Anda di halaman 1dari 2

JERAT HUKUM DAN PEMBUKTIAN PELECEHAN SEKSUAL

1.   Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual:


Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah
pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah
perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan
Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-
komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah
perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa
kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam
lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-
raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
 
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan
apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat
dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah
pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan
sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen,
1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of
unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive
environments".
 
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual
adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun
bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa
jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut
budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar.
Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan
tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan
seksual.
jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan
(pasal 289 s.d. pasal 296 kuhp). dalam hal terdapat bukti-bukti
yang dirasa cukup, jaksa penuntut umum yang akan mengajukan
dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan
pengadilan.

2.  Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal


184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu :
1)     keterangan saksi
2)     keterangan ahli
3)     surat
4)     petunjuk
5)     keterangan terdakwa.

Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut


di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait
percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat
buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum”
oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum et
repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli
mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya
terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk
pembuktian di pengadilan.
Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat
digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 187 huruf c KUHAP : 
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.” 
 
Penggunaan Visum et repertum sebagai alat bukti, diatur juga
dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
 
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda
kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa
membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang
akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan
pembuktian di pengadilan.

Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No 73).

Anda mungkin juga menyukai