Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA JOURNAL READING

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021

UNIVERSITAS PATTIMURA

Kecenderungan Depresi, Keterampilan Sosial, dan Kesepian


pada Kalangan Mahasiswa di Yogyakarta

Disusun oleh:
Ali Akbar R. Kibas
2013-83-047

Pembimbing:
dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ

DIBAWAHKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021
Kecenderungan Depresi, Keterampilan Sosial, dan Kesepian
pada Kalangan Mahasiswa di Yogyakarta
Alya Fauziyyah & Sutarimah Ampuni

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran keterampilan sosial dalam depresi
pada kalangan mahasiswa melalui mediasi kesepian. Penelitian ini melibatkan 645
mahasiswa di Yogyakarta (Pria = 180, Wanita = 465). Keterampilan sosial diukur
dengan Social Skills Scale, depresi diukur menggunakan Beck Depression
Inventory-II (BDI-II), dan kesepian diukur menggunakan UCLA Loneliness Scale
versi 3, yang diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Analisis regresi dengan model
mediasi sederhana menunjukkan bahwa, seperti yang diharapkan, keterampilan
sosial berkontribusi negatif terhadap depresi dengan mediasi kesepian. Ini berarti
bahwa keterampilan sosial yang lebih rendah dikaitkan dengan rasa kesepian yang
lebih tinggi dan pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan kecenderungan
depresi di kalangan mahasiswa. Analisis tambahan menemukan bahwa tingkat
keterampilan sosial, kesepian, dan depresi berbeda di antara mahasiswa di tahun
yang berbeda, pada mahasiswa di tahun kelima dan seterusnya menunjukkan
keterampilan sosial yang lebih rendah dan skala kesepian dan depresi yang lebih
tinggi. Lebih lanjut, analisis mengungkapkan bahwa gejala depresi diindikasikan
untuk 51% responden dengan tingkat yang bervariasi dari ringan hingga berat.

Kata kunci: Mahasiswa, depresi, kesendirian, kesehatan mental, keterampilan


sosial, Yogyakarta.
PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan kejiwaan dengan angka prevalensi yang


sangat tinggi. Setidaknya sekitar 350 juta orang di seluruh dunia menderita
depresi dalam hidup mereka, di mana hanya 17% yang mencari bantuan
psikiatri (Organisasi Kesehatan Dunia, 2012). Di Indonesia, masih banyak
penderita depresi yang belum mendapat pertolongan karena kurangnya
kesadaran (Hawari, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
menunjukkan bahwa pada tahun 2013, terdapat 11,6% penduduk dewasa di
Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti kecemasan dan
depresi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, 2013).

Depresi dapat terjadi pada berbagai rentang usia, dari anak-anak


hingga lansia. Menurut Neiger (1988), remaja merupakan kelompok yang
paling rentan mengalami depresi. Sayangnya, tanda-tanda depresi pada
remaja seringkali dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam tahap
perkembangannya (Aditomo & Retnowati, 2004). Faktanya, berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa depresi lazim di kalangan mahasiswa
(Furr, McConnel, Westefeld, & Jenkins, 2001; Harber & Runyon, 1984).
Sejalan dengan itu, menurut American College Health Association (2015),
depresi merupakan gangguan psikologis yang memiliki prevalensi tertinggi
kedua pada mahasiswa setelah gangguan kecemasan. Di Indonesia, Natalia
(2006) menemukan bahwa dari 110 sampel mahasiswa, terdapat 61,8%
diantaranya menunjukkan gejala depresi dengan berbagai tingkat keparahan.
Oleh karena itu, depresi pada mahasiswa merupakan masalah krusial dalam
kesehatan mental dan sangat penting mendiagnosis serta melakukan
pengobatan dini (Aditomo & Retnowati, 2004).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi


kelima (DSM-V), depresi menunjukkan perubahan negatif dalam suasana
hati atau perasaan dari kondisi normal seseorang (kondisi dasar) yang
ditandai dengan kesedihan, kekosongan, dan perubahan signifikan dalam
kognisi dan kasih sayang seseorang dan perubahan ini mempengaruhi
fungsi-fungsi dalam berbagai aspek kehidupan (American Psychiatric
Association, 2013). Menurut DSM-V, pada umumnya orang yang
mengalami depresi menunjukkan gejala sedih dan / atau kehilangan minat
dalam beraktivitas sehari-hari (APA, 2013). Secara khusus, gejala depresi
mungkin termasuk perubahan berat badan atau nafsu makan yang
signifikan, kesulitan tidur, aktivitas fisik menurun, kelelahan dan kehilangan
energi, perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan,
penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, dan keinginan untuk bunuh
diri (APA, 2013). Berdasarkan kriteria diagnostik DSM, Beck, Steer, dan
Brown (1996) mengembangkan inventaris depresi yang dikenal sebagai
Beck Depression Inventory-Second Edition (BDI-II) yang merupakan versi
terbaru dari Beck Depression Inventory (BDI) oleh Beck (1967) . Gejala
depresi pada BDI-II dikelompokkan menjadi dua yaitu aspek kognitif-
afektif dan aspek somatik (Beck, et al., 1996).

Depresi disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor


internal termasuk genetika, biologi, kepribadian, faktor kognitif, serta faktor
interpersonal (Hankin & Abela, 2005). Faktor eksternal termasuk peristiwa
kehidupan negatif stres dan faktor sosial (Hankin & Abela, 2005).
Mahasiswa menghadapi banyak perubahan dalam lingkungan pergaulan
mereka dan ini membuat mereka lebih rentan terhadap depresi. Salah satu
faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap depresi adalah keterampilan
sosial (Cacioppo & Patrick, 2008; Seepersad, 2014). Keterampilan sosial
dalam APA Dictionary of Psychology didefinisikan sebagai seperangkat
keterampilan yang dipelajari yang memungkinkan individu berinteraksi
sesuai dengan konteks sosial (Vanden Bos, 2007). Michelson, Sugai, Wood,
dan Kazdin (1983) menyebutkan bahwa keterampilan sosial melibatkan tiga
aspek, yaitu tanggapan verbal dan nonverbal, serta proses kognitif.

Keterampilan sosial bagi siswa diperlukan untuk beradaptasi dalam


lingkungan sosial, untuk membangun hubungan sosial yang baru, serta
untuk mengembangkan dan mempertahankan sosial hubungan (Chapdelaine
& Alexitch, 2004). Menurut Chapdelaine dan Alexitch (2004), keterampilan
sosial yang memadai dapat mengurangi tingkat kejutan budaya pada siswa
karena transisi sosio-budaya mereka. Orang dengan keterampilan sosial
yang rendah, cenderung memiliki harga diri yang rendah, perasaan malu,
tidak bahagia, tidak puas, dan kesepian (Ozben, 2013).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keterampilan sosial yang


rendah dikaitkan dengan kesepian (Boivin, Hymel, & Bukowski, 1995; Dill
& Anderson, 1999). Peplau dan Perlman (1979) mendefinisikan kesepian
sebagai persepsi individu tentang isolasi sosial, atau pengalaman subjektif
dari kesendirian. Menurut Cacioppo, Hawkley, dan Thisted (2010), prediksi
depresi dan persepsi individu tentang kesepian dan isolasi sosial mungkin
berkorelasi linier.

Boivin, dkk. (1995) mengidentifikasi bahwa kesepian memainkan


efek mediasi dalam hubungan antara kondisi sosial seseorang dan gejala
depresi mereka. Senada dengan itu, Dill dan Anderson (1999) menyebutkan
bahwa hubungan negatif antara keterampilan sosial dan depresi dapat
dimediasi oleh perasaan kesepian. Menurut Dill dan Anderson (1999), rasa
malu sebagai manifestasi rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki
individu cenderung menghambat hubungan sosialnya dengan orang lain,
sehingga meningkatkan perasaan kesepian. Perasaan kesepian ini
selanjutnya dapat menyebabkan depresi (Dill & Anderson, 1999).

Penelitian ini difokuskan pada mahasiswa di Yogyakarta, karena


Yogyakarta diakui sebagai kota pendidikan di Indonesia. Di sisi lain,
Yogyakarta mencatat statistik kasus kesehatan jiwa buruk yang tinggi
bersamaan dengan jumlah kasus gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI, 2013). Selain itu, prevalensi gangguan jiwa emosional seperti depresi
dan kecemasan juga sangat tinggi yaitu 8,1% dari penduduk Yogyakarta
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI, 2013). Karena tingginya angka gangguan jiwa di Yogyakarta, penelitian
di daerah ini menjadi sangat penting dalam upaya mencari solusinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa rentan


mengalami depresi. Keterampilan sosial dapat menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi kecenderungan depresi pada siswa dan pengaruh
tersebut dimediasi oleh rasa kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji apakah model ini didukung jika diterapkan pada mahasiswa di
Yogyakarta. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
“keterampilan sosial berkontribusi negatif terhadap kecenderungan depresi
dengan mediasi kesepian”.

METODE

Peserta

Peserta penelitian adalah 645 mahasiswa usia 18-24 tahun dari


perguruan tinggi Yogyakarta dan sekitarnya (laki-laki = 180, perempuan =
465). Data dikumpulkan memanfaatkan kuesioner yang dibagikan secara
online dengan metode bola salju. Usia rata-rata peserta adalah 21 tahun
(30%). Berdasarkan tahun perkuliahan, mahasiswa tahun pertama sebanyak
120 responden (19%), mahasiswa tahun kedua sebanyak 105 responden
(16%), mahasiswa tahun ketiga sebanyak 142 responden (22%), mahasiswa
tahun keempat sebanyak 259 responden. (40%), tahun kelima dan
seterusnya terdiri dari 19 responden (3%).

Penelitian ini melibatkan tiga variabel yaitu kecenderungan depresi,


keterampilan sosial, dan kesepian. Instrumen yang mengukur ketiga variabel
ini dijelaskan di bawah ini.

Kecenderungan Depresi

Untuk mengukur depresi, kami menggunakan Beck Depression


Inventory-II (Beck, et al., 1996) yang diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, dan Becker (2013). Skala ini terdiri
dari 21 item dengan 4 pilihan jawaban berdasarkan kriteria DSM. Skala
BDI-II versi Indonesia menunjukkan koefisien reliabilitas α sebesar 0,90
dan telah terbukti mampu membedakan antara kelompok depresi dan non-
depresif (Ginting, et al., 2013). Dalam melakukan analisis regresi, kami
tidak menggunakan kategorisasi depresi klinis, tetapi menggunakan skor
mentah BDI-II.
Keterampilan Sosial

Untuk mengukur keterampilan sosial mahasiswa digunakan Skala


Keterampilan Sosial yang dikembangkan oleh Ramdhani (1996) dan
dimodifikasi oleh Nugraini (2015). Skala ini terdiri dari 24 item berdasarkan
aspek keterampilan sosial yang disebutkan oleh Michelson et al. (1983)
yaitu proses verbal, nonverbal, dan kognitif. Kualitas skalanya cukup efektif
dengan itu keandalan koefisien α = 0.876 dan korelasi total item berkisar
dari r = 0,287 sampai r = 0,664 (Nugraini, 2015).

Kesepian

Untuk mengukur kesepian, kami menggunakan UCLA Loneliness


Scale versi 3 (Russell, 1996) yang diterjemahkan dan dilakukan untuk
tujuan penelitian ini. Skala terdiri dari 18 item dengan koefisien reliabilitas
α = 0,875 dan korelasi total item berkisar antara 0,315 dan 0,746.

Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner online


yang berisi tiga skala di atas kepada mahasiswa di Yogyakarta. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Paket Statistik untuk Ilmu
Sosial) versi 22.0 dengan makro tambahan dari Hayes (2013) yang disebut
PROCESS untuk menguji mediasi. Sebagai tambahan analisis, ANOVA juga
dilakukan untuk mengetahui perbedaan ketiga variabel berdasarkan
beberapa demografi karakteristik dari itu peserta.

HASIL

Deskripsi

Deskripsi data ditunjukkan pada Tabel 1. Analisis varian yang


membandingkan ketiga variabel berdasarkan jenis kelamin dan tahun kuliah
mengidentifikasi bahwa: (1) kecenderungan depresi, keterampilan sosial,
dan kesepian tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, (2) berdasarkan
tahun kuliah ada perbedaan tingkat kecenderungan depresi ( F = 2.462, p <
0,05), keterampilan sosial ( F = 3. 2 29, p < 0,05), serta kesepian ( F =
2.840, p < 0,05), di mana kecenderungan depresi dan kesepian tertinggi
pada tahun kelima. Tingkat keterampilan sosial terendah dimiliki oleh
peserta pada tahun kedua dan kelima. Dari Gambar 1 terlihat bahwa siswa
tahun kelima dan seterusnya menunjukkan kecenderungan depresi dan
kesepian yang paling tinggi, serta keterampilan sosial tingkat rendah.

Pengaruh Keterampilan Sosial dan Kesepian Terhadap Kecenderungan


Depresi

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa keterampilan sosial dan


kesepian berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan depresi ( R 2 =
0,21; p < 0,01). Kesepian memediasi efek keterampilan sosial terhadap
depresi ( ab= -0,29; p < 0,01); mengendalikan kesepian membuat peran
keterampilan sosial, yang awalnya signifikan ( c = - 0,34; p < 0,01) menjadi
tidak signifikan ( c '= - 0,05; p = 0. 1 2). Hubungan antara keterampilan
sosial, kesepian, dan kecenderungan depresi disajikan pada Gambar 2.

Tabel 1. Deskripsi Data

Kecenderungan Keterampilan Kesepian


Depresi sosial
N M SD M SD M SD
Total 645 15.49 10.3 78.50 14.1 40.24 10.6
Jenis kelamin
Laki-laki 180 14.19 10.1 79.24 14.4 40.77 10.4
Perempuan 465 15.91 10.3 78.22 14.0 40.03 10.6
Tahun kuliah
Tahun pertama 120 15.88 10.2 76.60 14.5 41.10 11.2
Tahun kedua 105 16.98 10.6 75.63 14.0 41.53 10.6
Tahun ketiga 142 14.51 9.6 79.12 14.2 40.22 9.9
Tahun keempat 259 14.71 10.1 80.45 13.5 38.92 10.3
Tahun kelima dan 19 20.58 14.0 76.28 16.2 45.68 11.4
seterusnya
Gambar 1. Keterampilan Sosial, Kecenderungan Depresi, dan Kesepian Berdasarkan
Tahun Kuliah

ab= -0.29
(indirect effect)

Kesepian

a = -0.52** b = 0.55**

C’ –0.05
(direct effect)
Keterampilan Kecenderungan
Sosial depresi
C=-0,34 **
(R2=0.21**)
(efek total)

*)p<0.01,**)p<0.01

Gambar 2. Peran Keterampilan Sosial pada Kecenderungan Depresi dengan Kesepian


sebagai Mediator

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial yang


rendah menyebabkan meningkatnya rasa kesepian dan pada gilirannya,
meningkatkan kecenderungan depresi di kalangan mahasiswa. Sebaliknya,
keterampilan sosial yang tinggi dapat menyebabkan penurunan rasa
kesepian, sehingga kecenderungan depresi di kalangan mahasiswa menurun.
Rasio antara efek tidak langsung dan efek total ( P.M = 0.85) dan rasio
antara pengaruh tidak langsung dan pengaruh langsung ( R.M = 5.85)
menunjukkan bahwa peran keterampilan sosial terhadap depresi sangat
dipengaruhi oleh kesepian, oleh karena itu kesepian memediasi sepenuhnya
peran keterampilan sosial terhadap kecenderungan depresi.

Sebagai analisis tambahan, kami memeriksa tingkat depresi peserta


berdasarkan kategorisasi klinis. Untuk tujuan ini, skor BDI-II dari subjek
dikategorikan ke dalam kategorisasi depresi klinis yang diperkenalkan oleh
Beck et al. (1996) yaitu skor total 0-13 masuk dalam klasifikasi normal atau
tidak ada gejala depresi, skor 14-19 sebagai depresi ringan, skor 20-28
sebagai depresi sedang, dan skor 29-63 sebagai depresi berat. Penemuan
yang mengejutkan adalah bahwa 51% dari peserta menunjukkan depresi
secara klinis, dengan 18% diklasifikasikan sebagai depresi ringan, 21%
subjek diklasifikasikan sebagai depresi sedang, dan 12% sebagai depresi
berat.

PEMBAHASAN

Studi ini mendukung prediksi kami bahwa keterampilan sosial


berperan dalam kecenderungan depresi pada mahasiswa. Hal ini dibuktikan
bahwa penurunan keterampilan sosial berkontribusi sebesar 21% terhadap
peningkatan kecenderungan depresi. Pengaruh keterampilan sosial terhadap
kecenderungan depresi dimediasi oleh rasa kesepian. Temuan ini sejalan
dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan sosial
yang tinggi dapat menghambat individu dari kecenderungan depresi (Dill &
Anderson, 1999; Garland & Fitzgerald, 1998; Reed, 1994; Segrin & Rynes,
2009).

Temuan penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya oleh


Fiori dan Consedine (2013) bahwa kesepian sebagai evaluasi subjektif dari
kurangnya hubungan sosial individu memberikan efek mediasi sebesar 46-
53% terhadap hubungan interaksi sosial dengan kesehatan mental seseorang.
Hal ini dapat terjadi karena individu dengan keterampilan sosial yang
rendah cenderung mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial
yang positif dan mendalam (Wittenberg & Reis, 1986).

Dill dan Anderson (1999) juga menjelaskan bahwa keterampilan


sosial yang buruk dapat meningkatkan gairah maladaptif dalam situasi
sosial. Keterampilan sosial yang buruk membuat individu memiliki perasaan
negatif terhadap hubungan interpersonalnya, kedua pada kuantitas (misalya
merasa kekurangan teman) dan kualitas (merasa kekurangan hubungan
dekat), sehingga membuat mereka merasa kesepian. Kurangnya hubungan
sosial ini pada gilirannya akan membuat mahasiswa rentan terhadap
perasaan kesepian yang dapat berujung pada depresi (Kraus, et al., 2009;
Segrin & Rynes, 2009; Shiovitz-Ezra & Leitsch, 2010). Sebaliknya
penelitian Jose dan Lim (2014) menginformasikan bahwa keterhubungan
sosial yang terjalin dengan baik dapat menjadi faktor pelindung yang dapat
mencegah terjadinya depresi (Jose & Lim, 2014).

Mahasiswa di tahun kuliah yang berbeda menunjukkan


kecenderungan depresi, keterampilan sosial, dan kesepian yang berbeda.
Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa tahun kelima
perguruan tinggi dan seterusnya, menunjukkan tingkat depresi dan kesepian
yang lebih tinggi dan tingkat keterampilan sosial yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok lain. Temuan ini sesuai dengan Smith dan
Renk (2007) yang menunjukkan bahwa tuntutan akademik pada tugas akhir
merupakan stressor yang signifikan pada tahun terakhir perguruan tinggi.

Untuk memahami hasil penelitian ini dalam konteks mahasiswa di


Yogyakarta, kami melakukan wawancara singkat dengan dua mahasiswa
tahun kelima, mereka menyatakan bahwa mereka merasakan tekanan yang
tinggi dari lingkungan sosialnya karena mereka tidak berhasil
menyelesaikan proyek akhir mereka. Salah satu narasumber menyebutkan
bahwa pada tahun kelima ada perasaan tertekan sekaligus bersalah karena
belum berhasil menyelesaikan tugas akhir (yaitu skripsi). Orang yang
diwawancarai lainnya menyebutkan bahwa selama batas waktu penilaian
akhir, perasaan rendah diri yang dia alami meningkat dan kepercayaan
dirinya untuk menyelesaikan tugas akhir berkurang karena rekan-rekannya
telah lulus sebelumnya. Di sisi lain, banyak teman mereka yang telah lulus
sehingga akses pertemanan tidak sekokoh dulu. Ini bisa menjadi faktor
potensial yang memicu kesepian dan depresi di kalangan mahasiswa di
tahun kelima dan seterusnya.

Kecenderungan depresi yang tinggi pada mahasiswa tahun kelima dan


seterusnya menunjukkan perlunya fokus dan perhatian khusus terhadap
kelompok mahasiswa ini. Menurut Smith dan Renk (2007), dukungan yang
diberikan oleh orang-orang di sekitar siswa dapat mengurangi tekanan yang
dirasakan yang ditemui di tahun terakhir. Kelompok pendukung untuk final
tahun siswa dapat menjadi ukuran yang efektif untuk mengurangi
kecenderungan depresi (Smith & Renk, 2007). Kelompok pendukung dapat
memfasilitasi siswa kelas akhir untuk tetap utuh dengan jaringan sosial yang
sesuai, sehingga mengurangi kesepian dan menghindari depresi.

Temuan yang mengejutkan dari penelitian ini adalah adanya indikasi


depresi yang tinggi di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Data
menunjukkan bahwa sebanyak 51% dari 645 mahasiswa menunjukkan
gejala depresi dengan berbagai tingkat keparahan, yaitu 18% pada kategori
depresi ringan, 21% pada kategori depresi sedang, dan 12% pada kategori
depresi berat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan
masalah psikologis yang sangat umum terjadi pada mahasiswa di
Yogyakarta, seperti halnya di belahan dunia lain (Harber & Runyon, 1984;
Furr, et al., 2001).

Mengingat tingginya tingkat depresi dan masalah psikologis lainnya di


kalangan mahasiswa, layanan kesehatan mental mahasiswa seperti konseling
kampus menjadi layanan yang sangat penting, seperti yang dikemukakan
oleh Kitzrow (2003). Layanan konseling memainkan peran penting dalam
institusi pendidikan tinggi, karena melalui layanan ini mahasiswa dapat
mencari bantuan untuk menyelesaikan masalah mereka serta membantu
mahasiswa dalam menghadapi tantangan dan mencapai tujuannya (Kitzrow,
2003). Penelitian ini mendukung bahwa perguruan tinggi di Yogyakarta
sangat membutuhkan layanan psikologis bagi para mahasiswanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial dan kesepian


berkontribusi sebesar 21% terhadap kecenderungan depresi mahasiswa,
sehingga terdapat 79% varian kecenderungan yang tidak dijelaskan dalam
penelitian ini. Menurut Hankin dan Abela (2005), baik faktor eksternal
maupun internal seperti peristiwa kehidupan negatif yang menimbulkan
stres, faktor biologis, serta genetik, kepribadian, kognitif, dan interpersonal
atau faktor sosial berinteraksi untuk menghasilkan depresi. Penelitian lebih
lanjut disarankan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi
depresi di kalangan mahasiswa.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keterampilan
sosial dengan mediasi dari kesendirian, secara negatif berkontribusi
sebanyak 21% terhadap kecenderungan depresi di kalangan mahasiswa.
Juga ditemukan bahwa kesepian sepenuhnya memediasi hubungan antara
keterampilan sosial dan kecenderungan depresi.

Saran

Pengakuan dini terhadap dampak keterampilan sosial yang rendah dan


kesepian mungkin membantu mengurangi kecenderungan depresi bagi
mahasiswa. Direkomendasikan untuk mempertimbangkan keterampilan
sosial dan kesepian dalam mengembangkan intervensi untuk mengatasi
masalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aditomo, A. & Retnowati, S. (2004). Perfeksionisme, harga diri, dan


kecenderungan depresi pada remaja akhir. Jurnal Psikologi, 30(2), 1-14.
2. American College Health Association. (2015). American college health
association-National college health assessment II: Reference group
executive summary spring 2015. Hanover: American College Health
Association.
3. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical
manual of mental disorders, 5th edition. Washington DC: American
Psychiatric Association.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
5. Beck, A. T. (1967). Depression: Causes and treatment. Philadelphia:
University of Pennsylvania Press.
6. Beck, A. T., Steer, R. A., & Brown, G. (1996). Beck Depression
Inventory-II manual. San Antonio: The Psychological Corporation.
7. Boivin, M., Hymel, S., Bukowski, W. M. (1995). The roles of social
withdrawal, peer rejection, and victimization by peers in predicting
loneliness and depressed mood in childhood. Develop-ment and
Psychopathology, 7, 765-785. doi: 10.1017/ S0954579400006830
8. Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., & Thisted, R. A. (2010). Perceived
social isolation makes me sad: 5-year cross-lagged analyses of
loneliness and depressive symptomatology in the Chicago Health,
Aging, and Social Relations Study. Psychology and Aging, 25(2), 453-
463. doi: 10.1037/a0017216
9. Cacioppo, J. T., & Patrick, W. (2008). Loneliness: Human nature and
the need for social connection. New York: W. W. Norton & Company,
Inc.
10. Chapdelaine, R. F., & Alexitch, L. R. (2004). Social skills difficulty:
Model of culture shock for international graduate students. Journal of
College Student Development, 45(2), 167-184.
11. Dill, J. C., & Anderson, C. A. (1999). Loneliness, shyness, and
depression: The etiology and interrelationships of everyday problems
in living. In T. Joiner & J. C. Coyne (Eds.), The interactional nature of
depression: Advances in interpersonal approaches (pp. 93-125).
Washington, D.C.: American Psychological Association.
12. Fiori, K. L., & Consedine, N. S. (2013). Positive and negative social
exchanges and mental health across the transition to college:
Loneliness as a mediator. Journal of Social and Personal Relationships,
30(7), 920-941. doi: 10.1177/0265407512473863
13. Furr, S. R., McConnel, G. N., Westefeld, J. S., & Jenkins, J. M. (2001).
Suicide and depression among college students: A decade later.
Professional Psychology: Research and Practice, 32, 97-100.
14. Garland, M., & Fitzgerald, M. (1998). Social skills correlates of
depressed mood in normal young adolescents. Irish Journal of
Psychological Medicine, 15(1), 19-21.
15. Ginting, H., Naring, G., Veld, W. M. V. D., Srisayekti, W., & Becker,
E. S. (2013). Validating the Beck Deperssion Inventory-II in
Indonesia’s general population and coronary heart disease patients.
International Journal of Clinical and Health Psychology, 13, 235-242.
doi: 10.1016/S1697-2600(13)70028-0
16. Hankin, B. L., & Abela, J. R. Z. (2005). Development of
psychopathology: A vulnerability-stress perspective. Califor-nia: Sage
Publications.
17. Harber, A. & Runyon, R. P. (1984). Psychology of adjustment. Illinois:
The Dorsey Press.
18. Hawari, D. (2011). Manajemen stress, cemas, dan depresi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
19. Hayes, A. F. (2013). Introduction to mediation, moderation, and
conditional process analysis: A regression-based approach. New York:
The Guilford Press.
20. Jose, P. E., & Lim, B. T. (2014). Social connectedness predicts lower
loneliness and depressive symptoms over time in adolescents. Journal of
Depression, 3, 154-163. doi: 10.4236/ ojd.2014.34019
21. Kitzrow, M. A. (2003). The mental health needs of today’s college
students: Challenges and recommendations. NASPA Journal, 41(1),
167-181.
22. Kraus, L. A., Davis, M. H., Bazzini, D. G., Church, M., & Kirchman,
C. M. (2009). Personal and social influences on loneliness: The
mediating effect of social provisions. Social Psychology Quarterly,
56(1), 37-53.
23. Michelson, L., Sugai, D. P., Wood, R. P., & Kazdin, A. E. (1983).
Social skills assessment and training with children. New York:
Springer Science + Business Media, LLC.
24. Natalia, C. B. (2006). Hubungan antara penerimaan diri dengan tingkat
depresi pada mahasiswa. Tesis (Tidak dipublikasikan). Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
25. Neiger, B. L. (1988). Adolescent suicide: Character traits of high-risk
teenagers. Adolescent, 23, 469-472.
26. Nugraini, I. (2015). Keterampilan sosial sebagai mediator antara
hubungan kecanduan internet dan kesejahteraan psikologis pada remaja.
Tesis (Tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
27. Ozben, S. (2013). Social skills, life satisfaction, and loneliness in
Turkish University students. Social Behavior and Personality, 41(2),
203-214. doi: 10.2224/sbp.2013.41.2.203
28. Peplau, L. A., & Perlman, D. (1979). Blueprint of social psychological
theory of loneliness. In M. Cook, & G. Wilson (Eds.), International
conference on love and attraction (pp. 101-110). Oxford: Pergamon
Press Ltd.
29. Ramdhani, N. (1996). Perubahan perilaku dan konsep diri remaja yang
sulit bergaul setelah menjalani pelatihan keterampilan sosial, Jurnal
Psikologi, 23(1), 13-20.
30. Reed, M. K. (1994). Social skills training to reduce depression in
adolescents. Adolescence, 29(114), 293-302.
31. Russell, D. (1996). UCLA Loneliness Scale (Version 3): Reliability,
validity, and factor structure. Journal of Personality Assessment, 66,
20-40.
32. Seepersad, S. (2014). Is loneliness just another form of depression?
Cited from https://www.psychologytoday.com/ in 9th March 2017.
33. Segrin, C., & Rynes, K. N. (2009). The mediating role of positive
relations with others in associations between depressive symptoms,
social skills, and perceived stress. Journal of Research in Personality,
43, 962-971. doi: 10.1016/ j.jrp.2009.05.012
34. Shiovitz-Ezra, S., & Leitsch, S. A. (2010). The role of social
relationships in predicting loneliness: The national social life, health,
and aging project. Social Work Research, 34(3), 157-167. doi:
10.1093/swr/34.3.157
35. Smith, T., & Renk, K. (2007). Predictors of academic-related stress in
college students: An examination of coping, social support, parenting,
and anxiety. NASPA Journal, 44(3), 405-431.
36. VandenBos, G. R. (2007). APA dictionary of psychology. Washington,
DC: American Psychological Association.
37. Wittenberg, M. T., & Reis, H. T. (1986). Loneliness, social skills, and
social perception. Personality and Social Psychology Bulletin, 12(1),
121-130.
38. World Health Organization. (2012). World health statistics 2012.
Geneva: WHO Press.

Anda mungkin juga menyukai