Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL

MAKNA KEKERASAN PSIKIS TERKAIT UNSUR TIDAK BERDAYA

DALAM KEJAHATAN KESUSILAAN PASAL 286 DAN 290 KE-1 KUHP

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata kuliah Metode


Penelitian Hukum dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum

Dosen Pengampu:

Dr. Siti Hamidah, S.H., M.M.

Oleh:

SISKА АMBАRWАTI

196010102111007

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
A. Judul

MAKNA KEKERASAN PSIKIS TERKAIT UNSUR TIDAK BERDAYA DALAM


KEJAHATAN KESUSILAAN PASAL 286 DAN 290 KE-1 KUHP

B. Latar Belakang
Salah satu hak asasi yang harus diakui serta dijamin perlidungannya oleh
negara adalah hak asasi manusia mengenai perlindungan hukum terhadap
wanita. Sebagaimana telah diatur didalam pasal 45 s/d pasal 51 Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 49
ayat 3 secara tegas berbunyi bahwa hak khusus yang melekat pada diri
wanita dikarenakan fungsi reproduksi, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Dalam hal ini memberikan konsekuensi bahwa negara wajib memberikan
perlindungan hukum khusus, melihat wanita memiliki rahim dan fungsi
reproduksinya.1

Tindakan persetubuhan bagi perempuan yang dilakukan di luar


pernikahan dalam kondisi korban tidak berdaya atau pingsan tidak secara
spesifik dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. Penyusun KUHP
memisahkan tindak pidana persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan (perkosaan) dengan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan
pada saat korban berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Pemisahan ini berdampak pada perbedaan ancaman hukuman maksimal.
Ancaman hukuman maksimal bagi pemerkosaan adalah 12 (dua belas) tahun
sedangkan persetubuhan dengan perempuan pingsan atau tidak berdaya
adalah 9 (sembilan) tahun.2

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara eksplisit


mendefinisikan perbuatan atau kondisi apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai “tidak berdaya”. Dalam KUHP tindak pidana yang terdapat unsur
tidak berdaya yaitu pada Pasal 286 KUHP yang berbunyi barangsiapa
bersetubuh dengan seorang perempuan diluar perkawinan, padahal
diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,

1
Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama, 2010, hlm. 119
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Dan Pasal 290
ayat (1) KUHP yang berbunyi

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

Ke-1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal


diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

Untuk dapat dikenai Pasal 286 dan 290 ayat (1) KUHP timbulnya keadaan
pingsan atau tidak berdaya pada perempuan (korban) bukan pelaku yang
membuatnya, melainkan sudah melekat atau sudah ada pada diri korban,
namun jika pelaku yang membuatnya, maka perbuatan itu akan menjadi
tindak pidana persetubuhan Pasal 285 KUHP. Hal ini dibuktikan dengan Pasal
89 KUHP yang berbuyi “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan.”

Maksud “seseorang yang tidak berdaya “sebagaimana istilah yang


digunakan dalam Pasal 286 dan 290 ayat (1) KUHP, meliputi
ketidakberdayaan secara fisik. Misalnya orang yang berada dalam keadaan
mabuk atau menderita suatu penyakit sehingga tidak sadarkan diri, maupun
ketidakberdayaan secara psikis.3 Kondisi tidak berdaya bukan hanya terdapat
dalam KUHP, namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tetang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga terdapat kondisi tidak berdaya. Namun
juga tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kondisi
tidak berdaya.

Seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Simalungun pada tanggal 28


Oktober 2014 berdasarkan Putusan Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM
memutuskan kasus persetubuhan dengan kondisi korban tidak berdaya
dengan kronologi yaitu Terdakwa Mustafa Abas dikenal memiliki keahlian
dalam pengobatan penyakit aneh. Terdakwa mengatakan bahwa Korban
benar diikuti oleh genderuwo serta di badan Korban terdapat benda-benda
tajam seperti jarum, seng dan harus dibuang dengan cara pertama kali harus
berada di dalam kamar kosong dan tidak boleh disaksikan oleh orang lain.

3
Ratna Bantara Munti dkk, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana:
Analisis Konsistensi Putusan, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama MaPPI,
2016, hlm. 282
Kemudian, Korban menyetujuinya lalu Terdakwa mulai melakukan
perbuatannya dengan cara Korban bersama dengan Terdakwa berada di
dalam kamar. Ibu korban berada di ruang tengah kemudian Korban disuruh
Terdakwa untuk membuka baju sampai telanjang dan seluruh badan Korban
diurut/dikusuk dengan menggunakan telur ayam dengan alasan bahwa telur
tersebut akan menyerap benda-benda tajam tersebut seterusnya.

Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara memasukan alat


kelaminnya kedalam alat kelamin korban lalu sekitar 15 (lima belas) menit
kemudian dimana alat kelamin terdakwa mengeluarkan cairan sperma dan
ditampung ke dalam tangan terdakwa. Pengobatan dengan persetubuhan
tersebut dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Akibat perbuatan
Terdakwa, Korban mengalami selaput dara robek lama pada posisi 1, 5, 6
sampai dasar dapat dilalui 2 jari dewasa longgar. Berdasarkan keterangan
dalam Visum et Repertum No: 1531/VI/UPM/VER/ II/2014 yang diterbitkan
pada 11 Februari 2014 dan ditanda tangani dr. Bahtera Surbakti, Sp.OG pada
Rumah Sakit Daerah dr. Djasamen Saragih, dicantumkan kesimpulan bahwa
berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, selaput dara tidak utuh lagi.
Ketidakutuhan tersebut disebabkan selaput dara sudah pernah dilalui benda
tumpul.4 Dalam putusan menyebutkan bahwa saksi korban tidak berdaya
untuk melawan karena terdakwa juga memberikan ramuan obat-obatan dan
yang ada dalam pikiran saksi korban adalah sembuh. Majelis hakim
menjatuhkan Pasal 286 KUHP dan pidana penjara selama 6 bulan.

Menurut doktrin yang yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, apabila


seorang wanita itu disetubuhi dengan jalan rayuan, misalnya dikatakan untuk
sembuh dari penyakit atau janji akan dikawini tidak termasuk dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya.5 Dalam memutus suatu perkara, hakim tidak
boleh menggunakan analogi. Padahal analogi dilarang berdasarkan asas
legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan

4
Putusan Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM
5
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu dalam KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 171
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.6 Dalam kasus kekerasan
seksual, persetujuan korban seharusnya tidak dimaknai persetujuan tanpa
pengecualian, karena ketika suatu hubungan berubah menjadi disertai
pemaksaan atau ancaman, korban berhak untuk mencabut persetujuannya.7

KUHP hanya mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan


dalam kejahatan kesusilaan. Sementara bujuk rayu, janji nikah,
penyalahgunaan kekuasaan dalam relasi yang tidak seimbang antara korban
dan pelaku tidak dikenal sebagai unsur kekerasan seksual yang dimaksud
KUHP. Ditambah lagi dengan sulitnya pembuktian unsur perkosaan jika dalam
fakta kejadian kondisi korban tidak berdaya, dan/atau terjadi karena bujuk
rayu, intimidasi atau pemaksaan yang tidak semata-mata fisik, tetapi juga
psikologis. Selain itu, KUHP hanya mengakui kekerasan sebagai bentuk
kejahatan, tidak mempertimbangkan kekerasan psikis atau seksual.8

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga kekerasan dibagi menjadi tiga, yaitu kekerasan fisik,
kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Visum et Repertum digunakan
menerangkan adanya luka fisik seseorang yang diakibatkan dari adanya
tindak pidana, tanpa terkecuali dalam tindak pidana persetubuhan. Namun
bila mengingat kekerasan bukan hanya kekerasan fisik melainkan juga
kekerasan psikis, maka diperlukan adanya maka diperlukan jenis Visum et
Repertum yang lain, yakni Visum et Repertum (VeR) Psikiatri yang
merupakan jenis visum yang dibuat untuk menerangkan status kejiwaan
seseorang dengan menggunakan ilmu psikiatri dan berdasarkan hasil
pemeriksaan psikiatri. Visum ini penting untuk menentukan apakah tersangka
pelaku tindak pidana tersebut dapat mempertanggungjawabkan tindakannya
atau tidak. Seseorang terdakwa yang ternyata mempunyai kelainan kejiwaan
baik karena pertumbuhannya maupun karena penyakit, dianggap tidak dapat
bertangggung jawab atas perbuatannya sehingga tidak dapat dipidana.
Tetapi mengingat terdapat pula kekerasan psikis, maka seharusnya Visum et

6
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau
KUHP
7
Lihat http://time.com/3211938/campus-sexual-assault-consent-california/, terakhir diakses 5
September 2014
8
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 6
Repertum (VeR) Psikiatri dapat digunakan untuk memeriksa keadaan psikis
korban.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah tipu daya muslihat dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis
yang dapat membuat korban tidak berdaya?
2. Mengapa visum et repertum psikiatrikum tidak pernah digunakan
sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan kesusilaan Pasal
286 KUHP & 290 ke-1 KUHP?
D. Tujuan
1. Untuk menemukan, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan dan
menganalisis keterkaitan antara tipu daya muslihat yang membuat
korban tidak berdaya dan kekerasan psikis.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis alasan visum et repertum psikiatrikum
tidak pernah digunakan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian
kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP .

E. Manfaat
1. Manfaat Teoritik

Secara teoritis, manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam


penulisan tesis ini antara lain:

a. Untuk pengembangan teori hukum pidana, khusunya mengenai


keterkaitan antara tipu daya muslihat yang membuat korban tidak
berdaya dan kekerasan psikis.
b. Untuk pengembangan teori hukum pidana terhadap Visum et
Repertum Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian
kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.

2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi penegak hukum, sebagai masukan terkait penanganan kejahatan
kesusilaan khususnya Pasal 286 dan 290 ke-1 KUHP.
b. Bagi akademisi, untuk menambahkan kekerasan psikis sebagai bahan
pertimbangan untuk memperluas makna kekerasan dan Visum et
Repertum Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian
kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP apabila
ditemukan adanya kekerasan psikis pada korban kejahatan kesusilaan.
c. Bagi pemerintah dan instansi yang terkait khususnya bagi aparat
penegak hukum khususnya Polisi, Jaksa, Hakim, praktisi hukum lainnya
dalam kaitannya dengan masalah pengembangan Visum et Repertum
Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan
kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.
d. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi tentang adanya
perluasan makna kekerasan dan adanya Visum Et Repertum
Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan
kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.
F. Orisinalitas Penelitian

Penelitian tentang kejahatan kesusilaan memang bukan hal yang baru.


Akan tetapi, penelitian menegenai peranan Visum Et Repertum Psikiatrikum
dapat menjadi hal baru yang dapat diteliti dan mencirikan penelitian ini.
Adapun penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini
sebagai berikut:

No Nama Rumusan Hasil Penelitian Persamaan Kebaruan


Peneliti, Masalah dan dan Penelitian
Judul, Metode Perbedaan Penulis
Tahun, Penelitian dengan
Instansi Penelitian
Penulis
1. Dwi Rumusan 1. Mаknа tidаk Persamaan: Kebaruan
Novаntoro, Masalah berdаyа dаlаm pаsаl Sama-sama dalam
S.H, 1. Аpа mаknа 286 KUHP аrtinyа meneliti kasus di penelitian yang
Perlindungаn dаri unsur “tidаk tidаk mempunyаi bidang dilakukan oleh
Hukum berdаyа’ dаlаm kekuаtаn sаmа kejahatan penulis terletak
terhаdаp ketentuаn Pаsаl sekаli, sehinggа kesusilaan Pasal pada fokus
Korbаn Tindаk 286 KUHP ? tidаk dаpаt 286 KUHP. penelitian
Pidаnа melаkukаn terhadap
Persetubuhаn 2. Аpа unsur perlаwаnаn Perbedaan: makna
yаng “Tidаk “tidаk berdаyа” sedikitpun. Аkаn Penelitian ini kekerasan
Berdаyа” telаh sesuаi tetаpi dаlаm berfokus pada psikis terhadap
dаlаm Pаsаl dengаn prinsip prаktiknyа untuk makna kejahatan
286 Kitаb perlindungаn membuktikаn lebih kekerasan psikis kesusilaan dan
Undаng- hukum ? lаnjut аdаnyа unsur pada kejahatan Visum et
Undаng tidаk berdаyа kesusilaan yaitu Repertum
Hukum Pidаnа 3.Bаgаimаnа tersebut mаsih persetubuhan Psikiatrikum
2018, konsep diperlukаn аdаnyа dan pencabulan sebagai alat
Universitаs formulаsi yаng tolok ukur аhli yаng dengan kondisi bukti dalam
Negeri Jember ideаl terhаdаp menerаngkаn bаhwа korban yang pembuktian
unsur “tidаk korbаn “tidаk dinyatakan tidak kejahatan
berdаyа’ dаlаm berdаyа” berdaya karena kesusilaan
hukum pidаnа ? tipu muslihat Pasal 286 dan
2. kondisi korbаn yang dilakukan 290 ke-1 KUHP
Metode yаng dаlаm kаtegori oleh pelaku yang sampai
Penelitian “tidаk berdаyа” sehingga saat ini belum
1.Jenis merupаkаn orаng persetubuhan ada yang
penelitiаn yаng yаng berpotensi dan pencabulan mengkaji.
digunаkаn аtаu berpotensiаl itu dapat terjadi.
аdаlаh yuridis menjаdi korbаn. Dan peneliti
normаtif. Perlindungаn hukum tidak hanya
dаlаm hаl ini dаpаt fokus terhadap
2.Metode diwujudkаn dаlаm Pasal 286
pendekаtаn bentuk perlindungаn melainkan juga
yаng digunаkаn hukum represif Pasal 290 ke-1
dаlаm penelitiаn mаupun preventif. KUHP serta
ini аdа tigа pasal 285 KUHP
mаcаm yаitu 3. Formulаsi hukum yang saling
pendekаtаn dаlаm Pаsаl 286 berkaitan
perundаng- KUHP kedepаn, dengan
undаngаn, bаhwа hukumаn penelitian ini.
pendekаtаn mаksimаl yаng
konseptuаl, dаn diberikаn kepаdа
pendekаtаn pelаku persetubuhаn
kаsus dаlаm formulаsi
Pаsаl 286 KUHP
yаitu 9 (Sembilаn
tаhun) mаsih terlаlu
ringаn kаrenа
disаmаkаn dengаn
beberаpа ketentuаn
dаlаm Pаsаl 285
KUHP, 287 KUHP,
dаn 288 KUHP.9
G. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Umum Kejahatan Kesusilaan
a. Pengertian Kejahatan Kesusilaan

Yang dimaksud dalam kejahatan kesusilaan ialah kejahatan yang


diatur dalam bab ke-XIV dari buku ke-II KUHP, yang didalam Wetboek
van Strafrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden.
Kejahatan kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu tndak
pidana perkosaan bersetubuh diatur dalam Pasal 285, 286, 287, dan 288
KUHP sedangkan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang
diatur dalam Pasal 289,290,291,292,293,294,295, dan 296 KUHP.

b. Pengertian Persetubuhan / Perkosaan

Salah satu perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah


perkosaan atau memaksa untuk melakukan persetubuhan. Perbuatan
memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan
dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata “memaksa”
dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah
menunjukkan betapa mengerikannya pemerkosaan tersebut. “Pemaksaan
hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan

9
Dwi Novаntoro, Perlindungаn Hukum terhаdаp Korbаn Tindаk Pidаnа Persetubuhаn
yаng “Tidаk Berdаyа” dаlаm Pаsаl 286 Kitаb Undаng-Undаng Hukum Pidаnа, Tesis tidаk
diterbitkаn, Jember, Fаkultаs Hukum Universitаs Negeri Jember, 2018
menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai
kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik
saja, tetapi juga dari segi psikis.10

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia bahwa perkosaan


berasal dari perkosa yang artinya menundukkan dengan kekerasan,
memaksa dengan kekerasan, dan menggagahi. Sedangkan perkosaan
artinya proses, perbuatan, cara memerkosa, pelanggaran dengan
kekerasan. Perkosaan adalah adanya perilaku kekerasan yang terkait
dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar
hukum. Artinya semua kekerasan terkait dengan hubungan seksual dapat
dikategorikan sebagai perkosaan.11

Persetubuhan ialah jika kemaluan si pria masuk ke kemaluan


perempuan. Berapa dalam atau berapa persen yang harus masuk tidaklah
terlalu dipersoalkan, yang penting ialah dengan masuknya kemaluan si
pria itu dapat terjadi kenikmatan bagi keduanya atau salah seorang dari
mereka. Kejadian ini dapat disebut sebagai perzinahan jika mereka
lakukan tanpa ada paksaan atau dengan perkataan lain mau sama mau.12

Perkosaan dapat terjadi pada semua perempuan dari segala lapisan


masyarakat tanpa memperdulikan umur, profesi, status perkawinan,
penampilan atau cara berpakaian. Korban tindak pidana perkosaan dapat
mengalami akibat yang sangatlah serius secara fisik ataupun kejiwaan
(psikologis). Akibatnya fisik yang dapat dialami korban antara lain seperti
kerusakan organ dalam tubuh seperti robeknya selaput darah, pingsa,
meninggal dunia, dan korban sangatlah mungkin terkena penyakit
seksual, dan kehamilan yang tidak dikehendaki. Dan juga munculnya
potensi trauma yang cukup parah hingga menimbulkan shock bagi

10
Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana,Abortus Provocatus, Bagi Korban
Perkosaan Perspektif: Viktimologi, Yogyakarta, Universitas Atmajaya,2001,hlm. 96
11
Abdul Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Bandung, Refika aditama, 2001, hlm. 31
12
E.Y. Kanter dan S R Sianturi,Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya,Jakarta, Rineka Cipta, 1982,hlm. 1
korban. Secara garis besar peristiwa itu dapat menimbulkan dampak
psikologis jangka pendek ataupun panjang.13

Korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan


atau ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain diluar
perkawinan. Dari definisi yang dituliskan diatas dapatlah ditarik beberapa
pengertian sebagai berikut:

1) Korban perkosaan haruslah seorang wanita, tanpa dilihat batas umur


(obyek) sedangkan ada pula pria yang diperkosa oleh wanita.
2) Korban haruslah telah mengalami ancaman kekerasan ataupun
kekerasan. Ini berarti tidak ada ersetujuan dari pihak korban mengenai
niat dan tindakan perlakuan pelaku.
3) Tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan ataupun
ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu adalah persetubuhan
diluar perkawinan.14
c. Macam-macam Persetubuhan/Perkosaan

Macam-macam jenis persetubuhan/perkosaan diantaranya sebagai


berikut:15

1) Sadistic Rape
Perkosaan sadistis artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif
berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak
menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya,
melainkan serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh
korban;
2) Anger Rape

Yaitu penganiayaan yang bercirikan seksualitas menjadi sarana


untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah
yang tertahan;

13
Arif Gosita, Viktimasasi Kriminal Kekerasan Edisi II, Jakarta, Akademia, 1985, hlm. 45
14
Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, Eresco, 1995, hm.55
15
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan,
Yogyakarta, Sinar Grafika, 2013, hlm. 18
3) Domination Rape
Adalah perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih
atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah
penaklukan seksuall, pelaku menyakiti korban namun tetap memiliki
keinginan untuk berhubungan seksual;
4) Seductive rape
Adalah perkosaan yang terjadi dalam situasi yang merangsang,
yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pelaku pada umumnya
mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak
mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks;
5) Victim presipitatied rape
Adalah perkosaan yang terjadi (berlangsung dengan
menempatkan korban sebagai pencetusnya);
6) Exploitation rape

Adalah perkosaan yang menunjukkan pada setiap kesempatan


melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan
mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang
bertanggung padanya secara ekonomis dan sosial.

Sedangkan pengertian perkosaan (modern) tidak lagi difokuskan


pada pemaksaan dan hubungan seksual tetapi diperluas sehingga
mencakup beberapa hal yaitu:16

1) Forcible rape

Yaitu persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak


wanita yang disetubuhi;

a) Persetubuhan tanpa persetujuan wanita ( wanita dalam keadaan


tidak sadar);
b) Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tetapi persetujuan itu
dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;

16
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2011, hlm. 115
c) Rape by fraud

Yaitu persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya bahwa


laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini ada
unsur penipuan atau penyesatan;

d) Statutory rape

Yaitu persetubuhan dengan wanita berusia dibawah empat belas


tahun meskipun atas dasar suka sama suka.

d. Pengertian Pencabulan

Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 390 RUU KUHP


yang diambil dari Pasal 289 KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin misalnya:

1) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan


menyentuhkan pada alat kelaminnya.
2) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan wanita dan
kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus
teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan tersebut untuk
memuaskan nafsu seksualnya.17

Menurut R. Soesilo yaitu “Segala perbuatan yang melanggar


kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba
anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya. Pada
umumnya yang menjadi pencabulan ini adalah anak-anak”.18

e. Arti Kata “tidak berdaya”

Penggunaan frasa unsur tidak berdaya dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya masih diterjemahkan secara
terbatas, karena KUHP dalam penjelasannya pun tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan frasa unsur tidak berdaya. Frasa tidak berdaya

17
Soedarso, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, hlm. 65.
18
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor, 1995, hlm. 212
juga terdapat dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga tetapi tidak ada penjelasan makna atau arti dari frasa
tidak berdaya

Yang dimaksud dengan berada dalam keadaan tidak berdaya adalah


berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, yang membuat wanita
tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan. Dalam arrest-
arrest nya masing-masing tangga 30 Agustus 1909, W. 8903 dan tanggal
21 Juni 1943, NJ 1943 No. 559 pada dasarnya Hoge Raad telah
memutuskan antara lain bahwa :

Het kenmerkende van dit misdriff is, dat de vrouw niet bij matchte is
zich te verzetten; het is onverschillig of zij al dan niet het bewuttzijn
behoudt. De omstandigheid, da teen meisje volslagen idioot is,
brengt geen physieke weerloosheid mede.
Artinya :
Ciri dari kejahatan ini ialah bahwa wanita yang bersangkutan tidak
berdaya untuk memberikan pelawanan; tidak menjadi soal apakah
wanita tersebut berada dalam keadaan sadar atau tidak. Kenyataan
bahwa seorang gadis itu sepenuhnya idiot, tidak berarti bahwa gadis
tersebut berada dalam keadaaan tidak berdaya secara fisik.

Dari arrest-arrest Hoge Raad tersebut dapat diketahui bahwa yang


dimaksud dengan kata-kata “berada dalam keadaan tidak berdaya”
diartikan sebagai berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik dan
bukan berada dalam keadaan tidak berdaya secara psikis.19
Menurut Adami Chazawi, unsur tidak berdaya adalah unsur subjektif
yang harus diketahui oleh pelaku. Keadaan pingsan atau tidak berdaya
meliliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga
tidak berdaya. Apabila orang tersebut dalam keadaan pingsan makai a
tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Sedangkan orang yang

19
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar
Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 111
tidak berdaya tahu apa yang terjadi pada dirinya tetapi tidak dapat
melakukan perlawanan.20
R.Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artiya “tidak ingin atau tidak
sadar akan dirinya”. Orang pingsan tidak dapat mengetahui apa yang
terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan
atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan
sedikitpun. Orang yang tidak berdaya masih dapat mengetahui apa yang
terjadi atas dirinya.21 Pingsan atau tidak berdayanya perempuan itu bukan
perbuatan pelaku, bila yang membuat pinsan atau tidak berdaya itu
pelaku sendiri, maka pelaku dapat dikenakan pasal 285 KUHP.22
S.R Sianturi berpendapat mengenai unsur tidak berdaya adalah
karena seseorang yang tidur sangat pulas atau seseorang dalam keadaan
gila atau idiot sehingga tidak mengetahui atau tidak menyadari apa yang
terjadi padanya.23

2. Kajian Umum tentang Kekerasan


a. Pengertian Kekerasan

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.


Kekerasan dapat diartikan sebagai perihal keras atau perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain.24
Namun perlu diketahui bahwa dalam melakukan kekerasan bukan
hanya dilakukan terhadap orang lain saja. Memberikan penjelasan
mengenai kekerasan adalah sebagai berikut :25Kekerasan dapat dilakukan
dalam beberapa cara, yaitu :
1) Pengrusakan terhadap barang;
2) Penganiyaan terhadap hewan atau orang;

20
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja grafindo Persada,
2005 hlm. 68
21
R. Soesilo, Op.cit, hlm. 98
22
Ibid, hlm. 211
23
S.R Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta, Alumni Ahaem-
Patehaem, 1983, hlm. 23
24
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N Balai Pustaka, Jakarta,
1990, hlm.425
25
bid, hlm.126
3) Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah;
4) Membuang-buang barang hingga berserakan, danlain sebagainya.
Kata kekerasan setara dengan kata violence dalam bahasa Inggris
yang diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Sementara kata kekerasan dalam
bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya serangan fisik belaka.
Dengan demikian, bila pengertian violence sama dengan kekerasan, maka
kekerasan di sini merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis.26
Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak.27
Pasal 89 KUHP menyatakan bahwa :

“Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan


jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang,
dan lain sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut
pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak
berdaya.”

Sedangkan yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik
oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 Undang- Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT), KDRT adalah :
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

26
Soejono Sukanto, Kriminologi (Pengantar Sebab‐sebab kejahatan), Politea, Bandung,
1987, hlm.125
27
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural
Kriminologi Hukum, Bandung, UNPAD Press, 2004, hlm. 54
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
b. Ruang Lingkup Kekerasan

Kejahatan kekerasan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP), pengaturannya tidak di satukan dalam satu bab khusus, akan
tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Di dalam KUHP kejahatan
kekerasan dapat digolongkan, sebagai berikut :28
1) Kejahatan terhadap nyawa orang lain Pasal 338-350 KUHP;
2) Kejahatan penganiayaan Pasal 351-358 KUHP;
3) Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan Pasal 365
KUHP;
4) Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya Pasal 285 KUHP;
5) Kejahatan yang menyebabkan kematian, atau luka kealpaan, Pasal
359-367 KUHP.
Berdasarkan penggolongannya bentuk kekerasan terbagi lagi ke dalam
tiga golongan, yaitu :29
1) Kekerasan Fisik
Bentuk ini yang paling mudah dikenali, kategori kekerasan jenis ini
adalah melempar, menendang, memukul/menampar, mencekik,
mendorong, mengigit, membenturkan, mengancam dengan benda
tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak
secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah
tulang, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa
penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai pada
penghilangan nyawa seseorang.pingsan dan bentuk lain yang
kondisinya lebih berat. Kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan
oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan
atau kemampuan normal tubuh, sampai pada penghilangan nyawa
seseorang.

28
R. Soesilo, Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor, 1991, hlm.84‐85
29
Johan Galtung, Kekuasaan dan Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm.62
2) Kekerasan Psikis
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali, akibat yang
dirasakan korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi
orang lain. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh pada situasi
perasaaan yang tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta
martabat korban. Wujud kongkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini
adalah pengunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum,
melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Akibat
adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri,
minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan.
Kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.
Contoh : kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan.
3) Kekerasan seksual
Kekerasan yang berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain,
kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan perkataan porno,
dan melibatkan anak dalam proses prostitusi dan lain sebagainya.
Termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul
dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan
seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta
meninggalkan termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-
anak. Setelah melakukan hubungan seksualitas segala perilaku yang
mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik
di sekolah, di dalam keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat
tinggal anak termasuk dalam kategori kekerasan ini.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam yaitu :
1) Kekerasan fisik, terdapat dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa akit, jatuh sakit, atau luka berat.
2) Kekerasan psikis diatur dalam Pasal 7, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3) Kekerasan seksual diatur dlam Pasal 8, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf c kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4) Penelantaran dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 9 yang
menyatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan
penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
3. Kajian Umum tentang Visum et Repertum
a. Pengertian Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran


Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari
bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti
etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat
atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang
segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan
“Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari
pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum
adalah apa yang dilihat dan ditemukan. Penegak hukum mengartikan
visum et repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan
peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut
pengetahuan yang sebaik baiknya.30

Visum et Repertum (VeR) adalah suatu keterangan tertulis yang


dibuat oleh dokter atas sumpah yang diucapkan pada waktu berakhirnya
pelajaran kedokteran, mempunyai daya bukti yang sah di pengadilan,
selama keterangan itu memuat segala sesuatu yang diamati (terutama
yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa).31

Pengertian yang terkandung dalam visum et repertum ialah ”yang


dilihat dan yang ditemukan”. Jadi visum et repertum adalah suatu
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan di dalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat.
Hal tersebut merupakan kesaksian tertulis. Menurut pendapat Dr. Tjan
Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang dalam
pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda
32
bukti).

b. Macam-macam Visum et Repertum


Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu:
1) Visum et repertum korban hidup
(a) Visum et repertum
Visum et repertum diberikan bila korban setelah diperiksa
didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
(b) Visum et repertum sementara

Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah


diperiksa, korban perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban
belum sembuh, Visum Et Repertum sementara tidak memuat
kualifikasi luka.Ada 5 manfaat dibuatnya Visum Et Repertum
sementara, yaitu menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak,

30
Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Karya Unipres, 2002, hlm.10
31
Njowito hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi kedua, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1992, hlm. 23
32
Atang Ranoemihardjo, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science) Edisi Kedua,
Bandung, Taristo, 1983, hlm. 44
mengarahkan penyelidikan, berpengaruh terhadap putusan untuk
melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa, menentukan
tuntutan jaksa, medical record.33

(c). Visum et repertum lanjutan


Visum et repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat
atau observasi korban sembuh, korban belum sembuh, pindah
rumah sakit, korban belum sembuh pulang paksa, dan korban
meninggal dunia.
2) Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)
Visum Et Repertum mayat dibuat berdasar otopsi lengkap
berdasarkan pemeriksaan luar dan dalam mayat. Visum ini dibuat
untuk mencari sebab kematian serta hubungannya dengan tindak
pidana sehingga harus dilakukan otopsi.34
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum harus diberi label
yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan,
diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat
permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan
yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau
pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
a) Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak
merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik
b) Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh
dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan
panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi,
dan sebagainya.Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis
luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan
mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.
c) Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian.
d) Visum Et Repertum Penggalian Mayat.

33
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka
Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 135
34
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op. Cit, hlm. 131
e) Visum Et Repertum Mengenai Umur.
f) Visum Et Repertum Psikiatrik.
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya
pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang
menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga
terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau
terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana
yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena
menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila
pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di
rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

g) Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan


sebagainya.

Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan


kepada hakim suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti
tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian
pemberitaan, agar supaya hakim dapat mengambil putusannya
dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut.
Fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu “Kesimpulan”, maka
atas dasar pendapatnya yang dilandasai pengetahuan yang
sebaik-baiknya berdasarkan atas keahliannya tersebut diharapkan
agar supaya usaha membantu pemecahan pengungkapan
masalahnya menjadi terang (lebih jelas), dan hal mana diserahkan
hakim sepenuhnya.
4. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau


ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus
menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil
dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologi.35

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah


pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen,
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi
batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.36

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan


dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir)
dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan
keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual

35
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2010, hlm.59
36
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.158.
mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil
bukan sekedar hukum yang buruk.37

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,


yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahuiperbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.38

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang


didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu
diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu
aturan hukum hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.39

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi


keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-
sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav
Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang
tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian
hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan
dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.

37
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus
Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.
38
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya
Bakti, 1999, hlm.23.
39
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta,
Penerbit Toko Gunung Agung, 2002, hlm. 82-83
Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
keadilan dan kebahagiaan.40

H. Metode Penelitian
Keberadaan metode penelitian memegang peranan sangat penting untuk
melakukan suatu penelitian ilmiah dibidang hukum. Salah satu cara kerja
keilmuan adalah ditandai dengan metode. Metode penelitian tesis ini
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian


yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur ilmiah untuk menentukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.41
Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian degan cara
analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
hukum dogmatik, teori hukum, dan filsafat hukum.42

Dengаn penelitiаn yuridis normаtif, penulis bermаksud mengаnаlisа


permаsаlаhаn аtаu isu hukum mengenai mengenai kejahatan kesusilaan
yaitu persetubuhan dengan kondisi korban tidak berdaya dan pencabulan
dengan kondisi korban tidak berdaya. Khususnya mengenai keterkaitan
antara tipu daya muslihat yang membuat korban tidak berdaya dan
kekerasan psikis serta alasan visum et repertum psikiatrikum tidak pernah
digunakan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan
kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP. Sehinggа dаtа yаng diteliti
аkаn berаsаl dаri perаturаn perundаng-undаngаn, berbаgаi literаtur, dаn
doktrin аtаu pendаpаt pаrа аhli sehinggа diperoleh suаtu аturаn hukum

Sedangkan pendekаtаn yаng digunаkаn dаlаm proposаl penelitiаn ini


аdаlаh

a. Pendekаtаn perundаng-undаngаn (stаtute аpproаch)

40
Ibid, hlm 95
41
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia,2012, hlm. 57
42
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011,
hlm. 24.
Menelааh semuа regulаsi аtаu undаng-undаng yаng bersаngkut
pаut dengаn isu hukum yаng sedаng ditаngаni. Pendekаtаn dilаkukаn
dengаn menelааh semuа undаng-undаng dаn regulаsi terkаit dengаn
isu hukum yаng hendаk dibаhаs.43 Dalam penelitian ini penulis
mengkaji pasal dalam KUHP yaitu Pasal 286 dan 290 ke-1 KHUP. Selain
itu penulis juga turut mengkaji pasal-pasal yang berkaitan dengan isu
hukum yang akan penulis kaji yaitu Pasal 89 da 285 KUHP serta pasal
Pаsаl 5 huruf (а,b,c), 6,7, dаn 8 Undаng-Undаng Nomor 23 Tаhun
2004 tentаng Penghаpusаn Kekerаsаn dаlаm Rumаh Tаnggа.
b. Pendekаtаn kаsus (cаse аpproаch)

Yаng dimаksud dengаn pendekаtаn kаsus yаng digunаkаn oleh


penulis yаitu dengаn melаkukаn penelitiаn dengаn mengidentifikаsi
putusаn-putusаn pengаdilаn yаng telаh berkuаlifikаsi yurisprudensi
untuk digunаkаn dаlаm perkаrа konkret yаng sedаng ditаngаni.44
Dаlаm menggunаkаn pendekаtаn kаsus, hаl pokok yаng dikаji pаdа
putusаn аdаlаh mengenаi pertimbаngаn hаkim untuk sаmpаi pаdа
suаtu putusаn, sehinggа dаpаt digunаkаn sebаgаi аrgumentаsi dаlаm
memecаhkаn permаsаlаhаn yаng dihаdаpi. Dаlаm penelitiаn ini
penulis mengkаji аtаu meneliti Putusаn pengаdilаn yаng berkekuаtаn
hukum tetаp, yаitu putusаn Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM dаn
putusаn Nomor 82/Pid.B/2013/PN.Kng mengenаi kejаhаtаn kesusilааn
dengаn kondisi korbаn tidаk berdаyа yаng terdаpаt dаlаm Pаsаl 286
dаn 290 ke-1 KUHP.

2. Sumber Bahan Hukum


Penelitian hukum normatif tidak mengenal adanya data-data
dalam penelitian yang dipergunakan, untuk menjawab permasalahan
hukum maka diperlukan adanya sumber-sumber bahan yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier atau
bahan non hukum.

43
Peter Mаhmud Mаrzuki, Penelitiаn hukum, Jаkаrtа, Kencаnа, 2008, hlm. 93
44
I Mаde Pаsek Diаnthа, Metodologi Penelitiаn Hukum Normаtif, Jakarta, Kencаnа, 2015,
hm.165
a. Bаhаn Hukum Primer аdаlаh bаhаn hukum yаng bersifаt mengikаt dаn
otorаtif.45 Bаhаn hukum primer ini terdiri dаri :
1) Pаsаl 89, 285, 286, dаn 290 ke-1 KUHP Undаng-Undаng Nomor 1
Tаhun 1946 tentаng Perаturаn Hukum Pidаnа аtаu KUHP
2) Pаsаl 5 huruf (а,b,c), 6,7, dаn 8 Undаng-Undаng Nomor 23 Tаhun
2004 tentаng Penghаpusаn Kekerаsаn dаlаm Rumаh Tаnggа
3) Putusаn Nomor 82/Pid.B/2013/PN.Kng
4) Putusаn Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM
b. Bаhаn hukum sekunder, yаitu bаhаn hukum yаng memberi kejelаsаn
аtаs bаhаn hukum primer terdiri dаri:
1) Literаtur-literаtur yаng terkаit dengаn permаsаlаhаn yаng dikаji
yаng berаsаl dаri buku-buku, jurnаl, аrtikel, skripsi, dаn segаlа
bentuk literаture hukum mаupun non hukum; dаn
2) Аrtikel dаri internet.
c. Bаhаn Hukum Tersier
Bаhаn hukum yаng menjаdi penunjаng аtаu sebаgаi аlаt bаntu
selаin sumber yаng berаsаl dаri bаhаn hukum primer dаn bаhаn
hukum sekunder, misаlnyа kаmus Bаhаsа Indonesiа dаn Kаmus
Hukum.

3. Teknik Memperoleh Bahan Hukum

Pengumpulаn bаhаn hukum pustаkа yаng diperoleh dengаn cаrа


studi kepustаkааn46 dengаn cаrа mengumpulkаn dаn menelааh perаturаn
perundаng-undаngаn, buku, artikel, dan jurnal yаng berkаitаn dengаn
permаsаlаhаn yаng dikаji. Teknik penelusurаn bаhаn hukum yаng berupа
buku, artikel, da jurnal аkаn diаmbil teori mаupun pernyаtааn terkаit dаn
semuа bаhаn hukum аkаn disusun secаrа sistemаtis аgаr memudаhkаn
proses penelitiаn. Untuk mendаpаtkаn bаhаn hukum yаng dibutuhkаn,
peneliti mendаtа bаhаn hukum аpа sаjа yаng аkаn digunаkаn dаlаm
penelitiаn lаlu melаkukаn penelusurаn bаhаn hukum di Pusаt

45
Mukti Fаjаr, Duаlisme Penelitiаn Hukum Normаtif dаn Empiris, Yogyаkаrtа, Pustаkа
Belаjаr, 2010, hlm. 391
46
Soerjono Soekаnto dаn Sri Mаmudji, Penelitiаn Hukum Normаtif (Suаtu Tinjаuаn
Singkаt), Jаkаrtа: Rаjа Grаfindo Persаdа, 2001, hlm. 41
Dokumentаsi dаn Informаsi Hukum (PDIH) Fаkultаs Hukum Universitаs
Brаwijаyа dаn Perpustаkааn Pusаt Universitаs Brаwijаyа.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Selаin mengumpulkаn lаlu mengаnаlisis bаhаn hukum, penulis jugа


melаkukаn metode penаfsirаn аtаu interpretаsi. Menurut Soeroso,
interpretаsi аtаu penаfsirаn аdаlаh mencаri dаn menetаpkаn pengertiаn
аtаs dаlil-dаlil yаng tercаntum dаlаm undаng-undаng sesuаi dengаn yаng
dikehendаki sertа yаng dimаksud oleh undаng-undаng.47 Penаfsirаn yаng
digunаkаn oleh penulis dаlаm penelitiаn ini yаitu:

a. Penаfsirаn grаmаtikаl аtаu penаfsirаn menurut tаtа bаhаsа iаlаh


memberikаn аrti kepаdа suаtu istilаh аtаu perkаtааn sesuаi denngаn
bаhаsа sehаri-hаri аtаu bаhаsа hukum.
b. Penаfsirаn sistemаtis, terjаdi suаtu undаng-undаng selаlu berkаitаn
dengаn perаturаn perundаng-undаngаn lаin, dаn tidаk аdа undаng-
undаng yаng bediri sendiri lepаs sаmа sekаli dаri keseluruhаn sistem
perundаng-undаngаn.48

5. Definisi Konseptual
a. Persetubuhan

Perbuatan perpaduan alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin


perempuan dengan penetrasi seringan-ringannya, dengan atau tanpa
adanya mani.49

b. Pencabulan
Perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam
wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun
dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat
kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

47
Zаeni Аshyhаdie dаn Аrief Rаhmаn, Pengаntаr Ilmu Hukum, PT Rаjа grаfindo Persаdа,
Depok, 2014, hlm.168
48
Аmirruddin dаn Zаinаl Аsikin, Pengаntаr Metode Penаlitiаn Hukum, Jаkаrtа, Rаjа
Grаfindo, 2008, hlm. 164
49
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992,
hlm. 158
seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok vagina atau
penis, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan
sebagainya.50
c. Tidak berdaya

Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama


sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan sedikitpun. Orang
yang tidak berdaya masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas
dirinya.51

d. Kekerasan Psikis
Kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.52

I. Sistematika Penulisan

Penulisаn tesis ini terdiri dаri 5 (limа) bаb, dimаnа setiаp bаb
mengurаikаn pokok-pokok bаhаsаn mаteri yаng dikаji sertа аkаn diperjelаs
lаgi dаlаm beberаpа sub bаb. Sistemаtikа dаlаm penulisаn ini meliputi:

1. BАB I: PENDАHULUАN

Bаb ini berisi lаtаr belаkаng penelitiаn yаng menjelаskаn


mengenаi isu hukum dаlаm penelitiаn, rumusаn mаsаlаh, tujuаn
penelitiаn, mаnfааt penelitiаn, orisinalitas penelitian, tinjauan pustaka,
desain penelitian/kerangka alur penelitian, hipotesisi (jika diperlukan),
dan metode penelitian.

2. BАB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA


TEORITIK/LANDASAN TEORI
Bаb ini berisi kаjiаn аtаu tinjаuаn pustаkа yаng menjelаskаn аtаu
mengurаikаn lebih dаlаm mengenаi teori-teori yаng melаndаsi penulisаn
dаn pembаhаsаn yаng berkаitаn dengаn judul penelitiаn ini yаng

50
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja grafindo Persada,
2005, hlm. 80
51
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor, 1995, hlm. 98
52
Johan Galtung, Kekuasaan dan Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm.62
diperoleh dаri studi kepustаkааn. Di dаlаm Bаb ini diurаikаn kаjiаn umum
tentаng Kejahatan Kesusilaan, kajian umum tentang kekerasan, kajian
umum tentang Visum et Repertum, dan teori kepastian hukum.
3. BАB III: HASIL DAN ANALISIS

Bаb ini merupаkаn hаsil dаri penelitiаn yаng didаlаmnyа аkаn


menjаwаb rumusаn mаsаlаh yаitu Pembаhаsаn mengenаi tipu daya
muslihat dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis yang dapat
membuat korban tidak berdaya dan alasan visum et repertum
psikiatrikum tidak pernah digunakan sebagai alat bukti dalam proses
pembuktian kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.

4. BАB V PENUTUP

Bаb ini berisi kesimpulаn dаri hаsil pembаhаsаn penelitiаn dаn berisi
sаrаn yаng berhubungаn dengаn permаsаlаhаn yаng ditujukаn kepаdа
pаrа pihаk yаng berkаitаn dengаn penelitiаn ini.
Daftar Pustaka

Buku

Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja grafindo


Persada, 2005
Abdul Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Bandung, Refika aditama, 2001
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Jakarta, Penerbit Toko Gunung Agung, 2002
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu dalam KUHP, Jakarta, Sinar Grafika,
2009

Аmirruddin dаn Zаinаl Аsikin, Pengаntаr Metode Penаlitiаn Hukum, Jаkаrtа,


Rаjа Grаfindo, 2008

Arif Gosita, Viktimasasi Kriminal Kekerasan Edisi II, Jakarta, Akademia,


1985

Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, Eresco, 1995

Atang Ranoemihardjo, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),


Bandung, Taristo, 1983
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit,
Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2010
E.Y. Kanter dan S R Sianturi,Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya,Jakarta, Rineka Cipta, 1982
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran
Kehakiman, Jakarta, Rineka Cipta, 1992
I Mаde Pаsek Diаnthа, Metodologi Penelitiаn Hukum Normаtif, Jakarta,
Kencаnа, 2015
Johan Galtung, Kekuasaan dan Kekerasan, Yogyakarta, Kanisius, 1992
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia,2012
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis, Jakarta, Sinar Grafika, 2010
Mukti Fаjаr, Duаlisme Penelitiаn Hukum Normаtif dаn Empiris,
Yogyаkаrtа, Pustаkа Belаjаr, 2010
Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu
Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Karya
Unipres, 2002
Njowito hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1992
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan
Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2011
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2011
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor,
1991
Ratna Bantara Munti dkk, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam
Peradilan Pidana: Analisis Konsistensi Putusan, Jakarta, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia bersama MaPPI

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban


Kejahatan, Yogyakarta, Sinar Grafika, 2013
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra
Aditya Bakti, 1999
S.R Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta, Alumni
Ahaem-Patehaem, 1983
Soedarso, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1992
Soejono Sukanto, Kriminologi (Pengantar Sebab‐sebab kejahatan),
Bandung, Politea, 1987
Soerjono Soekаnto dаn Sri Mаmudji, Penelitiаn Hukum Normаtif (Suаtu
Tinjаuаn Singkаt), Jаkаrtа, Rаjа Grаfindo Persаdа, 2001
Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana,Abortus Provocatus, Bagi
Korban Perkosaan Perspektif: Viktimologi, Yogyakarta, Universitas
Atmajaya,2001
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, P.N Balai
Pustaka, 1990
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Bandung, Refika Aditama, 2010

Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural


Kriminologi Hukum, Bandung, UNPAD Press, 2004
Zаeni Аshyhаdie dаn Аrief Rаhmаn, Pengаntаr Ilmu Hukum, Depok, PT Rаjа
grаfindo Persаdа, 2014

Internet

http://time.com/3211938/campus-sexual-assault-consent-california

Undang-undang

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo.


Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah KUHP, Lembaran
Negara Repubik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1660

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419

Putusan Pengadilan

Putusan Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM

Tesis

Dwi Novаntoro, Perlindungаn Hukum terhаdаp Korbаn Tindаk Pidаnа


Persetubuhаn yаng “Tidаk Berdаyа” dаlаm Pаsаl 286 Kitаb
Undаng-Undаng Hukum Pidаnа, Tesis tidаk diterbitkаn, Jember,
Fаkultаs Hukum Universitаs Negeri Jember, 2018

Anda mungkin juga menyukai