a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien tersebut. b. Mencegah kematian. c. Mencegah kekambuhan dari TB. d. Mengurangi penularan TB. e. Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat. Pada penatalaksanaan TB memiliki 2 prinsip yaitu: 1 a. OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah yag cukup dan dalam dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. penggunaan OAT tunggal (monoterapi) sangat tidak di anjurkan. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien minum obat, maka dilakukan pengawasan langsung atau DOT (Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Penatalaksanaan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu: 1 a. Tahap Awal (Intensif). Pada tahap intensif pasien akan mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung oleh PMO untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien akan menunjukan perbaikan dimana yang awalnya menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam waktu 2 bulan. b. Tahap Lanjutan. Pada tahap lanjutan pasien akan mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persistent, sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Jenis obat yang digunakan dalam penatalaksanaan TB terdiri Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol sebagai obat lini pertama atau obat utama yang digunakan, kemudian untuk obat lini keduanya terdiri dari Kanamisin, Kuinolon, obat lain masih dalam penelitian (Makrolid, Amoksilin dan Asam Klavulanat), Derivat Rifampisin dan INH. 1,2 Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) terdiri dari 4 OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg dan 3 OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg dan Pirazinamid 400 mg. WHO sendiri merekomendasikan untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 OAT sesuai dengan pedoman pengobatan. 1,2 Panduan OAT yang dipakai di indonesia terdiri dari 5 kategori yaitu: 1,2 a. Kategori I 1) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. 2) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3. b. Kategori II 1) TB paru kasus kambuh. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. 2) TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi, contohnya 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15- 18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin. Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE. 3) TB Paru kasus putus berobat. Terdiri dari berobat ≥ 4 bulan dan berobat ≤ 4 bulan. Pada berobat ≥ 4 bulan jika BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). Kemudian jika BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Sedangkan pada berobat ≤ 4 bulan, bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. c. Kategori III TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3. d. Kategori IV TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). e. Kategori V MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup. OAT sendiri memiliki efek samping yaitu: 1,2 a. Isoniazid (INH). Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek samping berat dapat berupa hepatitis. b. Rifampisin. Efek samping ringan berupa Sindrom flu (seperti demam, menggigil dan nyeri tulang), Sindrom perut (seperti sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare), dan Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. Efek samping yang berat berupa hepatitis, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. c. Pirazinamid. Efek samping utama ialah hepatitis. Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. d. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. e. Streptomisin memiliki efek samping utama menyebabkan kerusakan N. VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Efek samping pada OAT tidak terjadi pada semua penderita TB, ada juga pasien yang menyelesaikan terapinya tanpa terjadi efek samping. Untuk menangani efek samping obat, maka dapat dilakukan: 1 a. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik. b. Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat atau allopurinol. c. Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Untuk menangninya, maka OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan dilakukan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus. d. Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan Rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya. e. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan N. VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon. f. Bila sesuatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik. Referensi: 1. TB paru pdf [Internet]. c2018. [cited on juni 2018]. Avalaible from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40165/Chapt;jsessi onid=ECAFDBF43D7C341F01D6831900883ED7?sequence=4 2. Subuh M, Sigit P. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2014.