Disusun Oleh :
Safari (K1A120122)
a. KUHP, yaitu telah diatur dalam Pasal 263 KUHP. Dalam Pasal 263
ayat (1) KUHP telah tercantum unsur-unsurnya, yaitu barang siapa;
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak, sesuatu perhutangan, membebaskan hutang atau dapat
dipergunakan untuk bukti suatu hal; dan dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian. Pasal 263 ayat (2) merumuskan unsur-
unsurnya, yaitu barangsiapa; dengan sengaja; perbuatan memakai;
surat palsu atau yang dipalsu; seolah-olah asli; jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
dalam Pasal 77 mengandung unsur-unsur, yaitu menggunakan berupa
gelar atau bentuk lain; yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
memiliki STR dokter atau yang memiliki STR dokter gigi dan/atau
yang memiliki SIP; dengan sengaja dan orang tersebut dapat dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)
c. Pelanggaran Pasal 378 KUHP tentang penipuan; pada pasal ini
dijelaskan bahwa seseorang yang memakai nama atau martabat palsu
dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan sesuatu dengan tujuan untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun.
d. Orang yang menggunakan gelar akademik yang tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya atau palsu, melanggar Pasal 69 UU no
20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, dimana pelaku
yang terbukti dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah)
e. Bentuk delik gratifikasi dalam bidang kedokteran pada dasarnya
tidaklah jauh berbeda dengan delik gratifikasi yang diatur didalam UU
No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Yang membedakan hanyalah subjeknya yaitu
dokter sebagai pelakunya. Profesi dokter sampai saat ini belum
diterima sepenuhnya sebagai subjek delik korupsi (gratifikasi)
dikarenakan statusnya yang masih belum jelas. Kalaupun dalam
kenyataannya terbukti bahwa dokter melakukan gratifikasi, maka tetap
mengacu pada ketentuan Pasal 12 huruf b UU No.31 Tahun 1999 UU
No. 20 Tahun 2001 untuk menjeratnya. Karena delik gratifikasi dalam
undang-undang tersebut diartikan secara luas. Ini juga selaras dengan
konsep pertanggungjawaban materil yang negatif dalam tindak pidana
korupsi.
f. Pengaturan terhadap pemalsuan surat keterangan medis dalam hukum
pidana Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dalam Bab XII buku II KUHP dari Pasal 263 sampai dengan
Pasal 276 KUHP dalam pemalsuan surat keterangan medis diatur juga
dalam pasal 7 kode etik kedokteran, selanjutnya sanksi pidana terhadap
pemalsuan surat keterangan rapid test covid 19 oleh tenaga medis bisa
dikenakan sanksi pidana perdata dan sanksi administratif dimana
sanksi pidana mengacu pada pasal 267 ayat (1) KUHP yang ancaman
pidana penjara paling lama empat tahun sedangkan dalam sanksi
administratif memberikan sanksi yang bertujuan untuk mendidik.
a. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Undang-
Undang HAM). Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh
Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang
HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan
kebijakan-kebijakan lainnya.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 2
bahwa: "Setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajad
kesehatan masyarakat harus dilaksanakan berazaskan perikemanusian,
keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif dan norma-norma
agama"