Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

Disusun Oleh :
Rina Diana
216080088

FAKULTAS PASCA SARJANA PROGRAM


STUDI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2022

1. Apa keterkaitan dari etika kesehatan dan Hukum Kesehatan ?

Etika merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan dan
pergaulan
manusia, etika atau sering juga disebut sebagai “filsafat prilaku” atau disebut nilai, ada
juga pendapat yang menyebut etika ini dengan istilah “filsafat moral” adalah salah satu
cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia dengan penekanannya
kepada hal-hal yang baik dan buruk. Dengan kata lain, etika adalah ilmu yang membahas
tentang perbuatan baik dan buruk manusia, sejauh yang dipahami oleh pikiran manusia.
Etika pada hakikatnya membahas tentang rasionalitas nilai tindakan manusia, tentang
baik dan buruknya sebuah tindakan. Karena itu, etika sering juga disebut dengan filsafat
moral. (Muchtar, 2016).
Sementara istilah hukum kesehatan sering disamakan dengan istilah hukum
kedokteran. Hal ini dikarenakan hal-hal yang dibahas dalam mata kuliah hukum
kesehatan di berbagai fakultas hukum di Indonesia pada umumnya hanya memfokuskan
pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan dunia kedokteran. Lebih banyak membahas
hal-hal yang berkaitan dengan hukum kedokteran atau hukum medis. Padahal lingkup
pembahasan hukum kesehatan lebih luas daripada hukum kedokteran.
Hukum kesehatan tidak terdapat dalam suatu bentuk peraturan khusus, tetapi
tersebar pada berbagai peraturan dan perundang-undangan. Ada yang terletak di bidang
hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi, yang penerapan, penafsiran serta
penilaian terhadap faktanya adalah di bidang kesehatan maupun medis. Hukum
khususnya hukum kesehatan mempunyai fungsi penting sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh hukum itu sendiri, yaitu melindungi, menjaga ketertiban dan ketentraman
masyarakat.
Etika mengatur sesuatu yang sebaiknya dilakukan oleh manusia. Terhadap
perilaku yang tidak etis selayaknya diberikan sanksi yang sudah ditentukan sebelumnya
oleh dirinya sendiri dan teman sejawatnya. Sebaliknya, hukum memberikan batasan
untuk bertindak yang ditentukan oleh masyarakat. Apabila dilanggar maka orang tersebut
berisiko untuk mendapat sanksi eksternal seperti hukuman atau pencabutan izin
prakteknya.
Di samping banyak perbedaan, etika dan hukum kesehatan juga memiliki banyak
persamaan, diantaranya: Etika dan hukum kesehatan sama-sama merupakan alat untuk
mengatur tertibnya hidup bermasyarakat dalam bidang kesehatan.
1. Sebagai objeknya adalah sama yakni masyarakat baik yang sakit maupun yang tidak
sakit ( sehat ).
2. Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik pihak
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima pelayanan
kesehatan agar tidak saling merugikan.
3. Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik penyelenggara
maupun penerima pelayanan kesehatan.
4. Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para pakar serta
pengalaman para praktisi bidang kesehatan.
Sedangkan perbedaan antara etika kesehatan dengan hukum kesehatan, adalah
sebagai berikut:
1. Etika kesehatan hanya berlaku di lingkungan masing-masing profesi kesehatan,
sedangkan hukum kesehatan berlaku untuk umum.
2. Etika kesehatan disusun berdasarkan kesepakatan anggota masing-masing profesi,
sedangkan hukum kesehatan disusun oleh badan pemerintahan, baik legislative
(Undang-Undang, Peraturan Daerah), maupun oleh eksekutif (Peraturan
Pemerintah/PP, Kepres. Kepmen, dan sebagainya).
3. Etika kesehatan tidak semuanya tertulis, sedangkan hukum kesehatan tercantum atau
tertulis secara rinci dalam kitab undang-undang atau lembaran Negara lainnya.
4. Sanksi terhadap penyelenggaraan etika kesehatan berupa tuntunan, biasanya dari
organisasi profesi, sedangkan sanksi pelanggaran hukum kesehatan adalah “tuntutan“,
yang berujung pada pidana atau hukuman.
5. Pelanggaran etika kesehatan diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Profesi dari
masing-masing organisasi profesi, sedangkan pelanggaran hukum Kesehatan
diselesaikan lewat pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, sedangkan untuk
pelanggaran hukum pembuktiannya memerlukan bukti fisik.

2. Apa yang di maksud dengan Good Samaritan law?

Teori Good Samaritan adalah Teori Yang Melandasi Pengecualian Kewajiban


Informed Consent. Teori ini menganggap seorang dokter sebagai penolong yang baik
hati. Sehingga seorang dokter atau petugas kesehatan tidak dapat dipersalahkan jika
menolong orang lain yang dalam keadaan darurat atau bahaya, sepanjang pertolongan
yang diberikan pantas atau layak. Teori ini merupakan teori yang mengecualikan
kewajiban informed consent. Namun secara yuridis ada konsekuensi yang harus
ditanggung dengan ketiadaan informed consent. Jelas ada pihak yang dirugikan jika tidak
ada informed consent terutama dipihak pasien karena rentannya terjadi malpraktik.
Kerugian yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Kerugian cacat tubuh dan mental.
2. Kerugian materi yang seharusnya tidak perlu.
3. Kerugian karena menanggung rasa sakit.
4. Kerugian karena tidak bisa hidup secara normal dan mencari penghidupan akibat
cacat yang terjadi.
5. Kerugian karena kematian.
6. Kerugian karena penodaan terhadap keyakinan beragama.
Tidak jarang informed consent dianggap sebagai tindakan kesengajaan dan dapat
di malpraktikkan. Tindakan yang dianggap setara dengan tindakan kesengajaan
dikategorikan sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan medis, tetapi petugas
kesehatan dan dokter melakukan juga tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang resiko dan akibat
dari tindakan medis tersebut.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan dengan prosedur yang berbeda secara substansial dengan
yang dilakukan oleh dokter (Fuady, 2005).
Dengan demikian jika pasien tidak merasa diberikan informed consent namun
tetap terjadi tindakan medis tanpa persetujuannya, maka pasien bisa menuntut dokter atau
petugas kesehatan yang melakukannya. Hanya saja gugatan ini tidak serta merta dapat
dilakukan, harus ada unsur sebagai berikut :
1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent.
2. Kewajiban tersebut diabaikan tanpa alasan jelas dan justifikasi yuridis.
3. Ada kerugian yang ditanggung pihak pasien.
4. Ada hubungan causalitas antara kerugian dengan tidak adanya informed consent
tersebut.

5. Bagaimana hukum Administrasi dalam hukum antara RS dengan Pasien?

Hukum administrasi terhadap pelayanan kesehatan terdapat dalam beberapa


undang-undang yang bersifat sektoral. Dalam pasal 23 ayat (3) Undang-Undang No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Kemudian dalam pasal
34 ayat (2) undang-undang yang sama menyebutkan bahwa penyelenggara fasilitas
pelayanan kesehatan dilarang memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. Izin tersebut juga berlaku bagi
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (1) Undang-
Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sanksi administratif dapat dikenakan kepada tenaga kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang diduga melanggar ketentuan dalam undang-undang no.36
tahun 2009 tentang kesehatan. Sanksi administratif tersebuttertulis dalam pasal 188 ayat
(3) berupa peringatan secara tertulis, pencabutan izin sementara dan/atau izin tetap.
Terhadap korporasi, selain pencabutan izin usaha maka akan dikenai pencabutan status
badan hukum sesuai dalam pasal201 ayat (2) undang-undang no.36 tahun 2009 tentang
kesehatan.
Aspek hukum administrasi dalam praktik kedokteran tercantum dalam pasal 36
Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.Pasal tersebut
menyebutkan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang
diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik
kedokteran setelah memenuhi persyaratan.
Selain praktik kedokteran, praktik keperawatan juga memiliki aspek hukum
administrasi. Dalam pasal 19 undang-undang no.38 tahun 2014 tentang keperawatan
menyebutkan bahwa perawat yang menjalankan praktik keperawatan wajib memiliki izin.
Izin ini diberikan dalam bentuk SIPP atau disebut dengan nama surat izin praktik
perawat. Sanksi administratifnya pun sama, tercantum dalam pasal 58 undang-undang
no.38 tahun 2014 tentang keperawatan yang berupa teguran lisan, peringatan tertulis,
denda administratif dan/atau pencabutan izin.
Aspek hukum administrasi terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
rumah sakit tercatum dalam pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.Pasal tersebut menyebutkan bahwa tenaga medis yang melakukan praktik
kedokteran di rumah sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik. Kemudian untuk izin rumah
sakit itu sendiri tercantum dalam pasal 25 undang-undang no.44 tahun 2009 tentang
rumah sakit yang menyebutkan bahwa setiap penyelenggara rumah sakit wajib memiliki
izin yang terdiri dari izin mendirikan dan izin operasional.
Sanksi administratif bagi Rumah Sakit terkait dengan izin yang dimiliki, akan
dicabut jika:
a. Habis masa berlakunya;
b. Tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
c. Terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan;
d. Atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum

6. Jelaskan apakah RS bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian yang


dilakukan tenaga kesehatan di RS?

Rumah sakit merupakan tempat bekerjanya para tenaga profesioal yang


melaksanakan kegiatannya berdasarkan lafal sumpah dan kode etik profesinya. Oleh
karena itu rumah sakit dituntut agar mampu mengelola kegiatannya dengan
mengutamakan pada tanggung jawab para profesional di bidang kesehatan, khususnya
tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
(Wahyudi, 2011).
Menurut doktrin vicarious liability rumah sakit sebagai suatu institusi yang
menyediakan diri untuk memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan (cure and
care) juga bertanggungjawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakitnya. Oleh
karena itu, menurut J. Guwandi secara yuridis rumah sakit bertanggungjawab apabila ada
pemberian pelayanan cure and care yang tidak lazim atau di bawah standar. (Guwandi,
1991).
Menurut Soerjono Soekanto, keserasian antara kepentingan pasien dengan
kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan
pembangunan kesehatan, oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-
kepentingan itu harus diutamakan. (Soekanto, 1989). Keselamatan dan perkembangan
kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik
profesinya. Selain itu, juga diatur dalam Pasal 32 khususnya pada huruf e Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 yaitu: “memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”.

7. Mungkinkah kelalaian yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan diadukan


atau dilaporkan kepada kepolisian sebagai perkara pidana? Berikan satu
contohnya!

Pemberi pelayanan kesehatan dapat diadukan atau dilaporkan karena kelalaiannya


dalam menjalankan tugasnya. Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 84 ayat:
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian,
setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun. Lalai; lengah; kurang hati-hati; masalah ini berkaitan erat dengan
KUPidana Pasal 359 dan Pasal 360. (Sudarsono, 2009).
Dalam Bab XXI. Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan. Pasal
359. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.
Pasal 360 ayat:
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan. Pasal 84 ayat:
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian,
setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Contoh kasus terbaru tentang kelalaian medis adalah tentang Putusan Majelis
Kasasi Mahkamah Agung yang menghukum dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dua
koleganya, dokter Hendry Simanjuntak dan dokter Hendy Siagian. Tiga dokter itu
berdasarkan putusan kasasi perkara nomor 365 K/Pid/2012 dianggap terbukti lalai
sehingga menyebabkan pasien, Julia Fransiska Makatey, di Rumah Sakit R.D. Kandou
Malalayang, Manado, Sulawesi Utara meninggal dunia. Akibatnya keluarga korban
mengajukan tuntutan hukum terhadap dokter Ayu, dokter Hendry Simanjuntak dan
dokter Hendy Siagian atas dugaan malpraktek medis.

8. Bagiamana peran hukum kesehatan di dalam masyarakat?


Dalam pelayanan kesehatan masyarakat dasar perlindungan hukum pasien adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada pasien untuk mendapat pelayanan. Hal ini dapat di lihat dari pelayanan kesehatan
termasuk di dalamnya pelaksanaan hak dan kewajiban pasien, pertanggung jawaban
rumah sakit atau tenaga kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bagi
pasien serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien dalam hal ini adalah pasien
pengguna jamkesmas.
Pasien secara umum dilindungi dalam undang-undang kesehatan dan juga
undang-undang perlindungan konsumen. (Nasution, 2013). Sesuai dengan UU Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
pemerintah telah mengeluarkan kebijakanyang bertujuan untuk memaksimalkan
pelayanan pemerintah sehingga menciptakan iklim pelayanan prima pada setiap instansi
pemerintah.
Menurut Soejipto Rahardjo, kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya untuk
mengintegrasi dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan
satu sama lain itu oleh hukum, dengan diintegrasikan sedemikian rupa
tubrukan-tubrukan itu bisa di tekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan itu
dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum
melindungi seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekerasan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien tidak
selamanya berhasil dengan baik, tetapi ada kalanya usaha tersebut mengalami kegagalan,
sehingga pasien menjadi korban. Korban disini adalah orang yang dirugikan karena
kealpaan atau kelalaian atas praktik kedokteran atau pelayanan kesehatan, terutama
korban langsung dan masyarakat pada umumnya yang mengalami cacat dan kematian
atas pelayanan yang belum memenuhi standard. (Brahmana, 2011).

9. Mengapa etika hukum dalam hukum kesehatan perlu di pelajari dan di pahami
dalam dunia kesehatan ? Jelaskan !
Etika hukum dalam hukum kesehatan penting dipelajari karena untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman khususnya bagi profesi atau tenaga kesehatan
mengenai bagaimana bertindak, berperilaku dalam menjalankan tugasnya, yaitu sebagai
tenaga kesehatan. Sebagaimana diketahui bahwa segala bidang memiliki aturan dan
kaidah hukum masing-masing. Hal tersebut diperlukan untuk mengatur atau menata agar
segala sesuatu yang berkaitan dengan keprofesian, khususnya bidang kesehatan, tidak
menyalahi aturan terlebih melanggar hukum. Dengan demikian tugas dan kerja dapat
dijalankan secara lebih professional dan menekan kemingkinan adanya pihak-pihak yang
dirugikan.
Oleh karena itu, misalnya dalam dunia kedokteran terdapat kode etik yang disebut
dengan Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang merupakan pedoman bagi dokter
Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran. Ha tersebut Tertuang
dalam SK PB IDI No 221/PB/A.4/2002 tanggal 19 April 2002 Tentang Penerapan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini pertama kali disusun
pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia, dan sebagai
bahan Rujukan yang di pergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
International yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan
Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XII
tahun 1983. (Ratman, 2014).
Pelanggaran bagi kode etik tentu memiliki konsekuensi tersendiri, bergantung
pada berat atau ringan pelanggaran tersebut. Setiap undang-undang mencantumkan
dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada pelanggarnya, hal ini menjadi peringatan
atau pertimbangan bagi masyarakat untuk tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-
undangan, dan hal ini pula termanifestasikan dalam rumusan kode etik profesi yang
memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarannya. Dalam rumusan kode
etik profesi dicantumkan ketentuan “Pelanggar kode etik dapat dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, ini berarti jika pelanggar kode etik
profesi itu merugikan klien atau pencari keadilan, maka dia dapat dikenai sanksi undang-
undang, yaitu pembayaran ganti kerugian, pembayaran denda, pencabutan hak tertentu,
atau pidana badan. Untuk itu, harus ditempuh saluran hukum yangberlaku bahwa yang
berwenang memberi sanksi itu adalah pengadilan. Dengan kata lain, pelanggar kode etik
profesi dapat di ajukan ke muka pengadilan untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya. (Muhammad Sadi, 2015).
Hal tersebut dimungkinkan karena masayrakat berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 225 ayat (1) United Nation Universal
Declaration of Human Right. Di indonesia kaidah yang terdapt pada pasal 25 ayat (1)
United Nations Universal Declaration of Human Rights 1948 diadopsi di dalam pasal 8 H
ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Kedua) yang menyatakan: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
lebih baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (Siswati, 2013).
Dengan mempelajari segala etika dan aturan yang ada tersebut, maka diharapkan
dapat memberikan kesadaran sehingga dapat menekan terjadinya pelanggaran yang dapat
merugikan pihak lain. Dan dengan demikian masyarakat dapat dilayani dengan
sebaiknya, sebagaimana pengertian hukum kesehatan yang dirumuskan oleh
Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia, Menurut pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (Perhuki)17, hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya
serta hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
segala
aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional, hukum di
bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan.

Daftar pustaka
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Is, Muhammad Sadi. 2015. Etika Hukum Kesehatan. Jakarta: Kencana.
Desriza Ratman, Rahasia Kedokteran di antara Moral dan Hukum Profesi Dokter,
Penerbit CV Keni Media, Bandung, 2014.
H.S. Brahmana, Kriminologi dan Viktimologi, Langsa: LKBH Fakultas Hukum Unsam,
2011.
Bahder Johan Nasution. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.(Jakarta :Rineka
Cipta 2013.
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. 6. Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Setya Wahyudi, 2011, “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat
Kelalaian Tenaga Kesehatan Dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum 11 (3).
J. Guwandi. 1991. Dokter dan Rumah Sakit, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Soerjono Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan (suatu kumpulan catatan). Jakarta:
IND-HILL-Co.
Fuady, Munir. 2005. Sumpah Hipokrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
1 Masrudi Muchtar, Etika Profesi & Hukum Kesehatan, Penerbit Pustaka Baru Press,
Banguntapan Bantul Yogyakarta, 2016.

Anda mungkin juga menyukai