Anda di halaman 1dari 11

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN

DI BIDANG KESEHATAN

Putra Yani Novriandi Siregar* Harry Haryanto*


Sosiologi Hukum
Dosen Pengajar : Dr. Redyanto Sidi, S.H, M.H
Magister Hukum Kesehatan Program Studi Pascasarjana
Universitas Panca Budi

Abstract
The purpose of this research is to find out how to enforce criminal law against criminals in the health
sector. The research method uses normative juridical. The enforcement of criminal law for perpetrators
of crimes/crimes in the health sector such as doctors and other medical personnel can be carried out by
applying the applicable regulations, namely the Criminal Code, Law no. 29 of 2004 concerning Medical
Practice and Law no. 36 of 2009 concerning Health. Articles in the Criminal Code such as Articles 299,
346, 347, 348 and 349. Articles 359, 360 and 361. Articles in Law no. 29 of 2004 as articles 75 to 80
which regulate legal sanctions and Law no. 36 of 2009.

Abstrak
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan
di bidang kesehatan. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif. Penegakan hukum pidana bagi
pelaku kejahatan/tindak pidana di bidang kesehatan seperti dokter dan tenaga medis lainnya dapat
dilakukan dengan menerapkan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu KUHP, UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran serta UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal – pasal dalam KUHP
seperti Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349. Pasal 359, 360 dan 361. Pasal – pasal dalam UU No. 29 Tahun
2004 seperti pasal 75 sampai dengan 80 yang mengatur tentang sanksi hukum dan UU No. 36 Tahun
2009.

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Pelaku Kejahatan, Kesehatan

PENDAHULUAN
Kesehatan memiliki arti penting bagi manusia dalam menjalankan segala aktivitasnya,
diharapkan dengan memiliki tubuh yang sehat setiap individu dapat lebih produktif dan terbebas
dari segala macam penyakit. Karena pentingnya arti kesehatan, Perserikatan Bangsa -Bangsa
(PBB) menetapkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948 yang salah
satu pasalnya mengatur mengenai kesehatan. Dalam pasal 25 ayat (1) UDHR menyatakan
“Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya
dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta
pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencarian
yang lain karena keadaan yang berada di luar kekuasaannya”
(https://www.ohchr.org/en/udhr/pages/Language.aspx?LangID=inz diakses pada hari Rabu, 12
September 2018 jam 21.07).
Dalam tataran yang lebih luas, maka kesehatan menjadi kebutuhan dasar masyarakat,
baik masyarakat sebagai kumpulan individu, maupun lingkungan tempat individu-individu
tersebut tinggal dan berdiam. Sebegitu pentingnya arti kesehatan, sehingga kesehatan
dimasukkan sebagai salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia dan dimasukkan ke
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI
Tahun 1945 misalnya, menegaskan pada Pasal 28 H ayat (1) bahwa “setiap orang berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”. Lahirnya hak untuk memperoleh “pelayanan kesehatan”
dapat dipastikan berasal dari adanya hak sehat itu sendiri. Termasuk untuk menikmati
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai yang tercantum di dalam UU. No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (1) undang undang ini
menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM).
Untuk mewujudkan tingkat kesehatan yang optimal bagi setiap orang yang merupakan
bagian dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum dalam penyelenggaraan berbagai
kegiatan di bidang kesehatan. Hukum mengatur hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan
antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan itu tercermin adanya hak
dan kewajiban. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat
umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan
apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta
menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah (Sudikno
Mertokusumo :2010M)
Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum
kesehatan publik (public health law) dan hukum kedokteran (medical law). Hukum kesehatan
publik lebih menitik beratkan pada pelayanan kesehatan masyarakat atau mencakup pelayanan
kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk hukum kedokteran, lebih mengatur tentang pelayanan

2
kesehatan pada individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut tentang pelayanan
kesehatan (Budi Sampurno : 2011 )
Untuk mempertinggi derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat, pembangunan kesehatan
masyarakat perlu ditingkatkan secara terpadu dan berkesinambungan. Melalui sistem kesehatan
nasional telah dinyatakan, proses perubahan orientasi nilai dan pemikiran termaksud selalu
berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosisal budaya. Upaya kesehatan yang
semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara berangsurangsur berkembang kearah
kesatuan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran serta masyarakat yang
mencakup upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif) dan pemulihan (rehabilitatif)
yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. (Sistem Kesehatan Nasional, Departemen
Kesehatan RI :1984)
Dewasa ini sistem pelayanan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai
penyembuh banyak diperbincangkan masyarakat, dan penilaian serba positif terhadap profesi
kesehatan mulai luntur dikarenakan dalam upaya penyembuhan yang dilakukan tenaga kesehatan
tidak semuanya sesuai yang diinginkan oleh pasien, yaitu kesembuhan. Dalam praktek
kedokteran sering terjadi kesalahan yang dapat menimbulkan suatu tindak pidana, misalnya saja
kesalahan diagnosis dan kesalahan dalam melakukan operasi, seperti yang lebih dikenal dengan
istilah malpraktek, melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas
seseorang dan perbuatan tindak pidana lainnya atau kejahatan lainnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas makan sudah seharusnya dilakukan penegakan
hukum terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang sudah berupa
tindak pidana/kejahatan.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana bagi pelaku kejahatan/tindak pidana di bidang


kesehatan?

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang berfokus pada norma dan penelitian ini memerlukan data
sekunder (bahan hukum) sebagai data utama.

3
Sumber data dalam penelitian ini berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No.
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
Kepmenkes No. 129 Tahun 2008 Tentan Pedoman Penetapan Standar PelayananMinimal,
literatur-literatur, tulisan para ahli yang berhubungan dengan penelitian ini.

PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan
Secara mendasar perbuatan yang dilakukan oleh para pelaksana pelayanan kesehatan
merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum. Dalam hal
ini hubungan hukum yang terjadi antara pelayan kesehatan di dalamnya terdapat dokter dan
tenaga kesehatan lainnya yang berkompeten,sehingga terciptanya hubungan hukum yang
akan saling menguntungkan atau terjadi kerugian. Pelayanan kesehatan masyarakat dalam
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur dua hal penting, yaitu;
pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan adalah kegiatan dengan melakukan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Dalam pelayanan kesehatan perseorangan sesuai dengan Pasal 30 ayat (1)
adalah ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan
dan keluarga. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat adalah ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
Sebagai bentuk Badan Layanan Umum, Rumah sakit diwajibkan untuk memiliki dan
memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). Untuk menjamin standar pelayanan minimal
di bidang kesehatan maka diterbitkan Kepmenkes No. 129 tahun 2008 tentang pedoman
penetapan standar pelayanan minimal.
Dengan demikian sangat jelaslah bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
pemerintah sangat peduli dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka hak-hak pasien sebagai penerima
pelayanan kesehatan tersebut dapat terlindungi.
Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No.
8/1999). Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga merupakan

4
Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Selanjutnya
apabila haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien adalah:
1. Umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 UUPK).
2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang
yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan perdata atau sanksi pidana atas pelanggaran
hak-hak pasien.

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana di Bidang Kesehatan


Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi
yang tertentu oleh undang undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat
mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bagi pelakunya. Tindak pidana di bidang
kesehatan atau dikenal juga dengan tindakan medik merupakan kesalahan pengambilan
tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun tenaga medis amatir
baik disengaja atau tidak disengaja atau dokter (tenaga medis) tersebut melakukan praktik
yang buruk. (Danny Wiradharma : 1999.)
Bentuk-bentuk tindak pidana kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengatur ancaman sanksi pidana pelaku tindak
pidana kesehatan. Ancaman sanksi pidana diatur dalam Pasal 201, meliputi: Pasal 190
ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196,Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. hubungan dokter dengan
pasien terikat dalam suatu perjanjian terapeutik dalam (transaksi terapeutik). Oleh
karenanya, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien.
Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang “upaya” atau
disebut Inspaningsverbintenis, bukan perjanjian tentang “hasil”.
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya
perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Pelanggaran dokter
dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang memenuhi aspek hukum pidana apabila
memenuhi syaratsyarat tertentu dalam tiga aspek, yaitu (Bambang Tri Bawono, 2011: 3):

5
1) Syarat dalam sikap batin dokter. Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin
sebelum seseorang berbuat. Sesuatu yang ada dalam alam batin ini dapat berupa kehendak,
pengetahuan, pikiran, perasaan dabn apapun yang melukiskan keadaan batin seseorang
sebelum berbuat. Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengarahkan
dan mewujudkan sikap batinnya kedalam perbuatan-perbuatan. Apabila kemampuan
mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam perbuatan-perbuatan tertentu yang
dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun apabila kemampuan berpikir, berperasaan dan
berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam melakukan suatu perbuatan
yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian (culpa).
Sebelum melakukan perlakuan medis diwujudkan oleh dokter , ada tiga arah sikap batin
dokter yaitu : a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi) ; b. Sikap batin mengenai
sifat melawan hukum perbuatan ; c. Sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.
2) Syarat dalam perlakuan medis. Perlakuan medis, yakni wujud dan prosedur serta alat
yang digunakan dalam pemeriksaan untuk memnperioleh data-data medis, menggunakan
data-data medis dalam mendiagnosis, cara atau prosedur dan wujud serta alat terapi, bahkan
termasuk pula perbuatan-perbuatan dalam perlakukan pasca terapi. Syarat lain dalam aspek
ini adalah kepada siapa perlakuan medis itu diberikan dokter. Berarti untuk kasus konkrit
tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika
umum. Misalnya, salah dalam menarik diagnosis, tetapi perbuatan itu dapast dibenarkan
apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-fakta medis uyang ada dari sudut kepatutan
dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosis itu.
3) Syarat mengenai hal akibat. Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktek
kedokteran harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan dokter.
Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori malpraktek kedokteran
antara malpraktek pidana at au perdat a. Dari sudut hukum pidana akibat yang merugikan
masuk dalam lapangan pidana apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan
menjadi unsur tindak pidana akibat kematian atau luka merupakan unsur dalam ketentuan
Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana dan masuk kategori malpraktek pidana. Meskipun
demikian untuk dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuat an yang bertentangan dengan hukum / bersifat melawan hukum, masih

6
diperlukan adanya syarat yaitu orang tersebut melakukan perbuatan itu memenuhi unsurunsur
kesalahan, baik itu berupa kesengajaan ataupun kelalaian.
Standar prosedur operasional haruslah diikuti oleh seorang tenaga medis agar
tindakan medis yang dilakukannya tidak tergolong sebagai tindak pidana. Adapun standar
tersebut dikenal juga dengan standar profesi kedokteran. Pasal 24 ayat (1) UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan menentukan bahwa dalam melakukan tugasnya, tenaga kesehatan
berkewajiban mematuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien. Dokter yang
merupakan tenaga kesehatan termasuk dalam kelompok sebagaimana yang ditentukan dalam
penjelasan ketentuan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan dokter dalam melaksanakan
profesinya adalah melakukan tindakan medis.
Apabila dokter melakukan kelalaian atau pelanggaran terhadap standar profesi medik
dalam melaksanakan profesinya dan akibat dari kelalaian itu menimbulkan kerugian bagi
pasien atau keluarganya, pasien berhak untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan
Pasal 58 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi:18 (1) Setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap sesesorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggaraan
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelematan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara
pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan peundang-undangan.
Dalam pelayanan medik, maka seorang dokter hanya berusaha semaksimal mungkin
melakukan penyembuhan atau paling tidak mengurangi beban penyakit pasiennya. Dokter
tidak mungkin menjanjikan hasil kepada pasiennya, karena banyak faktor yang dapat
mengakibatkan tidak berhasilnya pelayanan kesehatan tersebut, seperti misalnya, sifat dan
macam penyakit, usianya, komplikasinya, taraf tingkat penyakit yang berbeda-beda dan hal-
hal yang meliputi daya tahan tubuh. Dengan kata lain, tidak ada kepastian dalam upaya
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter.
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran selain mengatur masalah hukum
administrasi juga banyak mengatur tentang sanksi pidana bagi dokter yang melakukan

7
kesalahan dalam melakukan praktek kedokterannya. Pasal-pasal yang berisi sanksi pidana
terdapat pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 yaitu :
Pasal 75:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76: Setiap dokter, atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda.
registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolaholah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

8
Pasal 79: Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(1); b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1); atau c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80: (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter
gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan ‘kesengajaan’ misalnya: 1. Pasal 267 KUHP,
tentang surat keterangan palsu. Dalam praktek, begitu mudahnya seorang dokter memberikan
surat keterangan sehat kepada seseorang walaupun tanpa melalui pemeriksaan dalam atau
laboratorium atau pemeriksaan pendukung lainnya. Hal semacam ini sudah termasuk
kategori membuat surat keterangan palsu manakala seseorang yang dibuatkan surat sehat
tersebut ternyata mengidap penyakit dalam yang tidak terdeteksi hanya dengan sekedar
melakukan pemeriksaan luar.
2. Pasal 294 ayat (2) KUHP, tentang perbuatan cabul. Khusus untuk dokter yang
disangka melakukan malpraktek medik, maka unsur dari Pasal 294 ayat (2) KUHP yang
dapat digunakan adalah tentang perbuatan cabul dengan pasiennya. Karena dapat saja terjadi
seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya di ruangan tertutup, terangsang dan
melakukan perbuatan cabul seperti mencium, meraba-raba atau bahkan menyetubuhi.
3. Pasal 304 dan Pasal 531 KUHP, tentang membiarkan seseorang yang seharusnya
ditolong. Sebagai sebuah profesi, maka dokter memiliki kewajiban hukum untuk selalu
memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita sakit. Maka apabila ternyata
seorang dokter mengetahui ada orang yang sedang menderita sakit namun tidak melakukan
pertolongan berupa perawatan, maka dokter dapat dikenakan dan dituntut dengan kedua pasal
tersebut di atas.

9
4. Pasal 322 KUHP, tentang pelanggaran rahasia oleh dokter. Kewajiban menyimpan
rahasia jabatan seperti dimaksudkan Pasal 322 KUHP ini tidak khusus diperuntukkan hanya
untuk dokter semata, tetapi untuk semua profesi yang diwajibkan hukum. Khusus untuk
dokter ini, kewajiban tersebut diatur juga dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran yang mulai efektif berlaku sejak 6 Oktober 2005 yaitu dalam Pasal 51 huruf c
yang berbunyi: “merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia”.
5. Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP, tentang melakukan perbuatan abortus
atau membantu melakukan abortus
Selanjutnya pasal-pasal yang mengandung unsur ‘kealpaan’ atau ’kelalaian’ yaitu:
Pasal 359, 360 dan 361 KUHP, tentang akibat kelalaiannya mengakibatkan orang lain mati,
atau luka. Untuk dapat menerapkan pasal-pasal di atas terhadap kasus malpraktek medik,
maka harus dibuktikan dulu adanya unsur kelalaian atau ketidak hati-hatian atau sembrono,
serta harus dibuktikan pula unsur tidak/kurang dipenuhi standar profesi, standar pelayanan
dan standar operasional prosedur.
Oleh karena itu apabila semua prosedur telah dilaksanakan dengan sempurna, maka
kegagalan dokter dalam melakukan tindakan medik tidak dapat dikategorikan dengan
‘medical malpractice’, namun harus dikategorikan ‘resiko medik’ yang tidak dapat dituntut
secara hukum.

PENUTUP
KESIMPULAN
Penegakan hukum pidana bagi pelaku kejahatan di bidang kesehatan dapat dilakukan
dengan menerapkan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu KUHP, UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran serta UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal – pasal dalam
KUHP seperti Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349. Pasal 359, 360 dan 361. Pasal – pasal dalam
UU No. 29 Tahun 2004 seperti pasal 75 sampai dengan 80 yang mengatur tentang sanksi hukum
dan UU No. 36 Tahun 2009.

DAFTA PUSTAKA
Budi Sampurno, 2011, Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium Hukum Kesehatan. BPH,

10
Jakarta, hlm 2

Danny Wiradharma, 1999, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta

Riska Andi Fitriono, Budi Setyanto, Rehnalemken Ginting, 2016, PENEGAKAN HUKUM
MALPRAKTIK MELALUI PENDEKATAN MEDIASI PENAL, Yustia, Vol 5 No. 1

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, hlm. 50

Sistem Kesehatan Nasional, Departemen Kesehatan RI, 1984, Jakarata, hlm-3


http://e-journal.uajy.ac.id/1817/2/1HK09387.pdf diakses pada hari Selasa, 7 Desember 2021 jam
10:30
http://e-journal.uajy.ac.id/20951/2/HK11993%201.pdf diakses pada hari Selasa, 7 Desember
2021
jam 10:51

SUMBER HUKUM
Undang Undang Dasar NRI Tahun 1945
Kepmenkes No. 129 Tahun 2008 Tentan Pedoman Penetapan Standar PelayananMinimal
UURI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
KUHP

11

Anda mungkin juga menyukai