Dosen Pengampu:
Oleh:
SISKА АMBАRWАTI
196010102111007
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
A. Judul
B. Latar Belakang
Salah satu hak asasi yang harus diakui serta dijamin perlidungannya oleh
negara adalah hak asasi manusia mengenai perlindungan hukum terhadap
wanita. Sebagaimana telah diatur didalam pasal 45 s/d pasal 51 Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 49
ayat 3 secara tegas berbunyi bahwa hak khusus yang melekat pada diri
wanita dikarenakan fungsi reproduksi, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Dalam hal ini memberikan konsekuensi bahwa negara wajib memberikan
perlindungan hukum khusus, melihat wanita memiliki rahim dan fungsi
reproduksinya.1
1
Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama, 2010, hlm. 119
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Dan Pasal 290
ayat (1) KUHP yang berbunyi
Untuk dapat dikenai Pasal 286 dan 290 ayat (1) KUHP timbulnya keadaan
pingsan atau tidak berdaya pada perempuan (korban) bukan pelaku yang
membuatnya, melainkan sudah melekat atau sudah ada pada diri korban,
namun jika pelaku yang membuatnya, maka perbuatan itu akan menjadi
tindak pidana persetubuhan Pasal 285 KUHP. Hal ini dibuktikan dengan Pasal
89 KUHP yang berbuyi “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
3
Ratna Bantara Munti dkk, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana:
Analisis Konsistensi Putusan, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama MaPPI,
2016, hlm. 282
Kemudian, Korban menyetujuinya lalu Terdakwa mulai melakukan
perbuatannya dengan cara Korban bersama dengan Terdakwa berada di
dalam kamar. Ibu korban berada di ruang tengah kemudian Korban disuruh
Terdakwa untuk membuka baju sampai telanjang dan seluruh badan Korban
diurut/dikusuk dengan menggunakan telur ayam dengan alasan bahwa telur
tersebut akan menyerap benda-benda tajam tersebut seterusnya.
4
Putusan Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM
5
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu dalam KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 171
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.6 Dalam kasus kekerasan
seksual, persetujuan korban seharusnya tidak dimaknai persetujuan tanpa
pengecualian, karena ketika suatu hubungan berubah menjadi disertai
pemaksaan atau ancaman, korban berhak untuk mencabut persetujuannya.7
6
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau
KUHP
7
Lihat http://time.com/3211938/campus-sexual-assault-consent-california/, terakhir diakses 5
September 2014
8
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 6
Repertum (VeR) Psikiatri dapat digunakan untuk memeriksa keadaan psikis
korban.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah tipu daya muslihat dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis
yang dapat membuat korban tidak berdaya?
2. Mengapa visum et repertum psikiatrikum tidak pernah digunakan
sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan kesusilaan Pasal
286 KUHP & 290 ke-1 KUHP?
D. Tujuan
1. Untuk menemukan, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan dan
menganalisis keterkaitan antara tipu daya muslihat yang membuat
korban tidak berdaya dan kekerasan psikis.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis alasan visum et repertum psikiatrikum
tidak pernah digunakan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian
kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP .
E. Manfaat
1. Manfaat Teoritik
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi penegak hukum, sebagai masukan terkait penanganan kejahatan
kesusilaan khususnya Pasal 286 dan 290 ke-1 KUHP.
b. Bagi akademisi, untuk menambahkan kekerasan psikis sebagai bahan
pertimbangan untuk memperluas makna kekerasan dan Visum et
Repertum Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian
kejahatan kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP apabila
ditemukan adanya kekerasan psikis pada korban kejahatan kesusilaan.
c. Bagi pemerintah dan instansi yang terkait khususnya bagi aparat
penegak hukum khususnya Polisi, Jaksa, Hakim, praktisi hukum lainnya
dalam kaitannya dengan masalah pengembangan Visum et Repertum
Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan
kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.
d. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi tentang adanya
perluasan makna kekerasan dan adanya Visum Et Repertum
Psikiatrikum sebagai alat bukti dalam proses pembuktian kejahatan
kesusilaan Pasal 286 KUHP & 290 ke-1 KUHP.
F. Orisinalitas Penelitian
9
Dwi Novаntoro, Perlindungаn Hukum terhаdаp Korbаn Tindаk Pidаnа Persetubuhаn
yаng “Tidаk Berdаyа” dаlаm Pаsаl 286 Kitаb Undаng-Undаng Hukum Pidаnа, Tesis tidаk
diterbitkаn, Jember, Fаkultаs Hukum Universitаs Negeri Jember, 2018
menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai
kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik
saja, tetapi juga dari segi psikis.10
10
Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana,Abortus Provocatus, Bagi Korban
Perkosaan Perspektif: Viktimologi, Yogyakarta, Universitas Atmajaya,2001,hlm. 96
11
Abdul Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Bandung, Refika aditama, 2001, hlm. 31
12
E.Y. Kanter dan S R Sianturi,Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya,Jakarta, Rineka Cipta, 1982,hlm. 1
korban. Secara garis besar peristiwa itu dapat menimbulkan dampak
psikologis jangka pendek ataupun panjang.13
1) Sadistic Rape
Perkosaan sadistis artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif
berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak
menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya,
melainkan serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh
korban;
2) Anger Rape
13
Arif Gosita, Viktimasasi Kriminal Kekerasan Edisi II, Jakarta, Akademia, 1985, hlm. 45
14
Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, Eresco, 1995, hm.55
15
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan,
Yogyakarta, Sinar Grafika, 2013, hlm. 18
3) Domination Rape
Adalah perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih
atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah
penaklukan seksuall, pelaku menyakiti korban namun tetap memiliki
keinginan untuk berhubungan seksual;
4) Seductive rape
Adalah perkosaan yang terjadi dalam situasi yang merangsang,
yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pelaku pada umumnya
mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak
mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks;
5) Victim presipitatied rape
Adalah perkosaan yang terjadi (berlangsung dengan
menempatkan korban sebagai pencetusnya);
6) Exploitation rape
1) Forcible rape
16
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2011, hlm. 115
c) Rape by fraud
d) Statutory rape
d. Pengertian Pencabulan
17
Soedarso, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, hlm. 65.
18
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor, 1995, hlm. 212
juga terdapat dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga tetapi tidak ada penjelasan makna atau arti dari frasa
tidak berdaya
Het kenmerkende van dit misdriff is, dat de vrouw niet bij matchte is
zich te verzetten; het is onverschillig of zij al dan niet het bewuttzijn
behoudt. De omstandigheid, da teen meisje volslagen idioot is,
brengt geen physieke weerloosheid mede.
Artinya :
Ciri dari kejahatan ini ialah bahwa wanita yang bersangkutan tidak
berdaya untuk memberikan pelawanan; tidak menjadi soal apakah
wanita tersebut berada dalam keadaan sadar atau tidak. Kenyataan
bahwa seorang gadis itu sepenuhnya idiot, tidak berarti bahwa gadis
tersebut berada dalam keadaaan tidak berdaya secara fisik.
19
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar
Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 111
tidak berdaya tahu apa yang terjadi pada dirinya tetapi tidak dapat
melakukan perlawanan.20
R.Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artiya “tidak ingin atau tidak
sadar akan dirinya”. Orang pingsan tidak dapat mengetahui apa yang
terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan
atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan
sedikitpun. Orang yang tidak berdaya masih dapat mengetahui apa yang
terjadi atas dirinya.21 Pingsan atau tidak berdayanya perempuan itu bukan
perbuatan pelaku, bila yang membuat pinsan atau tidak berdaya itu
pelaku sendiri, maka pelaku dapat dikenakan pasal 285 KUHP.22
S.R Sianturi berpendapat mengenai unsur tidak berdaya adalah
karena seseorang yang tidur sangat pulas atau seseorang dalam keadaan
gila atau idiot sehingga tidak mengetahui atau tidak menyadari apa yang
terjadi padanya.23
20
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja grafindo Persada,
2005 hlm. 68
21
R. Soesilo, Op.cit, hlm. 98
22
Ibid, hlm. 211
23
S.R Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta, Alumni Ahaem-
Patehaem, 1983, hlm. 23
24
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N Balai Pustaka, Jakarta,
1990, hlm.425
25
bid, hlm.126
3) Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah;
4) Membuang-buang barang hingga berserakan, danlain sebagainya.
Kata kekerasan setara dengan kata violence dalam bahasa Inggris
yang diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Sementara kata kekerasan dalam
bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya serangan fisik belaka.
Dengan demikian, bila pengertian violence sama dengan kekerasan, maka
kekerasan di sini merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis.26
Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak.27
Pasal 89 KUHP menyatakan bahwa :
26
Soejono Sukanto, Kriminologi (Pengantar Sebab‐sebab kejahatan), Politea, Bandung,
1987, hlm.125
27
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural
Kriminologi Hukum, Bandung, UNPAD Press, 2004, hlm. 54
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
b. Ruang Lingkup Kekerasan
28
R. Soesilo, Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor, 1991, hlm.84‐85
29
Johan Galtung, Kekuasaan dan Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm.62
2) Kekerasan Psikis
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali, akibat yang
dirasakan korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi
orang lain. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh pada situasi
perasaaan yang tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta
martabat korban. Wujud kongkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini
adalah pengunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum,
melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Akibat
adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri,
minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan.
Kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.
Contoh : kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan.
3) Kekerasan seksual
Kekerasan yang berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain,
kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan perkataan porno,
dan melibatkan anak dalam proses prostitusi dan lain sebagainya.
Termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul
dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan
seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta
meninggalkan termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-
anak. Setelah melakukan hubungan seksualitas segala perilaku yang
mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik
di sekolah, di dalam keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat
tinggal anak termasuk dalam kategori kekerasan ini.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam yaitu :
1) Kekerasan fisik, terdapat dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa akit, jatuh sakit, atau luka berat.
2) Kekerasan psikis diatur dalam Pasal 7, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3) Kekerasan seksual diatur dlam Pasal 8, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf c kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4) Penelantaran dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 9 yang
menyatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan
penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
3. Kajian Umum tentang Visum et Repertum
a. Pengertian Visum et Repertum
30
Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Karya Unipres, 2002, hlm.10
31
Njowito hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi kedua, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1992, hlm. 23
32
Atang Ranoemihardjo, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science) Edisi Kedua,
Bandung, Taristo, 1983, hlm. 44
mengarahkan penyelidikan, berpengaruh terhadap putusan untuk
melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa, menentukan
tuntutan jaksa, medical record.33
33
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka
Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 135
34
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op. Cit, hlm. 131
e) Visum Et Repertum Mengenai Umur.
f) Visum Et Repertum Psikiatrik.
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya
pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang
menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga
terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau
terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana
yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena
menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila
pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di
rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
35
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2010, hlm.59
36
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.158.
mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil
bukan sekedar hukum yang buruk.37
37
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus
Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.
38
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya
Bakti, 1999, hlm.23.
39
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta,
Penerbit Toko Gunung Agung, 2002, hlm. 82-83
Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
keadilan dan kebahagiaan.40
H. Metode Penelitian
Keberadaan metode penelitian memegang peranan sangat penting untuk
melakukan suatu penelitian ilmiah dibidang hukum. Salah satu cara kerja
keilmuan adalah ditandai dengan metode. Metode penelitian tesis ini
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan
40
Ibid, hlm 95
41
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia,2012, hlm. 57
42
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011,
hlm. 24.
Menelааh semuа regulаsi аtаu undаng-undаng yаng bersаngkut
pаut dengаn isu hukum yаng sedаng ditаngаni. Pendekаtаn dilаkukаn
dengаn menelааh semuа undаng-undаng dаn regulаsi terkаit dengаn
isu hukum yаng hendаk dibаhаs.43 Dalam penelitian ini penulis
mengkaji pasal dalam KUHP yaitu Pasal 286 dan 290 ke-1 KHUP. Selain
itu penulis juga turut mengkaji pasal-pasal yang berkaitan dengan isu
hukum yang akan penulis kaji yaitu Pasal 89 da 285 KUHP serta pasal
Pаsаl 5 huruf (а,b,c), 6,7, dаn 8 Undаng-Undаng Nomor 23 Tаhun
2004 tentаng Penghаpusаn Kekerаsаn dаlаm Rumаh Tаnggа.
b. Pendekаtаn kаsus (cаse аpproаch)
43
Peter Mаhmud Mаrzuki, Penelitiаn hukum, Jаkаrtа, Kencаnа, 2008, hlm. 93
44
I Mаde Pаsek Diаnthа, Metodologi Penelitiаn Hukum Normаtif, Jakarta, Kencаnа, 2015,
hm.165
a. Bаhаn Hukum Primer аdаlаh bаhаn hukum yаng bersifаt mengikаt dаn
otorаtif.45 Bаhаn hukum primer ini terdiri dаri :
1) Pаsаl 89, 285, 286, dаn 290 ke-1 KUHP Undаng-Undаng Nomor 1
Tаhun 1946 tentаng Perаturаn Hukum Pidаnа аtаu KUHP
2) Pаsаl 5 huruf (а,b,c), 6,7, dаn 8 Undаng-Undаng Nomor 23 Tаhun
2004 tentаng Penghаpusаn Kekerаsаn dаlаm Rumаh Tаnggа
3) Putusаn Nomor 82/Pid.B/2013/PN.Kng
4) Putusаn Nomor 562/Pid.B/2014/PN.SIM
b. Bаhаn hukum sekunder, yаitu bаhаn hukum yаng memberi kejelаsаn
аtаs bаhаn hukum primer terdiri dаri:
1) Literаtur-literаtur yаng terkаit dengаn permаsаlаhаn yаng dikаji
yаng berаsаl dаri buku-buku, jurnаl, аrtikel, skripsi, dаn segаlа
bentuk literаture hukum mаupun non hukum; dаn
2) Аrtikel dаri internet.
c. Bаhаn Hukum Tersier
Bаhаn hukum yаng menjаdi penunjаng аtаu sebаgаi аlаt bаntu
selаin sumber yаng berаsаl dаri bаhаn hukum primer dаn bаhаn
hukum sekunder, misаlnyа kаmus Bаhаsа Indonesiа dаn Kаmus
Hukum.
45
Mukti Fаjаr, Duаlisme Penelitiаn Hukum Normаtif dаn Empiris, Yogyаkаrtа, Pustаkа
Belаjаr, 2010, hlm. 391
46
Soerjono Soekаnto dаn Sri Mаmudji, Penelitiаn Hukum Normаtif (Suаtu Tinjаuаn
Singkаt), Jаkаrtа: Rаjа Grаfindo Persаdа, 2001, hlm. 41
Dokumentаsi dаn Informаsi Hukum (PDIH) Fаkultаs Hukum Universitаs
Brаwijаyа dаn Perpustаkааn Pusаt Universitаs Brаwijаyа.
5. Definisi Konseptual
a. Persetubuhan
b. Pencabulan
Perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam
wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun
dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat
kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu
47
Zаeni Аshyhаdie dаn Аrief Rаhmаn, Pengаntаr Ilmu Hukum, PT Rаjа grаfindo Persаdа,
Depok, 2014, hlm.168
48
Аmirruddin dаn Zаinаl Аsikin, Pengаntаr Metode Penаlitiаn Hukum, Jаkаrtа, Rаjа
Grаfindo, 2008, hlm. 164
49
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992,
hlm. 158
seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok vagina atau
penis, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan
sebagainya.50
c. Tidak berdaya
d. Kekerasan Psikis
Kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.52
I. Sistematika Penulisan
Penulisаn tesis ini terdiri dаri 5 (limа) bаb, dimаnа setiаp bаb
mengurаikаn pokok-pokok bаhаsаn mаteri yаng dikаji sertа аkаn diperjelаs
lаgi dаlаm beberаpа sub bаb. Sistemаtikа dаlаm penulisаn ini meliputi:
1. BАB I: PENDАHULUАN
50
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja grafindo Persada,
2005, hlm. 80
51
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor, 1995, hlm. 98
52
Johan Galtung, Kekuasaan dan Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm.62
diperoleh dаri studi kepustаkааn. Di dаlаm Bаb ini diurаikаn kаjiаn umum
tentаng Kejahatan Kesusilaan, kajian umum tentang kekerasan, kajian
umum tentang Visum et Repertum, dan teori kepastian hukum.
3. BАB III: HASIL DAN ANALISIS
4. BАB V PENUTUP
Bаb ini berisi kesimpulаn dаri hаsil pembаhаsаn penelitiаn dаn berisi
sаrаn yаng berhubungаn dengаn permаsаlаhаn yаng ditujukаn kepаdа
pаrа pihаk yаng berkаitаn dengаn penelitiаn ini.
Daftar Pustaka
Buku
Internet
http://time.com/3211938/campus-sexual-assault-consent-california
Undang-undang
Putusan Pengadilan
Tesis