Anda di halaman 1dari 117

MODUL PANDUAN PEMBELAJARAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KGD)

TIM PENYUSUN :
NS. NAZIYAH S.KEP.M.KEP
NS. TOTO SUHARYANTO S.KEP.M.KEP

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
2020
Basic Cardiac Life Support
Basic Trauma Life Support

2
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Daftar isi

Halaman Judul……………………………………………………………………….. i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………… ii
Daftar isi ……………………………………………………………………………….. iii
Materi 1. Etik & Legal Aspek Keperawatan Gawat Darurat………………..
Materi 2. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)……
Materi 3. Bantuan Hidup Dasar…………………………………………………..
Materi 4. Trauma Assessment and Management …………………………….
Materi 5. Airway & Breathing Management ………………………………….
Materi 6. Penatalaksanaan Trauma …………………………………………….
6.1. Trauma kepala & Spinal ……………………………………………..
6.2. Trauma Thorax ………………………………………………………….
6.3. Trauma Abdomen ……………………………………………………..
6.4. Trauma Muskuloskeletal ………………………………………………
6.5. Luka Bakar ………………………………………………………………
Materi 7. Penatalaksanaan Gangguan Sirkulasi …………………………….
Materi 8. Penatalaksanaan Kegawat Daruratan Kardiovaskuler ……….
Materi 9. Penatalaksanaan Proses Rujukan ……………………………………
Materi 10. Triage …………………………………………………………………….
Referensi ………………………………………………………………………………

3
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Etik & Legal Aspek

Ada beberapa hal yang harus diketahui dan menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan
(perawat) di dalam melaksanakan fungsinya, diantaranya adalah tentang Etika dan Hukum.
Etika dan Hukum adalah 2(dua) buah norma yang berisi petunjuk bagi manusia di dalam
berbuat dan bertingkah laku terhadap sesamnya. Norma Etika dan Hukum pada dasarnya
berisi perintah (gebod), larangan (verbod) dan kebolehan (mogen) sebagai manifestasi dari
nilai-nilai yang diyakini/dianggap baik atau benar dan nilai yang dianggap tidak baik atau
tercela. Adanya norma Etika dan Hukum pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan, kedamaian, keteraturan, kepastian dan keadilan serta keluhuran budi pekerti
manusia (akhlakulkarimah).
Etika dan Hukum adalah dua noma yang berbeda. Perbedaannya setidak-tidaknya
dapat dilihat dari asal (siapa pembuatnya) dan sanksinya. Norma Etik berasal atau dibuat oleh
anggota kelompok tertentu dalam masyarakat (seperti profesi) sedangkan Norma Hukum
dibuat oleh penguasa (adat/pemerintah) atau lembaga negara yang diberikan kewenangan
untuk membuat hukum. Pelanggaran terhadap norma Etik akan diberikan sanksi oleh
kelompok masyarakat yang DAPAT berupa dikucilkan atau dikeluarkan dari kelompoknya,
sedangkan pelanggaran terhadap norma hukum akan diberikan sanksi berupa sanksi pidana,
perdata, administrasi atau sanksi tata negara.

Aspek Etika dalam Pelayanan Keperawatan Gawat


Darurat 1. Pentingnya Norma Etika dan Kode Etik bagi Perawat
Norma Etika adalah norma yang berisi aturan tingkah laku manusia yang dapat berupa
kewajiban atau keharusan, kebolehan (dapat) atau larangan. Kewajiban berarti mutlak
dilakukan dan bila tidak dilakukan maka akan dipersalahkan dan dapat dikenakan sanksi
tertentu. Kebolehan berarti tidak mutlak untuk dilakukan, melainkan dapat dilakukan dan
dapat juga ditinggalkan tergantung dari pertimbangan pada situasi dan kondisi (sikon)
tertentu. Jika tidak dilakukan tidak dapat dipersalahkan, dan jika dilakukan dan
mengakibatkan kebaikan maka akan mendapatkan pujian. Ukuran untuk membenarkan
perbuatan kebolehan adalah kepatutan/kelayakan. Apakah dalam situasi tertentu sepatutnya
dilaksanakan atau tidak. Sedangkan larangan adalah sesuatu yang tidak diperkenankan untuk
dilakukan. Apabila dilakukan, maka akan mendapat celaan/dipersalahkan dan dapat
dikenakan sanksi.
Penegakan norma etik juga dilakukan oleh internal kelompok masyarakat/
organisasi/profesi yang bersangkutan. Lembaga yang berwenang, prosedur dan tata cara
penegakannya, jenis-jenis sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggaran norma etika juga
ditentukan oleh kelompok masyarakat/organisasi/profesi yang bersangkutan. Hal itu biasanya
diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga (AD/RT) masing-masing atau
dalam peraturan organisasi (PO).

4
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2. Kode Etik Keperawatan
Kode Etik Keperawatan pada dasarnya merupakan bagian dari kode etik pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan itu sendiri dilaksanakan oleh berbagai profesi di bidang
kesehatan seperti Dokter, Dokter Gigi, Bidan, Apoteker, Asisten Apoteker, Analis Farmasi,
Sanitarian, Perawat Gigi, Fisioterapis, Ortotik Prostetik, Nutrisionis, dan lain-lain. Masing-
masing profesi tersebut memiliki kode etik sendiri yang berlaku bagi internal mereka.

Aspek Hukum dalam Pelayanan Kesehatan Oleh Perawat


Setelah Aspek Etik, aspek berikutnya yang perlu diketahui dan dipahami oleh perawat
adalah aspek hukum karena sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa setiap sikap tindak
dan perbuatan warganegara Indonesia termasuk insan Perawat harus sesuai dengan hukum
yang berlaku. Oleh karena itu perawat sebagai bagian dari warganegara Indonesia perlu
mengetahui berbagai ketentuan yang berlaku terutama yang terkait dengan profesinya.
Apabila tidak perawat tidak mengetahui tentang hukum yang berlaku terhadapnya, maka
besar kemungkinan perawat akan digugat atau dituntut di hadapan aparat hukum.
Aspek hukum dalam pelayanan Kesehatan oleh Perawat menurut penulis meliputi
bidang yang sangat luas, antara lain terkait dengan hubungan hukum, yang meliputi
hubungan hukum antara perawat dengan pasien dan/atau keluarganya, hubungan hukum
antara perawat dengan institusi tempat bekerja, hubungan hukum dengan profesi, hubungan
hukum dengan rekan sejawat, hubungan hukum antara perawat dengan profesi lain teman
bekerja, hubungan hukum perawat dengan organisasi profesinta, hubungan hukum dengan
pemeirntah, dengan rumah sakit dan lain-lain. Aspek hukum juga terkait dengan tanggung
jawab dan tanggung ngugat hukum perawat yang meliputi tanggung jawab dari aspek hukum
perdata, aspek hukum pidana dan aspek hukum administrasi. Aspek hukum dalam pelayanan
kesehatan oleh perawat juga terkait dengan perlindungan hukum bagi perawat, pengawasan
terhadap perawat, penegakan hukum/penyelesaian sengketa, dan lain-lain.
Dilihat dari segi pertangungjawaban hukum, sikap tindak perawat dalam melaksanakan
fungsinya meliputi 3(tiga) dimensi atau aspek, yakni aspek hukum pidana, aspek hukum
perdata dan aspek hukum tata usaha negara.

1. Aspek Hukum Perdata


Dari sudut pandang hukum perdata, perjanjian yang dibuat antara perawat/sarana
kesehatan dengan pasien tersebut harus tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian.
Menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) syarat sahnya
perjanjian sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1320, yakni:
(1) Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toesteming van degene die
zich verbinden);
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid om en verbindtenis aan
te gaan);
(3) Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
(4) Karena suatu sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).
Manakala seorang perawat tidak melaksanakan isi perjanjian yang dibuat dengan
pasien (malpraktik), maka menurut Ilmu Hukum Perdata ia dapat digugat dan diminta
pertanggungjawaban hukum. Dasar dalam mengajukan gugatan untuk meminta
5
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
pertanggungjawaban perawat dapat melalui tuduhan wanprestasi (contractual liability)
atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
a. Wanprestasi (Contractual Liability)
Menurut Ilmu Hukum Perdata, wanprestasi dapat berupa :
• Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya.
• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
b. Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige daad)
Mengenai perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad diatur antara lain di
dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan:
Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
menggantikan kerugian tersebut.”
Dalam gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, maka harus dipenuhi sayarat-
syarat sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian yang diderita akibat perbuatan perbuatan tersebut;
d. Ada hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara perbuatan melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita;

2. Aspek hukum Pidana


Aspek Hukum Pidana dalam pelayanan ksehatan oleh perawat adalah aspek yang
terkait dengan perbuatan yang dilarang menurut hukum pidana, yakni oleh ketentuan-
ketentuan di dalam KUHP maupun di dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar
KUHP. Beberapa ketentuan hukum pidana yang terdapat di luar KUHP terkait dengan
pelayanan kesehatan oleh perawat adalah ketentuan yang terdapat di dalam UU Kesehatan,
UU Keperawatan, UU Rumah Sakit dan lain-lain. Dalam beberapa ketentuan tersebut
terdapat sejumlah perbuatan yang dilarang dan apabila dilanggar oleh perawat ketika
memberikan pelayanan kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana
dan dapat dikenakan sanksi pidana. Contohnya :
• Pasal 531 KUHP - menyaksikan seseorang dalam bahaya maut yang
mengancam pada saat itu juga mengalpakan memberi atau mengadakan
pertolongan jika orang yang perlu ditolong jadi mati, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,-).
• Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan : Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)

6
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
• Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 : Dalam keadaan gawat
darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang
tidak sadar dan tidak didampingi keluarga pasien, tidak perlu persetujuan dari
siapapun.

3. Aspek Hukum Administrasi


Beberapa ketentuan Hukum Adminsitrasi yang yang harus diperhatikan dan dipatuhi itu
antara lain adalah ketentuan yang terdapat di dalam UU Keperawatan (UU Nomor 38 tahun
2014). UU ini menyebutkan beberapa kewajiban perawat yang kalau tidak dipenuhi, maka
mereka diancam dengan sanksi hukum administrasi, contohnya adalah pada Pasal 18 ayat
(1): Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR.
Sanksi bagi perawat yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan tersebut menurut Pasal
58 UU Keperawatan adalah sanksi administratif yang dapat berupa: teguran lisan; peringatan
tertulis; denda administratif; dan/atau pencabutan izin.
Untuk menghindari terjadinya tuntutan terhadap perawat dari pasien, maka sepatutnya
setiap perawat mengetahui norma-norma etika yang tertuang di dalam Kode Etik Perawat dan
harus mengetahui aturan-aturan hukum yang terkait dengan pelaksan pelayanan terhadap
masyarakat. Kecuali itu, perawat juga harus menguasai standar pelayanan, standar profesi
dan standar prosedur operasional.
Perawat juga hendaknya selalu berupaya untuk meningkatkan ilmu dan keterampilan,
mengingat semakin kompleksnya penyakit yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang
membutuhkan pelayanan secara lebih profesional berdasarkan ilmu dan skill yang selalu
terbaharui

7
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari
unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit.
Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb
saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas
medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.

SPGDT dibagi menjadi :

SPGDT-S (Sehari-Hari)
SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait yang
dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah Sakit dan terjalin
dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/pasien tetap hidup. Meliputi berbagai rangkaian
kegiatan sebagai berikut :
1. Pra Rumah Sakit
1. Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat
2. Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita gawat
darurat untuk mendapatkan pertolongan medik
3. Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam
khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain-lain)
4. Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat
kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulan)
2. Dalam Rumah Sakit
1. Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit
2. Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan)
3. Pertolongan di ICU/ICCU
3. Antar Rumah Sakit
1. Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan)
2. Organisasi dan komunikasi

SPGDT-B (Bencana)
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan Rumah Sakit dalam
bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada terjadinya korban
massal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari-hari. Bertujuan
umum untuk menyelamatkan korban sebanyak banyaknya.

8
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Tujuan Khusus :
1. Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali
dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
2. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai.
3. Menanggulangi korban bencana.

Prinsip mencegah kematian dan kecacatan :


1. Kecepatan menemukan penderita.
2. Kecepatan meminta pertolongan.
Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :
1. Ditempat kejadian.
2. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
3. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.

9
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Bantuan Hidup Dasar

Definisi
Henti jantung didefinisikan sebagai hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa
terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu
kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak
(American Heart Association,2010). Dalam literature lain disebutkan bahwa serangan jantung
adalah kondisi dima jantung secara tiba tiba berhenti memompa darah ke sekeliling tubuh yang
umumnya disebabkan oleh gangguan sinyal listrik pada jantung . Saat jantung berhenti memompa
darah, otak akan kekurangan oksigen. Hal ini menyebabkan pasien akan jatuh pingsan dan
berhenti bernapas (British Hearth Foundation, 2018).

Prefalensi
Masalah penyakit kardiovaskuler mrupakan masalah global yang terus berkembang setiap
saat. Organisasai kesehatan dunia telah memperkirakan lebih dari 17 orang menderita
serangan jantung (Cardiac arrest) di luar lumah sakit setiap tahunnya dengan penyebab yang
beraneka ragam. Masalah henti jantung merupakan masalah kesehatan yang krusial baik di
belahan dunia maju maupun berkembang. Asosissiasi jantung Amerika (AHA)
memperkirakan, kejadian henti jantung telah merenggut lebih dari 400.000 jiwa setiap
tahunnya. Di Indonesia, belum didapatkan angka yang pasti, namun diperkirakan lebih dari 30
kejadian henti jantung terjadi setiap harinya di Indonesia.

Etiologi
Penyebab paling umum dari serangan jantung adalah irama jantung abnormal yang
mengancam jiwa yang disebut ventricular fibrillation (VF) dan Ventricullar tachycardia tanpa
nadi (VT). Adapun beberapa penyakit dan kejadian lain yang diduga berhubungan dengan
kejadian henti jantung adalah :
coronary heart disease/ACS
heart attack/AMI
cardiomyopathy and some inherited heart conditions
congenital heart disease
heart valve disease
• acute myocarditis (inflammation of the heart muscle)
heart conduction (Long QT syndrome, WPW).
• drug overdose(Narcotic)
• Pendarahan yang hebat
• drowning.

10
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Suharsono dan Kartikawati (2009) memaparkan beberapa factor resiko terjadinya
henti jantung antara lain:
a. Faktor resiko utama yang tidak dapat diubah:
1. Keturunan
2. Jenis kelamin laki laki
3. Bertambahnya usia
b. Faktor resiko utama yang dapat diubah:
1. Merokok
2. Hipertensi dan Miabetes Melitus
3. Kadar kolesterol darah yang tinggi
c. Faktor resiko lain yang dapat dimodifikasi:
1. Kegemukan
2. Kurang aktifitas fisik
3. Stres

Tanda gejala
Biasanya tidak ada gejala sebelum serangan jantung dan, tanpa perawatan segera, ini akan
berakibat fatal. Jika seseorang terkena serangan jantung mungkin akan terjadi gejala sebagi
berikut:
• Pasien tidak akan sadar
• Pasien tidak akan responsive/ tidak berespond terhadap rangsang
• Pasien tidak akan bernafas, atau bernapas normal.

11
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penanganan
Penangana pasien dengan henti jantung tidak akan terlepas dari penggunaan rantai
kehidupan atau Chain of Survival . ranta kehidupan merupakan panduan urutan langkah
langkah penatalaksanaan henti jantung. AHA telah merekomendasikan pemisahan langkah
langkah antara penanganan hentui jantung di dalam dan diluar rumah sakit.

Stuktur pelayanan akan sangat berbeda dalam dua kondisi di atas. Pada pasien OHCA (Out
Of Hospital cardiac Arrest) akan sangant mengandalkan dukuangan pertolongan dari orang di
sekitarnya yang mungkin tidak memahami tentang pemberian bantuan hidup dasar baik
mengenali serangan, memanggil bantuan, mengoprasika ndefibrilator dan melakukan CPR
hingga petugas yang bertanggung jawab tiba. Berbanding terbalik dengan OHCA, pada
kejadian HCA (Hospital cardiac Arrest) pasien lebih bergantung pada pemantauan yang baik
dalam menanggapi serangan yang mungkin terjadi dan interaksi yang baik dari system
pendukung multi disiplin yang ada dalam lingkungan rumah sakit tersebut. Naming secara
umum, rantai keselamatan tersusun atas upaya pengenalan dini gejala henti jantung,
memnggil bantuan, melakukan CPR, defibrilasi dan penanganan lanjut post henti jantung di
layanan yang memadai.

12
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
1. Pengenalan kejadian henti jantung
Pada tahap ini, penolong harus mampu mangenali gejala henti jantung.
Pengkajian gejala berdasarkan respon dari pasien. Pengenalan kesadaran dapat
dilakukan dengan cara menggoyangkan lembut bahu pasien dan menanyakan
“apakah anda baik baik saja?” atau memberikan perintah sederhana. Pasien dengan
henti jantung mungkin menunjukkan gejala awal berupa pola nafas yang tidak normal
(gasping). Pada penolong orang awam, tidak disarankan untuk mengkaji denyut nadi.
Sedangkan pada penolong tenaga kesehatan, pengecekan denyut nadi boleh
dilakukan dengan rentang maksimal 10 detik (Berg et all, 2010).
Segera setelah tanda henti jantung dikenali, penolong harus segera
menghubungi pelayanan gawat darurat untuk mendapatkan bantuan segera dan
memulai CPR. Jika penolong lebih dari satu orang, penolong kedia dapat segera
menghubungi pelayanan kegawat daruratan terdekat dan mengakses befibrilator
(AED) selagi penolong pertama melakukan CPR segera.

2. Melakukan CPR dan AED (Automater External Defibrilator)


Cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan prosedur darurat mendadak yang
membutuhkan respon yang cepat dan efisien, dan membutuhkan personil khusus
yang terlatih dalam menangani pasien dalam keadaan henti jantung guna
mempertahan kan aliran darah ke organ penting selama jantung mengalami gangguan
fungsi mekanistisnya. CPR dilakukan dengan dengan menggabungkan kompresi dan
ventilasi dengan jumlah tertentu sesuai dengan usia pasien dan jumlah penoong (
dewasa dan anak anak).
Posisi kompresi dewasa

13
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Melakukan kompresi pada bayi

Melakukan ventilasi

14
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pada pasien dewasa, tindakan CPR dilakukan menurut algoritma sebagai berikut.

15
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pada pasien anak anak, CPR dapat diberikan dengan satu atau dua penolong. Pada
CPR yang dilakukan dengan satu orang penolong sebagai berikut:

16
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Apa bila terdapat penolong kedua, maka prosedur CPR akan berubah mengikuti
guideline berikut:

17
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Baik pada CPR dewasa dan anak anak, AED digunakan segera setelah tersedia. AED
akan menganalisa apah gelombang listrik yang sedang berlangsung pada pasien
mampu untuk dinetralisir atau tidak. Gelombang umum yang merupakan indikasi
penggunaan ED adalah VT dan VF tanpa nadi. Apabila bentukan gelombang yang
terjadi adalah Asystole dan PEA maka penggunanan AED tidak dapat dilakukan (Non
Syockable rhytm). Secara ringkas, panduan melakukan CPR adalah sebagai berikut:

18
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Selama melakukan CPR, hendaknya penolong memperhatikan beberapa hal berikut untuk
memaksimalkan CPR yang dilakukan.

19
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Trauma Assessment & Management

20
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Primary Survey (Penilaian Primer)
Penilaian primer harus dilakukan sebelum kita menentukan tindakan yang akan
kita lakukan, dengan melakukan Penilaian primer kita akan tahu tindakan prioritas
yang harus segera dilakukan pada korban.
Berdasarkan Guideline International Trauma Life Support, Penilaian Primer terbagi
menjadi beberapa langkah diantaranya adalah Scene Size-Up, Initial Asessment,
kemudian dilanjutkan dengan Rapid Trauma Survey atau Focus Examination.
Pemilihan langkah RTS atau Focus Exam ditentukan oleh Mechanism of Injury (MOI).
Apabila kita tidak mengetahui MOI yang terjadi, maka kita melakukan Rapid Trauma
Survey, tetapi apabila kita mengetahui dengan pasti MOI, maka kita melakukan
Focus Exam dengan tujuan mempercepat pertolongan yang kita lakukan.

Scene Size-Up
Scene Size-Up adalah langkah pertama sebelum memulai sebuah Assessment
atau Penilaian awal korban, hal ini juga menentukan keberhasilan pertolongan yang
anda lakukan.
Di langkah ini anda perlu memastikan 5 hal sebelum melakukan semua tindakan, yaitu
: Alat Pelindung Diri (Standart Precaution), Keamanan Lingkungan (Scene Hazard),
Jumlah Korban yang akan anda tolong (Number of Patient), Kemungkinan kebutuhan
alat tambahan (Need for more help equipment), dan Mekanisme Terjadinya
Kecelakaan (Mechanism of Injury).
Saat anda datang menemui korban, anda mungkin tidak memiliki banyak waktu untuk
menyediakan semua peralatan yang anda butuhkan. Untuk alasan itu, ada baiknya
anda menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan standby di ambulan dalam satu
trauma box yang dapat secara praktis dibawa menuju korban.

Initial Assessment
Initial Assessment dilakukan dengan menilai 5 hal dan harus dilakukan dengan
cepat. 5 hal yang dimaksud adalah General Impression, Level Kesadaran (Level of
Conciousness/ LOC), Airway, Breathing, dan Circulation.
General Impression ; Menilai kondisi umum korban saat ditemukan, meliputi :
Perkiraan umur, Jenis Kelamin, Perkiraan berat badan, Kondisi umum tubuh korban,
Posisi saat ditemukan, Kesulitan evakuasi korban, Cedera yang tampak, dan Warna
kulit. Di langkah ini juga dapat memungkinkan kita melihat adanya perdarahan
eksternal massif yang mengancam nyawa.
Level of Conciousness (LOC) atau level kesadaran dapat menggunakan
metode A-V-P-U (Alert-Verbal-Pain-Unresponsive) disertai dengan kemungkinan
penyebab adanya penurunan kesadaran apabila ada.
Airway (With C-Spine Control); menilai jalan nafas, kondisi setiap korban bisa
berbeda beda. adakah suara nafas tambahan seperti Snoring, Gurgling, Stridor atau
Tidak ditemukan suara nafas sama sekali. Apabila korban dapat berbicara,
kemungkinan besar jalan nafas dapat diketegorikan aman, namun langkah Look,
Listen and Feel harus tetap dilakukan untuk memastikan jalan nafas aman. Penolong
21
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
kedua dapat memposisikan kepala dan leher agar penilaian dapat dilakukan dengan
tepat. Dalam kondisi trauma, tidak dianjurkan menggunakan Head Tilt – Chin Lift untuk
membuka airway, sebaiknya menggunakan tehnik Jaw trust atau Modifikasi Jaw Trust.
Breathing ; apakah ada pernafasan?, apabila ada,bagaimana frekuensi
nafasnya, kedalamannya dan kemungkinan penggunaan otot bantu nafas saat
ditemukan. Lihatlah pergerakan dada, apakah ada pergerakan, ekspansi dada
maksimal? Bagaimana dengan kesimetrisannya?.
Apabila korban tidak bernafas, penolong kedua dapat melanjutkan untuk memberikan
bantuan Ventilasi, Pastikan korban mendapatkan ventilasi yang baik (satu kali ventilasi
setiap 6 detik dengan volume ventilasi sekitar 500 cc).
Circulation ; untuk menilai sirkulasi, kita dapat mengecek adakah Nadi Karotis
ada atau tidak. Bagaimana Frekuensi nadi, Kualitas nadinya, Regularitas nadi,
Temperatur akral, Moisture, dan Capilary Refill Time (CRT). Masalah terbesar dalam
fase ini yang perlu dengan cepat ditemukan adalah perdarahan, baik eksternal
maupun internal. Untuk itu cek dengan benar apakah ada perdarahan internal ataupun
eksternal.

Secondary Survey (Penilaian Sekunder)


Pada tahap ini pemeriksaan yang dilakukan lebih komprehensif dibandingkan
dengan Penilaian primer. Tujuannya adalah untuk menemukan kemungkinan injuri
tambahan yang terlewatkan di penilaian primer. Penilaian sekunder adalah salah satu
tahap yang dapat dilakukan apabila korban dalam kondisi stabil dan tidak dalam
keadaan load and go. Anda mungkin tidak memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan penialian ini karena beberapa kondisi, sehingga pada beberapa kasus
penilaian sekunder tidak dapat dilakukan di tempat kejadian atau di ambulan.
Beberapa catatan penting pada tahap ini adalah :
a. Penilaian ini dilakukan setelah semua rangkaian penilaian primer dilakukan.
b. Apabila korban dalam kondisi stabil, maka anda memiliki waktu untuk melakukan
penilaian sekunder secara menyeluruh di tempat kejadian.
c. Jika korban dalam kondisi Load and Go, maka jangan memaksakan untuk
melakukan penilaian sekunder. Lanjutkan pemeriksaan sekunder didalam
ambulan. Jika didalam ambulan anda tidak memiliki banyak waktu, cukup lakukan
Ongoing Exam.

Prosedur Secondary Survey


1. Ulangi Initial Assessment
2. Pasang monitor jantung, Pulse Oxymeter, dan Penilaian CO2)
3. Catat Vital Sign . dan lakukan analisis cepat terhadap perubahan Vtal Sign yang drastis
4. Lakukan penilaian Neurologi : LOC, Pupil, Motorik, Sensation.
5. Lakukan pemeriksaan Head to toe yang lebih detail. Berikan perhatian yang lebih pada
keluhan korban dan pastikan semua dalam kondisi stabil ; DCAP-BLS, TIC.

22
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Ongoing Exam
Setelah kita memastikan bahwa korban dalam kondisi Load and Go, maka kita
perlu dengen segera membawa korban ke tempat pelayanan emergency dengan
peralatan yang lebih lengkap. Namun selama proses transport, sangat memungkinkan
terjadi perubahan perubahan kondisi korban sehingga perlu dilakukan Ongoing Exam.
Pada korban kritis yang tidak stabil, anda perlu melakukan Ongoing Exam setidaknya
setiap 5 menit, sedangkan pada korban stabil anda perlu melakukan Ongoing Exam
setiap 15 Menit.
Beberapa informasi tambahan yang perlu anda kumpulkan saat Ongoing Exam adalah
waktu /kapan korban dipindahkan ke Ambulan, Waktu/ Kapan intervensi dikerjakan,
Waktu/kapan terjadi perubahan kondisi korban selama transport.
Beberapa sumber mengidentikkan Ongoing Exam sebagai pengulangan proses Initial
Assessment tetapi prosedurnya dilakukan lebih detail sampai mengecek kepatenan
intervensi yang telah dilakukan.

Prosedur Ongoing Exam


1. Tanyakan kepada korban apakah ada perubahan kondisi yang dirasakan. Lengkapi
“SAMPLE”apabila data anda belum lengkap.
2. Nilai kembali status mental (LOC dan pupil), jika memungkinkan cek glukosa darah dan
cek kembali GCS
3. Nilai kembali kepatenan Airway, efektifitas Breathing, dan Circulation.
4. Nilai kembali bagian abdomen apabila ada kemungkinan injuri pada bagian ini.
5. Cek kembali injuri yang telah ditemukan, seperti adanya laserasi, PMS pada injuri
ekstremitas, flails, pneumothorax, open chest wound, dan injuri lainnya)
6. Cek kembali intervensi yang telah dilakukan, pastikan semua intervensi efektif.

23
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Airway & Breathing Management

A. Anatomi Sistem Pernapasan


Respirasi adalah proses pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme
tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Saluran pernapasan terbagi atas beberapa bagian yaitu:
1. Saluran Nafas Bagian Atas

Rongga hidung
Merupakan selaput lendir respirasi (terdiri
dari: Psedostrafied ciliated columnar
epithelium) yang berfungsi menggerakkan
partikel partikel halus kearah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang
berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan
udara). Ketiga hal tersebut dibantu
dengan concha. Kemudian udara akan
diteruskan ke:

a. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius).


b. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal
lidah).
c. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan).
Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada
keadaan tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami
proses penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan
terjatuh kebelakang rongga mulut. hal ini dapat menyebabkan gangguan pada
airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah
menyumbat airway.

24
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2. Saluran Nafas Bagian Bawah

a. Laring: Terdiri dari Tulang


rawan krikoid, Selaput/pita
suara, Epigotis, Glotis.
b. Trakhea: Merupakan pipa
silider dengan panjang ± 11 cm,
berbentuk ¾ cincin tulang
rawan seperti huruf C. Bagian
belakang dihubungkan
oleh membrane
fibroelastic menempel pada
dinding depan usofagus. Pada
bayi, trakea berukuran lebih
kecil, sehingga tindakan
mendongakan kepala secara
berlebihan (hiperekstensi)
akan menyebabkan sumbatan pada airway.
c. Bronkhi: Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih
dekat dengan trachea. Bronchus kanan bercabang menjadi: lobus superior,
medius, inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior daninferior
d. Epiglotis: Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran
kecil yang dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring pada
saat makanan atau minuman masuk melalui mulut, sehingga akan
diteruskan ke esofagus. Tetapi, pada keadaan tertentu seperti trauma atau
penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga
dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring yang dapat
mengakibatkan tersedak.

3. Alveoli
Terdiri dari: membran alveolar dan ruang interstisial. Membran alveolar:
a. Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli
b. Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang
menghasilkan surfactant.
c. Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling
berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam
rongga endotel

25
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
d. Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh: endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
Aliran pertukaran gas: Proses pertukaran gas berlangsung
sebagai berikut: alveoli epitel alveoli « membran dasar « endotel kapiler
« plasma « eitrosit. Membran « sitoplasma eritrosit « molekul
hemoglobin.Surfactant: Mengatur hubungan antara cairan dan gas.
Dalam keadaan normal surfactant ini akan menurunkan tekanan
permukaan pada waktu ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat
dihindari.
4. Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis dan mengalirkan darah arterial melalui vena pulmonalis kembali
ke ventrikel kiri.
5. Bronkus dan paru
Merupakan jalinan atau susunan bronchus, bronkhiolus terminalis
bronkhiolus respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik.
Pada alveolus akan terjadi pertukaran oksigen dengan karbondioksida.
6. Rongga dan Dinding Dada
Rongga ini terbentuk oleh:
a. Otot-otot interkostalis
b. Otot -otot pektoralis mayor dan minor
c. Otot- otot trapezius
d. Kosta- kosta dan kolumna vertebralis
e. Kedua hemi diafragma.
Yang secara aktif mengatur mekanik respirasi.

B. Gangguan pada Jalan Napas (Airway)


Airway merupakan komponen yang penting dari sistem pernapasan
adalah hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru.
Sehingga Penilaian jalan napas (Airway) pada korban yang pertama kali
adalah:
1. Mendengarkan apakah ada suara nafas tambahan
2. Apakah jalan nafas terbuka
3. Lindungi C-spin
Tanda-tanda sumbatan pada jalan nafas yaitu:
1. Bagian atas
a. Snoring: suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh
ke belakang.
b. Gurgling: seperti orang berkumur dimana dikarenakan adanya cairan
atau darah.
26
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
c. Stridor .

2. Bagian bawah
a. Rales/ronchi : suara tambahan yang dihasilkan oleh aliran udara
melalui saluran nafas yang berisi sekret/eksudat atau akibat saluran
nafas yang menyempit atau oleh edema saluran nafas
b. Wheezing: seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di
bronkusnya.
c. Stridor (penyempitan jalan napas) : suara pernapasan bernada tinggi
yang disebabkan oleh sumbatan di tenggorokan atau kotak suara
(laring).

C. Pengelolaan/penatalaksanaan airway dan ventilasi


Saat initial assessment pada airway, penderita yang mampu berbicara
memberikan jaminan bahwa airwaynya terbuka dan tidak dalam keadaan yang
berbahaya. Oleh karena itu, tidakan awal yang paling penting adalah dengan
mengajak penderita berbicara dam memancing jawaban verbal. Suatu respon
verbal yang positif dan sesuai menunjukkan bahwa airway penderita terbuka,
ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Kegagalan untuk berespon memberikan
kesan suatu gangguan tingkat kesadaran atau airway/ventilasi yang
mengalami.
1. Identifikasi tanda-tanda objektif-sumbatan airway
a. Lihat (look) apakah penderita mengakami agitasi atau tampak bodoh.
Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan tampak bodohmemberi
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan
otot-otot nafas tambahan yang, apabila ada, merupakan bukti tambahan
adanya gangguan airway
b. Dengar (listen) adanya suara abnormal. Pernafasan yang berbunyu
(suara nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring) berkumur(gargling) dan bersiul (crowing sound,
stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring
atau laring. Suara parau (hoarseness dysphonia) menunjukkan
sumbatan pada laring. Penderita yang melawa dan kata-kata kasar
(gaduh dan gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/ mabuk
c. Raba (feel) lokasi trakhea dan dengan cepat tentukan apakah trakhea
berada di tengah.

27
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2. Identifikasi Tanda-tanda Objektif-Ventilasi yang tidak adekuat
a. Lihat (Look) Asimetri menunjukkan pembelatan (splinting) atau .flail
chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap
oksigenasi penderita.
b. Dengar (Listen) Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada
satu atau kedua hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera
dada.
c. Raba (feel) Gunakan pulse oxymeter Memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan
adanya ventilasi yang adekuat.

D. Pengelolaan Jalan Nafas


1. Teknik-teknik mempertahankan airway tanpa Alat
Prosedur -prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris.
a. Chin lift
Jari-jemari salah satu
tangan diletakkan di bawah
rahang, yang kemudian secara
hati- hati diangkat keatas untuk
membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama,
dengan ringan menekan bibir
bawah utuk membuka mulut. Ibu
jari juga dapat diletakkan di
belakang gigi seri bawah dan secara bersamaan, dagu dengan hati- hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperektensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas tulang leher atau mengubah patah
tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

b. Sapuan Jari (Finger Sweep)


Membebaskan jalan napas yang tersumbat
akibat benda asing dalam rongga mulut bagian
belakang (hipofaring)

28
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
c. Jaw thrust
Maneuver mendorong rahang di lakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah kiri dan kanan dengan maksimal, dan mendorong rahang bawah
kedepan. Bila cara ini
dilakukan sambil
memegang masker dari alat
bag-valve, dapat dicapai
kerapatan yang baik dan
ventilasi yang adekuat.

d. Modified Jaw Trust


Biasanya digunakan pada korban trauma, dimana maneuver jaw trust tidak
memungkinkan dilakukan karena
kecurigaan adanya cedera spinal,
Maneuver ini dilakukan dengan
mengangkat sudut rahang bawah kiri
dan kanan kemudian mendorong
rahang dan mendorong rahang bawah
kedepan. Posisi ini akan lebih aman
digunakan pada korban dengan
kemungkinan cidera spinal.

2. Teknik-teknik mempertahankan airway dengan Alat


a. Airway orofaringeal
Airway oral disisipkan kedalam
mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula
lidah untuk menekan lidah dan
menyisipkan airway tersebut kebelakang.
Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang yang justru akan membuntu
airway.
Teknik lain adalah dengan menyisipkan airway oral secara terbalik,
sehingga bagian yang cekung mengarah ke kranial sampai didaerah pallatum
molle. Pada titik ini alat diputar 180°, bagian cekung mengarah ke kaudal , alat
diselipkan ketempatnya di atas lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-
anak,karena rotasi alat ini dapat mencederai mulut dan faring.

29
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
b. Airway nasofaringeal
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih
memberikan respon airway nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway
orofaringeal karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya di lumasi baik-baik,kemudian
disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan
dirasakan selama pemasangan airway,hentikan dan coba melalui lubang
hidung satunya. Bila ujung dari pipa
nasofaring bisa tampak di orofaring
posterior , alat ini dapat menjadi sarana
yang aman untuk pemasangan pipa
nasogastrik pada penderita dengan
patah tulang wajah.

c. Laryngeal mask airway (LMA)


LMA bukan airway definitif.
Pemasangan alat ini cukup sulit dan
memerlukan latihan yang cukup. Peran alat
ini dalam resusitasi penderita belum jelas.
Bila penderita terpasang alat ini, maka
setelah penilaian penderita, harus
dipertimbangkan untuk membuka dan
diganti dengan airway definitif, atau
membiarkan alat ini di tempatnya.

30
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
E. Airway definitif
Terdapat 3 macam airway definitif, yaitu ; pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgical ( cricotiroidotomi / trakeostomi ). penentuan pemasangan airway
definitif didasarkan pada penemuan – penemuan klinis antara lain :
1. Adanya apneu
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas ddengan cara – cara yang
lain.
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus.
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut dari
cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoretrofaringeal, atau kejang – kejang
yang berkepanjangan.
5. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas ( GCS < 8 )
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah.
Bantuan ventilasi yang berlangsung lama, akan dipermudah dengan tambahan
sedasi, analgesik, atau pelemas otot, sesuai indikasinya.
Tabel - Indikasi Airway Definitif.
Kebutuhan untuk perlindungan airway Kebutuhan untuk ventilasi
Tidak sadar Apnea
• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar
Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat
• Takipnea
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Sianosis
Bahaya aspirasi Cedera kepala tertutup berat yang
• Perdarahan membutuhkan hiperventilasi
• Muntah – muntah singkat, bila terjadi penurunan
keadaan neurologis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Cedera laring, trakea
• Stridor

31
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Airway Definitif-Intubasi Endotrakeal
Penting untuk memastikan ada atau tidaknya fraktur ruas tulang leher, tetapi
pengambilan foto servikal tidak boleh mengganggu atau memperlambat pemasangan
airway definitif bila indikasinya telah jelas.
Penderita yang mempunyai skor GCS 8 atau lebih rendah harus di intubasi. Apabila
tidak diperlukan intubasi segera, pemeriksaan foto servikal dapat dilakukan. Tetapi,
foto servikal lateral yang normal tidak menyingkirkan adanya cedera ruas tulang leher.
Persiapan alat
- Selang endotrakeal (ETT)
- Laringoskop (laryngoscope)
- Ambu bag
- Stetoskop
- Cuff inflator atau spuit 10 cc
- Mandrin / Stylet
- Jelly
- Sarung tangan
- Plester

Prosedur :
• Preoksigenasi dengan oksigen 100% memakai ambu bag
• Lumasi ETT dengan jeli
• Sambungkan blade dan handle laringoskop
• Pegang laringoskop di tangan kiri dan ETT di tangan kanan
• Masukkan blade dan angkat epiglottis
• Masukkan & dorong ETT masuk ke trakea
• Evaluasi ujung ETT dengan melakukan ventilasi lewat ambu bag dan auskultasi 5 area
(apek kiri & kanan, basal kiri &kanan, epigastrium).
• Fiksasi ETT dengan mengembangkan balon memakai spuit yg berisi 6-10 ml udara ke
ujung inflating tube
• Amankan ETT pipa pada sudut mulut dan fiksasi luar dengan plester

32
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
F. Metode Pemberian Oksigen
Metode Konsentrasi Kecepatan
Oksigen Aliran (Flow)

Low-Flow Nasal Kanul • 24 - 45% (rendah) 1-6 liter/menit.


Low-Concentration • Naik 4% setiap
kenaikan aliran 1
liter/mnt
Low-Flow Simple mask 40 - 60 % 6-10 L/menit
High-Concentration (sungkup
sederhana)

Rebreathing 60 - 80% 6-10 L/menit


mask (NRM)
Non- 80 - 100% 8-12 L/menit.
rebreathing
mask (NRBM)

G. Metode Pemberian Oksigen

(Kanula) (Simple Mask)

(Rebreathing Mask) (non Rebreathing)

33
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penatalaksanaan Trauma

TRAUMA KEPALA
Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disebabkan
karena mengalami trauma tumpul atau penetrasi yang dapat menimbulkan kelainan struktural
dan atau fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran dan
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fisik (Brain Injury Association of America,
2012; Marx, Hockberger, & Walls, 2014; Muttaqin, 2008). Cidera kepala didefinisikan sebagai
deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak,
akibat percepatan atau perlambatan (Harsono, 1993) dalam literature lain disebutkan bahwa
Cidera kepala didefinisikan serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi selama trauma
kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Sardjito, 2003). Cedera kepala didefiniskan sebagai cedera tumpul dan atau cedera
penetrasi di area kepala (di atas leher) dan atau cedar otak yang berhubungan dengan
energy dari luar dengan gangguan otak sementara atau permanen yang disertai dengan
ataupun tanpa perubahan strktural pada otak.
Dimana kata kunci dari cedera kepala adalah adanya mekanisme (energy eksternal),
kriteria anatomi (kulit kepala dan atau wajah dan atau tulang kepala dengan atau tanpa
cedera otak internal maupun eksternal) dan kriteria fisiologi (gangguan fisiologi otak seperti
penurunan kesadaran dan amnesia) (Malaysia Health Technology Assesment Section, 2015).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif. Beban keuangan akan menjadi bertambah akibat banyaknya
kejadian cedera kepala yang menimpa pasien saat masih dalam usia produktif, hal itulah yang
membuat cedera kepala menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat (Faul et al.,
2015).

34
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Dari seluruh angka mortalitas akibat cidera kepala, 50% kematian terjadi pada 2 jam
pertama. Kerusakan neurologis tidak terjadi pada saat terjadinya cidera, namun akan
terbentuk dan berkembang selama menit , jam atau hari berikutnya. Cedera otak sekunder ini
dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas dan cedera yang melumpuhkan. Berdasarkan
fenomena di atas, penanganan awal bagi korban sangat penting untuk mempertahankan
kelangsungan hidup pasien (Brain Trauma Foundation, 2006).
Penanganan di lokasi kejadian, trasportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan
tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya ( Arief, 2000).

Etiologi
Menurut Hammond and Zimmermann (2013) dan Rosjidi, Nurhidayat (2009), etiologi cedera
kepala yaitu:
1. Kecelakaan lalu lintas
Pasien cedera kepala berat yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
sebesar 13% disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.
2. Jatuh
Pasien cedera kepala berat yang masuk ke IGD rumah sakit sebesar 40% karena
jatuh.
3. Trauma benda tumpul
Trauma benda tumpul menyebabkan substansi otak rusak karena energi yang
diteruskan ke substansi otak diserap lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan
tengkorak. Kejadian tersebut terhitung sebesar 16,5%.
4. Trauma benda tajam
Trauma ini dapat menyebabkan trauma area setempat dan menimbulkan cedera lokal.
5. Kecelakaan rumah tangga
Pasien cedera kepala berat yang disebabkan karena kekerasan rumah tangga yang
masuk IGD sebesar 20%.
6. Cedera lahir
Cedera lahir merupakan cedera mekanik yang disebabkan karena proses persalinan
atau kelahiran.

35
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala. Menurut Baroto (2007); IKABI (2004) dalam Prasetyowati et al. (2013); Rosjidi
& Nurhidayat (2009); Soertidewi (2012), ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam
menentukan derajat cedera kepala, yaitu:
1. Mekanisme cedera
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput duramater menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya cedera
Berdasarkan beratnya cedera, cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 (tiga),
berdasarkan Skala Koma Glasgow (GCS). GCS adalah sistem penilaian cepat yang telah
diterima di seluruh dunia dan digunakan untuk menentukan tingkat keparahan cidera
kepala berdasarkan membuka mata, tanggapan verbal dan tanggapan motor terbaik
(Chowdhury, Kowalski, Arabi and Dash, 2014). Klasifikasi tersebut meliputi :

36
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
a. Cedera kepala ringan (CKR)
Cedera kepala ringan ditandai oleh nilai Glasgow Coma Score (GCS) 13-15, dapat
terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia
retrograde, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun
hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
Cedera kepala sedang ditandai oleh nilai GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau
amnesia retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat (CKB)
Cedera kepala berat ditandai oleh nilai GCS lebih kecil atau sama dengan 8,
kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, dapat mengalami
kontusio cerebral, laserasi atau haematoma intrakranial.
3. Morfologi cedera
Secara morfologi cidera kepala dibagi menjadi:
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT-Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain
ekimosis periorbital (racoon eye sign), ekimosis retro aurikuler (Battle sign), kebocoran
Cairan Serebro Spinal (CSS) yang ditandai oleh adanya rhinorrea dan ottorhea, dan
parese nervus fasialis (N. VII).
b. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi lokal dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi lokal meliputi perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio (perdarahan intra cerebral).

Manifestasi klinis
Menurut Hammond dan Zimmermann (2013); Soertidewi (2012), manifestasi klinis
cedera kepala tergantung pada tingkat keparahan dari cedera kepala. Beberapa manifestasi
klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut:
1.Muntah proyektil.
37
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Muntah proyektil terjadi akibat peningkatan tekanan intra kranial. Perdarahan intra
kranial dapat menyebabkan terjadinya Peningkatan Tekanan Intra Kranial (PTIK), akibat yang
ditimbulkan yaitu menekan pusat reflek muntah di medula yang mengakibatkan muntah
proyektil.
2.Pupil anisokor
Pupil anisokor merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ukuran pupil
yang bervariasi pada kedua bola mata. Perbedaan pupil secara umum lebih dari 1 mm yang
timbul secara tiba-tiba dan tidak menghilang merupakan tanda dari jejas pada otak dan
memerlukan penanganan segera, terutama bila disertai gejala muntah serta berkurangnya
fungsi indra penglihatan.
3.Hemiparesis
Hemiparesis disebabkan oleh cerebral palsy (kerusakan otak). Kerusakan otak ini bisa
terjadi akibat kecelakaan ataupun kelahiran secara prematur. Hemiparesis kanan terjadi jika
kerusakan otak pada sisi kiri, yang berfungsi untuk mengontrol bahasa dan berbicara.
Hemiparesis kiri terjadi jika kerusakan otak pada sisi kanan, yang berfungsi untuk mengontrol
proses belajar, beberapa jenis perilaku juga komunikasi verbal.
4.Reflek patologis
Reflek patologis babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada
gambaran CT-Scan kepala akan didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intra kranial)
umumnya didaerah temporal dan berbentuk cembung.
5.Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tingkat kesadaran terjadi pada pasien cedera kepala akibat perdarahan
yang terjadi pada kepala. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera
pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping PTIK juga dapat menurunkan tingkat
kesadaran.
6. Bingung
Keadaan bingung pada pasien cedera kepala disebabkan karena defisit neurologis
yang dialami pasien.
7. Nyeri kepala
Pasien dengan cedera kepala akan mengalami nyeri pasca trauma. Perdarahan intra
kranial dapat menyebabkan PTIK, sehingga mengakibatkan timbul nyeri kepala yang hebat
karena ada desakan jaringan disekitar jaringan otak.
8. Perubahan tanda vital

38
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pada pasien cedera kepala dengan frekuensi pernafasan yang cepat dapat
memperburuk prognosis pasien. Hiperventilasi dapat disebabkan oleh gangguan intra kranial.
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola nafas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa nafas
berbunyi, stridor, ronchi, wheezing (kemungkinan aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan nafas. Efek peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) pada
tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi
stimulus parasimpatik ke jantung, sehingga mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat.

Penatalaksanaan

39
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Scene size UP
• Safety
Traffic, Smoke, Electricity, Haz-Mat, Hostile Persons, Weapons, Drugs, Silence
• Body Substance Isolation (BSI)
• Gloves for minimal fluids
• Goggles for eye protection if there’s any chance of splatter
• Mask and Gown for gross contamination
• Number of Patients
• Additional Resources
• Extrication
• Traffic control
• Utilities
• Mechanism of Injury (MOI)
• Ejection from vehicle
• Death in same passenger compartment
• Fall of greater than 15 feet or
3 times the patient’s height
• Rollover of vehicle
• High-speed vehicle collision
• Vehicle-pedestrian collision
• Motorcycle crash
• Unresponsive or altered mental status
• Penetrating injury of head, chest, or abdomen
Initial Assement
• General Impression
• Age, Weight, Gender
• Position (relative to posture and surroundings)
• Activity
• Obvious Injuries/Bleeding
• Mental Status
• Take C-Spine control with in line stabilization
• `GCS < 15
• Parasthesia ekstrimitas
• Kekakuan atau nyeri pada leher
40
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• Deficit neurologis Fokal
• Kecurigaan lain yang berhubungan dengan cidera spinal
• AVPU
• GCS

• Ukuran pupil an isokor memiliki nilai predictive value > 30%
• Airway
• Open if necessary using jaw-thrust maneuver
• Consider oro- or naso-pharyngeal airway
• Note unusual sounds and correct cause
o Snoring – oro-/naso-pharyngeal airway
o Gurgling – suction
o Stridor – consider
intubation o Silence
• Correcting Silence

Attempt ventilation

Reposition

Heimlich

Visualize and remove

Intubate

Trans-laryngeal jet insuflation

• PaCO2 35 – 45mmhg mencegah hipo maupun hiper ventilasi
• SaO2 > 90%
Hypoksemia merupakan factor penting yang diukaitkan dengan perburukan hasil (
kematian dan perburukan hasil diawali dengan SaO2< 90%) . mortalitas
meningka 37% pada pasien dengan hipoksia (chowdury et al. 2014).
• Breathing
• Look, Listen, Feel
• Rate, Rhythm, Depth (tidal volume)
• Use of accessory muscles/retractions
• Treat
o Absent – ventilate x2, check pulse
o < 12/min – assist ventilation
o Decreased tidal volume – assist ventilation
o Labored – oxygen 10 liters NRB
41
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
o Normal or rapid – consider oxygen
• Pemasangan ETT mungkin diperluakn jika:
• Hypoxia yang tidak terkoreksi dengan supplemental oxygen;
• Hypoventilation;
• GCS < 9 (severe TBI); or
• Ketidak mampuan mempatensi adequate airway.
• Circulation
• Asses for pulse ( radial and brachial)
• Rate (slow, normal, fast) rhytm (reg or ireg) and quality (weak, thready,
bounding)
• Skin / peripheral circulation ( color, temperature and moisture)
• Circulation bleeding ( direct pressure, pressure dressing)
• Hipotensi dapat menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder. Dalam
beberapa penelitian disebutkan bahwa kejadian tunggal hipotensi pada pasien
dengan cidera kepala sangat berkaitan erat dengan hasil akhir yang buruk.
Mortalitas 2 x lebih besar pada kejadian severe TBI dengan Hipotensi
(dewald, 2010)
• Tindakan pada fase ini juga meliputi Resusitasi cairan, maintain MAP 65 sd 80
mmhg ( cerebral perfusion/CPP > 60 mmhg dengan batas ICP < 15mmhg) dan
injeksi vasopressin jika diindikasikan. Pillihan cairan cristaloid isotonis.
• Cairan hipertonik salin tidak dianjurkan dalam seting prehospital dikarenakan
belum terdapat bukti yang kuat tending manfaatnya secara signifikan ( dewald,
2010).
Load n go situation
– Poor general impression
– Mental status changes
– Difficulty breathing
– Shock
– Chest pain
– Severe bleeding
– Severe pain

42
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Rapid trauma survey
• Head to toe
• Rapid sweep to identify major injuries which could prove life threatening
• DCAP-BTLS
Focus assement
• Baseline vital signs ( Pulse, RR, Skin color, pupils, blood pressure)
• SAMPLE History
• Focus on and treat injuries found during initial assessment and rapid trauma
assessment as appropriate considering
priority Detailled Psycal exam
• As appropriate, considering priority
• History and vital signs, neurological
• Repeat initial assessment
• Complete critical interventions
• Careful head to toe survey (DCAP/BTLS)
Ongoing assesement
• Subjective changes
• Reassess vital signs:neurological,ABC
• Reassess injuries
• Reassess interventions

43
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
TRAUMA TULANG BELAKANG
Definisi
Tulang belakang normal dapat mengalami tekanan tanpa menimbulkan kerusakan
pada sumsum tulang belakang. Namun,
mekanisme trauma tertentu bisa merusak
pertahanan pelindung, melukai tulang
belakang dan sum-sum tulang.
Mekanisme penyebab yang paling umum
adalah hyperextension, hyperflexion,
compression, dan rotasi. Penyebab
lainnya adalah stres atau gangguan
lateral yang akan melukai kabelnya.

Prevalensi Insiden
Cedera tulang belakang adalah hasil trauma modern yang menyebabkan kecacatan
dan mengancam jiwa. Di Amerika Serikat ada sekitar 250.000 orang dengan cedera tulang
belakang. Sekitar setengahnya lumpuh dari pinggang ke bawah dan setengahnya lumpuh dari
leher ke bawah. Tabrakan kendaraan bermotor berakibat 44% cedera tulang belakang, tindak
kekerasan menyebabkan 24%, jatuh menyebabkan 22%, dan cedera olahraga menyebabkan
8%. Tenggelam menyebabkan lebih dari setengah akibat olahraga yang berhubungan dengan
tulang belakang. sedangkan pada tindak kekerasan telah meningkat lebih dari 50% dalam 15
tahun terakhir, melebihi jumlah korban luka akibat terjatuh. Jika pasien dengan cedera tulang
belakang bertahan, dia bisa kehilangan kemandiriannya.
Mekanisme cedera tulang belakang
Gerakan mendadak dari kepala atau leher akan menghasilkan tekanan yang bisa
merusak tulang atau penghubung komponen jaringan tulang belakang. Cedera pada tulang
belakang seperti luka pada tulang lain di tubuh. Hal ini membutuhkan kekuatan yang lebih,
kecuali ada kelemahan atau cacat tulang sebelumnya. Oleh karena itu, Lansia dan orang-
orang dengan arthritis berat berisiko tinggi mengalami cedera tulang belakang. Seperti luka
tulang lainnya, nyeri adalah gejala yang paling umum, tapi mungkin tanpa disadari oleh
pasien. Hal ini terutama berlaku jika pasien memiliki penyakit lain yang memberatkan cedera.
Di lokasi cedera tulang, kejang otot lokal bisa saja terjadi. Cedera sampai akar saraf individu

44
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
dapat terjadi akibat cedera tulang belakang, dengan hasil nyeri lokal, kelumpuhan, atau
kehilangan sensorik. Karena itu, tanda-tanda itu menunjukkan terjadinya cedera tulang
belakang termasuk nyeri punggung, nyeri tekan di sepanjang tulang belakang, nyeri dengan
gerakan bagian belakang, deformitas jelas atau luka punggung, kelumpuhan, kelemahan,
atau paresthesia (kesemutan atau rasa terbakar pada kulit).
Untungnya, cedera tulang belakang bisa terjadi tanpa melukai sumsum tulang
belakang. Di daerah cervical-spine, jauh lebih umum terjadi cedera cord injury dengan cedera
column injury, dengan hampir 40% cedera column juga memiliki kerusakan pada kabel.
Kebalikannya juga mungkin terjadi, pada cedera kabel itu bisa terjadi pada Tidak adanya
kerusakan tulang belakang yang jelas. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak. Pasien
trauma bawah sadar membawa risiko tinggi (15% sampai 20%) dari cedera spinal column.

Patofisiologi
Cedera tulang belakang menyebabkan fungsi pengondisian sinyal yang salah sebagai
kehilangan fungsi motorik dan refleks, kehilangan atau perubahan sensasi, atau syok
neurogenik. Struktur saraf saluran saraf sumsum yang halus membuatnya sangat peka
terhadap segala bentuk trauma. Cedera tulang belakang primer terjadi pada aat trauma itu
sendiri. Cedera tulang belakang primer berasal dari kabelnya terpotong, robek, atau hancur
atau suplai darahnya terputus. Kerusakannya biasanya ireversibel meski perawatannya sudah
benar. Cedera tulang belakang sekunder terjadi dari hipotensi, hipoksia umum, luka pada
pembuluh darah, pembengkakan, kompresi dari tali pusat dari perdarahan di sekitarnya atau
cedera pada kabelnya gerakan kolom tulang belakang yang rusak dan tidak stabil. Upaya
darurat adalah diarahkan untuk mencegah cedera tulang belakang sekunder melalui
perhatian terhadap ABC, obat-obatan, dan pemindahan pasien secara hati-hati. Mekanisme
Cedera
1. Trauma tumpul di atas klavikula
2. Tenggelam
3. Kecelakaan kendaraan
4. Jatuh
5. Penusukan atau penyesalan di dekat kolom tulang belakang
6. Menembak atau melukai luka di badan
7. Luka kekerasan yang menyebabkan beban pada column tulang belakang atau
kabelnya (Campbell)

45
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Mekanisme cedera tulang belakang terdiri dari hal-hal berikut:
1. Jatuh dari ketinggian dan mendarat tepat di kepala atau tulang belakang
2. Jatuh posisi duduk sehingga mengenai pantat dan tersalur ke tulang belakang
3. Jatuh dari jarak yang lebih besar dari tinggi badan seseorang
4. Posisi dagu yang terlalu menempel ke dada
5. Rotasi yang berlebihan
6. Gerakan menarik / menyentak kepala dari leher secara berlebihan
7. Luka tembak, tusukan atau luka lain yang menembus tubuh di daerah tulang
belakang
8. Perununan kecepatan secara mendadak
9. Cedera apapun yang menyebabkan helm pecah
10. Tenggelam
11. Kecelakaan lalu lintas terutama bagi pengemudi atau penumpang yang tidak
memakai sabuk pengaman
12. Terlempar dari kendaraan atau oleh binatang
13. Tersambar petir
Keluhan Pasien
1. Leher atau sakit punggung
2. Mati rasa atau kesemutan
3. Kelumpuhan atau kelemahan
Tanda pada cidera tulang belakang
1. Sakit pada gerakan punggung atau tulang belakang
2. Kelainan bentuk belakang atau tulang belakang yang jelas
3. Melindungi diri dari gerakan punggung
4. Hilangnya sensasi
5. Otot lemah atau lembek
6. Kehilangan kontrol kandung kemih atau usus
7. Ereksi penis (priapism)
8. Syok neurogenic (Campbell)

46
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pemeriksaan pada korban: , lihat, dengarkan dan rasakan:
Adanya nyeri tulang belakang atau nyeri tekan saat disentuh.
1. Cedera yang jelas pada daerah tulang belakang.
Sensasi yang teraba di ekstremitas, seperti mati rasa, kesemutan, kelemahan,
ketidakmampuan untuk bergerak atau sensasi panas atau dingin yang tidak biasa.
2. Kesulitan pernapasan.
3. Kehilangan kontrol usus.
4. Tanda dan gejala syok.

Penatalaksanaan
Memberikan CARE:
1. Selama memberikan tindakan awal, tetap menjaga kestabilan kepala korban dengan
menempatkan tangan di kedua sisi kepala korban, dengan memegang secara
perlahan dan mempertahankan kepala dalam posisi sama seperti saat korban
ditemukan (manual stabilisasi) (Gambar 5).

47
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2. Kelola ABCDE
a. Gunakan tehnik modify jaw trush untuk membuka atau pertahankan jalan nafas
jika dibutuhkan.
b. Jika Anda harus melepaskan helm korban, perhatikan kepala korban saat
melepaskannya. helm diLepaskan hanya saat:
1) Masker tidak dapat dilepas dengan cepat untuk mendapatkan akses jalan
nafas
2) Desain helm dan tali pada dagu korban, bahkan meskipun korban tidak
menggunakan masker, tidak memungkinkan saluran udara korban terbuka
atau mendapat pernapasan yang cukup.
3) Desain helm dan dagu tidak menahan kepala dengan aman pada tempatnya
(imobilisasi helm tidak juga mengimobilisasi kepala).
4) Helm mencegah imobilisasi korban saat transport dengan posisi yang tepat
3. Cegah cedera lebih lanjut dengan mencegah gerakan pada kepala, leher dan
punggung.
4. Periksa sirkulasi, sensasi dan gerakan sebelum dan sesudah korban bergerak.
5. Ketika bantuan tidak kunjung datang, Anda perlu menggunakan cervical collar untuk
membatasi gerakan korban. Kepala dan tubuh korban tersebut harus tetap lurus.
6. Apabila kepala korban terletak pada posisi yang sulit, luruskan dengan gerakan
perlahan dan hati-hati supaya posisinya sejajar dengan tulang belakang. Hal ini
meningkatkan jalan napas dan membuat imobilisasi lebih mudah.
7. Jika gerakan ini menyebabkan rasa sakit atau terjadi penolakan, hentikan dan
letakkan kepala korban dengan letak seperti itu
48
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
8. Jika orang tersebut ditemukan dalam posisi tubuh ganjil, luruskan tubuh dengan
gerakan lambat dan lembut dari satu bagian tubuh pada satu waktu. Hal ini biasanya
membuat orang tersebut lebih nyaman dan menyediakan imobilisasi yang lebih baik.
9. Setelah tulang belakang sejajar, gunakan cervical collar
10. Gunakan cervical collar jika tersedia, atau membuat sendiri dengan menggunakan
barang yang dibentuk sama seperti pakaian yang digulung, sepotong busa tidur atau
handuk yang digulung

11. Pastikan penahan leher benar-benar melingkar dileher korban. Jika penahan leher
yang dibuat sendiri mrmiliki perbedaan ketebalan , tempatkan bagian yang paling tebal
antara dagu dan dada.
12. Hati-hati jangan sampai memberi tekanan pada trakea (tenggorokan).
13. saat Anda menunggu tandu tiba untuk evakuasi Pertahankan posisi stabil dan lurus,
jika memungkinkan,. Jika tidak memungkinkan, beri tahanan di kedua sisi kepala
untuk mencegah gerakan (misalnya, kantong pasir, wadah air besar).

49
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
14. Bila ada serasah, pastikan orang tersebut bebas dari gerakan apapun di atas serasah.
15. Gunakan bantalan untuk mengisi ruang di bawah lutut, di bagian belakang dan ruang
lain yang akan menyebabkan korban tersebut bergeser
16. Ulangi pemeriksaan fisik langsung secara berkala. Amati dan catatlah setidaknya 24
jam.
17. Memindahkan korban dengan Cedera Kepala atau cedera tulang belakang
Penatalaksanaan pada pasien dengan cidera kepala
Log Roll (Untuk memeriksa cedera)
Log roll dapat digunakan untuk memutar seseorang yang dicurigai terkena cidera luka
tulang belakang. atau untuk memeriksa adanya luka-luka pada bagian belakang. Ini juga bisa
digunakan untuk meletakkan pad di bawah korban, Meskipun memungkinkan satu penolong
melakukan log Roll, namun dua atau tiga penolong akan membuat pekerjaan lebih mudah
dan aman bagi korban tersebut.
Memberikan CARE:
1. Salah satu posisi penolong berada pada kepala korban yang terluka dan
melakukan manual stabilisasi.
2. Atas perintah penolong tersebut, putar korban secara bersamaan, menjaga leher
dan punggung korban tetap sejajar.
3. Pertahahkan posisi korban stabil sementara pemeriksaan luka-luka dilakukan.
4. Putar kembali korban denagnmenggunakan tindakan yang sama.

BEAM (Untuk bergerak jarak pendek)


Teknik body elevation and movement (BEAM) bisa digunakan untuk memindah Seseorang
dengan kemungkinan cedera tulang belakang jarak dekat bila ada penolong lain yang siap
untuk membantu.
Memberikan CARE:
1. Tunjuk dan siapkan tempat dimana korban tersebut akan dibawa.
2. Salah satu posisi penolong berada di kepala korban dan melakukan stabilisasi manual
3. Mintalah penolong lain berlutut di kedua sisi korban tersebut. Penolong secara
perlahan menggeser tangan mereka di bawah orang tersebut.
4. Atas perintah penolong pertama, kelompok mengangkat orang tersebut secara
bersamaan dan mencegah adanya pergerakan tulang belakang korban. Kelompok
tersebut membawa korban tersebut ke tempat yang ditunjuk dan kemudian, penolong

50
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
yang berada di kepala memberikan perintah menurunkan orang tersebut secara
bersamaan.
Perhatian saat Memindahkan korban dengan cidera belakang
1. Satu-satunya alasan untuk memindahkan orang yang cedera tulang belakang ke
tempat yang aman adalahmemperbaiki kenyamanan jangka panjang, memberikan
perawatan yang penting dan / atau untuk melindungi orang tersebut dari lingkungan.
2. Paling sedikit pergerakan adalah yang terbaik. Lebih berbahaya lagi bisa dilakukan
selama Transfer yang tidak tepat daripada melalui tindakan lain yang terkait dengan
pertolongan pertama.
3. Transfer seseorang harus dilakukan hanya bila benar-benar diperlukan atau kapan
risiko cedera lebih rendah.
4. Selalu pastikan jalan nafas terbuka dan pendarahan serius telah dihentikan.
5. Sebelum memindahkan orang tersebut, pastikan rasa sakit dan ketakutan awal telah
mereda dan pastikan untuk meyakinkan orang tersebut.
6. Rencanakan ke depan agar orang tersebut dipindahkan hanya satu kali.
7. Siapkan bahan isolasi atau tempat berlindung sebelum orang tersebut dipindahkan.
8. Latih dan latih proses sebelum memindahkan orang tersebut. Penolong yang
mendukung kepala adalah pemimpin dan harus bertindak dan diperlakukan Dengan
demikian.
9. Perlindungan seluruh tubuh orang harus diyakinkan selama beraktivitas. Itu tubuh
harus dijaga dalam garis lurus.

51
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
52
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Bagan berikut merupakan ringkasan langkah langkah yang harus dilakukan dalam upaya
penanganan pasien dengan dugaan trauma spinal menurut ITLS (2008).

53
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
54
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
TRAUMA THORAX
Anatomi Fisiologi.

Organ toraks dilindungi oleh 12 pasang tulang rusuk yang mengelilingi dari tulang
belakang ke sternum. Dinding dada terdiri dari kulit, jaringan subkutan, otot, tulang rusuk, dan
bundel neurovaskular. Perhatikan bahwa neurovaskular bundel membentang di sekitar batas
bawah tulang rusuk. Ini adalah anatomis yang penting jika Anda harus melakukan dekompresi
jarum dada. Strukturnya Di dalam dada tapi di atas diafragma termasuk paru-paru, trakea
bawah dan bronkus batang utama, jantung dan pembuluh darah besar, dan kerongkongan.
Rongga torax dewasa bisa berisi tiga liter darah di setiap sisinya. Paru-parunya adalah
sepasang organ spons dan elastis yang dilapisi pleura, tipis selaput licin Garis pleura viseral
membatasi paru-paru secara langsung, sedangkan pleura parietal membentuk lapisan dalam
dinding dada. Bersama-sama mereka membentuk a ruang potensial (pleural space) dimana
udara (pneumotoraks), cairan, atau darah (hemothorax) bisa menumpuk.
Cedera dada bisa terjadi akibat mekanisme yang berbeda. Trauma tumpul adalah
hasil dari deselerasi cepat, kekuatan geser, dan luka bakar. Biasanya, aorta, paru-paru,
Tulang rusuk, dan kurang umumnya
jantung dan kerongkongan bisa
terluka dalam cara yang bisa
diprediksi dari trauma tumpul
Sebaliknya, trauma tembus tidak
dapat diprediksi. Sebuah peluru
mungkin mengambil jalan yang tidak
menentu dan dapat menyebabkan
kerusakan di luar jalurnya, tergantung
pada penembakan jarak, kecepatan,
jatuh, dan yaw. Kedalaman dan arah
luka pisau sulit dilakukan untuk
menilai pemeriksaan eksternal saja.
Namun, jelas lintasannya yang
tembus Cedera setidaknya bisa
menyarankan organ yang paling berisiko mengalami luka.

Flail Chest
Flail chest terjadi dengan fraktur dua atau lebih bersebelahan tulang rusuk di dua atau
lebih tempat, menyebabkan ketidakstabilan dinding dada dan gerakan paradoks dari "segmen
flail" saat pasien bernafas spontan. Bagian rusuk akan mengisap saat pasien bernafas masuk
dan akan mendorong keluar saat pasien bernafas.
Ventilasi tekanan positif membalikkan pergerakan
segmen flail. Serpihan segmen biasanya tidak
terlihat di posterior dada karena otot punggung yang
berat biasanya mencegahnya pergerakan segmen
flail. Pasien berisiko mengalami perkembangan dari
55
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
hemothorax atau pneumotoraks dan akan selalu memiliki kontusi paru.

Penatalaksanaan
1. Pastikan saluran napas terbuka.
2. Berikan ventilasi.
3. Berikan oksigen aliran tinggi.
4. stabilkan segmen flail dengan tekanan manual kemudian stabilkan dengan perban
besar ditempelkan di dinding
5. Segera evakuasi ke tempat rujukan yang sesuai.
6. Beritahu tim medis penerima lebih awal.
7. Pertimbangkan intubasi lebih awal. CPAP bisa digunakan jika tersedia.
8. Manajemen Nyeri, hindari depresi pernapasan.
9. Cegah kelebihan cairan, yang bisa memperburuk hipoksemia.

Open Pneumothorax
Pneumotoraks terbuka menghasilkan akumulasi udara di ruang potensial antara
pleura viseral dan parietal sekunder akibat luka tembus yang muncul sebagai luka dada
terbuka atau mengisap (berdiameter 3 cm). Luka terbuka ini menyamakan tekanan
intrathoracic dan tekanan atmosfir yang mengakibatkan kolaps paru parsial atau lengkap.
Ukuran pneumotoraks dan gejala resultan biasanya sebanding dengan ukuran dinding dada
yang luka. Ventilasi normal melibatkan pembentukan tekanan intrathoracic negatif dengan
kontraksi diafragma untuk menarik udara
masuk saluran udara dan paru-paru. Jika
luka terbuka lebih besar dari dua pertiga
diameternya dari trakea, udara akan
mengikuti jalur yang paling lemah melalui
dinding dada ke dalam ruang mati
intrathoracic mengakibatkan hipoksia parah
dan hipoventilasi.

Penatalaksanaan
1. Pastikan saluran napas terbuka.
2. Berikan oksigen aliran tinggi. Bantu ventilasi seperlunya.
3. Tutup luka. Kemudian tempatkan segel dada komersial (dengan satu katup keluar,
seperti Asherman Chest Seal, Bolin Chest Seal, atau ventilasi)
4. Anda bisa membuat segel dari dressing oklusif steril yang ditempelkan di tiga sisi
untuk bertindak sebagai flutter-type valve. Jangan menempelkan keempat sisinya
karena ini bisa mengubahnya menjadi terbuka pneumotoraks menjadi tension
pneumotoraks.
5. Load dan Go.
6. Pantau jantung dan catat nada jantung untuk perbandingan nanti.
7. Pantau saturasi oksigen dengan oksimeter pulsa dan CO2 ekspirasi dengan
capnografi (jika tersedia).
56
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
8. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
9. Beritahu tim medis lebih awal.

Massive Hemothorax
Manifestasi adanya darah di ruang pleura disebut dengan hemothorax. hemothorax
besar terjadi sebagai akibat dari setidaknya 1.500 cc kehilangan darah ke ruang pleura di
dalamnya rongga toraks. Setiap rongga toraks bisa menampung hingga 3.000 cc darah.
Hemothorax besar lebih sering terjadi karena trauma tembus daripada trauma tumpul, namun
cedera bisa mengganggu pembuluh darah
paru atau sistemik. Seiring darah
terakumulasi dalam ruang pleura, paru-
paru di sisi yang terkena dikompres. Pasien
mungkin mengalami hipotensi dari
kehilangan darah dan kompresi jantung
atau kebocoran pembuluh darah hebat.
Kecemasan dan kebingungan dihasilkan
oleh hipovolemia dan hipoksemia. Tanda
klinis syok mungkin tampak jelas. Tanda
lain dari hemothorax termasuk penurunan
suara nafas dan kusam perkusi di sisi yang
terkena Hemothorax besar dapat
diidentifikasi selama Primary ITLS Survei.

Penatalaksanaan
1. Pastikan jalan napas terbuka.
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi.
3. Load dan Go.
4. Beritahu tim medis lebih awal.
5. Cobalah untuk menjaga tekanan darah cukup tinggi untuk mempertahankan denyut
perifer (sistolik 80-90 mmHg). Masalah pada hemothorax masif biasanya syok
hemoragik, meninggikan tekanan darah meningkatkan pendarahan ke dada.
6. Amati kemungkinan pengembangan ketegangan hemopneumotoraks yang akan
terjadi, kemungkinan memerlukan dekompresi dada

Tension Pneumothorax
Pneumotoraks adalah akumulasi udara di ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal, udara yang terperangkap menimbulkan tekanan pneumotoraks, udara terus
menumpuk tanpa sarana keluar, sehingga menimbulkan tekanan intrathoracic pada sisi yang
terkena, menggeser jantung dan trakea ke sisi yang berlawanan, dan menarik vena kava
inferior, sehingga occaneous vein kembali ke jantung. Tanda klinis dari tension pneumotoraks
meliputi dispnea, kecemasan, takipnea, vena leher yang membesar, dan kemungkinan
penyimpangan trakea jauh dari sisi yang terkena. Dari hasil Auskultasi suara nafas berkurang
di sisi yang terkena dan akan didampingi hiperresonansi saat perkusi. Shock dengan
hipotensi akan mengikuti. Dalam sebuah ulasan terhadap 108 pasien lapangan yang
57
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
didiagnosis dengan tension pneumotoraks
dan membutuhkan dekompresi jarum,
tidak ada tercatat memiliki trakea yang
menyimpang.

Penatalaksanaan
1. Tetapkan jalan nafas terbuka.
2. Berikan oksigen aliran tinggi.
3. Dekompresi jika diindikasikan.
Indikasiuntukmelakukan
keadaan darurat dekompresi adalah adanya tension pneumotoraks dengan
dibuktikan oleh lebih dari satu tanda berikut: Gangguan pernapasan dan sianosis,
Hilangnya pulse radialis (shock akhir), Penurunan tingkat kesadaran
4. Load and Go.
5. Cepat bawa ke rumah sakit yang tepat.
6. Beritahu tim medis lebih awal.

Cardiac Tamponade
Kantung perikardial adalah membran
inelastis yang mengelilingi jantung. Jika
darah terkumpul
Dengan cepat antara jantung dan
perikardium akibat cedera jantung,
ventrikel Jantung akan tertekan dan
membuat jantung kurang bisa isi ulang,
dan output jantung hanya sejumlah kecil
darah perikardial (hanya 75-100 cc). hal
ini menyebabkan tamponade
perikardial.
Diagnosis tamponade jantung secara
klasik bergantung pada adanya
hipotensi dengan tekanan nadi yang sempit, kombinasi vena leher yang membesar, bunyi
jantung teredam, dan pulsus paradoxus. (Jika pasien kehilangan denyut perifer Selama
inspirasi, ini menunjukkan adanya tamponade jantung). Diagnosis banding utama di lapangan
adalah tension pneumothorax.

Penatalaksanaan
1. Pastikan saluran udara terbuka.
2. Berikan oksigen aliran tinggi.
3. Load and Go.
4. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
5. Beritahu tim medis lebih awal.

58
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
6. Pantau jantung, terutama dengan nyeri dada atau denyut nadi yang tidak teratur.
7. Jika tersedia, lakukan EKG 12-lead (termasuk V 4R).
8. Atasi shock. Infus larutan elektrolit (en route) dapat meningkatkan pengisian jantung
dan meningkatkan curah jantung. Namun, hati hati jika ada perdarahan intrathorakal.
9. Berikan cukup cairan untuk menjaga denyut nadi (sistolik 80-90 mmHg).
10. Hati hati dengan disritmia.
11. Perhatikan komplikasi lainnya, termasuk hemothorax dan pneumotoraks.

TRAUMA ABDOMEN
Anatomi dan fisiologi

Organ mayor dan struktur dari sistem pencernaan adalah


oesophagus, lambung, usus, hati, pankreas, kandung
empedu dan peritoneum.

Lambung memiliki bagian yang disebut fundus, body dan


antrum. Fungsi lambung adalah mencampur makanan
dengan cairan lambung seperti pepsin, asam lambung
mucus, dan faktor intrinsik yan semuanya di eksresi oleh
kelenjar di sub mukosa. Asam lambung sendiri mempunyai
pH 1. Spincter pyloric mengkontrol makanan bergerak
masuk dari lambung ke duodenum.

Usus halus dimulai dari spincter pyloric sampai dengan


usus besar. Sekresi dari panckreas dan hati membuat
chime menjadi tekstur yang semiliquid. Disini terjadi proses
absorbsi nutrient dan produk-produk lain. Segmen dari
usus halus sendiri terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum memiliki panjang 25
cm dan diameter 5 cm.

Usus besar memiliki panjang 15 m dengan bagian-bagian secum, colon, rectum dan anal
canal (anus). Sedangkan colon ascenden, transversal, descenden dan sigmoid. Fungsi primer
dari usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit.

Ketika bernafas khususnya pada saat ekspirasi maksimal otot diafragma naik ke atas setinggi
kira-kira interkostal ke 4 md klavikula (setinggi papila mamae pada pria) sehingga adanya
trauma thoraks perlu dicurigai adanya trauma abdomen pada sisi kiri hepar dan sisi kanan
pada liien.

Organ-organ di intra abdomen dibagi menjadi organ intra peritoneal dan organ ekstra
peritoneal. Organ intra peritoneal terdiri dari hepar, lien, gaster, usus halus, sebagian besar
colon. Organ ekstra peritoneal terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, duodenum, rektum, vesika
urinaria dan uterus (walaupun cenderung aman karena terlindung oleh pelvis). Sedanggkan
dari jenisnya organ-organ di rongga abdomen ini dipilah menjadi organ solid (hepar dan lien)
dan organ berlumen (gastre, usus halus, dan colon).
59
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
TRAUMA ABDOMEN

Kasus-kasus kegawatdaruratan pada sistem pencernaan bisa disebabkan karena


trauma dan non trauma. Untuk kasus kegawatdaruratan sistem cerna ini biasa disebut
dengan akut abdomen.

Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu
trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya
gangguan/kerusakan pad aorgan yang ada di dalamnya.

Jenis trauma abdomen ada trauma tumpul dan trauma tembus/tajam. Pada trauma
tembus/tajam beresiko terjadinya kerusakan organ lebih sedikit daripada trauma tumpul tetapi
pada trauma tembus/tajam dapat mengenai tulang belakang dan organ yang berada di
retroperitoneal. Trauma tembus/tajam abdomen mudah diketahui organ yag rusak karena
tampak ad aluka di didndidng abdomen. Trauma tumpul abdomen terutama disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, olahraga atau kecelakaan industri. Trauma tumpul biasanya dari luar
tidak begitu tampak tetapi didalam cukup parah, kerusakan organ-organ intra abdomen dapat
memberikan gejala seperti perdarahan intra abdomen dan ransangan peritoneum.

60
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Assessment
Pada pengkajian biasanya ditemukan nyeri sehingga ditelaah bagaimana permulaan nyeri ini
timbul secara mmendadak atau berangsur-angsur, area nyerinya (menetap, beralih/pindah,
difus/menyebar), perubahan nyeri dibandingkan ketika baru pertama timbul dengan sekarang,
lamanya dan faktor yang mempengaruhi untuk memperingan atau memperberat seperti sikap
tubuh, makan, minum, nafas dalam, batuk, bersin, perubahan suara, heartburn, muntah,
koknstipasi, diare dan siklus menstruasi.

Tindakan yang harus dilakukan pada trauma tajam bila luka kurang dari 6 jam yaitu segera
lakukan laparotomi bila jelas peritoneum terbuka, lakukan explorasi bila hanya luka dan
peritoneum tidak jelas terbuka, rawat sebagai luka kontaminasi bila peritoneum tidak terbuka.
Bila luka lebih dari 6 jam rawat sebagai luka infeksi bila tidak ada tanda-tanda perdarahan
abdominal atau ransangan peritoneum, lakukan laparotomi bila jelas peritoneum terbuka tapi
tidak ada ransangan peritoneum dan tanda perdarahan, segera laparotomi bila ada tanda-
tanda ransangan peritoneum.

Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis.
Echimosisi merupakan indikasi adanya perdarahan di intra abdomen. Terdapat echimosisi
pad adaera umbikal biasa kita sebut “cullen’s sign” sedangkan echimosis yang ditemukan
pada salah satu panggul disebut sebagai “turner’s sign”. Terkadang ditemukan adanya evirasi
yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, atau colon yang terjadi pada trauma
tembus/tajam.

61
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Kriteria DPL USG CT Scan

Indikasi Menentukan adanya Menentukan cairan Menentukan organ


perdarahan bila bila tekanan darah cidera bila tekanan
tekanan darah menurun darah normal
menurun

Keuntungan Diagnosis cepat dan Diagnosisi cepat, Paling spesifik untuk


sensitif, akurasi 98% tidak invasif dan cidera, akurasi 92-
dapat diulang, 98%
akurasi 86-97%

Kerugian Invasif, gagal Tergantung operator Membutuhkan biaya


mengetahui cidera distorsi gas usus dan waktu yang lebih
diafragma atau dan udara di bawah lama, tidak
cidera kulit. Gagal mengetahui cidera
retroperitoneum mengetahui cidera diafragma, usus dan
diafragma usus, pankreas.
pankreas

Gejala/tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang terkena,
bila yang terkena organ-organ solid (hepar atau lien) maka akan tampak gejala perdarahan
secara umum seperti pucat, anemis, bahkan sampai dengantanda-tanda syok haemoragic.
Gejala perdarahan di intra peritoneal akan ditemukan klien mengeluh nyeri lepas, defans
muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pad aklien yang kurus akan tampak perut
membesar dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak.

Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis yang
dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis akan timbul
lambat bila usus halus dan colon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada seluruh kuadran
abdomen, bisisng usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri tekan, nyeri lepas dan
nyeri ketok.

Trauma abdomen juga biasanya merupakan kasus yang paling sering dijumpai
dengan multiple trauma, yang melibatkan trauma thoraks dimana biasanya ditemukan
robekan benda tumpul di setiap bagian diafrgama, tetapi hemidiafragma kiri lebih sering
cidera. Cidera yang paling sering terjadi adalah robekan sepanjang 5-10 cm dan meliputi
hemidiafragma kiri postlateral. Pada saat pertama dilakukan rotngen thoraks, maka yang
mungkin nampak adalah terangkatnya atau kaburnya hemidiafragma, hemothoraks,
bayangan gas abmormal yang menyembunyikan hemidiafragma atau pipa gastrik (NGT) yang
tampak terletak di dada.

62
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pada trauma ginjal biasanya ada hematuri, nyeri pada costae vertebra dan pada
inspeksi biasanya jejas (+). Pada kasus trauma abdomen ini yang paling mendapat prioritas
tindakan adalah bila terjadi perdarahan di intra abdomen (yang terkena organ solid).

Penatalaksanaan
Penanganan dari keberadaan klien dengan trauma bdomen sebenarnya sama dengan
prinsip penanganan kegawatdaruratan, dimana yang pertama perlu dilakukan primary survey.
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital
penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan primary survey yang cepat dan
kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan
ABC-nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih
dahulu, dengan berpatokkan pada urutan berikut :

A : Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)


B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi kontrol (ventilation control)
C : Circulation dengan kontrol perdarahan (bleeding control)
D : Disability, status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, repson pupil)
E : Exposure/enviromental kontrol, buka baju penderita tetapi cegah hipotermi

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan
resusitasinya dialkukan saat itu juga. Penyajian primary survey di atas dalam bentuk
berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam praktek hal-hal di
atas sering dilakukan berbarengan (simultan)

Tindakan keperawatan yang dilakukan tentu mengacu pada ABCDE. Yakinkan airway
dan breathing clear. Kaji circulation dan control perdarahan dimana nadi biasanya lemah,
kecil dan cepat. Tekanan darah sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok
hipovolemik, hitung MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang intra venous line,
berikan cairan kristaloid ringer laktat untuk dewasa pemberian awal 2 liter, dan pada anak
20cc/Kg BB, bila pada anak sulit pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian
cairan melalui akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari 6
tahun. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah pasti ada
perdarahan maka kehilangan 1 cc darah harus diganti dengan cairan kristaloid 3 cc atau bila
kehilangan darah 1 cc maka diganti dengan darah 1 cc (sejumlah darah yang hilang).

Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien dengan menggunakan
skala AVPU.

Exposure dan enviroment control dengan buka pakaian klien dan lihat adanya jejas
perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bia dengan balut tekan atau
segera untuk masuk ke kamar operasi untuk dilakukan laparotomy eksplorasi.

Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara head to toe dan
observasi hemodinamik klien setiap 15-30 menit sekali meliputi tanda-tanda vital, selanjutnya
bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1 jam sekali.

63
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pasang kateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang diberikan dan tentu saja
hal penting lainnya adalah untuk melihat adanya perdarahan pada urine.

Klien dipuasakan dan dipasang NGT untuk membersihkan perdarahan saluran cerna,
meminimalkan resiko mual dan aspirasi, serta bila tidak ada kontraindikasi dapat dilakukan
lavage.

Observasi status mental, vomitus, nausea, rigid/kaku, bising usus, urni output setiap 15-30
menit sekali. Catat dan laporkan segera ila terjadi perubahan secara tepat seperti tanda-tanda
peritonitis dan perdarahan.

Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada klien bila memungkinkan atau
kepada penanggung jawab klien hal ini dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat
kecemasan klien dan keluarga.

Kolaborasi pemasangan central venous pressure (CVP) untuk melihat status hidrasi klien,
peberian antibiotika, analgesic dan tindakan pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung
pada diagnosisi seperti laboratorium (AGD, hematology, PT, APTT, hitung jenis elektrolit, dll),
pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan setelah pasti untuk tindakan operasi
laparotomy eksplorasi.

TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Muskuloskeletal disorder atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan pada otot,
saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan pada otot
dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan kerusakan pada tulang
dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir.

World Health Organization (2009) melaporkan setiap tahun di seluruh dunia terjadi
lebih dari 1, 2 juta orang meninggal di jalan raya dan sebanyak 20.–50 juta orang mengalami
cedera tidak fatal. Prevalensi cedera pada masyarakat di Indonesia pada tahun 2007 sebesar
7,5%, dengan urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh, kecelakaan lalu lintas (KLL)
darat dan terluka benda tajam/tumpul (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2007). Pada tahun 2013 terdapat peningkatan prevalensi cedera menjadi 8,2%, dengan
urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh 40,9%, kecelakaan sepeda motor (40,6%),
cedera karena benda tajam/tumpul 7,3%, transportasi darat lainnya 7,1% dan kejatuhan
2,5%.

Etiologi

Penyebab cidera muskulo skeletal dapat berasal dari beberapa keadaan, antara lain:

1. Trauma langsung
Trauma yang terjadi pada sisi atau tempat masuknya energy/ benturan
2. Trauma tidak langsung

64
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Trauma muskulo skeletal yang terjadi pada area lain yang bukan merupakan tempat
masuknya energy penyebab cidera. Energy mengalir seperti gemombang dan
merusak atau menyebabkan kerusakan pada erea lain.
3. Puntiran
Trauma ini terjadi ketika ligament otot bergerak atau digerakkan diluar
kemampuan atau posisi yang semestinya.
4. Trauma penetrasi
Cidera yang disebabkan benda yang
mampu menembus permukaan kulit (
tembakan, benda tajam, pisau dll).
5. Kondisi patologis
Kondisi kerusakan jaringanmuskuloi
skeletal akibat proses degenerative atau
penyakit lain yang menyebabkan pasien
menjadi lebih rentan mengalami fraktur,
inflamasi dan deformitas.

Adapun bentuk umum dari trauma


muskulo skeletal meliputi:

• Fraktur/ patah tulang


Putusnya kontinuitas jaringan tulang
• Dislokasi
Perubahan atau gangguan pada struktur sendi
• Sprain
Kerusakan sendi yang disertai dengan rusaknya ligament otot
• Strain
Perengangan atau robeknya otot

Tanda dan gejala

Tanda dan gejala trauma musculoskeletal adalah sebagai berikut.


1. Kelainan bentuk, luka terbuka, nyeri tekan dan bengkak.
2. Nyeri sedang atau berat atau ketidaknyamanan.
3. Memar (mungkin perlu waktu berjam-jam untuk muncul).
4. Ketidak mampuan untuk bergerak atau menggunakan bagian tubuh yang
terkena dampak secara normal.
5. Pecah tulang atau fragmen tulang mencuat dari luka.
6. Merasa tulang kisi atau suara kisi tulang.
7. Merasa atau mendengar suara krek atau seperti ada benda patah pada saat
cedera.
8. Kehilangan sirkulasi, sensasi dan gerak (PMS) di luar lokarea distal cedera,
termasuk kesemutan, warna pucat, dingin atau kebiruan.

65
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
9. Penyebab cedera/MOI (Mechanism of Injury) (mis., jatuhnya), yang
menunjukkan bahwa cedera mungkin parah.

Pathophysiology

Cedera muskuloskeletal menunjukkan bahwa tubuh mendapati kekuatan berlebih yang


signifikan. Pasien dengan fraktur pelvis tidak stabil dan fraktur femur terbuka dapat
disertai dengan pendarahan cepat. Cedera yang serius menyebabkan pelepasan
mioglobin dari otot, yang bisa mendap dalam tubulus ginjal sehingga mengakibtakan
kerusakan pada ginjal. Salah satu komplikasi yang dapat timbul dari fraktur yaitu
kompartemen sindrom pada area proksimal yang bilamana tidak segera di atasi akan
menyebabkan kematian pada ekstremitas tersebut

66
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penata laksanaan

Cedera muskuloskeletal umumnya tidak menjadi focus pemeriksaan utama pada


pengkajian trauma primer kecuali disertai dengan gangguan hemodinamik yang berat.
Kelainan bentuk pada ekstrimitas dapat diamati denan mudah pada saat pengkajian, namun
tingkat cedera mungkin tidak sepenuhnya diakui sampai survei utama selesai. Resusitasi
trauma utama dalam pedoman ATLS / ATCN berfokus pada sirkulasi udara-sirkulasi (ABC).
Jika cedera muskuloskeletal tidak menghasilkan kehilangan darah cukup menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik, atau deformitas yang massif , tingkat cedera mungkin tidak
diketahui sampai penelitian radiografi konfirmasi atau sampai survei sekunder dilakukan.

Keadaan potensial yang dapat mengancam nyawa anatara lain:

• Syok hemoragic (sangant jarang)


• Gangguan neurovaskuler (gangguan PMS)
A. Pemeriksaan Trauma Muskoloskeletal

Untuk perdarahan eksternal kaji ekstremitas yang terluka, kaji ada atau tidaknya nadi
bagian distal, frekuensi, serta kualitas denyut nadi. Kaji pula motoric dengan
menggerakkan area distal cidera serta sensorik dengan memberikan cubitan pada area
distal cidera. Jika ekstremitas dingin, pucat, nadi lemah mengindikasikan adanya
gangguan suplai darah arteri. Pada cidera musculoskeletal jika terdapat perdarahan aktif
maka terdapat cidera pada faskuler (pembuluh darah)
Karena luka-luka ini bisa terlihat sama, kemungkinan sulit menentukan dengan tepat
jenis cedera yang telah terjadi. Hal Ini seharusnya tidak menjadi masalah karena dari
sebagian besar kasus, perawatan yang di perlukan sebagian besar akan sama.
1. Strain dan sprain
Saat mengkaji strain dan sprain maka lakukan hal-hal mberikut.
a. Minta orang tersebut untuk secara aktif memindahkan sendi yang terluka
dan mengevaluasi rasa sakit yang terlibat.
b. Coba gerakkan sendi dan evaluasi respons orang tersebut.
c. Beritahu orang tersebut untuk tidak menggunakan bagian yang terluka
jika gerakan menyebabkan rasa sakit.
d. Tawarkan penatalaksanaan yang sesuai (mis., untuk yang terluka lutut, berikan
belat berjalan, yang membatasi gerakan lutut tanpa memberi tekanan pada
tempurung lutut).
2. Fractur/patah tulang
Saat memeriksa pasien karena fraktur yang dicurigai adalah sebagai berikut.
a. Tentukan apakah bagian yang terluka terlihat rusak dengan
membandingkan sisi yang tidak terluka. Tanyakan kepada orang tersebut
apakah menurutnya bagian itu rusak.
b. Perlahan-lahan sentuh bagian yang terluka dan cari tanda-tanda patah
tulang berikut ini:
1) Orang tersebut bereaksi terhadap sentuhan Anda.
2) Otot tampak spasme.
67
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
3) Area yang terluka terasa tidak stabil.
4) Satu titik terasa lebih parah daripada yang lain.
5) Periksa PMS (Puls Motorik and Sensoric) di luar lokasi cedera.
Kehilangan puls, mati rasa, kesemutan dan ketidakmampuan
untuk bergerak adalah tanda-tanda serius
6) komplikasi yang berhubungan dengan fraktur.

3. Dislokasi
Ketika menemukan cidera dengan dislokasi maka lakukan pemeriksaan sebagai
berikut.
a. Sendi yang terlihat tidak pada tempatnya (deformitas)
b. Nyeri dan/atau kehilangan rentang gerak normal.
c. Sebuah benjolan, punggungan atau lubang yang biasanya tidak ada

68
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
B. Penatalaksanaan Trauma Muskoloskeletal
Penatalaksanaan pada trauma musculoskeletal adalah sebagai berikut.

1. Strain dan sprains


Penanganan Sprain dan strain mengacu kepada skema RICE. RICE merupakan
beberapa tindakan berupa mengistirahatkan area yang mengalami trauma,
memerikan kompres es pada fase akut, memberikan pembebatan dan meninggikan
area yang mengalami cidera.

2. Frakture
Penanganan pada fraktur aa;ah sebagai berikut
a. Umum:
1) Jika curiga patah tulang. Selalu gunakan bidai.
2) Lanjutkan untuk memeriksa PMS setelah pembidaian untuk memastikan
bahwa sirkulasi tidak terputus.

69
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
b. Untuk patah rahang:
1) Pegang rahang di tempat dengan kain/mitela yang melintang di kepala.
2) Pastikan bungkusnya bisa dilepas dengan cepat jika orang tersebut
perlu muntah.
c. Untuk fraktur tulang selangka:
1) fiksasi dengan sling-and-swathe.
2) Buat selempang dari perban segitiga atau improvisasi dengan mengangkat
ekornya kemeja orang di atas lengan di sisi yang terluka dan menjepitnya
di tempat.
3) Pastikan sling mengangkat siku untuk menahan tekanan dari bahu.

d. Untuk fraktur lengan bawah (termasuk pergelangan tangan dan tangan):


1) Amankan bagian yang cedera ke dukungan yang kokoh dan kaku dan letakkan
sling-and-swathe.
2) Letakkan gulungan sesuatu yang lembut di tangan untuk menyimpannya dalam
posisi berfungsi.
3) Jika tulang tangan rusak, pastikan untuk mengamankan tangan ke bidai.

70
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
e. Untuk jari yang patah
bidai jari yang patah ke jari-jari terdekat yang tidak terluka.

f. Untuk fraktur tulang rusuk:


1) Lindungi tulang rusuk yang cedera dengan mendukung lengan pada sisi yang
terluka dengan a sling-and-swathe.
2) Jangan membungkus sebuah band dengan pas di dada orang itu.
3) Dorong orang untuk menarik napas dalam-dalam secara teratur, bahkan jika
sakit,
4) Perhatikan orang tersebut untuk meningkatkan kesulitan bernafas.
g. Untuk panggul atau patah tulang
pinggul:
1) Amankan orang itu pada
papan yang kaku (tandu)
2) Tempatkan pembungkus sesuai
lebar (misalnya, selembar atau
selimut) dan dasi di sekitar
panggul untuk memberikan
beberapa dukungan dan
keamanan.
3) Amankan kaki dengan
nyaman satu sama lain
4) Pastikan untuk melihat tanda dan gejala shock karena internal
perdarahan, yang umum terjadi pada fraktur panggul.

71
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
h. Untuk patah tulang kaki (termasuk pergelangan kaki dan kaki)
Amankan bagian yang cedera engan pembidaian yang mencakup imobilisasi
pergelangan kaki dan kaki.

3. Dislokasi

a. Untuk dislokasi bahu: Gunakan teknik Stimson segera:


1) Posisikan orang tersebut menghadap ke bawah di permukaan yang tegas (mis.,
Batu atau log) dengan Lengan di sisi yang terluka menggantung turun secara
vertikal
2) Bantu orang tersebut untuk rileks.
3) Dengan kain lembut, beban beratnya sekitar 5 sampai 10 kilogram ke
pergelangan menjuntai.
4) Tunggu. Proses ini memakan waktu sekitar 20 sampai 30 menit untuk bekerja

72
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
5) Atau dengan teknik serupa namun tanpa beban yaitu:
a) Berdiri atau duduk, orang itu harus menarik lengan yang terluka lurus dan
maju, jauh dari tubuh, dengan mencengkeram pergelangan tangan dengan
sebaliknya
b) Letakkan lengan yang terluka di selempang dan bersentuhan.
c) Begitu bahu kembali ke posisi normalnya. Jangan mengikat lengan orang
tersebut jika dia perlu menggunakan lengannya darurat (mis., keluar dari rakit
terbalik).

b. Untuk dislokasi jari atau jari kaki:


1) Menjaga jari atau kaki yang terluka sebagian tertekuk (membungkuk), tarik
pada akhiri dengan satu tangan dengan lembut menekan sambungan belakang
yang terkilir ke tempatnya dengan jempolmu yang lain
2) Tempatkan kain kasa di antara keduanya jari tangan atau kaki yang terluka
dan jari tangan atau jari kaki yang tidak terluka
3) Bidai jari atau kaki yang terluka ke jari atau jari kaki tetangga yang tidak
terluka.
c. Untuk dislokasi tempurung lutut:
1) Terapkan traksi lembut ke kaki untuk meluruskannya. Hal ini dapat
menyebabkan tempurung lutut untuk kembali ke tempatnya tanpa perawatan
lebih lanjut.
2) Jika tempurung lutut tidak kembali ke tempatnya setelah kaki diluruskan, Pijat
paha dan gunakan tangan Anda untuk mendorong tempurung lutut kembali
dengan lembut keselarasan normal
3) Oleskan belat yang tidak memberi tekanan pada tempurung lutut. Dengan cara
ini, orangnya mungkin bisa berjalan.

73
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
LUKA BAKAR
Luka bakar adalah suatu luka yang disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu
sumber panas kepada tubuh. Luka bakar juga didefinisikan sebagai kerusakan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi(Moenadjat, 2003).
Prefalensi
Menurut American Burn Association, lebih dari 1 juta luka bakar per tahun di Amerika
Serikat, mengakibatkan lebih dari 4.500 kematian. Banyak korban yang selamat dari i luka
bakar umumnya menderita keadaan cacat dan / atau cacat. Walaupun Jumlah mereka yang
terbunuh atau terluka mengalami penurunan dalam 30 tahun terakhir, khususnya dengan
penggunaan detektor asap dan perbaikan dalam perawatan luka bakar, luka bakar masih
merupakan masalah besar bagi masyarakat.
Menerapkan prinsip dasar yang diajarkan dalam buku ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam upaya menurunkan kematian, cacat tubuh, dan kerusakan
akibat luka bakar. Mengingat keadaan pasien dengan luka bakar dapat sangat
membahayakan. Beberapa agen atau substansi bisa menyebabkan luka bakar, namun pada
umumnya kerusakan patologis yang ditimbulkan pada kulit sama (ITLS,2016)

Anatomi kulit
Organ tubuh terbesar, kulitnya, terdiri dari dua lapisan. Bagian luar disebut epidermis yang
berfungsi sebagai penghalang antara lingkungan dan tubuh . Di bawah epidermis tipis terletak
lapisan jaringan ikat kolagen disebut dermis. Lapisan ini berisi saraf sensorik yang penting
dan juga struktur pendukung seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar minyak.

74
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Kulit memiliki banyak fungsi penting, yang meliputi bertindak sebagai mekanik dan
penghalang pelindung antara tubuh dan dunia luar, menyegel cairan di dalam, dan mencegah
bakteri dan mikroorganisme lainnya agar mudah masuk tubuh. Kulit juga merupakan organ
sensoris vital yang memberikan masukan ke otak pada umumnya dan data lingkungan
spesifik dan melayani peran utama dalam suhu peraturan. Kerusakan pada kulit membuat
tidak mampu menjalankan fungsi ini dan menempatkan tubuh pada risiko untuk masalah
serius.
Kerusakan pada kulit terjadi saat bahan kimia panas atau kaustik bersentuhan dengan
kulit dan kerusakan komponen kimia dan selulernya. Sebagai tambahan Pada cidera yang
sebenarnya, respon inflamasi tubuh terhadap kerusakan kulit mungkin terjadi sehimgga
mengakibatkan cedera tambahan atau meningkatkan tingkat keparahan luka bakar
(ITLS,2016).

Klasifikasi
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan,
luka bakar diklasifikasikan menurut beberapa karakteristiknya. Menurut moenadjad luka bakar
dapat dibedakan berdasarkan :
1. Berdasarkan penyebab
• Luka bakar karena api
• Luka bakar karena air panas
• Luka bakar karena bahan kimia
• Laka bakar karena listrik
• Luka bakar karena radiasi
• Luka bakar karena suhu rendah (frost bite).
2. Berdasarkan zona jaringan yang terlibat
a. Zona koagulasi, zona nekrosis
Daerah yang langsung mengalami kerusakan (denaturasi protein) akibat
pengaruh cidera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami
nekrosis beberapa saat selah kontak.
b. Zona statis
Daerah yang langsung berada di luar atau di sekitar zona koagulasi. Di daerah
ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai dengan kerusakan
trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi(no flow phenomena),
diikuti dengan perubahan permeabilitar kapiler dan respon inflamasi lokal.
Proses ini berlangsung 12-24 jam pasca cidera, dan mungkin berakhir dengan
nekrosis jaringan.
c. Zona hyperemia
Daerah diluar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan respon selular. Tergantung dari keadaan umum dan terapi
yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau
berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama.

75
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
3. Berdasar derajat kedalaman a.
Luka bakar derajat satu.
Hanya mengenai lapisan epidermis dan biasanya disebabkan oleh sinar
matahari atau tersiram air mendidih dalam waktu yang singkat, kerusakan
jaringan pada luka bakar ini hanya minimal, rasa sakit merupakan gejala yang
menonjol, kulit yang terbakar berwarna kemerah-merahan dan mungkin
terdapat edema ringan. Efek sistemik jarang sekali terjadi, rasa nyeri/sakit
makin terasa dalam 48-72 jam dan penyembuhan akan terjadi dalam waktu
sekitar 5 – 10 hari.
b. Luka bakar derajat dua.
Luka bakar derajat dua ditandai oleh warna merah yang melepuh dan
mengenai semua bagian epitel dan sebagian korium. Luka bakar derajat dua
dibedakan menjadi luka bakar sebagian dangkal (superficial partial-thickness
burn) dan luka bakar sebagian dalam (deep partial-thickness burn).
Luka bakar sebagian dangkal (superficial partial-thickness burn) disebabkan
oleh Cairan atau uap panas (tumpahan atau percikan), paparan nyala api.
Karakteristik penampakan luar berupa gelembung berisi cairan, berkeringat,
merah dan memucat dengan penekanan. Luka ini nyeri bila terpapar udara dan
panas, luka bakar derajat dua dangkal biasanya sembuh dengan menimbulkan
parut yang minimal dalam 10 – 14 hari kecuali kalau luka tersebut tercemar.
Pada umumnya tidak terjadi jaringan parut namun potensial untuk terjadinya
perubahan pigmen.
Sedangkan luka bakar sebagian dalam (deep partial-thickness burn), umumnya
disebabkan oleh cairan atau uap panas (tumpahan), api atau minyak panas.
Karakteristik penampakan luar berupa gelembung berisi cairan (rapuh), basah
atau kering berminyak, berwarna dari putih sampai merah dan tidak memucat
dengan penekanan. Masa penyembuhan umumnya lebih dari 21 hari disertai
adanya hipertrofi dan berisiko memunculkan kontraktur (kekakuan akibat
jaringan parut yang berlebih).

76
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penyembuhan terjadi dengan regenerasi epitel kelenjar keringat dan folikel,
proses ini lamanya 25 – 35 hari, parut yang nyata sering ditemukan. Jika terjadi
peradangan luka bakar derajat dua yang dalam dimana tebalnya meliputi
seluruh tebal kulit, kehilangann cairan dan efek metabolik adalah sama seperti
pada luka bakar derajat tiga.
c. Luka bakar derajat tiga
Ditandai oleh suatu permukaan yang kering, liat dan kenyal yang biasanya
berwarna coklat, coklat kemerahan atau hitam, walaupun luka ini dapat
berwarna putih. Luka-luka ini anestetik karena reseptor rasa sakit telah hilang,
bila kita menekan luka itu maka luka tidak akan menjadi putih atau pecah dan
melentur kembali karena jaringan mati dan pembuluh darah terkena
trombose.

3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka


Berdasarkan berat ringannya luka, diperoleh beberapa kategori luka bakar menurut
American Burn Association sebagai berikut:
a. Luka bakar mayor
• Derajat II-III >20% pada pasien dengan usia dibawah 10 tahun
atau diatas 50 tahun
• Derajat II-III >25% pada pasien dengan usia selain disebutkan
pada butir pertama
• Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki dan perineum
• Adanya cidera pada jalan nafas (cidera inhalasi) tanpa
memperhitungan luas luka bakar
• Luka bakar listrik dengan tegangan tinggi

77
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• Disertai trauma lainnya
• Pesien pasien dengan resiko tinggi
b. Luka bakar moderat
• Luka bakar denga luas 15-25% pada dewasa, dengan luka
bakar deraja III kurang dari 10%
• Luka bakar dengan luas 10-20% pada pasien dengan usia
dibawah 10 tahun atau diatas 40 tahun, dengan luka bakar
deraja III kurang dari 10%
• Luka bakar deraja III kurang dari 10% pada anak maupun
dewasa yang tidak mengenai muka, telinga, tangan, kaki dan
perineum
c. Luka bakar minor
• Luka bakar dengan lus <15% pada dewasa
• Luka bakar dengan luas <10% pada anak dan usia lanjut
• Luka bakar dengan luas <2% pada segala usia; yang tidak
mengenai muka, telinga, tangan, kaki dan perineum
(Moenadjad, 2003).
Fase luka bakar
Berdasarkan perjalanan penyakitnya luka bakar dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase akut
Pada fase ini masalah muncul pada gangguan saluran napas(misalnya
cidera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas karena adanya eskar
melingkar di dada atau trauma multiple di rongga thoraks dan gangguan
sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termis bersifat sistemik.
2. Fase sub akut
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir. Luka terbuka akibat
kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) dapat menimbulkan
SIRS(Sistemic Inflamatory Respone Syndrome), MODS(Multiple-system Organ
Dysfunction Syndrom) sepsis dan penguapan cairan tubuh disertai
panas/energi terutama pada luka bakar yang dalam dan luas.
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi
maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya parut hipertrofik, kontraktur,
dan deformitas lainnya yang terjadi karena kerapuhan jarigan atau sruktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama (Moenadjad,
2003).

78
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi pada setiap derajat luka bakar umumnya tidak berbeda baik
pada luka bakar derajat 1, 2 maupun 3. Luka bakar mengakibatkan peningkatan permebilitas
pembuluh darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan
menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemokonsentrasi.
Burn shock ( shock Hipovolemik ) merupakan komplikasi yang sering terjadi, manisfestasi
sistemik tubuh terhadap kondisi ini adalah:
1. Respon kardiovaskuiler
Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler melelui kebocoran
kapiler mengakibatkan kehilangan Na+, air dan protein plasma serta edema jaringan
yang diikuti dengan penurunan curah jantung. Hemokonsentrasi sel darah merah,
penurunan perfusi pada organ mayor edema menyeluruh.
2. Respon Renalis
Dengan menurunnya volume inravaskuler maka aliran ke ginjal dan GFR
menurun mengakibatkan keluaran urin menurun dan bisa berakibat gagal ginjal
3. Respon Gastro Intestinal
Respon umum pada luka bakar lebih dari 20 % adalah penurunan aktivitas
gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik dan
neurologik serta respon endokrin terhadap adanya perlukan luas. Pemasangan NGT
mencegah terjadinya distensi abdomen, muntah dan aspirasi.
4. Respon Imunologi
Sebagian basis mekanik, kulit sebgai mekanisme pertahanan dari organisme
yang masuk. Terjadinya gangguan integritas kulit akan memungkinkan mikroorganisme
masuk kedalam luka (Munir, 2005).
Ukuran luas luka bakar
Salah satu pendekatan umum yang dilakukan untuk mengetahuan luasan luka bakar
ytang terjadi pada pasien, tenaga medis dapat menggunakan metode Rule of Nine dengan
panduan sebagai mana berikut:

79
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Metode pendekatan
lain yang dapat digunakan
meski tidak familiar adalah
dengan menggunakan table
Lund and broder.

Sel darah Laju metabolik


merah

Anemia Glukogenesi
s

Kebutuhan O2

Aldosteron sekresi adrenal LUKA BAKAR Factor


MAYOR depresan

katekolamin Kehilangan H2O Insufisiensi


miokard

Aliran ke ginjal Vaso konstriksi Hipovolemia CO

Retensi Na+ LFG Aliran ke limpa Asidosis

Kehilangan K+ Gagal ginjal Hipoksia


hepatik

Gagal hepar

80
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Komplikasi
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-beda.
Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan
pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post
operatif dan adanya infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma,
nekrosis jaringan lunak, dehiscence (lepasnya jarigan yang sudah melekat/menyatu), keloid,
formasi hipertropik scar dan infeksi luka(Inetna, 2004). Sedangkan komplikasi yang hampir
selalu menyertai luka bakar adalah kontraktur dimana terjadi suatu gangguan fungsi
pergerakan(Effendy, 1999).

Perawatan Luka Bakar


Perawatan luka bakar terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan. Setiap
bagiannya memiliki tujuan yang berbeda sesuai dengan masalah aktual yang sedang
dihadapi dalam proses penyembuhan luka bakar tersebut. Secara singkat, perawatan luka
bakar secara umum (terutama pada luka bakar derajat 2 dan 3) dijelaskan sebagai berikut :
a. Perawatan pertama
Segera setelah terbakar, luka harus segera didinginkan dengan air bersuhu terbaik
200C(Djohansjah, 1991). Hal ini dilakukan mengingat sifat kulit adalah sebagai
penyimpan panas terbaik, maka pasien yang mengalami luka bakar, tubuh masih tetap
menyimpan energi panas sampai beberapa menit setelah terjadinya trauma panas.
Pendinginan luka dilakukan guna mencegah pasien berada pada zona luka bakar
yang lebih dalam, mengurangi perluasan kerusakan fisik sel, dehidrasi dan
membersihkan luka sekaligus mengurangi nyeri(Effendy,1999).
b. Perawatan definitiv
Perawatan definitiv terdiri dari perawatan luka tertutup, terbuka dan semi terbuka yang
memiliki indikasi, keuntungan serta kerugianya masing-masing. Perawatan luka
tertutup dilakukan dengan menutup luka bersih dengan selapis kain steril berlubang
(tulle) yang mengandung vaselin dengan atau tanpa mengandung antibiotika,
kemudian setumpuk gass dan verband yang bertujuan untuk melindungi luka dari
trauma, bakteri dan evaporasi. Indikasi dilakukannya perawatan luka tertutup adalah
pada pasien di poliklinik, luka tubuh melingkar dan jari-jari, namun cara ini tidak dapat
dilakukan pada luka bakar di wajah dan daerah inguinal serta menimbulakan nyeri
saat penggantian verband. Pada perawatan luka tertutup, eksudat yang keluar dari
luka beserta debris akan mengering menjadi lapisan eskar yang bertindak sebagai
verband yang kaku dan relatif kedap bakteri dimana di bawah eskar inilah
penyembuhan terjadi (Djohansjah, 1991). Sedangakan perawatan semi terbuka
mengaplikasikan prinsip pada perawatan luka terbuka namun tidak mengandalkan
eskar sebagai verband secara sepenuhnya tetapi juga menggunakan obat obatan
lokal .

81
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
c. Pengobatan lokal
Oleh karena jaringan – jaringan nekrotik yang melekat pada luka dan tentunya tidak
dapat dijangkau dengan pemberian antibiotika secara sistemik, maka pada luka bakar
pemberian obat-obatan lokal merupakan suatu keharusan. Obat –obatan yang bias
diberikan antara lain AgNO2 0,5% dalam pembalut yang selalu basah, Sulfamylon
10% dalam cream dan Silversulvadiazine yang diberikan sekali sehari.
d. Mandi
Badan penderita setiap 1-2 hari setelah resusitasi selesai, harus dibersihkan dari
kotoran yang melekat dengan memandikannya dan lukanya dalam cairan yang
mengandung disinfektan sekaligus melepaskan jaringan nekrotik(Djohansjah,1991).
e. Skin grafting
Skin grafting adalah salah satu metode penutupan luka sederhana, yang merupakan
salah satu modalitas utama dalam ilmu bedah plastik. Pada kasus luka bakar di fase
awal, skin grafting dikerjakan denga STSG (Split thickness Skin Graft) berdasarkan
tujuan menghentikan evaporated heat lost berlebihan yang menyebabkan gangguan
metabolik dan mengupayakan proses penyembuhan berjalan sesuai
waktu(Moenadjad, 2003).
f. Antibiotika sistemik
Infeksi bakteri dapat terjadi selama masa penyembuhan luka baik oleh bakteri gram
positif yang berkembang secara setempat maupun bakteri gram negatif yang lebih
infasif dan banyak menimbulkan sepsis. Pemberian antibiotika secara sistemik
dilakukan apabila terdapat tanda – tanda terjadinya sepsis.
g. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan tindakan pembuangan jaringan nekrotik (nekrotomi) dan
debris (debridement) yang dikerjakan kurang dari 7 hari pasca cidera termis
(Moenadjad, 2003). Eksisi dini dilakukan dengan cara tangensial dan disusul dengan
grafting. Tindakan ini penting dilakukan untuk menghindari infeksi dan mempercepat
proses penyembuhan luka (Djohansjah, 1991). Tindakan ini dapat dilakukan pada saat
pendinginan luka, perawatan luka, penggantian balutan atau pada saat tindakan
pembedahan(Effendy, 1999).

82
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penatalaksanaan Gangguan Sirkulasi (SYOK)

Pendahuluan : Manajemen syok telah menjadi focus subyek penelitian secara mendalam selama
beberapa decade terahir.update ilmu dan pengobatan syok hemoragik terus dilakukan dalam
menemukan rekomendasi yang tepat selama masa prehospital. Pengalaman militer A.S saat perang di
Irak dan Afghanistan telah berdampa terhadap pemikiran baru dalam pengelolaan perdarahan yang
mengancam jiwa.
Bab ini akan akan membahas teori terkini dan hasil penelitian terbaru tentang patofisiologi dan
penanganan syok pada pasien trauma dan pada pasien dengan berbagai keadaan syok lainnya.

PATOFISIOLOGI DASAR
Perfusi normal dalam tubuh dipengaruhi oleh empat hal :
1. System vaskularisasi yang utuh untuk dapat mengalilrkan oksigen keseluruh pembuluh darah
2. System pertukaran gas yang adequate didalam paru : oksigen mampu masuk kedalam
darah (darah teroksigenasi)
3. Volume cairan adequate didalam pembuluh darah : sel darah merah dan plasma
4. Fungsi pompa yang baik : jantung

Penting untuk diingat bahwa tekanan darah membutuhkan semua komponen diatas dalam
kondisi "stabil" . Jantung harus memompa, volume darah Harus cukup, pembuluh darah harus
utuh, dan paru-parunya harus mengoksidasi darah.

Tekanan darah = cardiac output x Peripheral Vascular Resistance

Cardiac Output = Heart Rate x Stroke Volume

Jadi, jika curah jantung turun (entah karena jatuh detak jantung atau menurunkan stroke volume)
atau jika resistansi pembuluh darah perifer turun (seperti pada arteri yang melebar yang terjadi
syok neurogenik), maka tekanan darah akan turun.

Manajemen shok yang tepat berkaitan dengan 4 komponen diatas :

Stabilkan airway
Stabilkan oksigenasi dan ventilasi
Control perdarahan
pertahankan sirkulasi melalui denyut jantung yang memadai dan volume intravaskular.
Note : saat anda melakukan ventilasi kepada sesorang, tekanan udara yang masuk akan mendorong
darah kembali kejantung sehingga menurunkan curah jantung

83
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Syok menggambarkan suatu kondisi yang terjadi saat perfusi Jaringan tubuh dengan
oksigen, elektrolit, glukosa, dan cairan menjadi tidak adekuat dengan kebutuhan tubuh.
Beberapa proses menyebabkan penurunan perfusi ini. Sebagai contoh, Hilangnya sel darah
merah dalam pendarahan pasien mengakibatkan kurang transportasi oksigen ke jaringan
tubuh. Penurunan volume darah yang beredar menyebabkan penurunan glukosa, volume
cairan, dan elektrolit ke sel. Gangguan peredaran darah tersebut terjadi sel-sel tubuh menjadi
"mengkerut", dan perubahan serius pada jaringan tubuh mulai terjadi. Pada akhirnya
terjadilah kematian sel.
Saat oksigen tidak ada, maka metabolism terjadi menggunakan cadangan oksigen yang ada,
hasil pembakaran cadangan oksigen ini menghasilkan toksik berupa asam laktat. Penggunaan
cadangan oksigen ini dapat menghambat kematian sel dalam beberapa waktu tertentu,
namun karena produk yang dihasilkan berupa racun akan mempengaruhi fungsi dari
mitokondria. Akumulasi asam laktat didalam sel akan mengakibatkan gangguan sistemik
(asidosis) yang berpengaruh terhadap fungsi sel. Dampaknya, fungsi otot pernafasan
melemah, gagal nafas mulai berkembang, dan terjadi hipoksia.
Ketidak adekuatan oksigen didalam darah menyebabkan tubuh merepon dengan
meningkatkan aktivitas saraf sympatic, mengakibatkan pelepasan katekolamin yang beredar
(epinefrin dan norepinephrine) meningkat. Hormon tersebut berpengaruh terhadap kekuatan
kontraksi jantung dan menyempitkan pembuluh darah arteri perifer. Respon Otak tengah
terhadap hipoksia progresif dan asidosis melalui peningkatan laju pernafasan.
Syok dimulai dengan adanya cedera kemudian dampaknya menyebar kesluruh tubuh.
Kerusakan dan kematian sel berdampak klinis terhadap pasien yang mengalami syok,
manifestasi klinis yang bias ditemukan adalah : pucat, diaporetik, dan takikardi. Sedangkan
pada tingkatan sel terjadi kekurangan oksigen dan nutrisi yang berdampak terhadap
kerusakan dan kematian sel. Buruknya perfusi jaringan pada pasien yang mengalami syok
dapat merusak organ-organ secara reversible ataupun permanen yang dapat mengakibatkan
kecacatan dan atau kematian terutama jika yang mengalami kerusakan adalah organ vital.
Bagian terburuk dari fase syok adalah kematian sel/organ yang tidak dapat
diidentifikasi saat pre hospital petugas lapangan. Dampak akan terlihat beberapa hari setelah
fase syok terjadi dengan muculnya kegegalan organ dan multisystem di ICU. Jadi sangat
penting untuk mengidentifikasi fase syok, mentreatment sesuai standar yang ada saat ini, dan
segera membawanya ke fasilitas yang lebih memadai.

Assessment syok
Pasien syok akan memperlihatkan tanda-tanda yang dapat diobservasi selama proses
assesemnt.
Diagnosis awal fase syok sering ditemukan dari kondisi fisik. Tekanan darah harus sering
dipantau untuk membantu menentukan apakah perfusi organ adekuat, hipotensi merupakan
indikasi ketidakadekuatan perfusi organ. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakah setiap
hipotensi merupakan syok?” mengingat bahwa pasien dewasa yang sehat mampu
memperthankan perfusi organ meski dalam kondisi hipotensi. Sebaliknya, pasien yang lebih

84
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
tua, pasien hipertensi, dan mereka yang memiliki cedera kepala seringkali tidak bias
mentolerir hipotensi untuk periode yang singkat sekalipun. Untuk dapat menentukan tanda
syok dapat dilihat dari jenisnya

Syok terkompensasi Vs syok tidak terkompensasi


Syok terkompensasi
Tanda yang muncul saat terjadi syok dan tubuh mampu mengkompensasi :
Kelemahan : penurunan volume darah
Haus : hypovolemia
Pucat
Takikardia
Diaphoresis
Tachypnea
Penurunan volume urin
Weakened peripheral pulses
Note : tanda yang ada merupakan sebuah perjalanan tubuh dalam mengkompensasi kondisi
syok.
Syok tidak terkompenasai
Hipotensi
Perubahan status mental : kebingungan,
gelisah, kesadaran menurun.
Cardiac arrest
Respon yang terlihat saat setelah masa syok
pada pasien dapat dibagi menjadi “early” dan
“late” syok.
Early syok : kehilangan 15-25% volume
darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
takikardi, pucat, penyempitan nadi,
kehausan, kelemahan, memungkinkan
keterlambatan CRT.
Late syok : kehilangan 30-45% volume darah.
Kondisi ini dapat menyebabkan hypotensi secara cepat. Ketika terjadi late syok,
kemampuan tubuh untuk mengkompensasi gagal.
Klasifikasi syok juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan sebagai berikut :
Drajat syok Klas I Klas II Klas III Klas IV
Kehilangan <750 750-1500 1500-2000 >2000
darah/cc
Darah <15 15-30 30-40 >40
hilang/%EBV
Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal;meningkat Menurun Menurun Menurun
Respirasi 14-20 20-30 30-40 >35
85
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Produksi urin >30 20-30 5-15 tidak ada
(cc)
Kesadaran Agak gelisah Gelisah Gelisah + Bingung + latergi
bingung
Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid+darah Kristaloid+darah
pengganti

Dari table diatas jelas bahwa syok harus dapat dikenali secara cepat tanpa harus dibantu
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Bahkan pada kasus trauma, bila ditemukan ada
takikardi dan ekstermitas yang dingin, sudah harus dipikirkan adanya syok.

Penyebab syok
Pada umumnya penyebab syok pada saat trauma adalah :
Syok perdarahan (hemoragik)
Kardiogenik
Neurogenic
Tension pneumotorak :
Tamponade jantung

Penanganan / terapi
Penanganan post traumatik syok harus memenuhi prinsip sebagai berikut :
Control bleeding : sel darah merah merupakan pembawa oksigen keseluruh tubuh :
pencegahan perdarahan dapat dilakukan secara langsung menekan pada area bladding,
tourniket, hemostatic agent, atau segera dilakukan pembedahan.
Hight flow oxygen : pasien syok sangat membutuhkan oksigen, observasi terhadap
perubahan warna kulit tidak memberikan informasi yang jelas kebutuhan oksigen. Pada
umumnya pasien syok hemoragic akan pucat. Sianosis pada ekstermitas merupakan tanda
keparahan hipoxemia akibat kehilangan darah.
Load and go : syok karena trauma dari berbagai sebab masuk dalam katagori load and go.
Lakukan transportasi pasien segera setelah initial assasement dilakukan. Intervensi yang
lain dapat dilakukan di ambulan selama perjalanan.

Manajemen syok : perdarahan terkontrol


Letakkan pasien pada posisi harizontal
Berikan hight flow oxigen : dianjurkan dengan nonrebreathing mask
Segera transport ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai

Berikan akses intravena dengan abochat besar (size 16 jika memungkinkan).
pertimbangkan IO (intraosseus) vaskular akses jika pasien masuk fase kritis dan IV line
tidak efektif.
Bolus normal salin 20 Ml/kg IV line secara cepat.

86
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Manajemn syok : perdarahan tidak terkontrol

Pasien dengan perdarahan external yang tidak dapat dikontrol harus segera dirujuk ke
fasilitas yang lebih memadai untuk mendapat tindakan operasi sehingga proses
homeostatis dapat kembali seimbang. Dalam proses penanganan pasien dengan syok
hemoragic tidak terkontrol dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut :

Tekan pada daerah perdarahan (femoral artery, facial hemodargic)


Posisikan pasien pada bidang harizontal
Do not hesitate to apply a tourniquet to a bleeding extremity to stop severe
bleeding that cannot be otherwise controlled
Apabila dengan teknik penekanan dan tourniket tidak dapat mengontrol
pendarahan, pergunakan agen homeostatis seperti “Quickclot”, “combat Gueza”,
“hemcon” atau “Celox”.
Berikan hight flow oxygen dengan nonrebreathing mask
Segera transport dengan kondisi aman
Brikan Double IV line : Berikan hanya Normal salin untuk mengatur tekanan
darah sudah cukup untuk memperbaiki perfusi.

Perdarahan internal

Segera transport pasien ke fasilitas lebih memadai


Letakkan pasien pada posisi horizontal
Berikan hight flow oksigen
Berikan IV line menggunakan selang infus ukuran besar
Ringkasan Perhatikan irama jantung, pantau saturasi oksigen dengan oksimetri

Penilaian dan perawatan pasien selalu dimulai dengan ABC, pertahankan pembukaan jalan
nafas, monitor respiirasi dan ventilasi jika dibutuhkan. Lakukan penilaian sirkulasi dengan
mengukur pulsasi radial, dan control perdahan eksternal. Perdarahan eksternal parah harus
diidentifikasi dan dikontrol selama penilaian awal. Metode utama untuk mengontrol
perdarahan eksternal adalah :

• Tekan langsung/balut tekan


• Elevasi/tinggikan
• Presusure poin : penekanan arteri brackialais dan femoralis

Metode lain termasuk pembidaian, dan penggunaan pneumatic anti syok garment (PASG).
Penggunaan tourniquate adalah cara terahir apabila cara-cara diatas telah ditempuh dan
keadaan pasien dalam keadaan syok berat untuk menyelamatkan nyawa. Setelah perdarahan
diatasai selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan cairan intravaskuler dengan memberikan
cairan dengan jumlah yang dukup dalam waktu yang singkat. Pada umumnya cairan yang
diberikan adalah RL 20-40 cc/kg BB yang diberikan dalam tempo 10-15 menit. Pemberian
cairan ini dapat diualangi satu sampai 2 kali tergantung situasi. Hal lain yang harus
diperhatikan disini adalah cara pemasangan infus. Pilihlah jarum serta selang infus ukuran
besar sehingga memungkinkan transfuse dengan lancar. Jangan lupa untuk mengambil sample
darah untuk pemeriksaan cross test apabila transfuse darah harus diberikan

87
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
MENGHITUNG WAKTU INFUS

E.g : dokter meresepkan 1.000 ml RL dengan laju 30 tts/mnt


menggunakan factor tetesan 15 tt/ml. hitunglah waktu
pemberian infus?

• Konversikan tts/mnt ke mL/mnt :



o 15 tts/mnt : 1 mL ~ 30 tts : X mL = 2 mL/mnt. o

Konversikan mL/mnt ke mL/jam 120 mL/jam

o = 8,3 jam (( 8 jam, 13 menit)

Menghitung tetesan permenit

Rumus cepat

Tanda keberhasilan resusitasi :


Otak : kembalinya kesadaran
Ginjal : volume urin bertambag
Kulit ekstermitas menjadi hangat
Jantung denyut nadi turun
Prognosis tergantung pada beberapa hal diantaranya :
Lamanya syok
Beratnya syok
Kecepatan penanganan yang benar
Kondisi sebelumnya
Penyakit penyerta
Akibat dari syok yang berlanjut adalah kematian yang disebabkan gagalnya fungsi organ vital
yang bersifat irreversible. Makin lama berlangsungnya dan makin berat drajat syok, maka
kemungkinan terjadinya kerusakan organ akan makin besar. Oleh karena itu, makin cepat pertolongan
diberikan makin besar kemungkinan keberhasilnnya. Disamping hal tersebut diatas, keadaa penderita
secara umum seperti usia, gizi dan adanya penyakit lain dapat pula mempengaruhi hasil penanganan
syok. Pendertita usia lanjut, gizi buruk, dan penyakit sistematik seperti diabetes dan sirosis hati akan
memperburuk prognosis.

88
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Penatalaksanaan Kegawatan Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler merupakan


sistem yang memberi fasilitas proses
pengangkutan berbagai substansi dari,
dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari
organ penggerak yang disebut jantung,
dan sistem saluran yang terdiri dari arteri
yang mergalirkan darah dari jantung, dan
vena yang mengalirkan darah menuju
jantung.
Jantung manusia merupakan jantung
berongga yang memiliki 2 atrium dan 2
ventrikel. Jantung merupakan organ
berotot yang mampu mendorong darah ke
berbagai bagian tubuh. Jantung manusia
berbentuk seperti kerucut dan berukuran sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada
sebalah kiri. Jantung dibungkus oleh suatu selaput yang disebut perikardium. Jantung
bertanggung jawab untuk mempertahankan aliran darah dengan bantuan sejumlah klep yang
melengkapinya. Untuk mejamin kelangsungan sirkulasi, jantung berkontraksi secara periodik.
Otot jantung berkontraksi terus menerus tanpa mengalami kelelahan. Kontraksi jantung
manusia merupakan kontraksi miogenik, yaitu kontaksi yang diawali kekuatan rangsang dari
otot jantung itu sendiri dan bukan dari syaraf.

CARDIAC AREREST
Cardiac arrest dapat didefinisikan sebagai kondisi berhentinya fungsi jantung yang
tidak dapat diprediksi yang biasanya terdapat gejala satu jam sebelumnya atau bahkan tidak
ada gejala sama sekali, tanpa penanganan yang baik maka akan dapat menyebabkan
kematian (Padley, 2012). Cardiac arrest merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
tidak berfungsinya atau kelainan fungsi dari sistem kelistrikan jantung yang meyebabkan
terjadinya arrytmia. Arrythmia yang paling sering menyenyebabkan cardica arrest adalah
Ventricular Fibrilation (VF) ( The Joint Comission, 2011). Sedangkan Suddent Cardiac Arrest
(SCA) adalah merupakan suatu keadaan yang dikarakteristikkan dengan adanya penghentian
aliran darah yang efektif yang menyebabkan hilangnya kesadaran yang dapat meyebabkan
kematian yang mendada (The Joint Commision, 2011). Umumnya SCA disebabkan oleh
karena Ventikel Fibrillasi dan Ventrikel Tachicardia tanpa nadi (VF/VT). Akan tetapi secara
substansial cardiac arrest dapat juga diawali dengan adanya bradikardi, asystole atau
pulseless electrical activity (PEA). Survival rate pasien VT/VF akan lebih baik jika
dibandingkan dengan cardiac arrest yang disebabkan karena bradiarrythmia atau asystole.

89
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Dan respon yang cepat akan sangat mempengaruhi angka keselamatan dari pasien cardiac
arrest (The Joint Comission, 2011). Menurut American Heart Assosciation (2010) cardiac
arrest adalah suatu kondisi terhentinya fungsi jatung secara cepat dan mendadak, yang dapat
terjadi pada seorang yang didiagnosa penyakit jantung atau tidak, waktunya tidak dapat
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat saat tanda dan gejalanya muncul. Dari beberapa
definisi di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa cardiac arrest merupakan suatu
kondisi syndroma yang terjadi akibat terhentinya aliran darah ke seluruh organ tubuh karena
terhentinya fungsi jantung sebagai pompa, yang dapat disebabkan oleh terutama adanya
gelombang listrik dari jantung yang abnormal berupa VT tanpa nadi, VF, Pulseless Electrical
Activity dan Asystole. Dimana VT/VF merupakan gelombang yang harus segera mendapatkan
tindakan defibrilasi selain CPR dan obat-obatan, sedangkan gelombang PEA dan Asystole
bukan merupakan gelombang yang harus mendapat tindakan defibrilasi hanya dengan CPR
dan obat-obatan (Callaway, et al, 2011).

Penyebab atau faktor risiko


Secara umum cardiac arrest terjadi karena mekanisme electrical jantung berupa
ventrikular tachycardia, ventrile fibrillasi atau ventricular tachycardia tanpa nadi (Meyburg &
Castellanos, 2014). Gelombang yang termasuk sebagai caridiac arrest rhythms teridiri dari
gelombang VT/VF, PEA dan Asystole (Aehlert, 2012).
Ventricular tachycardia (VT) merupakan irama yag muncul ketika terdapat tiga atau
lebih irama prematur ventricular contraction (PVC) dan frekuensi jatung lebih dari 100X/menit.
VT dapat berupa VT yang teraba nadi dan VT yang tidak teraba nadi (Aehlert, 2012).
Terdapat beberapa gambaran gelombang VT yaitu gelombang VT monorfik ketika bentuk dan
amplitudo dari irama VT sama. Sedangkan VT polymorfik adalah suantu gambaran bentuk
gelombang QRS kompleks yang tidak beraturan bentuk dan amplitudonya (Aehlert, 2012).
Terdapat beberapa penyebab dari gelombagn VT diantaranya adalah: ketidak seimbagan dari
asam basa, ACS, cardiomiopathy, cocain abuse, keracunan digitalis, ketidakseimbangan
electrolit, prolapsus katup mitral, trauma, tricyclid antidepresant overdose dan kelainan katup
pada jantung.

Ventrikel Fibirallasi (VF) adalah merupakan irama chaotic/irama yang kacau yang
terjadi di ventrikel. Pada irama VF terjadi disorganisasi depolarisasi dari ventrikel sehingga
menyebabkan otot jantung bergetar, hal ini mengakibatkan kontraksi dari otot jantung menjadi
tidak efektif dan tidak teraba nadi (Aehlert, 2012). Faktor –faktor yang dapat meningkatkan

90
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
kejadian VF diantaranya adalah : ACS, obat – obat antiarrhythmia, dysrithmia, ketidak
seimbangan elektrolit, faktor lingkungan, gagal jantung, hypertrophy, peningkatan aktivitas
sympatis dan stimulasi vagal.

Pulseless electical activity (PEA) merupakan suatu situasi klinis bukan merupakan
disrithmia yang spesifik, PEA terjadi ketika aktivitas kelistrikan yang hanya dapat diamati
ketika monitor terpasang seperti adanya akitivitas jantung yang terorganisasi, akan tetapi
tidak ada respon dari pasien dan pasien tidak bernafas serta tidak teraba nadi. Kondisi PEA
merupakan situasi yang sangat gawat dan memiliki prognosis yang buruk. Oleh karena itu
dibutuhkan manajemen yang cepat. Tindakan yang harus segera diberikan adalah segera
melakukan CPR yang berkualitas, memasang IV line, memberikan epinephrine, segera
mencari penyebab dan memasang advanced airway.

Asystole merupakan suatu kondisi dimana tidak ada aktivitas kelistrikan jantung sama
sekali. Tidak ada irama ventrikular, tidak teraba nadi dan tidak ada cardiac output. Pada
beberapa kasus mungkin muncul aktivitas atrium, jika hal ini terjadi maka disebut dengan
“gelombang p” asystole atau ventricular standstill. Asystole mungkin merupakan gejala akhir
dari tachikardia yang telah mendapatkan pengobatan, defibrilasi, atau syncronize defibrilasi
(Aehlert, 2012). Jika menemukan gelombang asystole maka yang harus dilakukan adalah
segera mengkonfirmasi kesadaran pasien, cek nadi. Jika tidak berespon dan nadi tidak teraba
segera lakukan CPR, pasang IV line, kaji penyebab, berikan epenephrine, jika memungkinkan
segera pasang advanced airway.

Tatalaksana Cardiac Arrest


Basic Life Support (BLS) merupakan dasar dalam penanganan cardiac arrest, aspek
dasar dalam BLS adalah terdiri dari imediate recognition dan activation of emergency
response, early CPR, rapid defibrilation, efective advance life suport dan integrated post
cardiac arrest, yang mana dari keseluruhan tindakan tersebut diistilahkan dalam satu
kesatuan yaitu “ Chain of survival” (Gambar 2.1) (Berg, et al, 2010).
91
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Gambar 2.1 Chain of Survival (Sumber : Berg, et al, 2010)

Menurut Australian Resusciatation Council (ARC) terdapat perbedaan antara tindakan


cardiac arrest diluar rumah sakit dan didalam rumah sakit. Perbedaan tersebut terjadi karena
dalam beberapa hal petolongan cardiac arrest didalam rumah sakit memiliki beberapa hal
yang tidak dimiliki jika cardiac arrest terjadi diluar rumah sakit yaitu: didalam rumah sakit
merupakan area klinis, skill responder, jumlah responders, peralatan yang dimiliki dan
terdapat medical response misalnya medical team responses (MET) atau resuscitation team
(ARC, 2011).
Penatalaksanaan cardiac arrest yang meliputi lima rantai atau chain of survival yang
terdiri dari early recognition and activation, early CPR, early defibrillation, ALS (Advanced Life
Support) dan post cardiac arrest care (Gambar 2.2 dan Gambar 2.3) adalah merupakan satu-
kesatuan tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dari lima rantai dalam
chain of survival, early CPR salah satu yang sangat penting dan mempunyai peran yang
sangat vital dalam menentukan survival rate pada pasien yang mengalami cardiac arrest,
sejak diperkenalkan pada tahun 1960 CPR telah mampu menyelamatkan dan meningkatakan
produktivitas pada pasien cardiac arrest yang hidup ( Dwyer & Williams, 2002).
Secara ilmiah telah dapat dibuktikan bahwa tindakan pada cardiac arrest sangat
tergantung dari suatu keahlian khsusus yang harus dimiliki oleh staf medis seperti
keterampilan melakukan CPR, defibrilasi dan menghindari hyperventilasi pada pasien cardiac
arrest (Anderson, et al, 2010). Tidak dapat disangkal bahwa keterampilan dalam melakukan
CPR memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan survival rate pada pasien
yang mengalami cardiac arrest. Banyak ahli percaya bahwa pasien cardiac arrest akan dapat
diselamatkan dengan melakukaan beberapa intervensi yatu : early access, CPR, defibrilation
dan advance care dengan segera (Bolandparvaz, et al, 2009). Keselamatan atau survival rate
pada pasien cardiac arrest sangat berhubungan dengan waktu yaitu “jangka pendek yaitu
segera saat kejadian”, “jangka menengah” yaitu saat setelah keluar rumah sakit” dan “ jangka
panjang yaitu 2 bulan sampai 24 bulan setelah keluar rumah sakit. Pada waktu “jangka
pendek” atau saat kejadian peranan CPR sangat penting agar pasien dapat kembali dalam
kondisi pernafasan dan sirkulasi yang spontan (return of spontaneus circulation) (Sandroni et
al, 2006).
CPR merupakan tindakan yang dilakukan pada situasi untuk menyelamatkan
kehidupan pada pasien cardiac arrest, sehingga tindakan CPR biasanya sangat
92
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
berhubungan dengan tindakan yang penuh dengan tekanan dan beresiko tinggi (Sang, et al,
2013). Perawat sebagai ujung tombak dalam melakukan pertolongan pada pasien cardiac
arrest diunit pelayanan, banyak yang kurang terampil dalam melakukan CPR. Keterampilan
CPR sangat penting untuk dikuasai dengan baik karena dengan CPR yang berkualitas akan
dapat mengalirkan darah ke organ vital termasuk otak sebelum dilakukan tindakan defibrilasi
(Finn, 1996 : Glaa & Chick, 2011).
Keberhasilan dalam melakukan resusitasi sangat tergantung dari integrasi dan
koordinasi yang direpresentasikan oleh hubungan dalam chain of survival. Hubungan tersebut
adalah recogniton dan activatiaon, early CPR, rapid defibrilation efektif ALS dan integrasi
perawatan post cardiac arrest (Travers, et al, 2010). Selain itu keberhasialn dalam
penanganan cardiac arrest dapat juga dipengaruhi oleh faktor penolong dan korban. Dimana
keberhasilan penolong dalam melakukan tindakan dipengaruhi oleh pelatihan yang dimiliki,
pengalaman dan kepercayaan diri. Selain itu keberhasilan dalam pertolongan cardiac arrest
juga dipengaruhi oleh korban yaitu usia dari korban ( Travers, et al, 2010).
Recognition dan Activation emergency respon, early recognation dan activation
merupakan salah satu bagian yang sangat penting, serta merupakan rantai pertama pada
chain of survival. Dengan pengaktifan emergency medical services (EMS) terutama diluar
rumah sakit maka, bystanders atau penolong dapat dipandu tentang tindakan yang dapat
dilakukan selama petugas belum datang (Aehlert, 2012). Pada kejadian cardiac arrest diluar
rumah sakit, pengaktifan EMS segera sangat penting. Umumnya setiap negara mempunyai
nomor panggilan darurat yang khusus ( ARC, 2011). Pengatifan EMS dan segera melakukan
resusitasi pada korban cardiac arrest, terutama jika menemukan korban yang tidak berespon,
atau tidak bernafas atau nafas gasping (Travers, 2010).
Chest Compression, CPR merupakan salah satu bagian dari BLS. Dalam BLS
termasuk menilai tanda dan gejala adanya cardiac arrest, serangan jantung, stroke, dan
adanya sumbatan benda asing di jalan nafas, mengatasi sumbatan jalan nafas, CPR dan
melakukan defibrillasi dengan menggunakan AED (Aehlert, 2012). Kompresi yang efektif
adalah merupakan aspek dasar dalam resusitasi pada penanganan cardiac arrest. CPR dapat
meningkatkan survival dengan sirkulasi ke jantung dan otak (Travers, 2010). Memulai chest
compretion pada korban cardiac arrest sangat baik dibandingkan dengan tidak melakukan
apapun (ARC, 2011). Dengan melakukan kompresi selama cardiac arrest menyebabkan
peningkatan tekanan intratorak dan jantung, menyebabkan adanya aliran darah dan oksigen
ke otak dan jantung ( Aehlert, 2012). Tindakan CPR yang berkualitas diperkirakan dapat
menyebabkan cardiac output antara 25% - 30%. CPR yang berkualitas adalah melakukan
kompresi pada dinding dada korban dengan kedalaman 5 cm, kecepatan kompresi rata-rata
minimal 100X/menit dengan membiarkan dinding dada mengembang penuh setelah dilakukan
kompresi sebelum kompresi berikutnya dan meminimalkan penghentian kompresi dada
(Aehlert, 2012).
Early defibrillation, ketika seseorang mengalamai cardiac arrest, keselamatannya
sangat tergantung dari kecepatanan dalam melakukan resusitasi dengan melakukan CPR dan
defibrillation. Jika pasien cardiac arrest yang disebabkan oleh ventrikel fibrilasi (VF) maka
keterlambatan dilakukan CPR dan defibrilasi tiap menit menyebabkan penurunan survival rate
antara 7% - 10% (Aehlert, 2012). Defibrillasi merupakan pilihan yang efektif pada kasus

93
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
cardiac arrest, khususnya pada irama ventrikel tachykardi dan pulseless ventricular tachycardi
(Travers, 2010).
Advance Life Support, pada situasi darurat koodinasi tiap tim untuk melakukan
tindakan life saving yaitu CPR, airway management, ECG monitor, defibrilasi dan
pemasangan IV line serta obat-obatan adalah merupakan suatu yang sangat penting.
Pembagian tugas antar tim harus sudah jelas dan terstruktur. Dalam situasi cardiac arrest
tujuan tim adalah melakukan CPR yang berkualitas secara kontinyu, mengembalikan sirkulasi
dan pernafasan spontan, dan menjaga fungsi organ vital selama usaha resusitasi (Aehlert,
2012). Komponen dari ALS adalah : BLS, advance airway management, bantuan ventilasi,
ECG dan ECG 12 lead, pemasangan IV line, terapi elektrik termasuk defibrilasi, cardioversi
dan pemasangan pacing, pemberian obat-obatan dan tindakan bypass, insersi stent,
angioplasty, dan intra aortic balloon pump therapie (Aehlert, 2012).
Post Cardiac arrest Care, setelah berhasil melakukan resusitasi, kerusakan
neurologis dan gangguan sistem organ lainnya dapat terjadi yang menyebabkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi. Komponen dari post cardiac arrest care terdiri dari: post
cardiac arrest brain injury, post cardiac arrest myocardial dysfunction, systemic
ischemia/reperfusion response dan persistent precipitating pathology that caused or
contributed cardiac arrest (Aehlert, 2012).

ACUT CORONARY SYNDROMA


Infark Miokard Akut adalah oklusi koroner akut disertai iskemia yang berkepanjangan
yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan kematian (infark) miokard. Iskemia
sendiri merupakan suatu keadaan transisi dan reversible pada miokard akibat
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan miokard yang menyebabkan hipoksia
miokard.
Etiologi
Penyakit Jantung Koroner terjadi akibat penyumbatan sebagian atau total, satu atau
lebih pembuluh darah koroner. Akibat adanya penyumbatan ini, terjadi gangguan pasokan
suplai energi kimiawi ke otot jantung (miokard), sehingga terjadilah gangguan keseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan.
Therapi
Pengobatan dan perawatan pada ACS harus menggunakan strategi yang
berkelanjutan. ACLS provider harus memonitor setiap perubahan yang terjadi. ACLS provider
berfokus pada penatalasksanaan awal dan prioritas pada reperfusi pada otot jantung,
mengurangi nyeri dan pertoilongan pada komplikasi yang dapat mengancam kehidupan.
reperfusi dapat termasuk terapi fibrinolitik atau coronary angiografi dengan PCI (ballon
angiplasty/stenting).
Perawatan dan pengobatan pada ACS termasuk pemnggunaan obat-obatan untuk
mengurangi ketidaknyamanan, menghilangkan bekuan darah, dan menghamat pembentukan
thrombin dan platelet. obat yang termasuk dalam kategori ini:
• oksigen
• aspirin
• nitrogliserin
• opiates (morp[ine)
94
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• fibrinoilitik therapie
• heparin (UFH, LWMH)
Beberapa terapi tambahan yang dapat diberikan pada ACS akan tetapi tidak dibahas
dalam algoritma ACS adalah diantaranya:
• Beta Bloker
• adenosine diphosphate (ADP) antagonists (clopidogrel, prasugrel, ticagrelor)
• HMG-CoA reductase inhibitor (statin therapie
• glicoprotein IIb/IIIa inhibitor

Tindakan pra Hospital pada kasus ACS


sevagian besar pasien banyak yang meninggal akibat ACS sebelum mendapat pertolongan di
rumah sakit. ventrikel vivrilasi dan ventrikel takikardi tanpa nadi umumnya terjadi pada pasien
yhang ACS. Ventikel Fibrilasi dapat terjadi empat jam pertama setelah ada gejala ACS.
oleh karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk melalkukan tiindakan hyang cepat
apabila menemukan kasusn ACS diluar rumah sakit. tindakan yang dapat dilakukan adalah:
• pastikan tanda dan gejala ACS
• aktifikan panggilan emergency
• mulai lakukan CPR\
• lakukan defibrilasi dengan AED jika tersedia
• segera laklukan rujukan ke perawatan gawat dan darurat dan kardilogi.

95
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Manajemen ACS
Acut coronary syndroma (ACS) (seperti dalam algoritma) adalah merupakan langkah
pengkajian dan manjemen yang mengalamai ACS. Responder yang meneukan pasien yang
mengalami ACS di luar rumah sakit dapat melakukan penanganan awal, termasuk pemberian
okseigen, aspirin, nitrogliserin, dan morphine jika diperlukan serta melalkujkan perekaman
ECG 12 lead.
aplikasi algoritma ACS:
langkah-langkah dalam algoritma:
• indentifikasi adanya nyeri dada yang dicurigai iskemia (langkah 1)
• EMS assesessment, care, transport, and hospital prearrival notification (langkah3)
• Immediate ED assessment and treatment (langkah4)
• classificasion of patients according to ST-segment analysis (langkah 5,9, dan 11)
• STEMI (langkah 8

96
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
PEMINDAHAN & EVAKUASI
Transportasi pasien atau memindalikan pasien dan satu tempat ke tempat lain
seringkali diperlukan, namun perlu diingat bahwa pasien dengan sakit yang kritis tidak
mempunyai atau hanya mempunyai sedikit cadangan fisiologik. Sehingga pemindahan pasien
kritis dapat menimbulkan problem yang besar. Alasan itulah maka pemindahan pasien kritis
memerlukan perencanaan yang cermat serta pengawasan yang ketat.

Rujukan adalah suatu proses usaha memindahkan pasien gawat darurat dari satu tempat
ketempat lain tanpa atau menggunakan alat bantu tergantung situasi dan kondisi lapangan.
Evakuasi medis : sering disebut Medevac atau Medivac, adalah gerakan yang tepat waktu
dan efisien serta perawatan rute yang disediakan oleh petugas medis yang terluka dievakuasi
dari medan perang atau pasien yang cedera akibat kecelakaan yang dievakuasi dari tempat
kejadian menuju fasilitas medis, atau pasien di fasilitas pedesaan yang membutuhkan
perawatan segera di fasilitas yang lebih lengkap menggunakan kendaraan darat yang
dilengkapi secara medis (ambulans) atau pesawat terbang (ambulans udara).

Syarat merujuk (4w+1 H)


Penilaian lokasi dan korban :
a. Lindungi diri sendiri untuk tindakan pencegahan
b. Nilai apakah lokasi aman untuk penolong dan korban
c. Bagaimanan cara/mekanisme cedera
d. Berapa jumlah pasien
e. Apakah dibutuhkan bantuan khusus
Pedoman Evakuasi pasien kritis :
• Perencanaan : perencana yang dimaksud meliputi assessment (penilaian
cepat daerah bencana/kecelakaan ), penilaian korban, penilaian fasilitas, dan
personel yang terlibat.
• Prosedur
Dalam pelaksanaan evakuasi pasien gawat darurat perlu mempertimbangkan
beberapa hal berikut :
a. Memprioritaskan korban massal, luka parah dan kelompok rentan
b. Dilakukan pada korban dalam keadaan stabil
c. Dialkukan melaluit darat, air, dan udara.
d. Penyelamatan dan evakuasi korban akibat bencana dilaksanakan oleh tim
reaksi cepat dengan melibatkan unsur masyarakat dibawah komando
penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkat bencana.
e. Korban gawat darurat disertai petugas pendamping yang trampil memenuhi
kualifikasi penanganan gawat darurat
f. Personel kesehatan memehami system evakuasi medic dan geomedik
mapping daerah setempat sehingga setiap korban dapat dievakuasi ke
fasilitas kesehatan sesuai dengan tingkat kegawatdaruratan dengan
memberikan lebel warna pada korban.
97
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
HIPGABI - NTB
1. Hitam : prioritas Nol (0), pasien meninggal atau cedera parah yang
sulit untuk diselamatkan
2. Merah : prioritas pertama, penderita cedera berat dan memerlukan
penilaian cepat dan tindakan medic atau transport segera untuk
menyelamatkan hidupnya.
3. Kuning : prioritas Kedua : pasien memerlukan bantuan, namun
dengan cedera da tingkat yang kurang berat dan dapat dipastikan
tidak akan ada ancaman jiwa dalam waktu dekat.
4. Hijau : priortitas Ketiga : pasien dengan cedera minor dan tingkat
penyakit yang tidak membutuhkan pertolongan segera serta tidak
mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan.
g. Pasien yang meninggal dunia dilakukan identifikasi

Memindahkan pasien darurat dan non darurat


1. Memindahkan pasien gawat darurtt Prinsip pengankat pasien
Sebelum mengevakuasi pasien gawat darurat harus dilakukan beberapa hal
berikut :

Penilaian awal sudah dilakukan dengan lengkap

Denyut nadi dan nafas korban stabil dan dalam batas normal

Perdarahan sudah dikendalikan

Patah tulang yang ada sudah di tangani

Rute yang dilalui tidak membahayakan penolong dan korban

System mekanika tubuh saat mengankat pasien trauma/nontrauma


Prinsip mengankat pasien/korban :

Jangan menambah cidera pada korban

Hindari pemindahan korban jika tidak stabil

Jangan membahayakn diri penolong

Jelaskan apa yang akan dilakukkan pada korban

Jangan lakukan sendiri

Satu komando/aba-aba
Dasar pengangkatan :

Rencanakan setiap gerakan

Pertahankan sikap tegak saat berdiri, berlutut, maupun duduk, jangan bungkuk

Konsentrasikan beban pada otot paha, bukan punggung

Gunakan otot fleksor (otot untuk menekuk, bukan otot untuk meluruskan)

Saat mengankat dengan tangan, telapak tangan kearah depan

Jaga titik beban sedekat mungkin dengan tubuh

Gunakan alat bantu

Jaga jarak antara kedua lengan dan tungkai selebar bahu : terlalu rapat mengurangi
stabilitas, terlalu lebar mengurangi tenaga.

98
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Teknik mengakat korban :
• Gendong punggung
Untuk korban sadar yang tidak dapat berdiri, dapat dilakukan dengan
menggendong korban dibelakang penolong. Posisi tangan penolong dapat
menopang pantat atau mengunci legan korban.

• Mengankat depan/memapah
Korban yang sadar tapi lemah, tidak dapat berjalan dan tangan hanya dapat
menggantung fasif dileher penolong, sebaiknya dipindahkan dengan cara
membopong.

• Menjulang
Teknik untuk satu penolong dan diperlukan pergerakan yang cepat atau
menepuh jarak jauh. Posisi ini akan membantu penolong leluasa dalam
bergerak.

Teknik menopang
• Memapah 1 orang
Jika masih bias berjalan meskipun sedikit, maka korban dapat dibantu dengan
memapahnya. Tangan korban dirangkul dipundak penolong, salah satu tangan
penolong memegang pinggang korban antisipasi jika korban pingsan atau
lemas.
• Dua penolong

Korban diangkat dengan menggunakan tangan sebagai tandu

Mengusung korban dengan menggunakan kursi sebagai tandu

99
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
B. Evakuasi dengan alat
• Kencdric Ekstrication Drive (KED)
Alat untuk memudahkan pertolongan korban dalam mobil dalam kondisi duduk

100
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• Long Spineboard
Untuk pasien yang dicurigai cedera tulang belakang. Jangan meletakkan
korban terlalu lama (> 2 jam).

• Scoop stretcher
Hanya untku memindahkan korban dari breangkar ke tempat tidur atau
sebaliknya. Bukan alat untuk mobilisasi pasien, bukan alat transportasi, jangan
mengakat scoop stretcher hanya pada ujungnya saja (melengkung)

101
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
TRIAGE

Triage adalah proses pemilihan pasien berdasarkan tingkat kegawatan kondisinya.


Wilson (2007) mengatakan bahwa Triage adalah proses bagaiman mengkategorikan korban
dalam sebuah insiden atau bencana berdasarkan derajad keparahan yang berbeda-beda,
perawatan yang sesuai dan prioritas transportasi yang dibutuhkan. Triage merupakan hal
yang sangat mendasar dalam kondisi kegawatdaruratan, baik di luar rumah sakit maupun
didalam rumah sakit. Kondisi kejadian bencana maupun proses pelayanan di departemen
kegawatdaruratan dimana korban ataupun pasien yang harus ditangani biasanya melebihi
jumlah petugas yang tersedia, jenis kasus maupun trauma serta tingkat kegawatan yang
berbeda-beda membutuhkan proses critical thinking dalam penentuan prioritas penanganan.
Di luar rumah sakit triage dibutuhkan pada saat kejadian bencana atau kejadian kecelakaan
dengan korban massal untuk menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya, sedangkan dalam
setting pelayanan unit gawat darurat di rumah sakit triage dibutuhkan untuk memberikan
pelayanan terbaik pada setiap pasien sehingga meminimalkan angka mortalitas dan
morbiditas. Bab ini akan membahas mengenai kedua jenis triage tersebut yaitu triage
lapangan dan triage di rumah sakit serta bagaimana proses triage pada kedua kondisi
tersebut.

Sejarah Triage

Triage berasal dari bahasa Kata Perancis TRIER yang berarti membagi dalam 3
kelompok, sedangkan dalam bahasa Inggris berasal dari kata To Sort yang berarti memilah.
Pada awalnya triage dikembangkan dalam medan pertempuran oleh Baron Dominique pada
sekitar tahun 1800. Sekitar tahun 1900 triage digunakan secara lebih luas oleh para tentara
saat peperangan untuk memilah dan memilih tentara yang menjadi korban berdasarkan
tingkat keparahan kondisinya untuk diberikan pertolongan berdasarkan prioritas. Selanjutnya,
barulah pada sekitar tahun 1950an konsep dan proses triage diadopsi dan dilaksanakan di
unit gawat darurat dan menjadi standar nasional.

102
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
PrinsipTriage
• Tujuan utama adalah utk identifikasi kondisi mengancam jiwa
• tujuan kedua adalah utk prioritaskan klien menurut keakutannya
• Pengkategorian mungkin ditentukan sewaktu-waktu
• Jika ragu, pilih prioritas yang lebih tinggi untuk menghindari penurunan triage (UP
TRIAGE)Triage harus segera & tepat
• Pengkajian harus akurat & adekuat
• Keputusan yang dibuat berdasarkan informasi yang adekuat & data akurat
• Intervensi yang tepat sesuai kondisi
• Kepuasan klien terpenuhi

Klasifikasi Triage
1. Daily Triage : Triage harian
Tujuan: mengidentifikasi pasien dengan kondisi yang paling parah dan memberikan
penanganan kepada pasien tersebut terlebih dahulu, meskipun kemungkinan untuk
diselamatkan lebih kecil.
2. Incidental Triage : Triage insidental
Triage yang dilakukan di Unit Gawat Darurat (UGD) pada saat jumlah pasien sangat
banyak namun masih mampu ditangani dengan sumber daya yang ada dengan
memprioritaskan pasien dengan kondisi yang paling kritis. Terkadang membutuhkan
sumberdaya tambahan namun belum diperlukan pengaktifan Disaster Plan system.
3. Disaster Triage : Triage Bencana
Triage ini bertujuan mengidentifikasi pasien/korban terluka atau sakit yang memiliki
peluang keselamatan lebih besar dengan pemberian penanganan segera
menggunakan sumber daya yang tersedia. Prinsip dalam triage bencana adalah “
mengupayakan jumlah korban selamat sebanyak-banyaknya”
4. Tactical Military Triage : Triage Militer Taktis
Triage ini sama dengan triage bencana, namun tujuannya lebih khusus untuk
mencapai suatu misi dalam militer
5. Special Condition Triage
Contoh : pada kejadian kasus-kasus endemik. Tujuannya adalah mencegah penularan
sekunder dari suatu penyakit.

103
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Triage di Rumah Sakit
Overcrowded di departemen gawat darurat telah menjadi masalah global di seluruh
dunia.Bahkan Institut of Medicine Committee menyebutkan overcrowded dalam departemen
gawat darurat sebagai krisis nasional di Amerika Serikat (IMC,2006). CDC and Prevention
(2010) melaporkan dalam periode tahun 1996-2006 terjadi peningkatan jumlah kunjungan ke
departemen gawat darurat sejumlah 32% sementara jumlah rumah sakit di Amerika menurun
dari 4019 menjadi 3833 rumahsakit dalam periode yang sama. Di Indonesia pada tahun 2007,
data kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di seluruh Indonesia mencapai
4.402.205 atau sekitar 13,3% dari total seluruh kunjungan di RSU (KeputusanMenteri
Kesehatan, 2009). Jumlah kunjungan yang tinggi sementara sumberdaya yang dimiliki
terbatas merupakan masalah klasik yang berkontribusi dalam terjadinya overcrowded. Selain
itu menurut Milbrett & Halm (2009) dalam Fathoni (2010)overcrowded di IGD juga diakibatkan
oleh kompleksitas jenis kasus dengan tingkat kegawatan yang bervariasi dan tidak dapat
diprediksi dalam 24 jam dan seringkali berkaitan dengan isu penyelamatan nyawa dimana
prioritas seharusnya diberikan kepada yang lebih membutuhkan pertologan segera .

Pengertian Triage Gawat Darurat


Hogan and Lairet dalam ( Qureshi dan Veenema, 2007) mengatakan triage gawat
darurat adalah triage yang dilakukan di departemen gawat darurat untuk menentukan tingkat
kegawatdaruratan atau keparahan kondisi pasien sehingga diprioritaskan untuk mendapatkan
intervensi segera.

Proses Triage
Proses Triage dapat menggunakan pendekatan SOAP (Larry Weed)
Apakah SOAP ?
1. “S” dan “O” adalah Pengkajian Triage :
• Tujuan triage tdk utk m’diagnosa ttp utk m’kaji dan rencanakan intervensi.
• Pendekatan umum yg digunakan adlh berfokus pd keluhan utama tanpa mengabaikan
tanda yg ada dan menggunakan indra (mata, telinga, hidung tangan)
• Pengkajian pasien haruslah cepat & rencanakan tindakan segera.
a. “S” = Subyektif (mengumpulkan data dari apa yang disampaikan pasien)
Anamnesa singkat dengan pertanyaan terbuka :
• Keluhan
• Mechanism of injury
104
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• AMPLE atau SAMPLE
b. “O”= Obyektif (apa yang anda dapat amati dengan menggunakan seluruh
indera: bandingkan dengan parameter)
1) Gunakan 5 sense :
• Melihat cara datang dan penampilan umum (head to toe), tanda-tanda
trauma, bahasa tubuh
• Mendengar : suara nafas, kemampuan pasien berbicara, artikulasi bicara dsb
• Penciuman : bau alcohol, aroma keton (fruity smells breath), melena
• Sentuhan : temperature, kualitas nadi, tenderness, swelling
2) Cek ABC dan Tanda-Tanda Vital
• Tekanan drh, Nadi, Temperatur, Respirasi
2. A dan P: ANALISA dan Planning (Segera putuskan apa yg akan Anda lakukan)
• Berikan prioritas sesuai kondisi & antar psn ke tempat yang tepat
• Lakukan tes lebih lanjut (ECG, Glukosa drh, Lab Urine, dll), jika perlu
• Lakukan tindakan pertolongan pertama (imobilisasi fraktur, psg cervical collar, dll)
• Tindakan dpt dilakukan scr simultan
3. Dokumentasikan
• Tulislah sesuai dgn kata-kata atau deskripsi yang diberikan klien
• Dokumentasikan keinginan klien, hambatan komunikasi yang ada (misalnya bahasa,
sikap tdk kooperatif, bicara yg kacau/inkoheren, masalah pendengaran)
• Catat apabila ada perbedaan data antara Subyektif & Obyektif (misalnya Menyangkal
minum alkohol [S], tercium bau alkohol [O])
Jenis-jenis Triage Gawat Darurat di RS
Terdapat banyak jenis sistem triage, baik yang mengunakan 2 klasifikasi (Bedah dan Non
Bedah), 3 klasifikasi, 4 klasifikasi, maupun 5 (ATS,CTAS,ESI,MTS).
Contoh Pengkategorian Prioritas berdasarkan level keakutan kondisi
2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5 LEVEL
Emergent Emergent Life threatening Resuscitation
Non Emergent Urgent Emergent Emergent
Non Urgent Urgent Urgent
Non Urgent Non Urgent
Referred
Tabel 1. Contoh Pengkategorian Prioritas berdasarkan level keakutan kondisi

105
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
a. Triage dengan 2 kategori
Misalnya: Bedah dan Non bedah, Darurat dan Tidak Darurat
b. Triage 3 kategori

Merupakan format asli triage. Tipe ini terlalu umum, kurang spesifik dan terlalu
subyektif dalam menentukan pasien pada kelompok tertentu.

1) Emergent (Prioritas 1:) kondisi mengancam jiwa, pasien akan mati tanpa tindakan
dan evaluasi segera Hrs didahulukan → langsung ditangani , ditangani di area
resusitasi , waktu tunggu 0 menit
Contoh kasus : Kesulitan pada jalan napas dan pernapasan, henti jantung, kejang,
Syok, luka bakar > 30%, Fraktur terbuka, trauma kepala dgn koma, dll
2) Urgen (Prioritas 2) : Memerlukan tindakan medis dlm beberapa jam bila tidak akan
mati atau menderita cedera yang irreversible. Pasien dengan penyakit akut,
mungkin membutuhkan troley, kursi roda, atau jalan kaki, waktu tunggu 30 menit ,
ditangani di area critical care.
Contoh kasus : Nyeri dada terkait dengan ispa, luka bakar < 30%, overdosis obat
(sadar), trauma toraks non asfiksia, cedera kepala sedang (muntah, pingsan),
fraktur tertutup, dll
3) Non Urgen (Prioritas 3) : Kondisi yang tidak memerlukan pertolongan segera. Klien
dapat diberikan rujukan ke dokter praktik atau klinik rawat jalan. Pasien biasanya
dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal seperti luka yang lama dan
kondisi yang timbul sudah lama. Ditangani di area ambulatory / ruang P3, waktu
tunggu 60 menit
Contoh kasus : Sakit kepala ringan/sedang, fraktur minor, sprain kaki akut, cedera
kepala ringan (sadar, tanpa muntah), seluruh kasus-kasus ambulant/jalan
c. Triage 4 kategori
Contoh :
• Prioritas Tertinggi
Segera, kelas 1, berat, emergency
• Prioritas Tinggi
Sekunder, kelas 2, sedang, urgent
• Prioritas Rendah
Dapat ditunda, kelas 3, ringan,
non urgent
106
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
• Meninggal
Mungkin meninggal, kelas 4/0
d. Triage 5 kategori
Contoh :
1) Emergency Severity Index
Gambar 1.Algoritma Emergency Severity Index (ESI)

Gambar 2. Energency Severity Index v.4

107
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2) Australian Triage Scale

108
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
TRIAGE LAPANGAN

Prinsip Triage Bencana


• Triage harus dilakukan dengan cepat !
• Gunakan START/ JumpSTART Triage
• 30–60 detik per pasien
• Pasangkan tag pada lengan kanan atas
atau kaki
WHY TRIAGE and TAG?
• Pemilihan korban untuk mengupayakan
jumlah korban selamat sebanyak-
banyaknya
• Metode efisien untuk penempatan dan
penggunaan sumber daya yang ada
• Korban selamat dengan kondisi injuri yang paling
berat akan mendapatkan rapid treatment
• Mengetahui jumlah korban
• Mengupayakan family reunification

109
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Triage Labelling
• Untuk efisiensi, hasil triage hrs diketahui oleh tim
• Kriteria Label triage :
Mudah dilihat, sesuai dengan kategori standar, mudah dan aman dipakai, dpt diubah
dgn mudah sesuai dgn perubahan kondisi klien, memungkinkan utk pencatatan klinis.

Simple Triage And Rapid Treatment (START) dan Jump TRIAGE


• Dikembangkan di Hoag Hospital, Newport beach, California sekitar thn 1980an
• Sistem triage lapangan yg terbukti efektif pd kasus emergency massal (kec.kereta &
bus) & tidak hrs dilakukan oleh dokter / perawat, melainkan seseorang dgn pelatihan
medis minimal.
• START digunakan untuk mentriage korban dewasa
• Jump START digunakan untuk mentriage korban anak-anak/pediatrik
• Pengkajian dilakukan dengan sangat cepat dlm wkt 60 detik dgn menggunakan RPMs
:
1. Respirasi
2. Perfusi dan Nadi (cek nadi radialis saja)
3. Mental Status (AVPU)

Klasifikasi Pasien/Korban :
Terdapat 4 (empat) kategori yaitu :
• Hitam: Dead / Deceased : tdk napas, reposisi jln napas tdk berhasil
• Merah : Immediate / Critical : RR > 30x/mnt, nadi radialis [-], tdk sdr/prbhn status
mental
• Kuning : Delayed : RR < 30x/mnt, nadi [+], respons mental normal
• Hijau : Minor : tdk memerlukan penanganan medis segera, tetap diretriage

110
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Indonesian Emergency and Disaster Nurses Association (IEDNA)
Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia – Nusa Tenggara Barat

PROSES TRIAGE
1. Pisahkan the “walking wounded”()korban yang dapat berjalan) dengan instruksi
verbal:
Jika anda bisa mendengar saya dan bisa berjalan, berjalanlah ke…
• Bawa korban/pasien ke titik kumpul atau area perawatan untuk pengkajian detil dan
perawatan medis
• Tempatkan penanggung jawab zona “Hijau” ke area tersebut untuk mengontrol pasien
dan mengatur area tersebut
• Tag akan di berikan di area tersebut
• Pasien atau korban yang termasuk kategori tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
minor

111
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
2. Pada korban yang tidak dapat berjalan :
a. Tanyakan apakah pasien bernafas ?
YES :
• Dewasa -RR > 30 = Red/Immediate
• Pediatric –RR < 15 or > 45 = Red/Immediate
• Dewasa – respirations < 30 = cek perfusi/nadi
• Pediatric – respirations > 15 and < 45 = cek perfusi/nadi
NO:
• Reposisi jalan nafas (airway)
Ada respirasi = IMMEDIATE/RED
Tidak ada respirasi/ apnea =

Dewasa =Black/hitam

Pediatric: jika ada nadi– berikan 5x rescue breaths (nafas bantuan)
RR ada, masukkan ke = IMMEDIATE/RED
RR tidak ada = BLACK
b. PULSE/PERFUSION/Nadi
• Apakah ada nadi radialis? Atau Apakah capillary refill (CR) <dari 2
detik? :
Jika YES : cek mental status (status
kesadaran) Jika NO :

Dewasa: nadi tidak ada atau CR
> 2 seconds patient
=
IMMEDIATE/RED

Pediatric: nadi tidak teraba = IMMEDIATE/RED
c. MENTAL STATUS…
• Apakah korban bisa mengikuti instruksi sederhana?
Jika YES :

Dewasa = DELAYED / YELLOW

Pediatric (dengan alert, verbal, or pain response) = DELAYED /

YELLOW
Jika NO :
Dewasa = IMMEDIATE / RED
Pediatric – “P” (pain) nyeri yang menyebabkan postur tubuh tidak sesuai
atau “U” (unresponsive) tidak berespon terhadap stimulus = IMMEDIATE/
RED
112
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Catatan : Korban dengan RR>30x/mnt atau CR >2 detik tetapi dapat
mengikuti instruksi sederhana, tetap dilabel : IMMEDIATE/
RED KOMBINASI START dan JUMP TRIAGE

Combined START/JumpSTART Triage

CAN YOU YES ** Using the JS algorithm


MINOR SECONDARY TRIAGE ** evaluate all children first
WALK ? who did not walk under
their own power. Evaluate
NO
infants first in secondary
BREATHING triage using entire JS
Breathing ? NO Position Upper Airway IMMEDIATE algorithm !

APNEIC
PEDIATRIC ADULT
HAS A NO PULSE
PULSE APNEIC PEDI Neurological Assessment
YES 5 Rescue Breaths Expected /
Deceased A Alert
BREATHING
V Responds to
IMMEDIATE Verbal Stimuli
Responds to
Respiratory > 30 ADULT P
Rate? IMMEDIATE Painful Stimuli
45 > OR < 15 PEDI Unresponsive
< 30 ADULT U To Noxious
15 - 45 PEDI ADULT Stimuli
C R >2 Sec or NO PALPABLE PULSE
Perfusion ? IMMEDIATE
PEDI - NO PALPABLE PULSE
YES “P” INAPPROPRIATE POSTURING OR “U”
( PEDIATRIC )
Mental DOESN’T OBEY COMMANDS
IMMEDIATE
Status ? ADULT
OBEY COMMANDS - ADULT
DELAYED
“A”, “V”, OR “P” ( APPROPRIATE) - PEDIATRIC

Http ://www . starttriage. com Http:// www . jumpstarttriage . com

Penting :
Pada korban dengan label IMMEDIATE/ RED : pertolongan ditempat sebelum transport
yang dapat dilakukan hanya : Airway, Needle Decompression, Tourniquet, Antidote.
Penting untuk tidak melakukan tindakan pertolongan selain itu pada saat yang sama tersebut.

113
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Pos Lapangan
Area Merah ; P1
Dewasa
Respirations > 30 x/mnt
CR > 2 detik atau tidak teraba nadi radial
Tidak dapat mengikuti instruksi sederhana
Contoh kasus : Pneumothorax, Hemorrhagic
Shock, Cedera kepala tertutup,asfiksia,cedera
rahang atas, wajah, luka bakar>30%,fraktur
terbuka

Pediatric
Respirations < 15 or > 45 x/mnt
CR > 2 detik atau tidak teraba nadi radialis atau
brakhialis,Inappropriate“Pain”e.g.,posturing)or
“Unresponsive”
Area Kuning : P2
Dewasa: normal respirasi, capillary refill, dan mental
status , contoh kasus:
• Isolated burns
• Fraktur ekstremitas/tertutup
• Trauma lainnya tetapi kondisi stabil
• Sebagian besar pasien/korban denngan
keluhan medis
Pediatric: “A (alert=sadar),” “V(verbal=dapat berbicara),” or appropriate “P”(pain+ nyeri
dengan tanda atau postur yang sesuai)
Area Hijau : P3
• “Walking wounded”
• Luka ringan
• Masalah psikologis
• Perhatikan anak-anak yang berada didalam
area ini dan kaji kondisi mereka

114
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
Contoh Triage Tag

Revised Paper Triage Tag

FRONT
BACK

Berisi tentang :
• Patient information
• Triage status
• Chief complaint
• Transporting unit
• Peel-off bar codes
• Transport record
• Vital signs
• Medical history
• Treatment
• Family contact
• Wrist band

115
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book
DAFTAR PUSTAKA

Bass,Robert et al.Maryland Triage Systems. Maryland Institute for Emergency Medical


Services Systems 653 West Pratt Street. Baltimore, MD 21201
Emergency Nurses Assosiation. 2005.Sheehys manual of Emergency care.Mosby
Elsevier.Philadelphia
Langan.JC.2005 Preparing Nurses for Disaster Management.Pearson Education Ltd.new
Jersey
Lanros & Barber. Emergency Nursing : with certification, Preparation, & Review. USA :
Appleton & Lange
Springhouse corporation book division. Nurse’s Reference Library :Emergencies.
Pennsylvania : Springhouse corporation
Department of Emergency Medicine. Triage Officers Course. Singapore : Singapore General
Hospital
www. emedicine.com/emerg/topic670.htm
American College Of Surgeon. 2018. Advanced Trauma Life Support (ATLS). Chicago:
American College Of Surgeon
2014 Wilderness And Remote First Aid Emergency Reference Guide………….
Campbell , John Emory. 2008. International trauma life support for emergency care
providers—7th ed., Pearson Education: US
Merulalia. 2010. Postur Tubuh yang Ergonomis Saat Bekerja. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI Tahun 2013
Suharsono dan Kartikawati, 2009. Henti jantung. UMM Press: malang
British Hearth foundation. 2018. Cardiac arrest. Diakses 19 maret 2018
https://www.bhf.org.uk/heart-health/conditions/cardiac-arrest
AHA. 2015. Highlight of the AHA Guideline Update for CPR and ECC. AHA: Dalas Texas

116
Basic Trauma and Cardiac Life Support Training Manual Book

Anda mungkin juga menyukai