Anda di halaman 1dari 5

A.

DEFINISI MALPRAKTIK
Malpraktek berasal dari istilah malpractice, yang pada hakekatnya adalah
kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukan dokter ( Komaladewi, 1989).
Malpraktik merupakan kelalaian, kesalahan, atau pelanggaran tugas oleh
professional yang mengakibatkan cedera/kerusakan pada pasien ( Gegen & Agus,
2019). Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status professional dan pemberi
pelayanan dan standar pelayanan professional. Dalam kasus kelalaian medis,
pertentangan yang biasanya terjadi mencakup gejala yang dikeluhkan, tanda-tanda
yang ada atau tidak ada, serta perawatan atau pengobatan yang direkomendasikan.
Dalam upaya untuk menentukkan fakta, pengadilan akan memanfaatkan catatan
medis. Setaip rekaman dianggap penting karena bersifat kontemporer dan biasanya
dibuat saat tidak ada ketertarikan pada hasil hukum (Mendri & Prayogi, 2020).

B. PERATURAN MALPRAKTIK MENURUT HUKUM INDONESIA


Pelayanan dibidang Kesehatan termasuk dalam praktik keperawatan banyak
menghadapi kendala, salah satunya dikenal dengan sebutan malpraktek. Belum
adanya aturan (yang dikhususkan pada Undang-Undang) yang mengatur secara
terterinci mengenai malpraktek menyebabkan hal ini sulit dibuktikan sehingga
menimbulkan kerugian bagi pihak pasien yang menjadi korban. Selain itu tidak
adanya aturan hukum secara terperinci mengenai malpraktek juga berdampak pada
tenaga kesehatan yang termasuk diantaranya yaitu perawat, karena tidak adanya
ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang dapat dinyatakan
sebagai malpraktek.
Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang tentang
malpraktek. Sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek pda
pelayanan kesehatan. Pengaturan mengenai malpraktek dalam pelayanan kesehatan
secara umum dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Hukum Perdata,
Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara
lain : UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta UU No 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi
berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No:
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Pengaturan
tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Secara yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan
bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUH Perdata, UU No 23 Tahun
1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009,
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri
Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008.
Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek dalam hukum di Indonesia
dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan
UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan
A. KUHP
Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas
dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan
malpraktek tersebut. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan
Surat, Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang berkaitan dengan upaya abortus
criminalis (pengguguran kandungan) karena di dalamnya terdapat unsur
adanya upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal
351 KUHP tentang Penganiayaan, Terkait dengan kealpaan yang
menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 359 dan
360 KUHP.
Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan
euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya
penanggulangan tindak pidana malpraktek di Indonesia menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
B. UU No. 36 Tahun 2009
Pasal 29 UU berkaitan dengan dengan kelalaian denga nisi UU yaitu :
”Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi”, dapat dijadikan kebijakan formulasi hukum pidana terkait dengan
penanggulangan tindak pidana malpraktek. Berkaitan dengan perlindungan
pasien dapat dilihat dari ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan.
Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal
76, Pasal 77 UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan
sanksi sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan
bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
C. UU No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Dalam penanggulangan tindak pidana malpraktek keperawatan pada
Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang keperawatan dapat dilihat dalam
Pasal 36 dan 37 tengtang kewajiban perawat dalam praktik keperawatan.
Menurut ketentuan Pasal 19, 20, dan 29 UU Praktik Keperawatan dapat
diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal tersebut dapat
dikenakan kepada perorangan yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan perawat tanpa STR dan SIPP, selain itu korporasi yang
memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan perawat yang tidak
mempunyai SIPP juga dapat dikenakan pidana.

C. PROSEDUR PENANGANAN MALPRAKTIK


Aturan mengenai kesalahan profesi tenaga kesehatan dirumuskan dalam Pasal
11 Huruf b UU Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. Aturan ini masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 36
Tahun 2014 tentangTenaga Kesehatan. Menurut pasal tersebut perumusan mengenai
kesalahan profesi tenaga kesehatan adalah:(1)melalaikan kewajiban; (2) melakukan
sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seseorang tenaga kesehatan,
baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga
kesehatan; (3) melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-
undang ini.
Penyelesaian malpraktik dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu melalui jalur
pengadilan dan diluar pengadilan. Secara jelas dalam Pasal 32 buruf q Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menentukan babwa “setiap
pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah
Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata maupun pidana”. Ketentuan ini mengandung makna bahwa penyelesaian
sengketa medis dapat dilakukan melalui jalur litigasi baik secara perdata dan/atau
secara pidana. Namun demikian, dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan ditentukan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Sebagai konsekuensi dari ketentuan
ini, yaitu bahwa sebelum menempuh jalur litigasi, terlebih dahulu harus menempuh
mediasi sebagai salah satu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(penyelesaian sengketa alternatif).
Penyelesaian masalah malpraktek dengan jalur diluar pengadilan dapat
dilakukan dengan cara mediasi antara pihak yang dirugikan yakni pasien dengan
pihak yang merugikan yakni perawat. "Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa
Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran
yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalakan tugasnya
menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Mediator harus mampu
menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga
menimbulkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa". namun bila
tidak menemui jalan keluar perselisihan maka dilanjutkan ke pengadilan. (Abbas,
2009).
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Eddy O.S. Hiariej. 2014. Prinsip-prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka

Gegen, Gerardus & Agus, Aris Prio. 2019. Etika Prosefi Keperawatan & Hukum Kesehatan.
Buku Panduan Mahasisawa Dan Praktisi. Jakarta: Trans Info Media

Kumaladewi, D, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Mendri, N., K & Prayogi, A., S. 2020. Etika Profesi & Hukum Keperawatan. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press

Suryanto. 2018. Pengantar Hukum Pidana. Yogyakarta: Deepublish

Takdir. 2013. Mengenal Hukum Pidana. ----:Laskar Perubahan

Henny Yulianita, Legalitas Perawat dalam Tindakan Medis, EGC, Jakarta, 2011, hlm. 44.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia, “Malpraktik Perawat”, dalam: www.ppni.go.id., yang


diakses pada tanggal 26 Februari 2016, pukul 18.00 WIB.

Sri Praptianingsih, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di


Rumah Sakit,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 9.

R. Priharjo, Pengantar Etika Keperawatan, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 22.

Anda mungkin juga menyukai