Anda di halaman 1dari 83

Blok Medikolegal Tugas Makalah

(7 Mei 2017)

Ringkasan Materi Medikolegal

Disusun Oleh:
ALI AKBAR R KIBAS
201383047

TUTOR:
dr. Johan B. Bension, Mmed. Ed

Universitas Pattimura
Fakultas Kedokteran
Ambon
2017
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai.

Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ambon, Mei 2017

Ali Akbar R Kibas

pg. 2
A. BANTUAN DOKTER PADA PERADILAN
Bantuan kedokteran Forensik dan Medikolegal pada peradilan dapat diberikan
kepada tersangka, terdakwa, penyidik, jaksa maupun hakim.
Bantuan dokter terhadap tersangka atau terdakwa didapatkan dalam Pasal 65
KUHAP: Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan atau
mengajukan saksi dan atau seseong yang memiliki keahlian khusus guna
memberikan keterangan yang menguntungkan baginya, misalnya tersangka
atau terdakwa berhak menjadi pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran
Jiwa melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan.
Bantuan dokter terhadap penyidik dapat berupa pemeriksaan di tempat kejadian
perkara. Penyidik dapat minta bantuan pemeriksaan di tempat kejadian perkara
berdasarkan KUHAP Pasal 7 ayat (1) poin h: Penyidik Polri karena
kewajibannya mempunyai wewenang mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara atau KUHAP
Pasal 120 ayat (1): Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Tujuan utama penyidik minta bantuan dokter adalah untuk membantu
menentukan cara kematian dan sebab kematian. Untuk menemukan cara
kematan korban mutlak harus dilakukan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara dengan seksama, sedangkan untuk menentukan sebab kematian korban
harus dilakukan otopsi.
Adapun cara kematian dapat dibagi menjadi:
1. Mati wajar misalnya penyakit jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya
2. Mati tidak wajar atau mati karena ruda paksa, misalnya pembunuhan,
kecelakaan bunuh diri.
Dokter juga dapat membantu penyidik mencari dan mengumpulkan barang
bukti misalnya racun, anak peluru, darah, sperma, tali untuk gantung diri, dan
sebagainya. Barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara langsung
disita oleh penyidik, dokter dapat meminjam kepada penyidik untuk diperiksa
guna menentukan cara dan sebab kematian, sedangkan barang bukti yang
melekat pada tubuh korban misalnya tali untuk gantung diri, peluru yang

pg. 3
tertinggal dalam tubuh korban sebaiknya jangan diambil oleh penyidik dulu
tetapi diikutsertakan korban untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter, kalau
dokter sudah selesai melakukan pemeriksaan maka barang bukti tersebut
diserahkan kepada penyidik disertai surat tanda penerimaan yang di tanda
tangani oleh penyidik (KUHAP pasal 42).
Prosedur pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut sudah ada naskah
kerja sama antara Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya dengan Instalasi
Kedokteran Forensik RSUD Dr.Soetomo Surabaya tentang Permintaan Bantuan
Ahli Kedokteran Forensik pada tanggal 5 September 2002.
Pada prinsipnya permintaan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
dapat diminta secara telepon atau lisan dan penyidik menjemput dokter di
Insta1asi ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal atau di rumah dokter
kemudian setelah selesai pemeriksaan di TKP, dokter diantar kembali ke
lnstalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal atau ke rumah dokter.
Penyidik juga dapat minta dokter unmk melakukan pemeriksaan atas korban
luka, keracunan yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seperti tertera pada
dasar hukum berikut:
1. KUHAP Pasal 133 ayat (1): Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Undang-Undang Kesehatan Pasal 79 ayat (2) poin f: Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berwenang meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
3. Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 48 ayat (2): Rahasia kadokteran
dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.

pg. 4
Hasil pemeriksaan dokter bila dilaporkan secara tertulis disebut Visum et
Repertum. Kasus-kasus yang dapat dimintakan Visum et Repertum telah diatur
dalam KUHP yaitu pada pasal 44 KUHP:
1. Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, maka
hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit jiwa selama-
lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3. Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Penyidik juga dapat meminta kepada dokter Bagian Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan untuk memeriksa korban kejahatan terhadap kesopanan
misalnya perbuatan zina, perkosaan, dan sebagainya. Adapun dasar dari
penyidik meminta bantuan dokter Bagian Ilrnu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan diatur dalam beberapa pasal yaitu:
Pasal 284 KUHP
(1) Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan
l.e:
a. laki-Iaki yang beristri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa pasal
27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (sipil), berlaku padanya
b. perempuan yang beRSUDami, berbuat zina
2.e:
a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya,
bahwa kawannya itu beRSUDami
b. perempuan yang tiada beRSUDami yang turut melakukan perbuatan itu,
sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristri dan pasal 27 Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata (sipil) berlaku pada kawannya itu.

pg. 5
Pasal 285 KUHP:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuaan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP:
Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang
diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP:
1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umumya, bahwa perempuan
itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya
perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
yang tersebut ada pasal 291 dan 294.
Pasal 288 KUHP:
1) Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut
disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan
dihukum penjara selama-lamanyn empat tahun kalau perbuatan itu
berakibat badan perempuan itu mendapat luka.
2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendnpat luka berat
dijatuhkan hukuman penja selama-lamanya delapan tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan
hukuman panjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 289 KUHP: -
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum
karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan tahun.

pg. 6
Pasal 292 KUHP:
Orang dewasa yang melukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa
dari jenis kelamin yang sama sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya
hal belum dewasa itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 294 KUHP:
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya atau dengan
seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung,
dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum
dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
2) Dengan hukuman yang serupa dihukum
1.e. pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengnn orang yang
dibawah Perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau
diserahkan padanya untuk dijaga.
2.e. pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor atau bujang da1am penjara,
rumah tempat malakukan pekerjaan untuk negeri, rumah
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau balai
derma, yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan
disitu.
Pasal 295 KUHP:
1) dihukum: .
l.c. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
yang dangan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan
cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak
angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang dibawah
pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan
kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau
bujangnya yang dibawah umur atau orang yang dibawahnya dengan
orang lain.
2.e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang
siapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1.e,

pg. 7
menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain
yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang dikelahuinya atau
patut di sangkanya, bahwa ia adalah belum dewasa.
2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijalankan sebagai
pencahariannya atau kebiasaannya, maka hukuman itu dapat ditambah
dengan sepertiganya.
Penyidik juga dapat meminta bantuan dokter atau dokter Bagian Bedah untuk
memeriksa korban penggniayaan. Penyidik berkewajiban mengantarkan sendiri
korban ke Instalasi Gawat Darurat disertai Surat Permintaan Visum et Repertum
korban penganiayaan seperti tercantum dalam pasal-pasal berikut:
Pnsal 351 KUHP:
1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500,-
2) Jika perbuatan ltu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun.
Pasal 352 KUHP:
1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan
jabatan atau pekerjaan sebegai penganiayaan ringan, dihukum penjara
selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500.
Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila kejahatan itu
dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah
perintahnya.
2) Percobaan melakukan kejahatan lni tidak dapat dihukum.
Pasal 353 KUHP:
1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu
dihukum penjam salama-lamanya empat tahun.
2) Jika perbuatan itu menjndikan luka berat, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun.

pg. 8
Pasal 354 KUHP:
1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karna
menganiayaan berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan
tahun
Pusal 355 KUHP:
1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,
dihukum penjara salama-lamanya dua belas tahun.
Penyidik juga dapat minta bantuan dokter atau dokter ahli kedokteran forensik
dan medikolegal untuk memeriksa korban mati yang diduga karena perbuatan
tindak pidana. Adapun kasus-kasus yang dapat dimintakan Visum et Repertum
Jenazah seperti tercantum dalam kasus pembunuhan, pembunuhan anak,
memberisarana orang lain untuk bunuh diri, abortus, penganiayaan, dan
kealpaan yang menyebabkan kematian.

Pembunuhan seperti tercantum dalam:


Pasal 338 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karna
makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasnl 339 KUHP:
Makar mati diikuti, disertai atau didahului dengan perbuatan yang dapat
dihukum dan yang dilakukan dengan maksud untuk menyiapkan atau
memudahkan perbuatan itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya
atau kawan-kawannya dari pada hukuman atau akan mempertahankan barabf
yang didapatnya dengan melawan hak, dihukum penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan,
dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.

pg. 9
Pembunuhan anak seperti tercantum dalam:
Pasal 341 KUHP:
Seorang ibu yang dengan sengaja mnghilangkan jiwa anaknya pada ketika
dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan
bahwa ia sudah melahirkan anak, dihukum karena makar mati terhadap anak,
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Pasal 342 KUHP:
Seorang ibu yang dengan sengaja menjalankan keputusan yang diambilnya
sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan nyawa anaknya itu pada ketika dilahirkan atau tidak lama
kemudian daripada itu, dihukum karena pembunuhan anak, yang direncanakan
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 343 KUHP:
Bagi orang lain yang ikut campur dalam kejahatan yang diraterangkan pada
pasal 341 dan 342 dianggap kejahatan itu sebagai makar mati atau pembunuhan.
Memberi sarana orang lain untuk bunuh diri seperti tercantum dalam:
Pasal 344 KUHP:
Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikannya daya upaya untuk itu,
maka jika orang itu jadi membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya
empat bulan.

Abortus seperti tercantum dalam:


Pasal 346 KUHP:
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.

pg. 10
Pasal 347 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.
Pasal 348 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun enam bulan.
Pasal 75 UUNo. 36 mhun 2009:
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. .
2) Larangan sebagaimana dimakaud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. lndikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan
ibu
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
paikologis bagi korban perkosaan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indkasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76 UU No. 36 tahun 2009:
Aborsi sebagaimana yang dimaksud pada pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

pg. 11
b. Oleh tenaga medis yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertikat yang ditetapkan oleh menteri.
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 77 UU No. 36 tahun 2009:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempua dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 75 UU N0. 36 tahun 2009:
(3) Yang dimaksud dengan konselor dalam ketentuan ini adalah setiap orang
yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan
pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh
masyankat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan
memiliki keterampilan untuk itu.
Penjelasan Pasal 77 UU No. 36 mhun 2009:
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan
tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang diakukan oleh tenaga
kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan
pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan
materi dari pada indikasi medis.

Penganiayaan yang menyebabkan mati seperti tercantum dalam:


Pasal 351 (3) KUHP:
Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dihukum penjara selama-lamanya
tujuh tahun.

pg. 12
Pasal 353 (3) KUHP:
Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, dia di hukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun
Pasal 354 (2) KUHP:
Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya sepuluh tahun.
Pasal 355 (2) KUHP:
Jika pubuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya lima belas tahun.

Kealpaan yang menyebabkan mati seperti tercantum dalam:


Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya satu tahun.
Permohonan pemeriksaan atas korban mati yang diduga karena perbuatan
tindak pidana, harus diajukan secara tertulis dan disebutkan dengan jelas untuk
pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat kepada dokter ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya (KUHAP Pasal 133 ayat
2). Dalam pasal 133 ayat 2 tertulis untuk pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah manyat. Apa yang dimaksud dengan kedua pemeriksaan itu
tidak dijelaskan akan tetapi dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan mayat
adalah pemeriksaan luar saja dan pemeriksaan bedah mayat adalah pemeriksaan
luar dan dalam dari mayat.
Dalam hal sangat diperlukan untuk pembuktian sehingga bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindarkan maka penyidik wajib memberitahukan kepada
keluarga korban terlebih dahulu. Dalam hal keluarga korban masih keberatan,
penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan
perlunya dilakukan pembedahan mayat. Barulah apabila dalam waktu dua hari
tidak ada tanggapan dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak
ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan dimaksud dalam KUHAP
Pasal 133 (KUHAP Pasal 134). Jadi setelah tenggang waktu 2x24 jam habis,

pg. 13
keluarga tidak memberi jawaban atau keluarga tidak ditemukan, penyidik tetap
dapat minta dokter untuk melakukan otopsi (bedah mayat) pada korban. Jadi
menurut KUHAP Pasal 134 tersebut izin keluarga tidak diperlukan tetapi dalam
prakteknya izin keluarga tetap diperlukan oleh karena untuk keselamatan
dokter.

Bantuan dokter pada jaksa


Dalam perkara pidana umum jaksa tidak berwenang minta Visum et Repertum,
tetapi jaksa berwenang minta Visum et Repertum psychiatricum seperti
tercantum dalam Pedoman Visum et Repertum Psychiatricum oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departenien kesehatan
RI tahun 1986.
Atas perintah hakim, jaksa dapat memanggil dokter sebagai saksi ahli di sidang
pengadilan berdasarkan Pola tata kerja pengadilan yang diterbitkan oleh
Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman
dan menurut KUHAP Pasal 146 (2) yaitu:
Penuntut umum menyampaikan surat pengadilan kepada saksi yang memuat
tanggal, hari serta jam sidang yang untuk perkara apa ia dipanggil yang harus
sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
sidang dimulai.

Hakim juga dapat minta bantuan dokter seperti tercantum dalam:


Pasal 159 KUHAP:
1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneneliti, apakah semua saksi yang
dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah, jangan sampai
saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan
disidang.
2) Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim
ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bawa saksi itu
tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan
supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

pg. 14
Pasal 160 KUHAP
1) :
a. Saksi dipanggil dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut
urutan yang dipandang sebak-baiknya oleh hakim ketua sidang
setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa, atau
penasehat hukum.
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang
menjadi saksi.
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan atau pun yang
memberatkan terdakwah yang tercantum dalam surat perlimpahan
perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum
dan penuntut umumselama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar
keterangan saksi tersebut.
2) Hakim ketua sidang menyatakan kepada saksi keterangan tentang nama
lengap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal
terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah semenda dan sampai
derajat ke berapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau istri
terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja
dengannya.
3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agammya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang
sebenarnya.
4) Jika pengadilan dianggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah
atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 179 KUHAP

pg. 15
1) Setiap orang yang dimintai keterangannya sebagai seorang ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga sebagai
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keteragan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenamnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.
H 180 KUHAP
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan hakim ketua sidang dapat minta keterangan
ahli dan dapat pula minta diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang berasal dari terdakwah atau penasihat
hukum terdapat hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan
penelitia ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2).
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan oleh instansi semula dengm komposisi personil yang berada
dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
238 (4) KUHAP
Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa
atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
253 (3) KUHAP
Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut
pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sandiri keterangan terdakwa
atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui oleh Mahkamah
Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam

pg. 16
ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka. dengan cara pemanggilan yang
sama.
Disamping hakim pengadilan negeri juga hakim pengadilan tinggi dan hakim
mahkamah agung mempunyai hak untuk meminta bantuan dokter.

B. ETIKA PROFESI KEDOKTERAN


Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap
diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan
dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya
atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam
membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam
melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam
memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan
pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk
pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian
profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip
moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan
kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan
etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai
situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis

pg. 17
tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan
medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu
dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang
diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah
dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di
tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan
(rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang
akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di
tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik
Rumah Sakit (Makersi).

Kode etik kedokteran indonesia


Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
Pasal 5

pg. 18
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau
yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan

pg. 19
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien


Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

pg. 20
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri


Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

C. ASPEK MEDIKOLEGAL PRAKTEK KEDOKTERAN


Penyelanggaraan praktik kedokteran
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
1. Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan
oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik
kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
2. Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
3. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
1. Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 dokter atau dokter gigi harus:
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan

pg. 21
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
2. Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang:
a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin
praktik.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
1. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik
kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau
dokter gigi pengganti.
2. Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
1. Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
2. Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan
kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar
dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter
gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran
di sarana pelayanan kesehatan tersebut.

pg. 22
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 44
1. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran
wajib mengikuti, standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan
menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

pg. 23
Penjelasan:
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk memberikan pelayanan
medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban
bencana, atau tugas kenegaraan yang bersifat insidentil tidak memerlukan
surat izin praktik, tetapi harus memberitahukan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota tempat kegiatan dilakukan.
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 38 Cukup jelas
Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi pengganti bukan dari keahlian yang
sarana, dokter atau dokter gigi tersebut harus menginformasikan kepada pasien
yang bersangkutan.
Pasal 41 Cukup jelas
Pasal 42 Cukup jelas
Pasal 43 Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "standar pelayanan" adalah pedoman yang
harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran.
Ayat (2)
Yang dirnaksud dengan "strata sarana pelayanan" adalah tingkatan pelayanan
yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang
diberikan.
Ayat (3 ) Cukup jelas

pg. 24
Pasal 45
Ayat (1) Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila
pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under curatele)
persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau
saudara-saudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang
sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, maka
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila
tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan
medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang
bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti
karena penjelasan merupakan landasan untuk memberikan persetujuan. Aspek
lain yang juga sebaiknya diberikan penjelasan yaitu yang berkaitan dengan
pembiayaan.
Ayat (4) Persetujuan lisan dalam ayat ini adalah persetujuan yang diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
diartikan sebagai ucapan setuju.
Ayat (5) Yang dimaksud dengan "tindakan medis berisiko tinggi" adalah seperti
tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.
Ayat (6) Cukup jelas

D. KEJAHATAN SEKSUAL
Kejahatan seksual adalah salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut tubuh,
ksehatan dan nyawa manusia. Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran
forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat

pg. 25
berperan, demikian halnya dengan faktor waktu. Dalam pembuktian terbatas
dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda kekerasan, tanda pergumulan atau
tanda persetubuhan, disamping itu perlu juga pembuktian terhadap perkiraan
umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau mampu
dikawini atau tidak.
Gangguan Psikoseksual
a. Parafilia
Suatu gangguan psikoseksual dimana orang yang bersangkutan lebih
memilih kegiatan yang tidak lazim daripada yang lazim. Ciri utamanya
adalah fantasi yang tidak lazim diperlukan untuk mendapatkan kepuasan
seksual.
Seorang parafilia dapat dipidana, jika terjadi luka atau kematian orang lain
(pasal 359 dan 360 KUHP) atau harus ganti rugi jika perbuatannya telah
menimbulkan kerugian pada orang lain (pasal 1366 KUHPerdata).
b. Fetisyisme
Sejenis pemujaan erotis yang tertuju pada tubuh yang disukai, pakaiannya,
atau benda lainnya. Ciri utamanya adalah penggunaan benda mati sebagai
cara untuk mencapai kepuasan seksual. Fetisy dapat berupa bagian tubuh
seorang wanita seperti rambut kepala, rambut kemaluan, atau pakaian milik
seorang wanita seperti BH, kaos kaki. Penderita ini dapat dikenakan pidana
sesuai pasal 362 KUHP misal mencari BH dari jemuran, atau pasal 1366
KUHPerdata.
c. Ekshibisionisme
Memperlihatkan alat kelamin kepada seseorang yang tak dikenal atau yang
menduga sebelumnya, untuk memperoleh kepuasan seksual tanpa disertai
usaha untuk melakukan kegiatan seksual lebih lanjut dengan orang tersebut.
Kepuasan seksua didapat dari melihat reaksi takut, kagum, jijik yang berasal
dari orang yang melihatnya. Jika tertangkap basah dapat dipidana menurut
KUHP pasal 281.
d. Voyeurisme

pg. 26
Ciri utamanya adalah bahwa orang yang bersangkutan secara berulang
mengalami dorongan yang tidak terkendali untuk mengintip, seseorang
dalam keadaan tak berbusana, sedang melepas pakaiannya, atau sedang
melakukan kegiatan seksual.
e. Transvestisme
Suatu gangguan psikoseksual dimana seorang pria heteroseksual dalam
fantasinya atau sungguh-sungguh memakai pakaian wanita untuk
membangkitkan nafsu seksual dan mendapatkan kepuasan seksual.
f. Pedofilia
Seorang pedofilia mendapatkan kepuasan dengan melakukan kegiatan
seksual bersama seorang anak pra-remaja (heteroseks atau homoseks). Ciri
utamanya adalah bahwa berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual
tersebut merupakan pilihannya atau cara yang eksklusif untuk memperoleh
kepuasan seksual. Perbuatan pedofilia diancam pidana 290 ayat (2) dan (3)
KUHP.
g. Masokisme Seksual
Suatu kegiatan seksual pria dan wanita yang bersangkutan memilih atau
menggunakan secara eksklusif cara dihina/direndahkan, diikat, dipukuli
atau disakiti secara lain untuk mendapatkan kepuasan seksual yang
dilakukan secara sengaja.
h. Sadisme Seksual
Mendapat kepuasan dengan cara:
1. Dengan sengaja menimbulkan penderitaan psikik atau fisik pada
seorang partner yang tidak menyetujuinya.
2. Merendahkan martabat partner yang menyetujuinya
3. Menimbulkan luka yang ekstensif, permanen, atau mematikan bagi
partner yang menyetujuinya.
i. Zoofilia atau Bestiality
Orang yang bersangkutan berulang-ulang menyukai penggunaan hewan
untuk mendapatkan kepuasaan seksual.
j. Koprofilia

pg. 27
Kepuasan seksual dengan melihat atau membayangi seseorang yang sedang
buang air besar atau melihat feses. Dapat juga dilakukan berupa menjilati
anus, atau memakan feses.
k. Urofilia
Melihat perbuatan membuang air seni, merasa hangatnya air seni yang
disiramkan pada tubuh, menciumi bau air seni dan mencicipinya/
meminumnya membangkitkan nafsu seksual dan dapat memberikan
kepuasan.
l. Felasio
Felasio berarti mengisap penis, Kunilingus berarti menjilati vulva.
m. Froteurisme
Suatu parafilia dimana orang bersangkutan lebih menyukai menggosok-
gosokan alat kelaminnya pada suatu bagian tubuh orang lain untuk
mendapatkan kepuasan seksual.
n. Parsialisme
Disini implus seksual atau libido terpaku pada satu bagian tubuh wanita.
o. Troilisme
Suatu parafilia dimana tiga orang 2 wanita dengan 1 pria atau 2 pria
dengan 1 wanita secara bersama melakukan serangkaian kegiatan
parafilia, seperti felasio, kunilingus dan kegiatan lainnya.
p. Pluralisme
Pada pluralisme serombongan orang mengadakan pesta pora seksual, tukar-
menukar istri dan sebagainya.
q. Lustmurder/Pembunuhan Karena Nafsu Seksual
Suatu pembunuhan dimana untuk menyalurkan dan mendapatkan kepuasan
seksual seseorang membunuh korbannya atau melukai secara fatal. Yang
paling sering ditemukan adalah membuat cacat atau memotong alat
kelamin, kemudian rongga perut disayat hingga terbuka, kayu atau benda
lain ditusukkan kedalam vagina atau anus, payudara diangkat, rambut
dicabut dan melakukan pencekikan.
r. Nekrofilia

pg. 28
Mayat dijadikan sebagai obyek seksual. Nekrofilia terdapat dalam 2 bentuk,
yaitu:
1. Korban dibunuh dan mayat korban digunakan sebagai objek seksual.
2. Mayat yang sudah dikubur, yang terdapat dikamar mayat atau di
bangsal anatomi dicuri digunakan sebagai objek seksual.
Perbuatan dengan mayat dapat berupa; menciumi, memeluk dan meraba
tubuh mayat.
s. Vampirisme
Dalam bentuk simbolis perbuatan seorang vampir pria dapat berupa
pengisapan darah menstruasi, juga pengisapan darah yang keluar dari luka
iris oleh seorang vampir wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual.
t. Transeksualisme
Merupakan gangguan Identitas Jenis Kelamin. Ciri utamanya adalah yang
bersangkutan senantiasa tidak senang pada dan tidak patut dengan seks
anatomiknya.
u. Hiperseksual
Keinginan yang berlebihan untuk koitus.
v. Homoseksual
Berarti hubungan seksual antara dua orang sejenis kelamin. Kegiatan
seksual yang bisa dilakukan dalam hubungan homoseksual:
a) Manual
b) Oral
c) Anal
d) Aksiler
e) Femoral
f) Dildo

PERSETUBUHAN
Persetubuhan didefinisikan sebagai perpaduan antara 2 alat kelamin yang
berlainan jenis guna memenuhi kebutuhan biologis yaitu kebutuhan seksual.
Perpaduan tersebut tidak harus sedemikian rupa sehingga seluruh penis masuk

pg. 29
ke dalam vagina (Menurut Nojor). Persetubuhan yang lengkap memang
diawali dengan penetrasi penis kedalam vagina, lalu diikuti dengan gesekan-
gesekan antara penis dengan vagina untuk menimbulkan stimulus dan
kemudian diakhiri dengan ejakulasi.
Persetubuhan yang legal adalah yang dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Wanita tersebut adalah istri sah (sesuai UU No 1/74 tentang
perkawinan) dan ada izin dari wanita yang disetubuhi.
2. Wanita tersebut sudah cukup umur, sehat akalnya, tidak sedang dalam
keadaan terikat perkawinan dengan orang lain dan bukan anggota
keluarga dekat.
Persetubuhan di dalam perkawinan yang merupakan kejahatan seperti yang
dimaksud oleh pasal 288 KUHP, ialah bila seorang suami melakukan
persetubuhan dengan istrinya yang belum kawin dengan mengakibatkan luka,
luka berat, dan persetubuhan diluar perkawinan.

PERKOSAAN
Perkosaan adalah tindakan menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pasal 285 KUHP:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pemeriksaan tempat kejadian perkara perkosaan
Tugas seorang dokter di TKP tindak pidana perkosaan adalah mencari data-
data tentang:
a. Tanda-tanda pergumulan
Berupa ketidakrapian atau ketidakteraturan tempat kejadian perkosaan
b. Tanda-tanda kekerasan
Berupa bercak darah yang berceceran, sisa obat tidur, obat bius, benda
tumpul atau benda tajam, tali untuk mengikat korban

pg. 30
c. Tanda-tanda persetubuhan
Berupa bercak cairan mani, bercak darah yang berasal dari deflerasi dan
benda lainnya seperti pakaian, sapu tangan, handuk, kertas yang dapat
digunakan oleh pelaku untuk menghapus alat kelaminnya.
d. Mencari benda-benda milik korban/tersangka

Pemeriksaan korban perkosaan


Berdasarkan pasal 133 KUHAP penyidik berwenang meminta bantuan dokter
untuk memeriksa korban perkosaan. Disini diperlukan pemeriksaan yang teliti
guna menemukan beberapa hal yang menjadi unsur tindak pidana.
Dokter perlu memperhatikan hal-hal berikut sebeum memeriksa korban
perkosaan:
1. Harus ada surat pemeriksaan visum et repertum dari polisi dan
keterangan mengenai kejadiannya.
2. Harus ada surat persetujuan dari koban atau orang tua / wali korban
yang menyatakan bahwa tidak keberatan di periksa seorang dokter.
3. Harus ada seorang perawat wanita atau polisi wanita yang
mendampingi dokter selama melakukan pemeriksaan.
Tujuan pemeriksaan korban pemerkosaan adalah:
1. Mencari keterangan tentang korban
2. Mencari keterangan tentang peristiwa pemerkosaan
3. Mencari aanya bekas-bekas kekerasan
4. Mencari adanya perubahan-perubahan pada alat kelamin korban
5. Mencari adanya spermatozoa
6. Mencari akibat dari pemerkosaan
Pemeriksaan medis korban pemerkosaan dapat dilakukan dengan cara yaitu:
1. Anamnesa
Anamnesa merupakan yang tidak dilihat dan tidak ditemukan oleh
dokter, jadi bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif. Pleh karena
itu, anamnesa tidak dimasukan dalam visum et repertum.
2. Pemeriksaan fisik

pg. 31
Pemerksaan fisik terhadap korban terdiri dari:
a. Pemerksaan baju korban. Pada pemeriksaan ini diperhatikan
apakah:
1) Ada yang hilang
2) Ada robekan-robekan
3) Ada kancing yang hilang
4) Ada bekas-bekas tanah, pasir, lumpur dan atau bahan lain
5) Ada noda darah
6) Ada noda sperma
b. Pemeriksaan tubuh korban. Pemeriksaan ini terdiri atas:
1) Pemeriksaan tubuh korban secara umum
Setiap korban pemerkosaan mutlak diperlukan
pemeriksaan yang teliti guna menemukan unsur tindak
pidana yaitu unsur-unsur persetubuhan dan kekerasan.
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan akan dapat
disimpulkan kebenaran terjadinya senggama, hanya saja
sangat sulit untuk dokter dapat menentukan apakah
senggama dilakukan atas dasar paksaan atau tidak. Bukti
medik juga dapat membuktikan adanya kekerasan,
namun yang tidak dapat dibuktikan adalah ancaman
kekerasan, sebeb dari ancaman kekerasan tidak akan
menunjukan bukti-bukti medik.
Pada pemeriksaan dicari tanda-tanda bekas kekerasan
pada tubuh korban seperti goresan, garukan, gigitan serta
luka lecet maupun luka memar dan ini dapat dicari pada:
a) Daerah sekitar mulut saat korban dibungkam
b) Daerah sekitar leher saat korban dicekik
c) Pergelangan tangan, lengan, sewaktu korban
disekap
d) Payudara sewaktu digigit atau diremas-remas

pg. 32
e) Sebelah dalam paha kewaktu korban dipaksa
untuk membuka ke 2 tungkainya
f) Punggung sewaktu korban dipaksa untuk tidur
ditanah
Selain itu dicari pula tanda-tanda persetubuhan yang
terdiri dari:
a) Tanda-tanda langsung yaitu robeknya selaput
darah akibat penetrasi penis, lecet atau memar
akibat gesekan-gesekan penis, dan adanya
sperma akibat ejakulasi.
b) Tanda-tanda tidak langsung yaitu terjadinya
kehamilan dan terjadinya penularan penyakit
kelamin.
Dalam pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi
oleh:
a) Besarnya penis dan derajat penetrasi
b) Bentuk dan derajat elastisitas selaput darah
c) Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulasi itu
sendiri
d) Posisi persetubuhan
e) Keaslian barang bukti serta pada saat
pemeriksaan
2) Pemeriksaan tubuh korban secara khusus
Yang diperiksa secara khusus disini adalah perubahan-
perubahan pada alat kelamin korban. Mencari adanya
bend asing, perdarahan, luka, robekan dan
pembengkakan pada daerah pubis, vulva, vagina, fornik
anterior, dan fornik posterior.
Bagaimana dengan keadaan hymen:
a) Bentuk dan sifat hymen
b) Besarnya lubang hymen

pg. 33
c) Adanya robekan hymen
d) Sifat dan lokalisasi robekan hymen
Ukur diameter lubang selaput darah, dapat dilalui 1 jari
kelingking, telunjuk atau 2 jari dengan mudah atau
sukar.
Adanya robekan pada hymen hanya dapat membuktikan
adanya sesuatu yang masuk ke dalam vagina dan
sebaliknya tidak terdapat robekan maka tidak dapat
dipastikan tidak terjadi penetrasi.
Untuk mengetahui adanya ejakulasi atau tidak, dapat
dibuktikan dengan adanya sperma pada liang vagina,
sekitar alat kelamin atau pada pakaian korban. Jika
ejakulasi tidak ditemukan atau persetubuhan tidak
sampai menimbulkan ejakulasi, maka dapat disimpulkan
2 kemungkinan, yaitu pertama memang tidak ada
peretubuhan atau yag kedua persetubuhan ada tetapi
tanda-tandanya tidak ditemukan.
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorum untuk korban pemerkosaan bertujuan untuk:
a. Pemeriksaan adanya sperma
b. Pemeriksaan adanya cairan semen (air mani)
c. Pemeriksaan adanya penyakit kelamin
d. Pemeriksaan adanya kehamilan
e. Pemeriksaan bahan lain didalam tubuh korban yang dapat
dipakai sebagai petunjuk

PERBUATAN CABUL
Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan
kesusilaan.

pg. 34
Menurut pasal 289 KUHP, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk melakukan atau membiarkan melakukan perbuatan cabul. Disini jenis
kelamin orang yang memaksa atau di paksa tidak menjadi soal, dan dengan
melakukan, di maksudkan melakukan perbuatan cabul pada orang lain atau
pada dirinya sendiri
Pasal 290 KUHP, menyatakan melakukan perbuata cabul itu dengan
seorang yang diketahuinya pingsan atau tidak berdaya. Kata pingsan
sinonim dengan kata-kata tidak sadar, tidak ingat, sedang kata tidak berdaya
berarti tidak bertenaga atau lemah, kata diketahuinya adalah rumusan dolus
atau sengaja.
Dari rangkaian beberapa undang-undang diatas dapat dikelompokan 4
macam persetubuhan diluar pernikahan yang dilarang dan diancam pidana
penjara yaitu perzinahan (pasal 284 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP),
persetubuhan dengan wanita pingsan (pasal 286 KUHP), dan persetubuhan
dengan wanita yang umurnya kurang dari 15 tahun (pasal 287 KUHP).
Pada perzinahan, persetubuhan dilakukan dengan izin wanita sehingga
wanita tersebut juga dinyatakan bersasah. Sedangkan pada 3 yang lainnya
jika dilakukan berdasarkan persetujuan wanita tersebut, dianggap tidak sah
sehingga di anggap tidak ada persetujuan.

E. VISUM ET REPERTUM
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik,
memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai
tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan
hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati.
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain
adalah pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh
polisi (penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam
peristiwa kecelakkaan lalu-lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan,
pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan
pertama polisi, terdapat kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak pidana.

pg. 35
Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk
dibuatkan visum et repertum, sekaligus berstatus sebagai pasien untuk
diobati/dirawat.
Sebagai pasien orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul
akibat hubungan dokter-pasien (kontrak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki
pasien, seperti hak atas informasi, hak menolak/memilih alternatif cara
pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran dan lain-lain harus dipatuhi
oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-
ketentuan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak
dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
DASAR HUKUM
Pasal 133 KUHAP menyebutkan :
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan manangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP:
(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Yang
dimaksud dengan penyidik di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6 (1)
butir a., yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah
penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan
kesehatan dan jiwa manusia.

pg. 36
Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang
berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri
sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP).
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983 yang manyatakan penyidik
Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada
wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan),
maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi
Penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua. Untuk
mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditan-da tangani
oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penandatang
menandatangani surat tersebut selaku penyidik.
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban
dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal
179 KUHAP sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Nama Visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun
hukum acara pidana sebelumnya (RIB=Peglemen Indonesia yang diBaharui).
Nama visum et repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350 tahun
1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi:
1. Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang
diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri
Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus sebagai dimaksud
dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana,
sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada
benda yang diperiksa.

pg. 37
2 . Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri
Belanda maupun di Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
boleh mengikrarkan sumpah (atau janji) sebagai berikut: " ..........."
Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 di atas, adalah
lafal sumpah seperti pada Statsblad 1882 No 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni
1960) yang berbunyi:
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu
kedokteran, bedah dan kebidanan menururt ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh undang-undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan
bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga, segala sesuatu
yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaaan saya,
kecuali kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di
muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan
untuk memberi keterangan."
Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :
1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal
yang dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian,
dokter hanya dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah
mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan
lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38,
tahun 1882. Lafal sumpah dokter ini memang tepat bila digunakan
sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan
dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi:
Pasal 186: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Penjelasan pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan.

pg. 38
Pasal 187:(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya.
Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
dalam KUHAP.
Pasal 184 : (1) Alat bukti yang sah adalah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Dari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli
maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud
dengan visum et repertum dalam Stb no. 350 tahun 1937.
Perbedaannya adalah bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah
keterangan atau pendapat yang dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan
keilmuannya, tidak hanya terbatas pada "apa yang dilihat dan ditemukan oleh
si pembuat". Oleh karena berdasarkan keilmuannya, maka keterangan ahli atau
surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus di buat atas dasar pemeriksaan
medik.
Pendapat yang tidak berdasarkan hasil pemeriksaan medik tentu saja tidak
merupakan bagian dari visum et repertum. Pemeriksaan medik tersebut tidak
harus dilakukan oleh dokter pembuat visum et repertum sendiri. Hal ini
mengingat bahwa kemajuan ilmu kedokteran mengakibatkan berbagai
pemeriksaan yang khusus harus dilakukan oleh dokter dengan keahlian khusus
pula, sehingga pemeriksaan medik terhadap seseorang pasien (korban) mungkin
saja dibuat oleh beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.
Nama visum et repertum hingga saat ini masih dipertahankan, walaupun dengan
konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama visum et repertum ini
digunakan untuk membedakan surat/ keterangan ahli yang dibuat dokter dengan
surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.

pg. 39
DEFINISI
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh
manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan
peradilan.
PERANAN DAN FUNGSI VISUM ET REPERTUM
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum
et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang
tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai
pengganti benda bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian Kesimpulan.
Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et
Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang
dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara
pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalan di
sidang Pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memberi
kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang
bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan(ps 180 KUHAP).\
PERBEDAAN VISUM ET REPERTUM DENGAN CATATAN MEDIK
DAN SURAT KETERANGAN MEDIK LAINNYA.
Di dunia kedokteran, dikenal pelbagai surat keterangan, antara lain catatan
medik dan surat keterangan medik.

pg. 40
Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik beserta
tindakan pengobatan/perawatannya, yang merupakan milik pasien, meskipun
dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada rahasia
pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966
dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322 KUHP.
Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga, misalnya dalam
bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik
berupa izin langsung maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara
pasien dengan pihak ketiga tertentu (misalnya perusahaan asuransi).
Oleh karena Visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang, maka
dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana
diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin
pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana, sepanjang
Visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang
memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan.
JENIS DAN BENTUK VISUM ET REPERTUM
Dengan konsep visum et repertum di atas, dikenal beberapa jenis visum et
repertum, yaitu:
a. Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
b. Visum et repertum kejahatan susila
c. Visum et repertum jenasah
d. Visum et repertum psikiatrik
Jenis a, b dan c adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang
dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah
mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa tindak pidana.
Meskipun jenisnya bermacam-macam, namun nama resminya tetap sama yaitu
"Visum et Repertum", tanpa embel-embel lain.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas
sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan
pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sedapat

pg. 41
mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan
bahasa Indonesia. Apabila penulisan sesuatu kalimat dalam visum et repertum
berakhir tidak pada tepi kanan format, maka sesudah tanda titik harus diberi
garis hingga ke tepi kanan format. Apabila diperlukan gambar atau foto untuk
lebih memperjelas uraian tertulis dalam visum et repertum, maka gambar atau
foto tersebut diberi kan dalam bentuk lampiran.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu :
1. Kata Pro justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan
bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum
et repertum tidak membutuhkan meterai untuk dapat dijadikan sebagai
alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum.
2. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis di dalam
visum et repertum, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-
kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat
visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik
pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan
waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas
korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat
permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak-sesuaian identitas
korban antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang
diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.
3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil pemeriksaan" dan
berisi hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit
atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik
yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan.
Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan
seluruh alat-dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang
tersebut.

pg. 42
Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti,
berupa perlukaan/keadaan kesehatan/sebab kematian yang berkaitan
dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat
rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke
dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia
kedokteran.
4. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi
pendapat dokter berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis
perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat
penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya.
Pada kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi
persetubuhan dan kapan perkiraan kejadiannya, serta usia korban atau
kepantasan korban untuk dikawin.
5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku
"Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai
dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana."\
a) VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PERLUKAAN
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk
mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam
KUHP. Jelaslah di sini bahwa pemeriksaan kedokteran forensik tidak
ditujukan untuk pengobatan.
Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua
hasil pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak
pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk
pembuatan visum et repertum. Catatan medik yang tidak lengkap dapat
mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian
Pemberitaan visum et repertum.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke
penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa

pg. 43
serta surat permintaan visum et repertum. Sedangkan para korban dengan
luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum
melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan visum et repertumnya akan
datang terlambat. Keterlambatan surat permintaan visum et repertum ini
dapat diperkecil dengan diadakannya kerjasama yang baik antara
dokter/institusi kesehatan dengan penyidik/instansi kepolisian.
Baik terhadap Surat Permintaan Visum et repertum yang datang bersamaan
dengan korban, maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan visum et
repertum. Visum et repertum ini dibuat setelah perawatan/pengobatan
selesai, kecuali pada visum et repertum sementara, dan perlu pemeriksaan
ulang pada korban bila surat permintaan pemeriksaan datang terlambat.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana
penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka
'sedang' dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau
353 (1)).
Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari
tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353
(2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)).
Perlu diingat bahwa luka-luka tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan
atau usaha bunuh diri.
Derajat luka. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan
adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP.
Umumnya, yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah
korban dengan "tanpa luka" atau dengan luka lecet atau memar kecil di
lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh
tertentu. Luka-luka tersebut kita masukkan ke dalam kategori luka ringan
atau luka derajat satu.
KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, tetapi
jurisprudensi Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa
menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Yang

pg. 44
penting bagi dokter adalah menentukan keadaan yang bagaimanakah yang
dimaksud dengan sakit atau luka. Oleh karena batasan luka ringan sudah
disebutkan di atas, maka semua keadaan yang "lebih berat" dari luka ringan
dimasukkan ke dalam batasan sakit atau luka. Selanjutnya dokter tinggal
membaginya ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) dan luka
berat (luka derajat tiga).
KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang iuka berat, yaitu: jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut ; yang menyebabkan seseorang
terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang
menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya
keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih
serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat
adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.
Namun demikian, perlu diingat bahwa pada saat pemeriksaan pertama kali,
dokter sering tidak dapat menentukan apakah sesuatu perlukaan yang
sedang diperiksanya adalah luka sedang atau luka berat. Hal ini diakibatkan
masih belum berhentinya perkembangan derajat sesuatu perlukaan sebelum
selesainya pengobatan/perawatan. Kadang-kadang ketidakpastian derajat
luka tersebut terjadi berkepanjangan, sehingga pada saat penyidik
membutuhkan visum et repertumnya, dokter hanya bisa memberikan visum
et repertum sementara. Visum et repertum sementara ini tidak berisikan
kesimpulan derajat luka, melainkan hanya keterangan bahwa hingga saat
visum et repertum dibuat korban masih dalam perawatan di institusi
kesehatan tersebut.
Visum et repertum sementara juga diperlukan bila korban dipindah
rawatkan ke institusi kesehatan lainnya. Visum et repertum lengkap baru
dibuat kelak setelah perawatan selesai dan derajat lukanya dapat ditentukan.

pg. 45
Di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum biasanya disebutkan
keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis
dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan
medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan
keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai. Gejala/keluhan yang
dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan ke dalam bagian
Pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu,
dan sebagainya. Sedangkan keluhan subyektif yang tidak dapat dibuktikan
tidak dimasukkan dalam visum et repertum, misalnya keluhan sakit kepala,
pusing, mual dan sebagainya.
Sebagai contoh penulisan bagian Pemberitaan adalah:
Korban datang dalam keadaan sadar, agak pucat dan tampak sesak nafas.
Pada dada sisi kanan setinggi sela iga ke tiga terdapat luka terbuka dengan
tepi rata berbentuk garis mendatar sepanjang tiga sentimeter, kedua sudut
luka lancip, luka menembus dinding dada.......dst.
Kalimat tersebut di atas berasal dari catatan medik yang sederhana : "CM,
anemis, dispnoe, 90/60, RR 32/menit. Pada i.c. III dext terdapat v. scissum
penetrans 3 cm horizontal, ke-2 sudut lancip.....dst".
Dalam bagian Kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera
atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat
perlukaan. Derajat luka dituliskan dalam kalimat yang mengarah ke
rumusan delik dalam KUHP.
Contoh kesimpulan pada kasus dengan luka ringan:
Pada korban laki-laki ini ditemukan memar pada pipi kiri akibat kekerasan
tumpul yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan
pekerjaan.
Pada 'luka sedang', misalnya:
Pada korban wanita ini ditemukan patah tulang tertutup pada tulang paha
kanan akibat kekerasan tumpul, yang mengakibatkan penyakit dan halangan
dalam melakukan pekerjaannya selama......

pg. 46
Atau pada kasus lain: Pada korban wanita ini ditemukan luka terbuka di
tungkai bawah kiri akibat kekerasan tumpul, sehingga mengakibatkan
penyakit yang memerlukan pengobatan jalan selama ....
Contoh kasus dengan luka berat:
Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka di dada sisi kanan yang
mengenai baga tengah paru kanan akibat kekerasan tajam, yang telah
mendatangkan bahaya maut baginya", atau pada kasus lain: Pada korban
laki-laki ini ditemukan luka terbuka dan memar pada mata kanan akibat
kekerasan tumpul, yang mengakibatkan hilangnya indera penglihatan
sebelah kanan untuk selamanya".
b) VISUM ET REPERTUM KORBAN KEJAHATAN SUSILA
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan visum et
repertumnya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang
diancam hukuman oleh KUHP.
Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP meliputi pemerkosaan,
persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita
yang belum cukup umur.
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan
adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk pemberian
racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Selain itu
dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual,
kehamilan dan kelainan psikiatrik/kejiwaan sebagai akibat dari tindak
pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan,
karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di
depan sidang pengadilan.
Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat
permintaan visum et repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan si
korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur, agar dapat
dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan
pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang.

pg. 47
Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan fisik
terhadap kemungkinan adanya deflorasi himen, laserasi vulva atau vagina,
serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalam
forniks posterior.
Pembuktian adanya sel sperma dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun dengan
pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani. Adanya
penyakit hubungan seksual atau kehamilan memperkuat adanya
persetubuhan, meskipun tidak diketahui saat terjadinya. Bukti adanya
persetubuhan tersebut baru mempunyai nilai bila sesuai waktu kejadiannya
dengan persetubuhan yang diperkarakan. Misalnya, adanya deflorasi himen
lama (tepi robekan berupa jaringan parut) atau ditemukannya sel-sel sperma
yang hampir lisis, bukanlah merupakan bukti persetubuhan yang
diperkarakan yang terjadi satu hari sebelum pemeriksaan. Jejak kekerasan
harus dicari tidak hanya di daerah perineum, melainkan juga daerah-daerah
lain yang lazim, seperti wajah, leher, payudara, perut dan paha. Pengam-
bilan sampel darah untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan bila ada
kecurigaan ke arah tersebut, baik yang didapat dari anamnesa maupun dari
pemeriksaan tisik.
Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal usulnya
jelas. Bila usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda-tanda medik guna
memperkirakannya. Telah adanya haid menunjukkan usia 12 tahun atau
lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang
menunjukkan usia 15 tahun atau lebih.
Dalam kesimpulan visum et repertum korban kejahatan susila diharapkan
tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda
persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya,
dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
c) VISUM ET REPERTUM JENASAH

pg. 48
Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang
memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan
pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum
et repertumnya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah
hanya pemeriksaan luar jenasah, ataukah pemeriksaan autopsi (bedah
mayat) (ps 133 KUHAP).
Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib
memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuannya pemeriksaan. Autopsi dilakukan setelah keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga korban (ps 134 KUHAP). Jenasah yang diperiksa dapat juga
berupa jenasah yang didapat dari penggalian kuburan (ps135 KUHAP).
Jenasah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat
keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik
telah dilakukan. Apabila jenasah dibawa pulang paksa, maka baginya tidak
ada surat keterangan kematian.
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar jenasah,
tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah.
Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat
secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenasah, pakaian, benda-benda
di sekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda
tanatologik, gigi-geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan
di seluruh bagian luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan
visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan
dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat
ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenasah. Lamanya
mati sebelum pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat
diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan
membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala

pg. 49
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologik, toksikologik, serologik dsb.
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis
luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti
tersebut di atas.
d) VISUM ET REPERTUM PSIKIATRIK
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44(1)
KUHP yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing), tidak dipidana.
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita
penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang yang retardasi mental. Apabila
penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah
penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja
semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan akan
semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya. Demikian pula jenis
penyakit jiwa yang bersifat hilang-timbul akan mempersulit pembuatan
kesimpulan dokter.
Visum et repertum psikiatrik diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa
pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana visum et repertum
lainnya. Selain itu visum et repertum psikiatrik menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena visum
et repertum psikiatrik menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya
seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik
bila pembuat visum et repertum psikiatrik ini hanya dokter spesialis psikiatri
yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

F. TANATOLOGI
Tanatologi berasal dari kata thanatos ( yang berhubungan dengan kematian) dan
logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang

pg. 50
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak).
Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem
penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan
sistem pernapasan, yang menetap (irre-versible). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak
terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada
auskultasi.
Mati suri (suspended animation .apparent death) adalah terhentinya ketiga
sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana.
Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga
sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus
keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-
masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler
pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam
transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami
mati seluler dalam waktu 4 menit; otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai
kira-kira 2 jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah 4 jam; dilatasi
pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas
atropin 1% ke dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau
fisostig-min 0.5 % akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pascamati.
Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara
menyuntikkan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%; spermatozoa
masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis; kornea masih dapat
ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam
pasca mati.

pg. 51
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.
Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh
intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang
secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat
dihentikan .
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit
kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti, pernapasan
berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan
relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas
yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut
dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis atau
lividitas pasca-mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh,
pembusukan, mumifikasi dan adiposera.
a. Tanda kematian tidak pasti
1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi,
palpasi, auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena
mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah
menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang
menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian
disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-
daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat
yang terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah

pg. 52
kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan
kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit
yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.
b. Tanda pasti kematian.
1. Lebam mayat (livor mortis). Setelah kematian klinis maka eritrosit
akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi),
mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu
(livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang
tertekan alas keras.
Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari
endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30
menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi
lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat
masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi
mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna
apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan
dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24
jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat
mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru.
Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman
akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat
disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup
banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot
dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian;
memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang
pada keracunan CO atau CN, warna kecok-latan pada keracunan anilin,
nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui perubahan posisi mayat yang
dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan
memperkirakan saat kematian.

pg. 53
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum
menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah
beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan
perut.
Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan
menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat
pemeriksaan.
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah,
maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan
resapan...darah akibat trauma (eks-travasasi). Bila pada daerah tersebut
dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah
darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada
resapan darah tidak menghilang.
2. Kaku mayat (rigor mortis). Kelenturan otot setelah kematian masih
dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa
pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi
ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih
terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan
miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat
mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian
luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama
menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah
mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama
12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat
umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku
mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas
fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan

pg. 54
otot-otot kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat
dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan
memperkirakan saat kematian. Terdapat kekakuan pada mayat yang
menyerupai kaku mayat;
a) Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan
otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm
sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas
sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya
adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat
setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang
hebat sesaat sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang
dijumpai, tetapi sering terjadi dalam masa perang.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir
masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda
yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam
senjata pada kasus bunuh diri.
b) Heaf stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot
oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh
(mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati
terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini
tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup,
intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
c) Co/d stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin,
sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi,
pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi
ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
d) Penurunan suhu tubuh {algor mortis). Penurunan suhu tubuh
terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda
yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan

pg. 55
konveksi.
Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva sigmoid
atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh
suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi
tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk
perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan
lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin
dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang,
tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua
serta anak kecil.
Meskipun demikian dapat dikemukakan di sini formula Marshall
dan Hoare (1962) yang dibuat dari hasil penelitian terhadap mayat
telanjang dengan suhu lingkungan 15.5 derajat Celcius, yaitu
penurunan suhu dengan kecepatan 0.55 derajat Celcius tiap jam
pada 3 jam pertama pasca mati, 1,1 derajat Celcius tiap jam pada 6
jam berikutnya, dan kira-kira 0.8 derajat Celcius tiap jam pada
periode selanjutnya. Kecepatan penurunan suhu ini menurun hingga
60% bila mayat berpakaian. Peng-gunakan formula ini harus
dilakukan dengan hati-hati mengingat suhu lingkungan di Indonesia
biasanya lebih tinggi (kurva penurunan suhu lebih landai).
Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati
melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap di
Tempat Kejadian Perkara (TKP). Caranya adalah dengan melakukan
4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang sama
(minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan dianggap konstan
karena faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu
saat mati dianggap 37 derajat Celcius bila tidak ada penyakit
demam. Penelitian membuktikan bahwa perubahan suhu lingkungan
kurang dari 2 derajat Celcius tidak mengakibatkan perubahan yang
bermakna. Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus
atau grafik dapat ditentukan waktu antara saat mati dengan saat

pg. 56
pemeriksaan. Saat ini telah tersedia program komputer guna
penghitungan saat mati melalui cara ini.
e) Pembusukan (decomposition, putrefaction). Pembusukan adalah
proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja
bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang
terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif
oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah
dengan pembekuan jaringan.
Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam
tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik
bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri
berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium welchii.
Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan
HCN, serta asam amino dan asam lemak.
Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna
kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya
lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding
perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met-
hemo-globin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar
ke seluruh perut dan dada, dan bau busukpun mulai tercium.
Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan
berwarna hijau kehitaman.
Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung
berisi cairan kemerahan berbau busuk.
Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan
usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan
kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam
jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik
(krepitasi). Gas ini me-nyebabkan pembengkakan tubuh yang
menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan
jaringan longgar, seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada

pg. 57
dalam sikap seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu kedua lengan
dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat terkumpulnya gas
pembusukan di dalam rongga sendi.
Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah
terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan,
kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah
membengkak dan sering terjulur diantara gigi. Keadaan seperti ini
sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat lagi
dikenali oleh keluarga.
Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam
pasca mati, terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah
rumpun. Luka akibat gigitan binatang pengerat khas berupa lubang-
lubang dangkal dengan tepi bergerigi.
Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan
nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat
telah dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut
mata, lubang hidung dan diantara bibir. Telur lalat tersebut
kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan
identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat
diketahui usia larva tersebut, yang dapat dipergunakan untuk
memperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasanya
secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak
lagi dapat mengusir lalat yang hinggap).
Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan
yang berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di
daerah fundus, usus, menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran
napas menjadi kemerahan, en-dokardium dan intima pembuluh
darah juga kemerahan, akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari
kandung empedu mengakibatkan warna coklat kehijauan di
jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti
spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat-dalam akan

pg. 58
mengerut. Prostat dan uterus non gravid merupakan organ padat
yang paling lama bertahan terhadap perubahan pembusukan.
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal
(26.5 derajat Celcius hingga sekitar suhu normal tubuh),
kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh
gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat
mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara akan
lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air
atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang
berada dalam tanah : air: udara adalah 1 : 2 : 8. Bayi baru lahir
umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya memiliki sedikit
bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada
bayi akan menghambat per-tumbuhan bakteri.
f) Adiposera atau lilin mayat. Adiposera adalah terbentuknya bahan
yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang
terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Dulu disebut
sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena
menunjukkan sifat-sifat dian-tara lemak dan lilin.
Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah
kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang
menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit.
Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu
yang hangat akan mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam
jaringan pasca mati juga akan mempercepat pembentukannya.
Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat
keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya
mengandung kira-kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu
4 minggu pasca mati dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu
menjadi 70% atau lebih. Pada saat ini adiposera menjadi jelas secara
makroskopik sebagai bahan berwarna putih kelabu yang
menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada

pg. 59
stadium awal pembentukannya sebelum makroskopik jelas,
adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat.
g) Mummifikasi. Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau
dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan
jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap,
berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila
suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang
dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang
dijumpai pada cuaca yang normal.
c. Perkiraan saat kematian.
Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain
dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.
1. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering,
sklera di kiri-kanan kornea akan berwarna kecolkatan dalam
beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea
(taches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi
lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan
dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai
lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air.
Kekeruhan yang menetap ini ter-jadi sejak kira-kira 6 jam pasca
mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea
menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa
jam saja fundus tidak tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola
mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada penekanan bola
mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya
mati.
Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15
jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan
makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1

pg. 60
jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi.
Selama dua jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar
diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula
yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang
tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan
pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati
menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat.
Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya
pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat
dilihat dengan latar belakang kuning-kelabu.
Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan
batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya
dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen
pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak
ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya
makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.
2. Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung
sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk
memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat
mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu
dalam membuat kepu-tusan. Ditemukannya makanan tertentu
(pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam isi lambung dapat digunakan
untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah
makan makanan tersebut.
3. Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh
rambut rata-rata 0.4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot
dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini
hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan
mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur.
4. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas,

pg. 61
pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat
digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui
saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
5. Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino
kurang dari 14 mg% menunjukkan ke-matian belum lewat 10 jam,
kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukkan
kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10
mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10
jam dan 30 jam.
6. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup
akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100
jam pasca mati.
7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga
analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi
zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan
oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari
sel yang telah mati.
8. Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati
klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada
seseorang yang hidup.

G. TRAUMATOLOGI FORENSIK
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang
dimaksudkan dengan luka adalah suatu keadaan ke-tidak-sinambungan jaringan
tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan
yang bersifat:
Mekanik:
Kekerasan oleh benda tajam Kekerasan oleh benda tumpul Tembakan senjata
api.

pg. 62
Fisika:
Suhu
Listrik dan petir Perubahan tekanan udara Akustik Radiasi
Kimia:
Asam atau basa kuat
a. LUKA AKIBAT KEKERASAN BENDA TUMPUL
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini
adalah benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat
berupa memar (kontusio, hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka
terbuka/robek (vulnus laseratum).
1. Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis
akibat pecahnya kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan
benda tumpul. Luka memar kadangkala memberi petunjuk tentang
bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah
suatu perdarahan tepi (marginal haemorrhage).
Letak, bentuk dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti besarnya kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi),
kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat longgar, jaringan lemak), usia,
jenis kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah,
penyakit (hipertensi, penyakit kardio vaskular, diatesis hemoragik).
Pada bayi, hematom cenderung lebih mudah terjadi karena sifat kulit
yang longgar dan masih tipisnya jaringan lemak subkutan, demikian
pula pada usia lanjut sehubungan dengan menipisnya jaringan lemak
subkutan dan pembuluh darah yang kurang terlindung.
Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan
warnanya. Pada saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah
menjadi ungu atau hitam, setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau
yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari,
dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna
tersebut berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi
tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

pg. 63
Dari sudut pandang medikolegal, interpretasi luka memar dapat
merupakan hal yang penting, apalagi bila luka memar tersebut disertai
luka lecet atau laserasi. Dengan perjalanan waktu, baik pada orang hidup
maupun mati, luka memar akan memberi gambaran yang makin jelas.
Hematom ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian
biasanya akan menunjukkan pembengkakan dan infiltrasi darah dalam
jaringan sehingga dapat dibedakan dari lebam mayat dengan cara
melakukan penyayatan kulit. Pada lebam mayat (hipos-tasis pascamati)
darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat sehingga
bila dialiri air, penampang sayatan akan tampak bersih, sedangkan pada
hematom penampang sayatan tetap berwarna merah kehitaman. Tetapi
harus diingat bahwa pada pembusukan juga terjadi ekstravasasi darah
yang dapat mengacaukan pemeriksaan ini.
2. Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya
pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau
sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit.
Manfaat interpretasi luka lecet ditinjau dari aspek medikolegal
seringkah diremehkan, padahal pemeriksaan luka lecet yang teliti di-
sertai pemeriksaan di TKP dapat mengungkapkan peristiwa yang
sebenarnya terjadi. Misalnya suatu luka lecet yang semula diperai rakan
sebagai akibat jatuh dan terbentur aspal jalanan atau tanah, seharusnya
dijumpai pula aspal atau debu yang menempel di luka tersebut. Bila
setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti ternyata tidak a jumpai benda
asing tersebut, maka harus timbul pemikiran bahwa -ka tersebut bukan
terjadi akibat jatuh ke aspal/tanah, tapi mungkin akibat tindak
kekerasan.
3. Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang
menyebabkan kulit teregang ke satu arah dan bila batas elastisitas kulit
terlampaui, maka akan terjadi robekan pada kulit. Luka ini mempunyai
ciri bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak

pg. 64
rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka
tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka.
Kekerasan tumpul yang cukup kuat dapat menyebabkan patah tulang.
Bila terdapat lebih dari satu garis patah tulang yang saling
bersinggungan maka garis patah yang terjadi belakangan akan berhenti
pada garis patah yang telah terjadi sebelumnya.
Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit
hanya mampu menahan benturan sampai 40 pound/inch , tetapi bila
terlindung oleh kulit maka dapat menahan sampai 425 900 pound/inch2.
Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang tengkorak, cedera
kepala dapat pula mengakibatkan perdarahan dalam rongga tengkorak
berupa perdarahan epidural, subdural dan subarakhnoid, kerusakan
selaput otak dan jaringan otak.
Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia
pertengahan, dan sering dijumpai pada kekerasan benda tumpul di
daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan belakang kepala (10-15%), akibat
garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi perdarahan
epidural tidak selalu disertai patah tulang.
Perdarahan subdural terjadi karena robeknya sinus, vena jembatan
(bridging vein), arteri basilaris atau berasal dari perdarahan s-
carakhnoid.
Perdarahan subarakhnoid biasanya berasal dari fokus kon-TLS-O/
laserasi jaringan otak. Perlu diingat bahwa perdarahan ini juga Dsa
terjadi spontan pada sengatan matahari (heat stroke), leukemia, fcjmor,
keracunan CO dan penyakit infeksi tertentu.
Lesi otak tidak selalu terjadi hanya pada daerah benturan tetapi dapat
terjadi di seberang titik benturan (contre coup) di antara keduanya
[intermediate lesion). Lesi contre coup karena adanya liquor yang
mengakibatkan terjadinya pergerakan saat terjadinya benturan, sehingga
pada sisi kontra lateral terjadi gaya positif akibat akselerasi, dorongan
liquor dan tekanan yang mengalami deformitas. Penelitian lain

pg. 65
menyatakan contre coup terjadi karena adanya deformitas tulang
tengkorak yang sapat menimbulkan tekanan negatif pada sisi
kontralateral.
b. LUKA AKIBAT KEKERASAN BENDA TAJAM
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini
adalah benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis maupun runcing,
yang bervariasi dari alat-alat seperti pisau, golok, dan sebagainya hingga
keping kaca, gelas, logam, sembilu, bahkan tepi kertas atau rumput.
Gambaran umum luka yang diakibatkannya adalah tepi dan dinding luka
yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar luka
berbentuk garis atau titik.
Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka iris atau sayat, luka
tusuk dan luka bacok.
Selain gambaran umum luka tersebut di atas, luka iris atau sayat dan luka
bacok mempunyai kedua sudut luka lancip dan dalam tidak melebihi
panjang luka. Sudut luka yang lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang
berdekatan akibat pergeseran senjata sewaktu ditarik atau akibat
bergeraknya korban. Bila dibarengi gerak -emutar, dapat menghasilkan luka
yang tidak selalu berupa garis.
Pada luka tusuk, sudut luka dapat menunjukkan perkiraan penyebabnya,
apakah berupa pisau bermata satu atau berita dua. Bila satu sudut luka lancip
dan yang lain tumpul, berarti renda penyebabnya adalah benda tajam
bermata satu. Bila kedua sudut luka lancip, luka tersebut dapat diakibatkan
oleh benda tajam rermata dua. Benda tajam bermata satu dapat
menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip apabila hanya
bagian ujung renda saja yang menyentuh kulit, sehingga sudut luka dibentuk
oleh sisi panjang dan sisi tajamnya.
Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak mencerminkan lebar benda
tajam penyebabnya.
Luka percobaan khas ditemukan pada kasus bunuh diri yang menggunakan
senjata tajam, sehubungan dengan kondisi kejiwaan korban. Luka

pg. 66
percobaan tersebut dapat berupa luka sayat atau luka tusuk yang dilakukan
berulang dan biasanya sejajar.
c. LUKA AKIBAT TEMBAKAN SENJATA API
Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil perledakan
mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi
melalui larasnya.
Tembakan yang mengenai tubuh akan menimbulkan luka tembak, yang
gambarannya tidak hanya terjadi sebagai akibat terjangan anak peluru pada
sasaran, tetapi juga oleh partikel logam akibat geseran anak peluru dengan
laras, butir mesiu yang tidak sempurna terbakar, asap serta panas akibat
ledakan mesiu dan pada luka tembak yang terjadi akibat tembak tempel,
kerusakan jaringan akibat moncong laras yang juga menekan sasaran.
Tergantung pada komponen produk ikutan mana yang masih dapat
mencapai sasaran, luka tembak masuk dibedakan menjadi luka tembak
masuk jarak jauh, luka tembak masuk jarak dekat, luka tembak masuk jarak
sangat dekat dan luka tembak tempel.
Apabila setelah mengenai sasaran, anak peluru masih memiliki tenaga untuk
meneruskan lintasannya dan menembus ke luar tubuh, maka akan terjadi
luka tembak keluar.
Anak peluru yang menembus kulit akan menyebabkan terjadinya lubang
yang dikelilingi bagian yang kehilangan kulit ari berupa kelim lecet. Selain
itu zat yang melekat pada anak peluru seperti minyak pelumas, jelaga dan
elemen mesiu (Pb, Sb, Ba) akan terusap pada tepi lubang sehingga terbentuk
kelim kesat yang terdapat tepat di tepi lubang (pada luka tembak masuk
jarak jauh). Butir-butir mesiu yang tidak habis terbakar akan tertanam pada
kulit disekitar kelim lecet, membentuk kelim tatoo (pada luka tembak masuk
jarak dekat), dan jelaga/asap yang ke luar dari ujung laras senjata akan
membentuk kelim jelaga, sedangkan api yang ikut keluar akan membentuk
kelim api (berupa hiperemi atau jaringan yang terbakar, pada luka tembak
masuk jarak sangat dekat).

pg. 67
Ujung laras yang menempel pada kulit saat senjata api ditembakkan akan
membentuk luka lecet tekan yang mengelilingi kelim lecet dengan sekitar
yang menonjol, dikenal sebagai jejak laras.
LTM (Luka Tembak Masuk) jarak jauh hanya dibentuk oleh komponen
anak peluru, sedangkan LTM jarak dekat dibentuk oleh komponen anak
peluru dan butir-butir mesiu yang tidak habis terbakar. LTM jarak sangat
dekat dibentuk oleh komponen anak peluru, butir mesiu, jelaga dan
panas/api.
LTM tempel/kontak dibentuk oleh seluruh komponen tersebut di atas (yang
akan masuk ke dalam saluran luka) dan jejas laras. Saluran luka akan
berwarna hitam dan jejas laras akan tampak mengelilingi luka tembak
masuk sebagai luka lecet jenis tekan, yang terjadi sebagai akibat tekanan
berbalik dari udara hasil ledakan mesiu.
Bila seluruh lingkaran laras senjata menempel tegak lurus cada kulit, maka
butir mesiu, jelaga, api, semuanya langsung masuk e dalam saluran luka.
Tekanan balik gas panas yang ikut masuk ke saiam saluran dapat
mengakibatkan peregangan kulit yang sangat resar dan memberikan
gambaran luka seperti bintang. Bila tidak seiuruh lingkaran laras senjata
menempel pada permukaan kulit, -aka akan terbentuk gambaran LTM yang
merupakan kombinasi dari LTM tempel dan LTM jarak sangat dekat.
d. LUKA AKIBAT SUHU / TEMPERATUR
Suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya heat exhaustion primer.
Temperatur kulit yang tinggi dan rendahnya penglepasan panas dapat
menimbulkan kolaps pada seseorang karena ketidakseimbangan antara
darah sirkulasi dengan lumen pembuluh darah, hal ini sering terjadi pada
pemaparan terhadap panas, kerja jasmani berlebihan dan pakaian yang
terlalu tebal. Dapat pula terjadi heat exh-austion sekunder akibat kehilangan
cairan tubuh yang berlebihan pehidrasi). Heat stroke adalah kegagalan kerja
pusat pengatur suhu akibat terlalu tingginya temperatur pusat tubuh. Suhu
lethal eksogen adalah 43 derajat Celcius. Penglepasan panas tubuh secara
konduksi dan radiasi sudah mulai berlangsung saat suhu eksogen mencapai

pg. 68
30 derajat Celcius, sedangkan di atas 35 derajat Celcius panas tbuh harus
dilepas melalui penguapan keringat. Sun stroke dapat terjadi akibat panas
sinar matahari yang menyebabkan hipertermia sedangkan Heaf cramps
terjadi akibat menghilangnya NaCI darah pengan cepat akibat suhu tinggi.
Luka bakar terjadi akibat kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi.
Kerusakan kulit yang terjadi bergantung pada tinggi suhu dan lama kontak.
Kontak kulit dengan uap air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit
pada kedalaman 1 mm dapat mencapai 66 perajat Celcius, sedangkan pada
ledakan bensin dalam waktu singkat mencapai suhu 47 derajat Celcius.
Luka bakar sudah dapat terjadi pada suhu 43-44 derajat Celcius bila kontak
cukup lama.
Pelebaran kapiler bawah kulit mulai terjadi pada saat suhu mencapai 35
derajat Celcius selama 120 detik, Vesikel terjadi pada suhu 53-57 derajat
Celcius selama kontak 30-120 detik. Luka bakar yang terjadi dapat
dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar:
I. Eritema
II. Vesikel dan bullae
III. Nekrosis koagulatif
IV. Karbonisasi
e. LUKA AKIBAT TRAUMA LISTRIK.
Faktor yang berperan pada cedera listrik ialah tegangan (Volt), kuat arus
(ampere), tahanan kulit (ohm) luas dan lama kontak.
Tegangan rendah (<65 V) biasanya tidak berbahaya bagi manusia, tetapi
tegangan sedang (65 -1000 V) dapat mematikan.
Banyaknya arus listrik yang mengalir menuju tubuh manusia menentukan
juga fatalitas seseorang. Makin besar arus, makin berbahaya bagi
kelangsungan hidup.
Selain faktor-faktor kuat arus, tahanan dan lama kontak, hal lain yang
penting diperhatikan adalah luas permukaan kontak. Suatu permukaan
kontak seluas 50 cm persegi (kurang lebih selebar telapak tangan) dapat
mematikan tanpa menimbulkan jejas listrik, karena pada kuat arus letal (100

pg. 69
mA), kepadatan arus pada daerah selebar telapak tangan tersebut hanya 2
mA/cm persegi, yang tidak cukup besar untuk menimbulkan jejas listrik.
Kuat arus yang masih memungkinkan bagi tangan yang memegangnya
untuk melepaskan diri disebut let go current yang besarnya berbeda-beda
untuk setiap individu.
Gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak berupa kerusakan
lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol, di
sekitarnya terdapat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi.
Bentuknya sering sesuai dengan benda penyebabnya. Metalisasi dapat juga
ditemukan pada jejas listrik.
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran serupa jejas istrik secara
makroskopik juga bisa timbul akibat persentuhan kulit aengan benda/logam
panas (membara). Walaupun demikian kedua-lya dapat dibedakan dengan
pemeriksaan mikroskopis.
Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga ditim-culkan pada
kulit mayat/pasca mati (namun tanpa daerah hiperemi).
Kematian dapat terjadi karena fibrilasi ventrikel, kelumpuhan ctot
pernapasan dan kelumpuhan pusat pernapasan.
f. LUKA AKIBAT PETIR
Petir adalah loncatan arus listrik tegangan tinggi antar awan aengan tanah.
Tegangan dapat mencapai 10 mega Volt, dengan kuat arus mencapai
100.000 A. Kematian dapat terjadi karena efek arus listrik (kelumpuhan
susunan saraf pusat, fibrilasi ventrikel), panas dan ledakan gas panas yang
timbul.
Pada korban akan ditemukan aboresent mark (kemerahan kulit seperti
percabangan pohon), metalisasi (pemindahan partikel metal dari benda yang
dipakai ke dalam kulit), magnetisasi (benda metal yang dipakai berubah
menjadi magnet). Pakaian sering terbakar dan robek-robek akibat
ledakan/panas.

pg. 70
g. LUKA AKIBAT TRAUMA BAHAN KIMIA
Trauma kimia sebenarnya hanya merupakan efek korosi dari asam kuat dan
basa kuat. Asam kuat sifatnya mengkoagulasikan protein sehingga
menimbulkan luka korosi yang kering, keras seperti kertas perkamen,
sedangkan basa kuat bersifat membentuk reaksi penyabunan intra sel
sehingga menimbulkan luka yang basah, licin dan kerusakan akan terus
berlanjut sampai dalam. Karena biasanya bahan kimia asam atau basa
terdapat dalam bentuk cair (larutan pekat), maka bentuk luka biasanya
sesuai dengan mengalirnya bahan cair tersebut.
Luka bakar intravital dapat ditentukan dengan dengan melihat adanya
erifema di sekeliling vesikel/bullae dan pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan pelebaran kapiler, sebukan lekosit PMN, perdarahan dan
edema.
Adanya jelaga pada saluran napas dan lambung serta CO-Hb darah
(10%), serta cyanida (kadang-kadang) menunjukkan bahwa orang tersebut
masih hidup sewaktu terbakar.
Reaksi intravital terhadap trauma dapat pula tampak sebagai peningkatan
kadar histamin bebas serta serotonin pada jaringan yang mengalami
trauma.
Demikian pula perubahan aktivitas enzymatik LDH pada jaringan yang
mengalami perlukaan, reaksi penyembuhan dan terjadinya granulasi serta
terjadinya sebukan sel radang baik yang akut maupun yang kronik,
semuanya menunjukkan bahwa luka yang terjadi adalah luka semasa korban
masih hidup.

H. KEMATIAN akibat ASFIKSIA MEKANIK


Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan
demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan
terjadi kematian.

pg. 71
Dari segi Etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran
pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan
pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya
barbiturat, narkotika.
ASFIKSIA MEKANIK.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik), misalnya : Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas :
Pembekapan (smothering) Penyumbatan (Gagging dan choking), Penekanan
dinding saluran pernapasan : Penjeratan (strangulation), Pencekikan (manual
strangulation, throttling) Gantung (hanging), Penekanan dinding dada dari luar
(asfiksia traumatik), Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang capat dibedakan
dalam 4 fase, yaitu :
1. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan
penimbunan C02 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di
medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan
meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul
rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi
(kejang), yang mula-mula berupa kejang kionik tetapi kemudian
menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
3. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan
melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi
sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.

pg. 72
4. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap.
Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil
pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan
berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-
4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap.
PEMERIKSAAN JENAZAH
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-
ujung jari dan kuku.
Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam
darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya
fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya
kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palbebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu's spot.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.

pg. 73
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu's spot ini timbul karena permeabilitas
kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

PEMBEKAPAN
Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang
menghambat pemasukan udara ke paru-paru. Pem-r-eopan menimbulkan
kematian akibat asfiksia.
Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa :
1. Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih
mungkin terjadi misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan
dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian, yang diikatkan
menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi
misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama
bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut.
Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang
sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam
kantung plastik.
Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi
yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung
tertutup dengan pasir, gandum, tepung dan sebagainya..
3. Pembunuhan (homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus
pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang
yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam
pengaruh obat atau minuman keras.

GAGGING DAN CHOCKING


Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang
mengakibatkan hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:

pg. 74
1. Bunuh diri (suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk
memasukkan benda asing ke dalam mulut sendiri disebabkan adanya
refleks batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit
mental atau tahanan.
2. Pembunuhan (homicidal choking). Umumnya korban adalah bayi, orang
dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan (accidental choking). Pada bolus death yang terjadi bila
tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam
saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan
yang kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada
pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring
atau laringofaring) ditemukan sumbatan berupa sapu tangan, kertas koran, gigi
palsu, bahkan pernah atemukan arang, batu dan sebagainya. Bila benda asing
tidak ditemukan, cari kemunginan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan
oleh benda asing.

PENCEKIKAN (MANUAL STANGULATION)


Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang me-ecabkan dinding
saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas.
Mekanisme kematian pada pencekikan adalah :
1. Asfiksia.
2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor nervus
vagus pada corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis
interna dan eksterna. Refleks vagal ini jarang sekali terjadi.

PENJERATAN (STRANGULATION)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher
yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup.

pg. 75
Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan suicide (bunuh diri)
maka penjeratan biasanya adalah pembunuhan.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks
vasovagal (perangsangan reseptor pada carotid body).
Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada
penjeratan, arteri vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh
karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak
besar.
Cara kematian dapat berupa:
1. Bunuh diri (self strangulation). Hal ini jarang dan menyu- lit-kan
diagnosis. Pengikatan dilakukan sendiri oleh korban dengan simpul
hidup atau bahan hanya dililitkan saja, dengan jumlah lilitan lebih dari
satu.
2. Pembunuhan. Pengikatan biasanya dengan simpul mati dan sering
terlihat bekas luka pada leher.
3. Kecelakaan. Dapat terjadi pada orang yang sedang bekerja dengan
selendang di leher dan tertarik masuk ke mesin.

GANTUNG (HANGING)
Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada
asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.
Pada penjeratan, tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus
gantung, tenaga tersebut berasal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak
perlu seluruh berat badan digunakan.
Mekanisme kematian pada kasus gantung:
1. Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis. Hal ini terjadi akibat
dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada judicial
hanging (hukum gantung).
2. Asfiksia akibat terhambatnya aliran udara pernapasan.
3. Iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher.
4. Refleks vagal.

pg. 76
Kasus gantung biasanya merupakan kasus bunuh diri (gantung diri) meskipun
kasus pembunuhan kadang-kadang dilaporkan, yaitu untuk menunjukan kesan
seolah-olah si korban bunuh diri dengan maksud untuk menghilangkan jejak
pembunuhan.
Posisi korban pada kasus gantung diri:
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging).
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu).
3. Berbaring (biasanya di bawah tempat tidur).
Diketahui terdapat beberapa jenis gantung diri:
1. Typical hanging, terjadi bila titik gantung terletak di atas darah oksiput
dan tekanan pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, bila titik penggantungan terdapat di samping,
sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan
mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat
arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
3. Kasus dengan letak titik gantung di depan atau dagu.
Pada pemeriksaan jenazah, kelainan pada autopsi tergantung pada apakah
arteri pada leher tertutup atau tidak. Bila jerat kecil dan keras maka terjadi
hambatan total arteri sehingga muka akan tampak pucat dan tidak terdapat
petekie pada kulit maupun konjungtiva.
Bila jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya terjadi pada saluran pernapasan
dan pada aliran vena dari kepala ke leher, sehingga akan tampak perbendungan
pada daerah sebelah atas ikatan. Kadangkadang perbendungan akan dialirkan
melalui pleksus vena vertebralis yang tidak begitu mudah tertekan seperti
sistem vena jugularis, meskipun pengikatan tetap atau tidak berubah.
Patah tulang lidah atau rawan gondok atau keduanya tidak sering terjadi pada
kasus gantung.
Rawan gondok biasanya patah pada persambungan kornu superior dengan
lamina sedangkan tulang lidah patah pada atau dekat persambungan taju dan
korpus. Fraktur biasanya diliputi sedikit perdarahan.

pg. 77
Distribusi lebam mayat pada kasus gantung, mengarah ke pawah yaitu pada
kaki, tangan dan genitalia eksterna, bila korban tergantung cukup lama. Pada
korban wanita, labium membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban
laki-laki hal ini terjadi pada skrotum. Penis dapat tampak seolah mengalami
ereksi akibat terkumpulnya darah, sedangkan semen keluar karena relaksasi otot
sfingter post mortal.
Asfiksia seksual terjadi pada kasus deviasi seksual yang menggunakan cara
gantung atau jerat untuk mendapatkan kepuasan, yang karena terlambat
mengendurkan tali atau sukar memaskan diri sesudah tercapai keadaan
penurunan kesadaran. Korban biasanya lelaki, pasca adolesens dan ditemukan
tanda penyimpangan seksual lain.
Efek lanjut penekanan saluran pernapasan. Bila korban masih hidup setelah
penjeratan, sebagai akibat perbendungan, maka perdarahan petekie akan
menetap selama beberapa hari.

ASFIKSIA TRAUMATIK
Kematian akibat asfiksia traumatik terjadi karena penekanan dari luar pada
dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi dan menimbulkan gangguan
gerak pernapasan; misalnya tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok atau
tergencet saat saling berdesakan. Mekanisme kematian dapat diakibatkan oleh
kegagalan pernapasan dan sirkulasi. Pada mayat ditemukan sianosis dan
bendungan hebat.
Perbendungan pada muka menyebabkan muka membengkak dan penuh dengan
petekie, edema konjungtiva dan perdarahan sub-konjungtiva. Petekie terdapat
pula pada leher, bokong dan kaki.

TENGGELAM (DROWNING)
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila
tidak dijumpai tanda yang khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada
mayat yang ditemukan terbenam dalam air, perlu pula diingat bahwa mungkin
korban sudah meninggal sebelum masuk ke dalam air.

pg. 78
Keadaan sekitar individu penting. Tenggelam tidak hanya terbatas di dalam air
dalam seperti laut, sungai, danau atau kolam renang, tetapi mungkin pula
terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di
bawah permukaan air. Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian
akibat lemas (asfiksia) disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran
pernapasan. Beberapa istilah drowning
1. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran
pernapasan setelah korban tenggelam.
2. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran
pernapasan, akibat spasme laring.
3. Secondary drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban
tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat
komplikasi.
4. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam
dalam air dingin akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak
merupakan faktor pencetus.

TENGGELAM DALAM AIR TAWAR


Pada keadaan ini terjadi absorpsi cairan yang masif. Karena konsentrasi
elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada kon-se-:rasi dalam darah, maka
akan terjadi hemodilusi darah, air masuk ce dalam aliran darah sekitar alveoli
dan mengakibatkan pecahnya se darah merah (hemolisis).
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengisi keadaan ini
dengan melapaskan Ion kalium dari serabut otot antung sehingga kadar ion
Kalium dalam plasma meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan
Ca++ dalam serabut otot jantung yang dapat mendorong terjadinya fibrilasi
ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan
timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5 menit.

pg. 79
TENGGELAM DALAM AIR ASIN (HIPERTONIK)
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah sehingga
air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam organ interstisial paru yang
akan menimbulkan edema pulmoner, hipovolemi dan kenaikan kadar
magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi
menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi
kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam:
1. Asfiksia akibat spasme laring.
2. Asfiksia karena gagging dan choking.
3. Refleks vagal.
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar).
5. Edema pulmoner (dalam air asin).
Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah :
1. Menentukan identitas korban.
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna dan distribusi rambut dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam.
Pada mayat yang masih segar, untuk menentukan apakah korban masih
hidup atau sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari
hasil pemeriksaan.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning.
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan
tipe drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit,
keracunan atau kekerasan lain.

pg. 80
Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem (ante mortem
impact) pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan
pada vertebra servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian.
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian, misalnya kekerasan,
alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau
melalui bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam.
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran pernapasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di
tempat itu atau di tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.

Pemeriksaan luar jenazah


1. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan
benda-benda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh
terbenam dalam air.
2. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah.
3. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang terdapat perdarahan atau
perbendungan.
4. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama pada
ekstremitas akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi karena
rangsang dinginnya air. Gambaran seperti cutis anserina kadangkala
dapat juga akibat rigor mortis pada otot tersebut.
5. Washer woman's hand, telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan
biasanya membutuhkan waktu lama.
6. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu
korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti
rumput atau benda-benda lain dalam air.

pg. 81
7. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan
pada benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur pada
dasar waktu terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat
benda-benda atau binatang dalam air.

Pemeriksaan bedah jenazah


1. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernapasan (trakhea dan percabangannya).
2. Paru-paru membesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi
kandung jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Kea daan ini
terutama terjadi pada kasus tenggelam di laut.
3. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit di antara septum inter
alveolar. Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut
bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin).
Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan
merupakan tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha
respirasi.
4. Dapat juga ditemukan paru-paru yang "biasa" karena cairan tidak masuk
ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah (melalui
proses imbibisi), Ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
5. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan.
6. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan sebagainya
yang mungkin pula terdapat dalam usus halus.

pg. 82
Daftar Pustaka
Hoediyanto, Apuranto H. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi 8.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNAIR,
2012.

pg. 83

Anda mungkin juga menyukai