Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan

Undang-Undang tentang Narkotika.19

Menurut Bambang Poernomo secara tegas

mendefinisikan bahawa teori hukum pembuktian adalah suatu

teori atau aturan hukum atau peraturan undang-undang

mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang

benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan

persangkaan terhadap orang-orang yang diduga melakukan

perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut

ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan

19
Rahman Amin, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata,
Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020, hlm. 47-48.
dalam perkara pidana.20

konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti

persidanganperkara pidana karena yang dicari dalam hukum

pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian,

pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap

penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindak

penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang

suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan

tersangkanya.21

1.2 Teori Penegakan Hukum


22
Ilmu kedokteran forensik merupakan cabang ilmu

kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran dan ilmu lain yang

terkait untuk kepentingan penegakan hukum. Pasal 133 ayat (1)

KUHAP yang menegaskan dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun

mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana,

ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Untuk

menemukan kebenaran yang hakiki dalam pemeriksaan perkara

20
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit., hlm. 5
21
Ibid., hlm. 7.
22
https://fkkmk.ugm.ac.id/mengenal-dunia-forensik/
pidana pada saat diketemukannya alat bukti berupa tubuh manusia

atau bagian dari tubuh manusia, maka diperlukan adanya

penjelasaan lebih lanjut tentang keberadaan dari surat alat bukti.

Untuk memastikan keadaan sebenarnya dari tubuh manusia yang

berakibat pada terjadinya suatu peristiwa itulah yang memerlukan

bantuan pemeriksaan kedokteran forensic.

Teori Penegakan Hukum Menurut Soejono Soekanto adalah

proses yang pada hakikatnya berupa penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak diatur oleh kaidah-

kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum

menggunakan tindakan preventif dan tindakan represif. Penegakan

hukum preventif adalah tindakan pencegahan suatu tindak pidana

oleh penegak hukum, sedangkan penegakan hukum represif

adalah suatu tindakan oleh penegak hukum setelah terjadinya

suatu tindak pidana yang bertujuan untuk memulihkan kembali

keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Menurut Soejono

Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum 23

sebagai berikut :

a. Faktor Hukum Itu Sendiri yaitu Undang-Undang berupa

peraturan perundang-undangan. Kemungkinannya adalah bahwa

terjadi ketidakcocokan dalam Peraturan Perundang-undangan

23
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum / oleh Soerjono Soekanto
mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah

ketidakcocokan Peraturan Perundang-undangan dengan hukum

tidak tertulis atau hukum kebiasaan.

b. Faktor Penegak Hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk dan

menerapkan hukum. Mentalitas petugas yang menegakkan

hukum antara lain yang mencakupi hakim, polisi, pembela dan

petugas.

c. Faktor Masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku dan diterapkan.

d. Faktor Sarana dan Fasilitas yang Mendukung Penegakan

Hukum.

e. Faktor Kebudayaan yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Efektifitas merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan

suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu

perbandingan realitas hukum dan ideal hukum. Secara khusus

terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action) dengan

hukum dalam teori (law in theory). Terdapat beberapa pendapat

para ahli mengenai teori efektifitas, yaitu:

a. Abdurrahmat, Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya

sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar

ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan

tetap pada waktunya.


b. Hidayat, Efektifittas adalah suatu ukuran yang menyatakan

seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah

tercapai. Dimana makin besar presentasi target yang dicapai,

makin tinggi efektifitasnya.

Kriteria atau ukuran tentang pencapaian tujuan secara efektif

atau tidak menurut Sondang P Siagian 24(antara lain:

a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan agar

karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang

terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.

b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa

strategi adalah jalan yang diikuti dalam melakukan berbagai

upaya dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar

para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan

organisasi.

c. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang

mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan

strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus

mampu menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha

pelaksanaan kegiatan operasional.

d. Perencanaan yang mantap, pada hakekatnya berarti

memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi

dimasa depan.

24
Sistem Informasi Manajemen pencapaian tujuan 2006 hal.112
e. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih

perlu dijabarkan dalam program pelaksanaan yang tepat sebab

apabila tidak, para pelaksanaan akan kurang memiliki pedoman

bertindak dan bekerja.

f. Tersedianya saran dan prasarana kerja, salah satu indicator

efektivitas program adalah kemampuan bekerja secara produktif.

Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin

disediakan oleh organisasi.

g. Pelaksanaan yang secara efektif dan efesien, bagaimana

baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif

dan efesien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai

sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin

didekatkan pada tujuannya.

h. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik,

mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas

suatu program menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan

pengendalian agar program yang dibuat dapat terlaksana

dengan baik.

Penegakan hukum sendiri dapat diartikan sebagai suatu

kegiatan yang menserasikan hubungan antara nilai-nilai yang

terdapat di dalam kaidah-kaidah hukum yang ada di dalam

masyarakat dan mengejawantahkan sikap tidak menghargai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk memelihara dan


mempertahankan kedamaian pergaulan hidup di masyarakat.
25
Penegakan hukum dapat terpenuhi jika hukum dapat berjalan

dengan baik. Penegakan hukum tersebut antara lain yang pertama

adalah penegak hukum yang baik adalah aparat penegak hukum

yang tangguh dan mampu menjalankan penegakan hukum dengan

baik sesuai dengan aturan perundang-undangan. Kedua adalah

peralatan hukum yang memadai. Ketiga adalah masyarakat yang

sadar akan hukum dan mematuhi semua aturan perundang- undang

yang berlaku dan yang terakhir adalah birokrasi pemerintahan yang

mendukung penegakan hukum.

Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum yang negatif, yang pertama adalah faktor yang

ada di dalam sistem hukum itu sendiri mulai dari hukumnya, penegak

hukumnya serta sarana prasarana untuk penegakan hukum. Kedua

adalah faktor yang ada di luar sistem hukum yang meliputi

kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Perkembangan hukum di

masyarakat sosial politik dan budaya yang mempengaruhi hal

tersebut. Ada beberapa faktor permasalahan penegakan hukum,

yang pertama adalah faktor kualitas penegak hukum secara

professional, kedua lemahnya wawasan pemikiran bagi penegak

hukum dalam memahami hukum itu sendiri yang ketiga adalah

minimnya keterampilan untuk bekerja memenuhi kebutuhan hukum

25
Penegakan hukum / Soerjono Soekanto pengertian penegakkan hukum
yang keempat rendahnya motivasi kerja, yang kelima adalah

rusaknya moralitas personil

aparat penegak hukum yang membuat hukum itu menjadi

tidak dapat ditegakkan, yang kenam adalah tingkat pendidikannya

hukum yang rendah perlunya perbaikan pendidikan hukum sejak

dini, yang ketujuh adalah sangat sedikitnya program- program

pengembangan sumber daya manusia di kalangan organisasi-

organisasi penegak hukum untuk meningkatkan kemampuan dalam

ilmu hukum.

Instrumen penegakan hukum menggunakan sanksi


26
administrasi. Upaya awal penegakan hukum secara preventif yaitu

sanksi administrasi tersebut melanggar hukum terutama melanggar

hukum lingkungan agar tidak melakukan atau mengulangi

perbuatannya. Selain dari sanksi administrasi, sanksi perdata atau

gugatan perdata bagian dari instrumen penegakan hukum

lingkungan. Di dalam penegakan hukum lingkungan instrumen-

instrumen hukum yang digunakan yaitu sanksi penegakan hukum

secara administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana yang telah

diatur di dalam peraturan perundang-undangan.Penegakan hukum

lingkungan mulai dari sanksi administrasi, sanksi perdata maupun

sanksi pidana merupakan upaya dalam penegakan hukum yang

dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan penegakan hukum

26
SANKSI ADMINISTRATIF SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN Oleh: Wicipto Setiadi∗
lingkungan. Persoalan yang mendasar terhadap penanganan tindak

pidana lingkungan adalah penegakan hukum secara administrasi.

Selain penegakan hukum secara administrasi, perdata maupun

pidana, tidak semua persoalan lingkungan harus diselesaikan

dengan hukum pidana, tetapi upaya awal adalah sanksi administrasi

dan sanksi administrasi inilah yang digunakan pemerintah untuk

melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran pencemaran

lingkungan. Penegakan hukum dengan menurunkan sanksi

administrasi merupakan upaya awal untuk menggunakan instrumen

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk melakukan

penegakan hukum.

Sanksi administrasi ini merupakan bagian dari upaya yang

dilakukan pemerintah guna menekan tindak pidana lingkungan yang

dilakukan oleh masyarakat. Selain dari sanksi administrasi,

instrumen lain yang digunakan adalah menggunakan sanksi perdata.

Gugatan perdata di pengadilan kepada perusahaan atau orang yang

telah melakukan pelanggaran lingkungan akan memberikan efek jera

kepada pelaku- pelaku kejahatan lingkungan. Denda yang begitu

besar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan akan

memberikan efek jera kepada perusahaan ataupun orang yang telah

melakukan kejahatan pencemaran lingkungan. Selain itu upaya

terakhir adalah pidana, pidana ini merupakan instrumen terakhir


27
yang digunakan dalam penegakan hukum lingkungan Sanksi
27
Jurnal Unisulla Azas Ultimatum Remedium
pidana memberikan efek jera bagi pelaku atau korporasi yang telah

melakukan kejahatan lingkungan.

Teori Keadilan bermartabat

Ilmu forensik atau biasa disingkat forensik adalah penerapan

berbagai ilmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting terhadap

sistem hukum yang mungkin terlibat dalam tindak pidana. Namun,

disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya

mencakup sesuatu atau metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan

juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk

Mengidentifikasi bukti-bukti fisik, seperti mayat, bangkai, dan lain

sebagainya28. Dalam pengertian yang lebih sederhana, ilmu forensik

dalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti

fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dan kemudian

dihadirkan di dalam sidang pengadilan. Ruang lingkup ilmu kedokteran

forensik berkembang dari waktu ke waktu. Pada mulanya hanya pada

kematian korban kejahatan, kematian yang tidak terduga, mayat tidak

dikenal hingga kejahatan korban yang masih hidup, bahkan pemeriksaan

kerangka atau bagian dari tubuh manusia. Jenis perkaranyapun semakin

meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan

dalam rumah tangga, pembuangan bayi, pelanggaran hak asasi manusia

28
Juansih dkk, 2020, Polwan Untuk Negeri: Bunga Rampai Pemikiran dan Pengalam
yang Menginspirasi, Rayyana Komunikasindo, Jakarta, hlm. 381. 13 Marchel R. Maramis,
Op. Cit, hlm. 43.
dan lainnya.29 Teori keadilan bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini

ilmu hukum. Sebagai suatu ilmu hukum, cakupan atau scope dari teori

keadilan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu

hukum yang meliputi filsafat hukum (philosophy of law) ditempat pertama,

lapisan kedua terdapat teori hukum (legal theory), lapisan ketiga terdapat

dogmatika hukum (jurisprudence), sedangkan susunan atau lapisan yang

keempat terdapat hukum dan praktik hukum (law and legal practice).30

Teori keadilan bermartabat berasal-usul dari terik menarik antara

lex eterna (arus atas) dan volksgeist (arus bawah), dalam memahami

hukum sebagai usaha untuk mendekati pikiran Tuhan menurut sistem

hukum berdasarkan Pancasila. Teori keadilan bermartabat menggunakan

pendekatan hukum sebagai filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum

maupun hukum dan praktik hukum, berdialektika secara sistematik.

Tujuan dari keadilan bermartabat yaitu menjelaskan apa itu hukum.

Tujuan hukum dalam teori keadilan bermartabat menekankan pada

keadilan, yang dimaknai sebagai tercapainya hukum yang memanusiakan

manusia.

Keadilan dalam pengertian membangun kesadaran bahwa manusia

itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia, tidak sama dengan

pandangan Barat, misalnya yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes,


29
Muhammad Khairuna SyahPutra, id.scribd.com. Ruang Lingkup Kedokteran Forensik
[Online] Tersedia di: https://id.scribd.com/doc/312244049/Ruang-Lingkup-Kedokteran-
Forensik (Diakses pada hari Senin, 11 April 2022).
30
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,
StudiPemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Cetakan Keempat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011,hlm., 21
bahwa manusia itu adalah hewan, hewan politik, serigala, yang siap

memangsa sesama serigala dalam kehidupan, termasuk kehidupan

berpolitik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. 31 Keadilan

bermartabat adalah suatu teori hukum atau apa yang dikenal dalam

literature berbahasa Inggris dengan konsep legal theory, jurisprudence

atau philosophy of law dan pengetahuan mengenai hukum substansif dari

suatu system hukum. Teori keadilan bermartabat mengungkap pula

semua kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku di dalam sistem

hukum, dalam hal ini sistem hukum yang dimaksud yaitu sistem hukum

positif Indonesia; atau sistem hukum berdasarkan Pancasila.17 Sistem

Hukum

Pancasila adalah sistem yang bermartabat, karena berbasis pada

jiwa bangsa (volksgeist). Pancasila sebagai etika positif yang menjadi

sumber dari segala sumber hukum, jiwa bangsa (volksgeist) telah berisi

kelengkapan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan negara. Sebagai

etika positif, Pancasila berisi etik, nilai-nilai tertinggi dan dijunjung tinggi

(values and virtues), termasuk etika politik, sebagai landasan moral, yang

pada dasarnya diharapkan bukan semata-mata mencerahkan, tetapi

memberikan jalan bagi perjalan kehidupan suatu bangsa dan negara.32

Teori Keadilan Bermartabat sebagai legal theory atau teori hukum,

adalah suatu sistem filsafat hukum yang mengarah seluruh kaidah dan
31
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH, M. Si., Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum,
Cetakan Kedua, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm., 30-31.
32
eguh Prasetyo, DKPP RI Penegak Etik Penyelenggara Pemilu Bermartabat. Op. Cit.,
hlm., 3.
asas atau substantive legal disciplines. Termasuk di dalam substantive

legal disciplines yaitu jejaring nilai (value) yang saling terikat, dan

mengikat satu sama lain. Jejaring nilai yang saling kait-mengkait itu dapat

ditemukan dalan berbagai kaidah, asas-asas atau jejaring kaidah dan

asas yang inheren di dalamnya nilai-nilai serta virtues yang kait-mengkait

dan mengikat satu sama lain itu berada. 33 Keadilan bermartabat sebagai

suatu grand theory hukum memandang Pancasila sebagai postulat dasar

tertinggi, yaitu sebagai sumber dari segala sumber inspirasi yuridis untuk

menjadikan etika politik (demokrasi), khususnya etika kelembagaan

Penyelenggaraan Pemilu sebagai manifestasi paling konkret dari

demokrasi yang dapat menciptakan masyarakat bermartabat.

Dengan begitu hukum mampu memanusiakan manusia; bahwa

hukum (termasuk kaidah dan asas-asas yang mengatur etika

penyelenggaraan Pemilu, berikut penegakannya) seluruhnya sebagai

suatu sistem memperlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan menurut hakikat dan tujuan hidupnya. Dikemukakan, bahwa:

Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang mulia sebagai ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam sila ke-2

Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam sila itu

terkandung nilai pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia

dengan segala hak dan kewajibannya serta manusia juga mendapatkan

33
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH, M. Si., Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum,
Op.Cit., hlm., 34.
perlakuan yang adil dari manusia lainnya, dan mendapatkan hal yang

sama terhadap diri sendiri, alam sekitar dan terhadap Tuhan.34

Teori Kedilan Bermartabat, atau Keadilan Bermartabat (dignified

justice) berisi pandangan teoretis dengan suatu postulat bahwa semua

aktivitas dalam suatu negara itu harus berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pancasila, dalam perspektif keadilan bermartabat

adalah peraturan perundangan yang tertinggi, sumber dari segala sumber

hukum. Dikatakan peraturan perundang- undangan yang tertinggi karena

dalam perspektif keadilan bermartabat, Pancasila itu adalah Perjanjian

Pertama. Mereka yang belajar hukum memahami hal ini dalam ungkapan

pacta sut servanda (perjanjian itu adalah undang-undang mengikat

sebagaimana layaknya undang-undang bagi mereka yang membuatnya).

Sebagai suatu undang-undang, maka undang-undang itu dapat

dipaksakan, bagi mereka yang tidak mau mematuhi dan

melaksanakannya.35 Sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka

dalam perspektif keadilan bermartabat, semua peraturan perundangan

dan putusan hakim di Indonesia merupakan derivasi (“belahan jiwa”) dari

Pancasila. Dengan perkataan lain, semua peraturan perundang-undangan

dan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap itu adalah Pancasila

juga, karena sejiwa dengan Pancasila, tidak bertentangan dengan

Pancasila, tidak melawan Pancasila.

34
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Cetakan Pertama,
Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hlm. 93.
35
Teguh Prasetyo, DKPP RI Penegak Etik Penyelenggara Pemilu Bermartabat, Op. Cit.,
hlm., 22.
2. Definisi operasional

a. DNA (deoxyribonucleic acid) adalah salah satu jenis asam

nukleat yang memiliki kemampuan pewarisan sifat.

Keberadaan asam deoksiribonukleat ditemukan di dalam

nukleoprotein yang membentuk inti sel.

b. Alat bukti adalah suatu hal yang ditentukan oleh undang-

undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat

dakwaan, tuntutan atau gugatan ataupun untuk menolak

dakwaan tuntutan atau gugatan.

c. Barang bukti adalah barang kepunyaan tersangka/terdakwa

yang diperoleh lewat kejahatan atau yang dengan sengaja

digunakan melakukan kejahatan, sebagaimana diatur dalam

Pasal 39 KUHP ayat (1) Barang kepunyaan si terhukum, yang

diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja

dipakai akan melakukan kejahatan, dapat dirampas.

d. Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu

kedokteran yang mempelajari dan menerapkan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk

kepentingan hukum dan peradilan

e. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan

diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan

dan/atau keterampilan melalui Pendidikan di bidang

Kesehatan.
f. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau

metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan

diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan

kesehatamanusia.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

jenis penelitian yuridis normatif, karena penelitian ini dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka dan data primer yang

berhubungan dengan pembuktian DNA dalam kontruksi hukum

acara pidana. Penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian

hukum doktriner atau penelitian perpustakaan yang merupakan

penelitian literasi yang mengkaji dokumen, yakni menggunakan

berbagai data sekunder seperti peraturan perundang undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum dan pendapat pakar.

2. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini spesifikasi penelitian yang diterapkan

adalah deskriptif dan preskriptif analisis. Penelitian deskriptif

analisis berupa pemaparan dan bertujuan untuk memberikan

gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai

segala hal yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti,


berlaku ditempat tertentu, dan pada saat tertentu, yaitu terkait

kedudukan hukum para petugas atau pelaksana teknis yang

berkaitan dengan DNA sebagai pembuktian pada suatu kasus

hukum

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti menggunakan metode

pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual,

pendekatan empiris terbatas dan pendekatan kasus.

a. Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan yang dilakukan pada semua aturan hukum

yang mengatur alat bukti dan pembuktian hukum, terutama

mengenai apa-apa saja alat bukti yang sah yang dapat

digunakan dalam pembuktian hukum dan bagaimana posisi

analisis DNA sebagai alat bukti dalam suatu kasus hukum

dalam perundang-undangan.

b. Pendekatan konseptual

` Pendekatan ini dilakukan untuk memberikan

gambaran mengenai konsep luas maupun doktrin terhadap alat

bukti hukum yang sedang berkembang sehingga tercipta

pijakan yang jelas yang dapat menghubungkan das sollen dan

das sein dalam praktiknya.


c. Pendekatan Empiris secara terbatas

Yaitu pendekatan yang dilakukan menggunakan

proporsis sampling, yaitu dengan melakukan wawancara

terhadap beberapa nara sumber yang dianggap oleh peneliti

menguasai dan dilakukan dengan melakukan wawancara

terhadap praktisi-praktisi yang memanfaatkan analisis DNA

sebagai alat bukti hukum. Seperti ahli kedokteran Forensic, ahli

hukum kriminologi, dan akademisi, wawancara ini bertujuan

untuk mendapatkan informasi mengenai 5W dan 1H mengenai

analisis DNA sebagai alat bukti hukum.

d. Pendekatan kasus

Pendekatan ini dilakukan dengan mengambil contoh

kasus yang berhubungan dengan topik bahasan penelitian ini.

4. Data Penelitian

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung

dari narasumber. Data primer ini merupakan data yang

diperoleh dari studi lapangan yang berkaitan dengan topik

penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan

wawancara terstruktur dengan berpedoman pada prinsip 5W

1H (what, who, why, when, where, how). Wawancara yang

dilakukan tidak boleh terlepas dari suatu bahan hukum primer,

yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap dan


mengikat, sehingga terjadi penajaman dalam wawancara,

dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:

(1) Undang-Undang Dasar 1945.

(2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit

(4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran

(5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

(6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara

mempelajari, membaca, mengutip, literatur atau perundang-

undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dari

penelitian ini, data sekunder ini terdiri dari data sekunder yang

diambil dari berbagai database jurnal yang memiliki topik

pembahasan yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan

dengan menggunakan kata kunci "DNA test" and "forensic" and

"criminal investigations"

c. Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier36, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti website, kamus

dan ensiklopedi.

36
Made Pasek Diantha, Op.cit., hlm. 144.
d. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara

mempelajari, membaca, mengutip, literatur atau perundang-

undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dari

penelitian ini, data sekunder ini terdiri dari data sekunder yang

diambil dari berbagai database jurnal yang memiliki topik

pembahasan yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan

dengan menggunakan kata kunci "DNA test" and "forensic" and

"criminal investigations"

e. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier37, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti website, kamus

dan ensiklopedi.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan secara kualitatif

dengan melakukan penafsiran hukum untuk menganalisis data

yang telah diperoleh dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan serta menguraikan secara detail, baik data

primer maupun sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content

analysis, dimana content (isi) komunikasi dari suatu data kualitatif

hasil wawancara dianalisis terstruktur dengan prinsip 5W 1H,


37
Made Pasek Diantha, Op.cit., hlm. 144.
begitupun dengan data sekunder yang didapatkan dari hasil

penelusuran jurnal ilmiah

dianalisis menggunakan content analysis dengan pendekatan

prisma untuk mendapatkan meta sintesis dari suatu pendekatan

yang dilakukan oleh praktisi dalam beragam situasi serta

preskriptif analisis, yaitu analisis data kualitatif dimana data yang

tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka. Dengan demikian,

setelah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa

dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dan dikaitkan

dengan masalah yang akan diteliti. Analisis juga dengan

menggunakan nara sumber para ahli berupa meminta pendapat

dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu peneliti

menggunakan metode prediktif analisis yaitu bagaimana

seharusnya pengembangan kedepan pada suatu situasi-situasi

pembaruan maupun spesifik terhadap metodenya, atau apa yang

diproyeksikan di masa yang akan datang.

6. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran penulisan dan pembahasan

pada proposal ini penulis akan membagi menjadi 5 (Lima) BAB

yang terdiri dari bagian–bagian yang berkaitan, masing–masing

BAB dapat digambarkan Secara ringkas sebagai berikut:


a. BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

b. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab II ini akan menguraikan tentang analisis yuridis

yang dikutip secara pustaka beberapa teori terkait peran uji

forensic dengan menggunakan DNA sebagai alat bukti dalam

kasus hukum.

c. BAB III HASIL PENELITIAN

Pada bab III terdiri dari jenis penelitian, spesifikasi

penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, definisi

operasional, dan sistematika penulisan

d. BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab IV ini menjelaskan analisis yuridis kedudukan

hukum analisis DNA sebagai alat bukti dalam kasus hukum

sesuai dengan KUHAP dengan membandingkan dan menarik

kesimpulan dari berbagai literatur yang terdapat pada database

beberapa jurnal.

e. BAB V PENUTUP

Pada bab V ini akan memaparkan tentang penarikan

kesimpulan terkait literatur DNA sebagai alat bukti dalam kasus

hukum yang akan disintesis dari berbagai hasil penelitian yang

relevan.
f. BAB III HASIL PENELITIAN

Pada bab III terdiri dari jenis penelitian, spesifikasi

penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, definisi

operasional, dan sistematika penulisan

g. BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab IV ini menjelaskan analisis yuridis kedudukan

hukum analisis DNA sebagai alat bukti dalam kasus hukum

sesuai dengan KUHAP dengan membandingkan dan menarik

kesimpulan dari berbagai literatur yang terdapat pada database

beberapa jurnal.

h. BAB V PENUTUP

Pada bab V ini akan memaparkan tentang penarikan

kesimpulan terkait literatur DNA sebagai alat bukti dalam kasus

hukum yang akan disintesis dari berbagai hasil penelitian yang

relevan.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Fuady, Munir, Buku “Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.
Soebekti dan R Tjitrosoudibjo, Kamus Hukum (Pradnya Paramita 1980),
Hlm 21.
R Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek
Hukum Acara Pidana ( Bandung : Mandar Maju, 2011) Hal 11.
Kartika Ratna Pertiwi,Skripsi: Penerapan Teknologi DNA dalam
Identifikasi Forensik, (Yogyakarta: UNY, 2020) Hal 5.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
(Kitab Undan-Undang Hukum Acara Pidana).
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2nd edn (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012).

MAJALAH ILMIAH / JURNAL

Ekky Elvira Yolanda, Kekuatan Pembuktian Tes DNA Dan Visum Et


Repertum Tulang Kerangka Korban Pembunuhan Yang Disertai
Dengan Tindak Pidana Lain (Jurnal Verstek Vol. 6 No. 1 2015).Hal
7.
Kartika Ratna Pertiwi,Skripsi: Penerapan Teknologi DNA dalam
Identifikasi Forensik, (Yogyakarta: UNY, 2020) Hal 5.
Massoara Tommy, Kajian Hukum Tes Dna (Deoxyribonucleis Acid)
Sebagai Alat Bukti Petunjuk Dalam Persidangan Perkara Pidana
(Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016). Hal 2
Simanjuntak, Tesis, Kekuatan Pembuktian Tes DNA Sebagai Alat Bukti
Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, (Semarang: UB,
Tahun 2012).
Ulil El Azmi, Skripsi, Pemanfaatan Tes Deoxyribo Nucleat Acid (Dna) Oleh
Penyidikan Untuk Identifikasi Pelaku Dan Korban Terorisme
(Sumatera Utara: UMSU, 2019). Hal 17.
Yulia Monita dan Dheny Wahyudi, Peranan Dokter Forensik Dalam
Pembuktian Perkara Pidana, dalam Jurnal ilmiah yang dikeluarkan
oleh Ikatan Dokter Indonesia, Hal 7.
LP3M,Pengetahuan Tentang Hukum,
http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2015/09/beban-pembuktian-
penuntut.html [diakses pada 24 Mei 2023].
Indonesian Corruption Watch, Urgensi Pembuktian Terbalik Positif,
2015 ttps://antikorupsi.org/id/content/urgensi-pembuktian-terbalik
[Diakses 24 Mei 2023].

PUBLIKASI ELEKTRONIK / WEBSITE

Alat Bukti dalam Perkara Pidana Menurut Alat Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP)” https://www.pn-jantho.go.id/
Detik.Net, Rangkaian terror bom di Hotel JW Mariot, https://news.detik.com/berita/d-
1009934/rangkaian-teror-bom-di-hotel-jw-marriot diakses pada 25 Mei 2023
DW News, Keluarga terduga pelaku peledakan jalani tes DNA,
https://www.dw.com/id/keluarga-terduga-pelaku-peledakan-jalani-tes-dna/a-
4507823 diakses pada 25 Mei 2023
https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/file/KUHAP.pdf
diakses pada 25 Mei 2023
Isi/bunyi pasal 184 KUHP” https://yuridis.id/
Indonesian Corruption Watch, Urgensi Pembuktian Terbalik Positif, 2015
ttps://antikorupsi.org/id/content/urgensi-pembuktian-terbalik [Diakses 24 Mei 2023].

Anda mungkin juga menyukai