Anda di halaman 1dari 8

PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN BERKAITAN DENGAN

PENIPUAN/KETIDAKJUJURAN DAN PELECEHAN


BLOK BIOETIKA DAN HUMANIORA

Disusun Oleh :

Afdhaliah Septiani L. (K1A120033)

Ahmad Sugiharjo (K1A120034)

Ainun Falihah (K1A120035)

Aishardianti Asri (K1A120036)

Alif Rama Sakti (K1A120037)

Andi Sekar Arum Cantika F. (K1A120038)

Angelia Harpahda (K1A120039)

Aniendya Chairuningtyas G. (K1A120040)

Anisa Sabaruddin (K1A120041)

Anisha Ramadhani (K1A120042)

Aprillia Nurcahyani (K1A120043)

Safari (K1A120122)

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
Definisi

Sebagaimana dirumuskan Pasal 378 KUHP, penipuan berarti perbuatan


dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau
kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan
barang, uang atau kekayaannya. Kejahatan ini diatur Pasal 378 sampai dengan
Pasal 394 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kejahatan seksual (pelecehan seksual) adalah setiap perbuatan yang


dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan
seksual bagi dirinya dan mengganggu kehormatan orang lain. Sementara itu
Collier dalam buku "Pelecehan Seksual. Hubungan Dominasi Mayoritas dan
Minoritas" (1998), mendefinisikan pengertian pelecehan seksual sebagai segala
bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat
perlakuan tersebut. Ia menekankan bahwa pelecehan seksual itu dapat terjadi atau
dialami oleh semua perempuan. Dalam beragam kejadian pelecehan seksual
prosentasenya terdiri dari 10 persen kata-kata yang mengarah ke pelecehan
seksual, 10 persen intonasi yang menunjukkan pelecehan seksual, dan 80 persen
bentuk non verbal yang mengarah ke pelecehan seksual.

Undang-Undang Tentang Penipuan dan Pelecehan Seksual

Pengaturan mengenai tindak pidana penipuan dalam bidang kedokteran di


Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. KUHP, yaitu telah diatur dalam Pasal 263 KUHP. Dalam Pasal 263
ayat (1) KUHP telah tercantum unsur-unsurnya, yaitu barang siapa;
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak, sesuatu perhutangan, membebaskan hutang atau dapat
dipergunakan untuk bukti suatu hal; dan dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian. Pasal 263 ayat (2) merumuskan unsur-
unsurnya, yaitu barangsiapa; dengan sengaja; perbuatan memakai;
surat palsu atau yang dipalsu; seolah-olah asli; jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
dalam Pasal 77 mengandung unsur-unsur, yaitu menggunakan berupa
gelar atau bentuk lain; yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
memiliki STR dokter atau yang memiliki STR dokter gigi dan/atau
yang memiliki SIP; dengan sengaja dan orang tersebut dapat dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)
c. Pelanggaran Pasal 378 KUHP tentang penipuan; pada pasal ini
dijelaskan bahwa seseorang yang memakai nama atau martabat palsu
dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan sesuatu dengan tujuan untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun.
d. Orang yang menggunakan gelar akademik yang tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya atau palsu, melanggar Pasal 69 UU no
20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, dimana pelaku
yang terbukti dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah)
e. Bentuk delik gratifikasi dalam bidang kedokteran pada dasarnya
tidaklah jauh berbeda dengan delik gratifikasi yang diatur didalam UU
No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Yang membedakan hanyalah subjeknya yaitu
dokter sebagai pelakunya. Profesi dokter sampai saat ini belum
diterima sepenuhnya sebagai subjek delik korupsi (gratifikasi)
dikarenakan statusnya yang masih belum jelas. Kalaupun dalam
kenyataannya terbukti bahwa dokter melakukan gratifikasi, maka tetap
mengacu pada ketentuan Pasal 12 huruf b UU No.31 Tahun 1999 UU
No. 20 Tahun 2001 untuk menjeratnya. Karena delik gratifikasi dalam
undang-undang tersebut diartikan secara luas. Ini juga selaras dengan
konsep pertanggungjawaban materil yang negatif dalam tindak pidana
korupsi.
f. Pengaturan terhadap pemalsuan surat keterangan medis dalam hukum
pidana Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dalam Bab XII buku II KUHP dari Pasal 263 sampai dengan
Pasal 276 KUHP dalam pemalsuan surat keterangan medis diatur juga
dalam pasal 7 kode etik kedokteran, selanjutnya sanksi pidana terhadap
pemalsuan surat keterangan rapid test covid 19 oleh tenaga medis bisa
dikenakan sanksi pidana perdata dan sanksi administratif dimana
sanksi pidana mengacu pada pasal 267 ayat (1) KUHP yang ancaman
pidana penjara paling lama empat tahun sedangkan dalam sanksi
administratif memberikan sanksi yang bertujuan untuk mendidik.

Pengaturan mengenai tindak pidana pelecehan seksual dalam bidang kedokteran di


Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Undang-
Undang HAM). Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh
Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang
HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan
kebijakan-kebijakan lainnya.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 2
bahwa: "Setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajad
kesehatan masyarakat harus dilaksanakan berazaskan perikemanusian,
keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif dan norma-norma
agama"

Contoh Kasus Penipuan dan Pelecehan Seksual

1. Putusan Pengadilan Negeri Tanah Grogot Nomor 254/Pid.B/2013/PN.TG


dijatuhkan atas perkara pemalsuan surat dan identitas yang mengakibatkan
seseorang yang bukan dokter seolah-olah menjadi dokter yang sudah
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Melalui pertimbangan hakim yang
terdapat dalam putusan dapat kita ketahui bahwa sudah sesuai dengan
norma hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini didukung dengan alat
bukti dan fakta yang terungkap dalam persidangan yaitu: Ijazah
Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Kedokteran Nomor Seri
Ijazah : 04.71.8.1.135 tanggal 04 Oktober 2004 atas nama Syafril Syah
Hasibuan, Transkrip Akademik Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas
Kedokteran Nomor Seri Ijazah : 04.71.8.1.135 tanggal 04 Oktober 2004
atas nama Syafril Syah Hasibuan, Surat Tanda Registrasi Dokter Nomor :
12 11 100 1 07078241 atas nama Syafril Syah Hasibuan tanggal 26 Maret
2007. Penyampingan terhadap asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
ini merupakan implementasi dari rule breaking yang digagas dalam Teori
Hukum Progresif. Hal ini didukung oleh prinsip Asas Lex Specialis Legi
Generali yaitu ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum
umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut. Namun dalam kasus ini tidak semua perbuatan melawan
hukum yang dilakukan Frieduansyah, S.Kep. Alias dr. Syafril Syah
Hasibuan Bin Hadrian Tasmiz diatur dalam aturan hukum khusus (UU
Praktik Kedokteran), sehingga perlu diterapkan aturan hukum umum
(KUHP).
2. Melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu.
3. Memperpanjang lama perawatan pasien.
4. Berdasarkan temuan Komnas Perlindungan Perempuan, Rumah Sakit Jiwa
dan Panti Sosial ada seorang petugas yang memandikan pasien yang
menderita disabilitas psikososial. Proses pemandian tersebut dilakukan di
lokasi terbuka yang dapat dilihat orang umum. Padahal persepsi bahwa
disabilitas psikososial tidak memiliki rasa malu adalah salah.
5. Pemaksaan penggunaan kontrasepsi yang bermaksud mengatur tingkat
kesuburan namun dengan cara merusak organ fungsi reproduksi melalui
penggunaan dan pemasangan alat kontrasepsi dan tindakan operasi tertentu
(tubektomi) secara paksa. Pada 2018 Komnas Perempuan memberikan
pengertian pemaksaan kontrasepsi mengacu pada suatu situasi dimana
pasien tidak mendapatkan informasi lengkap dan pasien tidak
mendapatkan pandangan lain (second opinion) dalam hal kontrasepsi yang
dapat digunakan. Contoh di salah satu panti psikotik di Semarang, seluruh
perempuan dalam usia subur, yang akan menjadi penghuni, akan dipasangi
alat kontrasepsi jenis susuk Keluarga Berencana (KB). Di Rumah Sakit
Jiwa daerah di Semarang, pasien perempuan akan menjalani tubektomi,
dengan informed consent dari keluarga pasien. Sementara pasien yang
diantarkan oleh Satpol PP setelah melakukan razia di jalanan, prosedur
pemasangan kontrasepsi dilakukan tanpa informed consent dari yang
bersangkutan.
6. Pelecehan seksual yang dilakukan tenaga keperawatan di rumah sakit yang
diviralkan melalui media sosial oleh pelaku. Pada 24 Oktober 2018,
seorang Co-pilot salah satu maskapai penerbangan mengalami kecelakaan
mobil yang ditumpangi bersama temannya di Surabaya. Korban dibawa ke
Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Soetomo. Saat dirawat, korban
ditelanjangi oleh petugas medis dengan dalih untuk keperluan medis.
Petugas membuka pakaian korban dan memotret korban dalam keadaan
tanpa busana. Korban menolak tindakan petugas, tetapi tetap dilakukan
malah foto tersebut disebar via whatsapp. Pihak keluarga korban yang
datang pada pagi hari tidak terima oleh tindakan pelecehan ini dan
kemudian melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya. Pihak rumah
sakit berdalih bahwa ini adalah prosedur yang diperlukan. Padahal yang
dilakukan oleh pelaku itu di luar prosedur. Tindakan menyebar foto korban
tanpa izin ke whatsapp merupakan tindakan pelecehan seksual dan
kekerasan di dunia maya terhadap perempuan.
7. Pasien Rumah Sakit National Hospital Surabaya pada Januari 2018 tengah
tidak sadar karena masih dalam pengaruh obat bius paska operasi
dipindahkan dari ruang operasi keruang pemulihan, diraba-raba
payudaranya oleh perawat laki-laki. Sebagai bentuk pertanggung jawaban,
manajemen Rumah Sakit National Hospital Surabaya telah memecat
perawat tersebut dan perawat telah diproses hukum.
Daftar Pustaka

1. Dominikus Rato, Filsafat Huk.


2. Hartati Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi 2, Jakarta, Sinar Grafika.
3. Mahrus Ali. 2007. Sistem Peradilan Pidana Progresif; Alternatif Dalam
Penegakan Hukum Pidana, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 14. FH UII
Yogyakarta.
4. Pasal 378 KUHP Tentang Penipuan.
5. Pasal 69 UU No 20 Tahun 2003 Mengenai Sistem Pendidikan Nasional.
6. Pasal 77 UU Praktik Kedokteran.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015.
8. Prasetyo, D. Y. (2020). Analisis Yuridis Atas Tenaga Keperawatan Yang
Melakukan Pelecehan Seksual Kepada Pasien. Lex Renaissance, 5(2), 374-
389.
9. Samatha Sie Ariawan dkk. 2018. Aspek Medis Pada Kasus Kejahatan
Seksual. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol.7 No.2. Semarang
10. Suadnyani, D. A. M. D., & Wirasila, A. A. N. (2021). Sanksi Pidana
Terhadap Pemalsuan Surat Keterangan Sehat di Indonesia. Jurnal Kertha
Semaya, 9(4), 692–702.
11. Suharyo. (2020). Aspek Hukum Surat Keterangan Dokter dalam Sistem
Peradilan Pidana (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Era Covid-
19). Jurnal Penelitian Hukum, 20(3), 363–378
12. Tjoanto, D. (2014). Sanksi Pidana Terhadap Pemalsuan Keterangan dan
Surat atau Dokumen Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jurnal Lex
Crimen, 3(3), 65–74.

Anda mungkin juga menyukai