Anda di halaman 1dari 50

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.

Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktek mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Pengertian
malpraktek antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut :
Sikap atau tindakan yang salah.
Pemberian pelayanan terhadap pasienyang tidak benar oleh profesi medik.
Tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam
posisi kepercayaan..
Inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas,serta menurut hukum yang berlaku di
indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut : malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga
kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar
atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap
tingkat keadaan penyakit pasien yang ditanganinya,baik menurut paraturan perundangan maupun
ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat di pertanggung jawabkan serta
menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya.[4]
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama.

B. MALPRAKTEK DI TINJAU DARI SISI HUKUM


Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga pelayan kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma
etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

1
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat
melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau
kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan
di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan
profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
C. MALPRAKTEK ADMINISTRASI
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa malpraktek administrasi (administrative malpractice)
adalah apabila perawat, dalam hal ini dokter ( pemberi jasa pelanan kesehatan ) telah melanggar
hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum administrasi tersebut antara lain seperti dokter
tidak mempunyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga
keperawatan.
Aspek Hukum Administrasi dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Setiap dokter/dokter
gigi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik kedokteran
dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu:
(1) izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele bevoegdheid)
(2) izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele bevoegdheid).
Secara teoritis, izin merupakan pembolehan (khusus) untuk melakukan sesuatu yang secara
umum dilarang. Sebagai contoh: dokter boleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yang harus
dilihat), serta melakukan sesuatu (terhadap bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan
persetujuan) yang izin semacam itu tidak diberikan kepada profesi lain.
Pada hakikatnya, perangkat izin (formal atau material) menurut hukum administrasi adalah:

2
1. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin (formal atau material) dapat memberi
kontribusi, ditegakkannya penerapan standar profesi dan standar pelayanan yang harus
dipenuhi oleh para dokter (dan dokter gigi) dalam pelaksanaan praktiknya.
2. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam rangka penyelenggaraan praktik
kedokteran, dan mencegah penyelenggaraan praktik kedokteran oleh orang yang tidak berhak.
3. Mendistribusikan kelangkaan tenaga dokter/ dokter gigi, yang dikaitkan dengan
kewenangan pemerintah daerah atas pembatasan tempat praktik dan penataan Surat Izin
Praktik (SIP).
4. Melakukan proses seleksi, yakni penilaian administratif, serta kemampuan teknis yang
harus dipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi.
5. Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang tidak
dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.
Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalam bentuk tertulis, berdasarkan permohonan tertulis
yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan izin juga didasarkan pada kemampuan
untuk melakukan penilaian administratif dan teknis kedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan
pada asas.asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik, persamaan hak,
kepercayaan, kepatutan dan keadilan. Selanjutnya apabila syaratsyarat tersebut tidak terpenuhi
(lagi) maka izin dapat ditarik kembali. Telah terjadi beberapa perubahan mendasar yang
berkaitan dengan perizinan di dalam UUPK, yaitu:
1. Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh KK, sebagai
pengganti terminologi Surat Penugasan (SP).
2. Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukan uji kompetensi oleh organisasi profesi
(dengan sertifikat kompetensi).
3. Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKI dan berlaku selama lima tahun serta
dapat diperpanjang melalui uji kompetensi lagi.
4. Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan kata lain, bila masa berlaku STR sudah habis
maka SIP juga habis.
Sebagai implementasi dari UUPK, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk
menata lebih lanjut masalah perizinan, termasuk aturan peralihan yang bertujuan untuk
menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul.

3
2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dari definisi malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah
lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi
apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian
akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan
hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada
dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa
atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D
yakni :
a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak
berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai
standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien).
Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai

4
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan

Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali
pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang
secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

2.4 Tanggung Jawab Hukum


Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan
kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini
tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang
harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam
transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya
upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun
rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar
profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah
sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan
hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi
termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).

2.5 Upaya Pencegahan dan Menghadapi


Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya kecenderungan
masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

5
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada
pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila
tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk
of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak
yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
bidan.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Ilustrasi Kasus


Pihak RS Awal Bros Beberkan Kasus Maureen Chairul
04 Mar 2011 (Tangerang, Kompas.com)
Dugaan kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, Banten
terhadap bayi Maureen Angela berusia delapan bulan yang kini kehilangan jari kelingkingnya,
masih perlu pembuktian. Tim Kementerian Kesehatan juga telah diturunkan untuk mengawasi
penyelesaian kasus tersebut. Dalam jumpa pers yang digelar di lantai 5 RS Awal Bros Tangerang,
Kamis {3/3) sekitar pukul 13.00 WIB, Dr Elizabeth yang menangani Maureen menjelaskan,
Maureen datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 16 November 2010 dengan alasan ndak
sadar, kejang, nafas tersengal-sengal, denyut jantung sangat cepat, demam tinggi, kekurangan
cairan berat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Menurutnya, tim dokter
yang bertugas di IGD saat itu mengambil langkah-langkah medis untuk mengatasi ke gawat
daruratan tersebut "Maureen diberi cairan bicnat yang disuntikkan jarum infus. Karena
kandungan pH darahnya asam, maka diberi cairan bicnat sebelum dilakukan tindakan, kami telah

6
meminta persetujuan keluarga dan telah disetujui, papar Elizabeth. Jarum infus yang terpasang di
tangan Maureen dibalut dengan perban agar jarum tidak lepas. "Langkah yang sama juga
dilakukan bagi pasien anak. Pemantauan dilakukan dengan baik terbukti aliran infus berjalan
dengan baik," ungkapnya. Setelah itu, kondisi Maureen berangsur-angsur membaik dan
nyawanya terselamatkan. "Dengan membaiknya kesehatan Maureen, maka kemungkinan tangan
Maureen bergerak-gerak sehingga mengakibatkan cairan infus merembes ke tangan," paparnya.
Rembesan itu mengakibatkan kerusakan pada ujung jari kelingking kanan. Kerusakan
jaringan tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak diharapkan terjadi. "Semua yang kami
lakukan itu adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun sampai dari resiko
memang dapat terjadi dalam suatu proses pengobatan terhadap siapa saja," kilahnya. Namun,
sangat disayangkan Elizabeth dan pihak RS Awal Bros tidak memberi kesempatan kepada
wartawan untuk bertanya lebih jauh. "Kami selaku manajemen rumah sakit akan senantiasa
menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien," katanya mengakhiri
keterangan persnya. Secara terpisah, Direktur Bina Upaya Rujukan Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Chairul Rajab Nasution mengatakan, kasus dugaan
malpraktik di RS Awal Bros itu perlu pembuktian secara obyektif. "Kita harus membuktikan
secara obyektif, apakah ini kasus sebab akibat penyakit sebelumnya atau karena ada kelalaian
yang dilakukan oleh tim medis," kata Chairul kepada wartawan di Kantor Kementerian
Kesehatan, Kamis (3/3) sekitar pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan, Kemenkes telah melakukan
koordinasi terhadap kasus dugaan malpraktik yang menimpa anak Maureen Angela. "Jika ada
yang salah, Kementerian Kesehatan pasti akan melakukan tindakan tegas sesuai dengan
kesalahan yang terbukti," kata Chairul. Untuk pembuktian itu, harus melalui beberapa proses
melalui Komite Medik Rumah Sakit untuk membuktikan secara diagnostik medik. Sedangkan
Kementerian Kesehatan sebagai regulator akan melihat secara administratifnya.
RS, dokter Rumah Sakit Awal Bros, Kota Tangerang, belum menerima surat panggilan
dari Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota terkait pelaporan sang dokter oleh orang tua
Maureen (8 bulan). Dokter yang merawat Maureen itu dilaporkan Linda Kurniawati (33) dan
Budi Kuncahya (39) ke Polda Metro Jaya, tapi dilimpahkan ke Polrestro Tangerang Kota.
"Belum ada panggilan dari polisi untuk dokter RS. Kami menunggu proses hukum berjalan,"
kata juru bicara Rumah Sakit Awal Bros, dokter Elizabeth, saat dihubungi wartawan, Rabu
(9/3/2011). Dokter RS dilaporkan atas dugaan perawatan dari sang dokter yang menyebabkan
dua ruas jari kelingking Maureen putus. Pihak RS Awal Bros berupaya menjalin komunikasi
dengan keluarga Maureen. Usaha tersebut sebagai iktikad baik RS yang dahulu bernama RS
Global Medika untuk tidak mengabaikan penderitaan yang dialami Maureen. "Keluarga pasien
terakhir kali kontak dengan kami pada tanggal 28 Februari 2011 saat Maureen kontrol kesehatan
rutin tiap akhir bulan," kata Elizabeth.
Sementara, ibu korban, Linda, mengatakan, belum tahu perkembangan kasus hukum
dokter yang merawat anaknya. Keluarga masih menunggu proses hukum berjalan. Linda
mengatakan, terakhir kali datang ke RS Awal Bros pada 28 Februari 2011 lalu. Pihak RS
menjanjikan akan melakukan operasi 3-6 bulan mendatang. "Tapi, belum tahu untuk biaya
operasi, apakah gratis atau membayar lagi. Padahal, kami sudah keluar uang sampai puluhan juta
rupiah," ucap Linda. Seperti diberitakan, Maureen adalah korban dugaan tindak malapraktik di
RS Awal Bros pada November 2010. Akibat diberikan cairan keras, yakni bicnat di infusnya,
tangan Maureen membengkak, membiru, hingga bernanah. Dokter bedah plastik sempat
menyarankan jari Maureen diamputasi. Namun, saran itu akhirnya tidak dilakukan hingga dokter
bedah plastik menjalani operasi pertama untuk mengangkat nanah di punggung telapak tangan

7
Maureen. Setelah operasi itu, jari di tangan kanan Maureen semakin mengerucut sampai
akhirnya pada bulan Desember 2010 dua ruas kelingking Maureen terputus.

3.2 Analisis Kasus


Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Dugaan kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami
putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas
penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga
mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah
disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin
Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-
undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin sadar
terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut
dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai
pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara
yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa
dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis,
setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum
positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga
referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang
relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan. Inovasi pemerintah guna
menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran.
Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi
dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal
ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya
digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk
meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas
terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan
pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien
dapat terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent
(persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat perlu tidak
hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti doter atau bidan, tetapi juga
diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-
batas hukum dan perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus
dianalisi oleh pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan
penyelesaian yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.

3.3 Malpraktek Ditinjau dari Segi Hukum


1. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur
kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang
orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan

8
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan
perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah
nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap
tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan
keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang
lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak
memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan
celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan kelalaian yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1)
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama
enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan. Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang
lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan
malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter
yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami
kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.

2. Kepastian hukum

9
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter
akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan
juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik.
Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam
kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan
hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law)
dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian
hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah
melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah
melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar
pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3.4 Malpraktek Ditinjau dari Segi Etika


Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI) Etika
punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah
itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah
hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan
manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental:
bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan
dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk
dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi
harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah
salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi
secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani.
Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu


ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi
yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara,
notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter
yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

10
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah
lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum
maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana
maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi
fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat
tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan
keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi
menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.

3.5 Malpraktek Ditinjau dari Sudut Pandang Agama


Ditinjau dari Sudut Pandang Agama. Adapun agamaagama memandang malpraktek,
khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut
pandangan Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul
dam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya
sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus
juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun
saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau
kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang
oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan
yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek
adalah suatu pelanggaran.

11
Jenis Malpraktek

1. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari
kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga
rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara
lain :

Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang


Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek


etik ini antara lain :

Dibidang diagnostic

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana
dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang
bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

Dibidang terapi

Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang
akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi
berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang
diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.

1. Malpraktek Yuridik

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

12
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi)
didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.


Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa
syarat seperti :

Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)


Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka
pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :

Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.


Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam
hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya
karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut
akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus
dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak
adanya kelalaian pada dirinya.

1. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

13
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga
kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan
terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan
rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa
tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak
benar.

1. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

1. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang
hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

1. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)

Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau
izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan
hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya
pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana
karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat
diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai
berikut :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa


petindak harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.

Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.

14
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie
van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan
dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau
menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin)
mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada
orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter
operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak
karena perintah Undang-Undang si pembuat luka dapat dikenakan sanksi pidana
penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati
agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari.
Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan)
sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian
atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan
sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki
melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak.
Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap
harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan
dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap
obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga
kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda
gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum
malpraktek.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan
pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari
pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum
baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana
atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak
seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru
inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti
yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang
digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan

15
hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari
hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical
Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang
menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia
yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing
karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis
(kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian
secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik
yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa
Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya
hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia
dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar
peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter
dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai
dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat,
sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi.
Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang
digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap
masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik
Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau
tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi
dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi
merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU
No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2)
yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,
mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli
Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi,
Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat

16
kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman
sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

17
.3.4 Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada
pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para
tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan
dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara
tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan
akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai
penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau
sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang
menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis
bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini
ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga
tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi,
plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada
awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban
dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus
sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah
kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum
pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali
melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung
pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh
persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke
Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula
kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak
menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini
memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi,
banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan
sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang
menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu,
dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus
ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan
kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek.
Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat
pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek,
perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian,
perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang
lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan
belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi
mencegah terjadinya malpraktek.
18
Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain
pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia
dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini
memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula
tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada
tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita.
Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang
mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim
serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja
mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan
Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan
peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
3.5 Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal
praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk
of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan

19
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan
pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent
secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap
diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada
keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
3.6. JENIS-JENIS MALPRAKTEK.
Berpijak pada hakekat malpraktek dalam praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat
dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala
sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis
besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical
malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek
yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu
malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
3.8 Aturan Hukum Positif Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Malpraktik
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 360 KUHP Pidana
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
Pasal 360 KUHP

20
(1). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.9. CARA MENGHINDARI MALPRAKTEK DOKTER
Untuk menghindari kejadian malpraktek, ada hal yang harus kita perhatikan, yakni
diantaranya adalah:
Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik. Jangan
hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat berobat. Jangan
ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus, meskipun di dekat rumah anda
ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.
Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk menangani
pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada pihak manajemen,
apalagi jika anda merasa ragu dengan dokter yang menangani pasien yang anda bawa.
Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan.
Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang dilakukan
dokter kepada pasien. Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa, dasar tindakan medis
dan apa manfaat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut.
Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien. Sebagai
keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena tidak jarang ada
oknum dokter hanya mengejar komisi dari perusahaan distributor obat sehingga memberikan
obat yang lebih banyak atau bahkan tidak diperlukan kepada pasien.

Kerjasama Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktek


Penyebab dan pencegahannya
Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause),
melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu kesalahan manusia
(human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan
active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi.
Sementara itu terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa
kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll.
Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain
buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan
struktur organisasi yang buruk.
Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem
yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis
active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari
kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek
kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act

21
(active error), maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab
suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.
Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang
tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan manajerial,
sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistemik. Dalam
diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar
penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari
sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika kedokteran
sebagai materi yang juga mencakup afektif tidak hanya kognitif.
2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam
pelayanan kedokteran khususnya.
3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran
(saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat
mengatur praktek kedokteran yang akuntabel).
4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang
terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan
pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.
Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-penyebab di
atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para
dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu
hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran terutama PPDS, sistem pembiayaan
yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan
lain-lain.
Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek
harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-
laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak
tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat
keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-
kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan
menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama
apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti
autonomy, beneficence, non maleficence dan justice, serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal
ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan
kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau
bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa
kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan
ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional

22
dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam
melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat
ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk
mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-
pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi
aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang kotor dibersihkan dan
mereka yang busuk dibuang dari masyarakat profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek
kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu memaksa para profesional
bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan suasana dan budaya yang
kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).

23
ABORSI
Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat & menjadi perbincangan di berbagai kalangan
masyarakat, di banyak tempat & di berbagai negara, baik itu di dalam forum resmi maupun forum-forum
non-formal lainnya. Sebenarnya, masalah ini sudah banyak terjadi sejak zaman dahulu, di mana dalam
penanganan aborsi, cara-cara yang digunakan meliputi cara-cara yang sesuai dengan protokol medis
maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-
kota besar maupun di daerah terpencil.

Pertentangan moral & agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit
adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang
ilegal & tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan & tetap merupakan masalah besar yang
masih mengancam perempuan dalam masa reproduksi.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat ini, para dokter kini
harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak otonomi ini, pasien berhak menentukan
sendiri tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya, maupun berhak menolaknya.
Sedangkan jika tidak puas, maka pasien akan berupaya untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian
yang dilakukan dokter tersebut. Timbulnya berbagai pembicaraan & undang-undang soal hak otonomi
perempuan membuat hak atas diri sendiri ini memasuki area wacana soal aborsi, atau penentuan dari
pihak perempuan yang merasa berhak juga untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap adanya
kehamilan yang tidak diinginkannya. Namun, bila dilihat dari sisi para pelaku pelayanan kesehatan ini,
seorang dokter pada waktu lulus, sudah bersumpah untuk akan tetap selalu menghormati setiap kehidupan
insani mulai dari saat pembuahan sampai saat meninggal. Karenanya, tindakan aborsi ini sangat
bertentangan dengan sumpah dokter sebagai pihak yang selalu menjadi pelaku utama (selain para tenaga
kesehatan baik formal maupun non-formal lainnya) dalam hal tindakan aborsi ini. Pengguguran atau
aborsi dianggap suatu pelanggaran pidana.
Sampai saat ini, di banyak negara masih banyak tanggapan yang berbeda-beda tentang aborsi. Para ahli
agama, ahli kesehatan, ahli hukum, & ahli sosial-ekonomi memberikan pernyataan yang masing-masing
ada yang bersifat menentang, abstain, bahkan mendukung. Para ahli agama memandang bahwa apapun
alasannya aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama karena bersifat menghilangkan
nyawa janin yang berarti melakukan pembunuhan, walaupun ada yang berpendapat bahwa nyawa janin
belum ada sebelum 90 hari. Ahli kesehatan secara mutlak belum memberikan tanggapan yang pasti,
secara samar-samar terlihat adanya kesepakatan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan penyebab, masa depan anak serta alasan psikologis keluarga terutama ibu, asal
dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kondisi & syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan ahli

24
sosial kemasyarakatan yang mempunyai pandangan yang tidak berbeda jauh dengan ahli kesehatan.
Namun pada umumnya, para ahli-ahli tersebut menentang dilakukannya aborsi buatan, meskipun jika
berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan nyawa ibu) mereka dapat memahami dapat
dilakukannya aborsi buatan. Dilihat dari adanya undang-undang yang diberlakukan di banyak negara,
setiap negara memiliki undang-undang yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun
pelarangannya tidak bersifat mutlak.
Sampai saat ini praktik aborsi masih terus berlangsung, baik yang legal maupun yang ilegal. Bahkan
menurut Azrul Azwar, sumbangan aborsi ilegal di Indonesia mencapai kurang lebih 50 persen dari angka
kematian ibu (AKI), sementara angka kematian ibu di Indonesia (AKI) ini adalah yang tertinggi di Asia.
Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah:
1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau menambah anak lagi
karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi
yang gagal.
2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan
kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik.
3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung
akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau
anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah
tangganya.
4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa & matang
secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus membangun suatu keluarga yang
prematur.
5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus,
seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu.
6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, perempuan simpanan, pasangan yang belum
menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri
(perselingkuhan) yang terlanjur hamil.
Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada adanya
pertentangan baik secara moral & kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama & hukum di
lain sisi. Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat
kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan, hasil hubungan seks komersial
(dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya
mempunyai cacat fisik yang berat. Anak yang dilahirkan dalam kondisi & lingkungan seperti ini nantinya
kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial kemasyarakatan yang normal, kurang mendapat
perlindungan & kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh anak yang tumbuh & besar dalam
lingkungan yang wajar, & tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat.

25
Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain,
dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan
penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan dari segi hukum, masih ada perdebatan-
perdebatan & pertentangan dari yang pro & yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-
undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), & UU hak azasi
manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang
membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun
tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak, yang
kemudian menimbulkan komplikasi komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan kematian.
Definisi dari aborsi sendiri adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di mana karena
sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur & keluar dari dalam rahim bersama dengan darah, atau
berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar.
Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremas-remas & perih. Aborsi dibagi lagi
menjadi aborsi spontan yang terjadi akibat keadaan kondisi fisik yang turun, ketidakseimbangan hormon
didalam tubuh, kecelakaan, maupun sebab lainnya. Aborsi buatan, yang dibagi menjadi aborsi provokatus
terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal). aborsi provokatus terapetikus
adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis & cara yang dibenarkan oleh
peraturan perundangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan nyawa/mengobati ibu.
Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk
menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten, serta tidak
memenuhi syarat & cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan. Biasanya di dalamnya
mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Dari segi medis adapun tahapan-tahapan aborsi spontan
adalah sebagai berikut:
Aborsi iminens, yaitu adanya tanda-tanda perdarahan yang mengancam adanya aborsi, di mana janin
sendiri belum terlepas dari rahim. Keadaan seperti masih dapat diselamatkan dengan pemberian obat
hormonal serta istirahat total.
Aborsi insipiens, yaitu aborsi yang sedang berlangsung, di mana terjadi perdarahan yang banyak disertai
janin yang terlepas dari rahim. Jenis seperti ini biasanya janin sudah tidak dapat lagi diselamatkan.
Aborsi inkomplitus, yaitu sudah terjadi pembukaan rahim, janin sudah terlepas & keluar dari dalam rahim
namun masih ada sisa plasenta yang menempel dalam rahim, & menimbulkan perdahan yang banyak
sebelum akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim. Pengobatannya harus dilakukan kuretase untuk
mengeluarkan sisa plasenta ini.
Aborsi komplitus, yaitu aborsi di mana janin & plasenta sudah keluar secara lengkap dari dalam rahim,
walaupun masih ada sisa-sisa perdarahan yang kadang masih memerlukan tindakan kuretase untuk
membersihkannya.

26
Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi & penyebabnya dapat dilihat
pada:
KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349:
Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu
rupiah.
Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh
tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 & 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga & dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain,
diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu
hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15
tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu hamil tersebut
mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat
ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidupnya.

27
UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.

UU Kesehatan:
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling
dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang
ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 77 dinyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab
adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan
yang
berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.
Namun sayangnya didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan akibat hubungan

28
seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial.
(3) Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai
keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.

UU Penghapusan KDRT, pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu & mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT
sebelumnya yang saling berkaitan:
1. Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak.
2. Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumahtangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga
3. Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang
lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan medis pada pasal 10, namun apabila dikaitkan dengan kekerasan seksual yang
berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban diasumsikan dapat meminta hak atas
pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya, karena secara medis, korban akan mengalami stres
ataupun depresi, & bukan tidak mungkin akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan.
Dari uraian penyebab inilah mungkin didapatkan gambaran mengenai penggolongan aborsi yang akan
dilakukan. Pada butir ke-5 sudah jelas dapat digolongkan pada aborsi terapetikus, sesuai dengan UU
Kesehatan tentang tindakan medis tertentu yang harus diambil terhadap ibu hamil demi untuk
menyelamatkan nyawa ibu. Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli kesehatan & ahli hukum dapat memahami
alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, dimana pada butir ke 2, apabila
bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu
sendiri. Namun keadaan ini bertetangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai
janin sampai dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan
& bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik & mental. Pada butir ke 3,
kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan

29
diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan
anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara wajar sesuai dgn
harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri,
hal ini merupakan keputusan yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena
dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat.
Sedangkan pada butir 1, 4, & 6, jelas terlihat adalah kehamilan diakibatkan oleh terjadinya hubungan seks
bebas, yang apabila dilakukan tindakan aborsi, dapat digolongkan pada aborsi provokatus kriminalis
bertentangan dengan KUHP Pasal 346-349 & UU Kesehatan pasal 133 tentang perlindungan anak.
Dari penjelasan tersebut, didapatkan gambaran mengenai aborsi legal & ilegal. aborsi provokatus/buatan
legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU
Kesehatan, yaitu memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berdasarkan indikasi medis yang kuat yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami ataupun keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Setiap dokter pada waktu baru lulus bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat pembuahan,
karena itu hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan & kode etik profesi dalam
melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari, banyak faktor-faktor yang berperan, seperti
rasa kasihan pada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, faktor kemudahan
mendapatkan uang dari praktik aborsi yang memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya.
Sejak abad 5 SM, Hipokrates sudah bersumpah antara lain bahwa ia tidak akan memberikan obat kepada
seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya. Sumpah itu kemudian kemudian menjadi dasar
bagi sumpah dokter sampai sekarang. Pernyataan Geneva yang dirumuskan pada tahun 1984 & memuat
sumpah dokter antara lain menyatakan bahwa para dokter akan menghormati setiap hidup insani mulai
dari saat pembuahan. Pernyataan itu juga termuat dalam sumpah dokter Indonesia yang dirumuskan
dalam PP no.26/1960. Sikap para dokter se-dunia terhadap pengguguran terutama dirumuskan dalam
Pernyataan Oslo pada tahun 1970, yang terutama menyoroti hal pengguguran berdasarkan indikasi
medis. Rumusan itu berbunyi sebagai berikut:
1. Prinsip moral dasar yang menjiwai seorang dokter ialah rasa hormat terhadap kehidupan manusia
sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pasal Pernyataan Geneva: Saya akan menjujung tinggi rasa
hormat terhadap hidup insani sejak saat pembuahan.
2. Keadaan yang menimbulkan pertentangan antara kepentingan vital seorang ibu & kepentingan vital
anaknya yang belum dilahirkan ini menciptakan suatu dilema & menimbulkan pertanyaan: Apakah
kehamilan ini harusnya diakhiri dengan sengaja atau tidak?
3. Perbedaan jawaban atas keadaan ini dikarenakan adanya perbedaan sikap terhadap hidup bayi yang
belum dilahirkan. Perbedaan sikap ini adalah soal keyakinan pribadi & hati nurani yang harus dihormati.

30
4. Bukanlah tugas profesi kedokteran untuk menentukan sikap & peraturan negara atau masyarakat
manapun dalam hal ini, tetapi justru adalah kewajiban semua pihak mengusahakan perlindungan bagi
pasien-pasien & melindungi hak dokter di tengah masyarakat.
5. Oleh sebab itu di mana hukum memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, atau pembuatan
UU ke arah itu sedang dipikirkan, & hal ini tidak bertentangan dengan kebijaksanaan dari ikatan dokter
nasional, serta dimana dewan pembuat undang-undang itu ingin atau mau mendengarkan petunjuk dari
profesi medis, maka prinsip-prinsip berikut ini diakui:
a. Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis.
b. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin disetujui secara tertulis
oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
c. Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-instalasi yang
disetujui oleh suatu otoritas yang sah.
d. Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan dirinya menganjurkan
atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri & menyerahkan kelangsungan pengurusan
medis kepada koleganya yang kompeten.
6. Meskipun pernyataan ini didukung oleh General Assembly of The World Medical Association,
namun tidak perlu dipandang sebagai mengikat ikatan-ikatan yang menjadi anggota, kecuali kalau hal itu
diterima oleh ikatan itu.
Karenanya dihimbau bagi para dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya agar:
1. Tindakan aborsi hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh
minimal dua orang dokter yang kompeten & berwenang.
3. Prosedur tersebut hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instansi kesehatan
tertententu yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika dokter tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak sanggup melakukan tindakan pengguguran,
maka hendaknya ia mengundurkan diri serta menyerahkan pelaksanaan tindakan medis ini pada teman
sejawat lainnya yang juga kompeten .
5. Selain memahami & menghayati sumpah profesi & kode etik, para dokter & tenaga kesehatan juga
perlu meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
Pada beberapa negara seperti Singapura, Cina, & Tunisia, aborsi dilegalkan oleh pemerintahnya masing-
masing dengan tujuan untuk membatasi pertumbuhan guna meningkatkan kesejahteraan. Negara Swedia,
Inggris, & Italia atas dasar sosiomedik, sedangkan di Jepang atas dasar sosial.

Untuk masyarakat agar dihimbau untuk:


1. Sedapat mungkin menghindari hubungan suami isteri pada pasangan yang tidak/belum menikah.
2. Bagi para suami isteri yang tidak merencanakan untuk menambah jumlah anak, agar mengikuti

31
program KB.
3. Bagi para pekerja seks komersial agar selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan
intim dengan pelanggannya.
4. Meningkatkan pengetahuan agama agar selalu terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agamanya.
5. Menuntut pada pemerintah agar memberikan tindakan hukuman yang seberat-beratnya bagi para
pemerkosa ataupun pelaku tindakan pelecehan/kekerasan seksual lainnya, agar para kriminal maupun
calon pelaku kriminal ini berpikir panjang untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kiranya ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. aborsi secara umum dibagi atas aborsi spontan & aborsi provokatus (buatan). Aborsi provokatus
(buatan) secara aspek hukum dapat golongkan menjadi dua, yaitu aborsi provokatus terapetikus (buatan
legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal).
2. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang
yaitu KUHP & UU Kesehatan.
3. Dalam KUHP & UU Kesehatan diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran kandungan,
tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus atau medisinalis), diatur
dalam UU Kesehatan.
4. Penghayatan & pengamalan sumpah profesi & kode etik masing-masing tenaga kesehatan, secara tidak
langsung dapat mengurangi terjadinya aborsi buatan ilegal, lebih lagi jika diikuti dengan pendalaman &
pemahaman ajaran agama masing-masing.

32
Bab 2
Isi
2.1 Aspek Hukum Pada Kasus Aborsi
Pengguguran kandungan dapat dibedakan kepada definisi menurut hukum dan definisi
menurut medis. Definisi pengguguran kandungan berdasarkan hukum adalah keluarnya bayi dari
rahim ibunya sebelum saatnya dilahirkan (0-9 bulan). Secara medis, pengguguran kandungan
didefinisikan sebagai janin yang belum layak hidup di luar rahim ibu yaitu < 20 minggu atau <
1000 gram. Untuk perbincangan hukum, maka akan dibincangkan pengguguran kandungan
berdasarkan definisi hukum.3
Berdasarkan UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan;
Pasal 75 UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologik bagi korban
perkosaan.3
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling
dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan
oleh konselor yang kompeten dan berwenang.3
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.3

Pasal 76 UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan


Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali
dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Dari undang-undang tersebut jelas bahawa segala tindakan aborsi dilarang kecuali pada keadaan
tertentu seperti terdapatnya indikasi medis dan jika kehamilan tersebut merupakan hasil
perkosaan. Karena pengguguran kandungan merupakan tindakan kriminal maka dalam KUHP
penjelasan tentang tindakan aborsi di tulis dibawah Pengguguran Kandungan Kriminalis;

Pasal 346 KUHP


Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.3

33
Pasal 347 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.3

Pasal 348 KUHP


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.3

HR 1 November 1897
Pengguguran dalam kandungan hanya dapat dipidana apabila pada waktu perbuatan itu
dilakukan, kandungannya hidup. Undang-undang tidak mengenal suatu dugaan hukum menurut
hukum, darimana dapat disimpulkan bahwa ada kehidupan atau kepekaan hidup.3

HR 12 April 1898
Untuk pengguguran yang dapat dihukum vide pasal-pasal 346 348 KUHP disyaratkan bahwa
kandungan ketika perbuatan dilakukan masih hidup dan adalah tidak perlu bahawa kandungan itu
mati karena pengguguran.
Keadaan bahwa anak itu lahir hidup, tidak menghalangi bahwa kejahatan telah selesai dilakukan.
Undang-undang tidak membedakan antara tingkat kehidupan kandungan yang jauh lebih kecil,
akan tetapi mengancam dengan hukuman pengguguran yang tidak tepat.3

HR 20 Desember 1943
Dari bukti-bukti yang dipakai oleh Hakim dalam keputusannya haris dapat disimpulkan bahwa
wanita itu mengandung kandungan yang hidup dan bahwa terdakwa mempunyai niat dengan
sengaja menyebabkan pengguguran dan kematian.3

Pasal 349 KUHP


Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.3
2.2 Aspek Etika Profesi Kedokteran
Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Bioetika pula merupakan
salah satu cabang dari etik normatif. Etika biomedik merupakan etik yang berhubungan dengan
praktek dengan prakter kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis.4
Etika kedokteran merupakan cabang etik yang digunakan dalam bidang kedokteran. Etika
kedokteran digunakan dalam menentukan tindakan dalam bidang kesehatan atau kedokteran,
selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar manusia, dengan mempertimbangkan juga
hak-hak asasi pasien.4
Dikenali empat kaedah dasar moral untuk mencapai keputusan etik. Keempat kaedah dasar moral
tersebut adalah;

34
1. Prinsip otonomi
Otonomi merupakan prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi
pasien (the rights to self determination). Prinsip moral ini kemudian melahirkan doktrin
informed consent.5
2. Prinsip benificience
Merupakan prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke baikan pasien. Dalam
beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang
sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).5
3. Prinsip non-maleficience
Merupakan prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip
ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm.5
4. Prinsip justice
Iaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).5
Dari prinsip moral yang dinyatakan, didapat rules derivatnya yaitu:
Veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka)
Privacy (menghormati hak privasi pasien)
Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
Fidelity (loyalitas dan promise keeping)
Seorang dokter harus mampu menggunakan keempat prinsip dasar yang telah disebutkan
beserta dengan etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku.
Walaupun begitu, dalam pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat
juga digunakan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaedah moral yang telah
disebutkan. Teori etik yang esensial dalam pelayanan klinik adalah:
1. Medical Indication
Pada topic medical indication atau indikasi medis, dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek
indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah benificience dan non-
maleficience. Pertanyaan etika pada topic ini serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.5
2. Patient preferences
Pada topik ini, diperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya. Topik ini mencerminkan kaidah otonomi. Pertanyaan etik meliputi pertanyaan
tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi,
siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut oleh
pasien.5
3. Quality of life
Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau
meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualits
hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence,
nonmaleficence dan autonomy.5
4. Contextual features
Dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor
keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.5

35
Dalam profesi kedokteran di Indonesia, telah disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI). Kodeki terdiri dari empat kewajiban yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Pasal-pasal yang disusun dalam Kodeki berbunyi seperti berikut;
1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.6
2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
tertinggi.6
3. Dalam melaksanakan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.6
4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.6
5. Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.6
6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.6
7. Setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.6
7a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih saying
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.6
7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.6
7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.6
8. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyrakat yang sebenar-benarnya.6
9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.6
10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mepergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.6
11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.6
12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.6
13. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.6
14. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan.6
15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.6

36
16. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.6
17. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.6
Dengan tersusunnya Kode Etik Kedokteran ini berserta dengan prinsip-prinsip moral dasar dan
teori etik klinik, diharapkan dokter-dokter dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Dalam hal
seorang dokter melanggar etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia dapat
dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai
pertanggungjawaban.7

2.3 Prosedur Medikolegal


Prosedur medikolegal yaitu tata cara prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang
berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan umum. Secara garis besar prosedur
medikolegal mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan pada
beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.3
Lingkup prosedur medikolegal antara lain:
1. Pengadaan Visum et Repertum
2. Pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka
3. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli di
dalam persidangan
4. Kaitan Visum et Repertum dengan rahasia kedokteran
5. Penerbitan surat keterangan kematian dan surat keterangan medik
6. Fitness/kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik

Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP.
Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan (pasal
184 KUHAP).3

Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli


Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
adalah penyidik. Penyidik pembantu juga mempunyai wewenang tersebut sesuai dengan pasal 11
KUHAP.3

Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli


Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang melakukan pemeriksaan forensik yang
menyangkut tubuh manusia dan membuat keterangan ahli adalah dokter ahli kedokteran
kehakiman (forensik), dokter dan ahli lainnya. Sedangkan dalam penjelasan KUHAP tentang
pasal tersebut dikatakan bahwa yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.3
2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan
Anamnesis
Pada tindakan anamnesis, doktor harus dapat melacak apakah tersangka pernah hamil
atau melahirkan. Soalan yang ditanyakan juga diharapakan bersifat terarah agar dapat membantu
dalam melakukan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan.8
Antara soalan yang dapat ditanyakan adalah seperti:
Kapan mens terakhir?

37
Berapa lamakah siklus?
Kapan mennarche?
Apakah ia mempunyai pacar atau sudah bernikah?
Apakah ia mempunyai anak sebelumnya, jika ada, berapa orang dan usia anak paling muda. Dan
soalan-soalan lain.
A. Pemeriksaan Medis
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum
Manifestasi klinis abortus antara lain:
Keadaan umum tampak lemah atau menurun, tekanan darah menurun atau normal,
denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
Perdarahan pervaginaan, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
Rasa mules atau keram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat
kontraksi uterus.9

Pembesaran pada payudara


Pada saat hamil perubahan yang terjadi pada ibu hamil adalah payudara menjadi tegang,
areola ( puting ) menjadi lebih menonjol dan daerah sekitar puting menghitam
( hiperpigmentasi ).
Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan persediaan darah keseluruh tubuh maka
daerah sekitar payudara akan tampak bayangan pembuluh-pembuluh vena dibawah kulit
payudara. Hipertropi alveoli payudara menyebabkan payudara bertambah besar dan noduler.
Karena ukuran payudara membesar, vena-vena halus pun terlihat semakin jelas di bawah kulit.9

Perubahan kulit
Stretch-marks akan muncul di payudara, perut, paha dan pantat pada sebagian besar
wanita. Tanda-tanda ini berwarna merah muda pada waktu hamil tetapi setelah melahirkan
bentuknya mengecil berwarna keperakan. Pada wanita berkulit lebih gelap stretch-marks
kelihatan lebih jelas karena kontras dengan warna kulit.
Sebagian dari pertambahan darah mengalir ke kulit. Kulit menjadi lebih hangat dan
sering berkeringat. Warnanya pun menjadi agak gelap yang disebabkan oleh meningkatnya
pasokan darah.9
Sebagian besar kulit kembali ke warna aslinya setelah melahirkan, kecuali area sekitar
puting susu, genitalia, dan perut.9

2. Pemeriksaan ginekologi
Diperiksa ada tidaknya tanda akut abdomen. Jika memungkinkan, cari sumber perdarahan
: apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau darah mengalir keluar dari ostium.9
a. Inspeksi Vulva : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium bau
busuk dari vulva
b. Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau
tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.

38
c. Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam
cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio
digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri
Inspeksi :
(1). Chloasma gravidarum.
(2). Keadaan kelenjar thyroid.
(3). Dinding abdomen ( varises, jaringan parut,).
(4). Keadaan vulva dan perineum
Pada abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus yang dilakukan oleh
orang yang tidak ahli, sering terjadi infeksi. Tanda-tanda infeksi alat genital berupa demam, nadi
cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan lembek, nyeri tekan, leukositosis. Pada
pemeriksaan dalam untuk abortus yang baru saja terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang
dapat diraba sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus berukuran
kecil dari seharusnya.9
Pemeriksaan korban abortus Pada
korban hidup perlu diperhatikan tanda kehamilan misalnya perubahan pada payudara,
pigmentasi, hormonal, mikroskopik dan sebagainya. Perlu pula dibukti adanya usaha
penghentian kehamilan, misalnya tanda kekerasan pada genitalia interna/eksterna, daerah perut
bagian bawah.9
Abortus yang dilakukan oleh ahli trampil mugkin tidak meninggalkan bekas dan bila
telah berlangsung satu hari atau lebih, maka komplikasi yang timbul atau penyakit yang
menyertai mungkin mengaburkan tanda-tanda abortus kriminal.9
Pemeriksaan pada korban hidup
Pada pemeriksaan pada ibu yang diduga melakukan aborsi, usaha dokter adalah
mendapatkan tanda-tanda sisa kehamilan dan menentukan cara pengguguran yang dilakukan
serta sudah berapa lama melahirkan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan oleh Sp.OG.
Pemeriksaan tes kehamilan masih bisa dilakukan beberapa hari sesudah bayi dikeluarkan
dari kandungan, dijumpai adanya colostrum pada peremasan payudara, nyeri tekan di daerah
perut, kongesti pada labia mayora, labia minora dan serviks. Tanda-tanda tersebut biasanya tidak
mudah dijumpai karena kehamilan masih muda. Bila segera sesudah melahirkan mungkin masih
didapati sisa plasenta yang pemastiannya perlu pemeriksaan secara histopatologi (patologi
anatomi), luka, peradangan, bahan-bahan yang tidak lazim dalam liang senggama, sisa bahan
abortivum. Pada masa kini bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan DNA untuk pemastian
hubunga ibu dan janin.9
Pembuktian kasus abortus
1. Menentukan apakah wanita tersebut hamil
2. Mencari tanda-tanda cara abortus provokatus yang dilakukan
a) Mencari tanda-tanda kekerasan lokal seperti memar, luka, perdarahan jalan lahir
b) Mencari tanda-tanda infeksi akibat pemakaian alat yang tidak steril
c) Menganalisa cairan yang ditemukan dalam vagina atau cavum uteri
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Terhadap Tersangka
Dibuktikan melalui pemeriksaan laboratorium, apakah seorang wanita itu hamil atau tidak adalah
dengan memeriksa :

39
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
Dengan pemeriksaan ini dapat menunjukkan penurunan kadar hematokrit, hemoglobin rendah
yang dapat memicu pasca pendarahan setelah terjadinya aborsi.
b. Pemeriksaan trombosit
Dapat meningkat karena mekanisme pembekuan darah yang terjadi sebagai mekanisme
kompensasi setelah terjadinya pendarahan yang banyak setelah aborsi
c. Fibrinogen
Pemeriksaan ini dapat membedakan sama ada sama ada aborsi ini tergolong dalam spontaneous
atau pun missed abortion. Pemeriksaan ini lebih spesifik kepada missed abortion.1
d. Test urine
Pada pemeriksaan urin juga dapat di ketahui bahwa wanita tersebut sedang hamil jika adanya
peningkatan bhCG yang sangat bermakna dalam mendeteksi bahwa wanita ini sebelumnya
pernah hamil dan melakukan pengguguran. Ini adalaha karena bhCG dapat menurun setelah 2- 3
minggu setelah melahirkan, dan uji ini member nilai yang sangat bermanfaaat.
e. Pemeriksaan pregnanediol
Preganediol merupakan hasil metabolit progesterone. Progesterone sanagt bertanggungjwab
dalam perubahan uterus setelah ovulasi. Ianya menigkat selam akehamilah dan dapat menuru
jika terjadi aborsi dan disfungsi plasenta.1
f. Kadar Prolactin dalam serum
Kadar prolactin serum berbeda beda mengikut jangka waktu kehamilan ,pada trimester pertama
< 80ng/ml, pada trimester kedua < 160ng/mL dan trimester ketiga < 400 ng/mL. Hormon ini
meningkat sesuai jangka waktu kehamilan untuk menyediakan kepada pengembangan mammae
semasa laktasi terjadi. Jika adanya peningkatan kepada hormone ini bermakna ibu ini pernah
hamil.
g. Pemeriksaan dengan USG
Dengan USG dapat mengetahui uterus seseorang sama ada telah di aborsi atau tidak dengan
melihat kepada permukaan dinding rahim setelah terjadinya curratage.1

Pemeriksaan Terhadap Hasil Curettage


Pemeriksaan darah sangat penting dalam menentukan species dan golongan darah
manusia. Apabila ditemukan darah tersebut pertama sekali harus di buktikan sama ada bercak
darah ini benar benar darah manusia, atau hewan, jika darah manusia perlu memastikan adakah
ianya darah mensturasi atau bukan. Oleh itu di anjurkankan melakukan pemeriksaan:
a. Pemeriksaan Mikroskopik
Ertujuan melihat darah sel darah merah dengan membuat sediaan hapus dengan pewarnaan
Giemsa atau Wright. Pemeriksaan ini dapat menentukan golongan kelas dan bukan spesies.
Keuntunagn sediaan hapus dapat mengetahui apakah darah ini merupakan seorang wanita atau
bukan dengan sel lekosit berinti banyak denan adanya barr body dan drum stik.4
b. Pemeriksaan Kimiawi
Pemeriksaann ini terdiri dari :
Pemeriksaan penyaringan darah dan penentuan darah serta penentuan species.
Pemeriksaan penyaringan darah dapat di gunakan reaksi benzidin dan fenoftalin, dan jika
positif akan bewarna merah muda dan memastikan lagi ianya darah manusia.4
Pemeriksaan Penentuan Darah

40
a) Dengan ditemukan pigmen , krisal hematin dan hemokhromogen dengan menggunakan reaksi
Teichman dan Wagenaar. Reaksi Teichman dengan hasil psitif tampak Kristal hemin- HCl yang
berbentuk batang bewarna coklat.
b) Reaksi Wagenaar , dengan hasil positip terlihat Kristal aceton hemin yang berbentuk batang
bewarna coklat.
c) Pemeriksaan Spektroskopik. Pemeriksaan ini dapat memastikan lagi bahwaa golongan darah
yang di periksa ini adalah darah jika di jumpai pita pita absorbs yang khas dari hemoglobin atau
turunannya.
d) Pemeriksaan Serologis. Berguna dalam menentukan species dan golongan darah berdasarkan
reaksi antigen dan antibody , yaitu reaksi aglutinasi.

Penentuan Spesies
Terdapat dua cara yatu:
Reaksi cincin( reaksi presipitat dalam tabung )
Hasil postif darah manusia akan terbentuk cincin keruh di perbatasan.
Reaksi precipitate dalam agar
Anti globulin darah manusia di masukkan dan di letakkan dalam ruang yang lembab, hasil
positip memberikan precipitate jernih pada perbatasan lubang.

Pemeriksaan Hubungan Antara Hasil Curratage dan Tersangka


a. Penentuan Golongan Darah
Ianya dapat di lakukan dengan meneteskan 1 tetes anti serum darah dan di lihat apakah
terjadinya aglutinasi atau pun belum. Jika keduanya cocok maka akan terlihat reaksi aglutinasi.4
b. Pemeriksaan Test DNA
Pemeriksaan ini sangat akurat dan memberikan nilai yang sangat tepat hampir 99.9%. Bahan
sampel DNA dapat dipilih dari jaringan apa saja, karena DNA dapat diperoleh dari semua sel
berinti. Sel yang tidak memiliki DNA hanyalah sel darah merah karena sel darah merah tidak
memiliki inti. Untuk itu terhadap berbagai bahan sampel tersebut harus diberi perlakuan sebagai
berikut:
1.Jaringan
Untuk bahan sampel yang segar, sampel terbaik adalah jaringan limpa, kelenjar getah bening dan
hati.
2.Darah
Darah cair diberikan pengawet EDTA, dan disimpan dalam termos es atau lemari es. Alternatif
lain, bahan diserap dengan kain kasa lalu dikeringkan. Bercak kering dapat dikerok dengan
scalpel, dibawa dengan bendanya atau diusap dengan kain kasa basah lalu dikeringkan.
3.Tulang, Gigi dan Rambut
Dibungkus dengan kertas alumunium dan disimpan pada suhu di bawah 20C.
Bahan yang telah dikeringkan dapat disimpan pada suhu kamar. Sampel rambut diambil 10 15
helai beserta akarnya. Sampel gigi dipilih paling sedikit empat, molar jika mungkin. Sampel gigi
sebaiknya tidak rusak oleh endodontia. Sampel tulang sebaiknya dari femur.
Teknik Analisis DNA
Adapun jenis-jenis teknik analisa DNA adalah sebagai berikut:

41
1. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Teknik pertama yang digunakan analisa DNA dalam bidang forensik polimorfisme yang
dinamakan Restriction Fragment Leght Polymorphism (RFLP) adalah suatu polimorfisme DNA
akibat variasi panjang fragmen DNA setelah dipotong dengan enzim retriksi tertentu menjadi
fragmen Variable Number Of Tandem Repeat (VNTR). Teknik ini dilakukan dengan
memanfaatkan enzim retriksi yang berfungsi memotong DNA pada tempat-tempat tertentu
dengan cara mengenali urutan basa tertentu seperti AATT. Setelah selesai, pola RFLP tampak
seperti kode batang (bar code). Dan dibandingkan untuk menentukan apakah kedua sampel
tersebut berasal dari sumber yang sama.1
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode analisa DNA yang selanjutnya adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu
suatu metode untuk memperbanyak fragmen DNA tertentu secara in vitro dengan enzim
polymerase DNA. Teknik ini didesain agar yang diperbanyak hanya segmen tertentu dari sampel
dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga dapat diperoleh informasi dari sampel yang
jumlahnya sedikit atau bahkan pada sampel DNA yang sudah mulai terdegradasi.1
3. STRs (Short Tandem Repeats)
Metode STRs (Short Tandem Repeats) adalah salah satu metode analisis yang berdasar
pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR). STRs (Short Tandem Repeat) adalah suatu
istilah genetik yang digunakan untuk menggambarkan urutan DNA pendek (2 5 pasangan basa)
yang diulang. Genome setiap manusia mengandung ratusan STRs. Metode ini paling banyak
dikembangkan karena metode ini cepat, otomatis dan memiliki kekuatan diskriminasi yang
tinggi. Dengan metode STRs dapat memeriksa sampel DNA yang rusak atau dibawah standar
karena ukuran fragmen DNA yang diperbanyak oleh PCR hanya berkisar antara 200 500
pasangan basa. Selain itu pada metode ini dapat dilakukan pemeriksaan pada setiap lokus yang
memiliki tingkat polimorfisme sedang dengan memeriksa banyak lokus dalam waktu bersamaan.
Teknik yang digunakan adalah multiplexing yaitu dengan memeriksa banyak lokus dan berbeda
pada satu tabung. Dengan cara ini dapat menghemat waktu dan menghemat sampel. Analisis
pada teknik ini didasarkan pada perbedaan urutan basa STRs dan perbedaan panjang atau
pengulangan basa STRs. Teknis ini banyak di gunakan sekarang ini dalam penentuan DNA.1
4. mtDNA (Mitochondrial DNA)
Aplikasi penggunaan mitokondria DNA (mtDNA) dalam identifikasi forensik dimulai
pada tahun 1990. Mitokondria adalah partikel intraselular yang terdapat di luar nukleus dalam
sitoplasma sel. Mitokondria mengandung DNA kecil berupa molekul berbentuk sirkular yang
terdiri dari 16569 pasangan basa yang dapat diidentifikasi. Setiap sel mengandung 100 1000
mitokondria.
Ciri khas dari mtDNA adalah pola penurunannya. Tidak seperti DNA inti yang tersusun
dari kombinasi separuh DNA orang tua, mitokondria DNA hanya mengandung DNA ibu. Jika
dari pemeriksaan Mitokondria DNA dapat mengetahui garis ibu, maka dari pemeriksaan
Kromosom Y dapat mengetahui garis ayah pada anak laki-laki. Perbedaan yang terlihat bahwa
Mitokondria DNA adalah marker sitoplasmik yang diturunkan ibu kepada semua anaknya
sedangkan Kromosom Y adalah marker nuklear yang hanya diturunkan seorang ayah pada anak
laki-lakinya.1

Penggunaan teknis ini sangat bererti dalam penegakkan kasus aborsi untuk memastikan lagi
hubungan tersangka dengan anaknya
2.5 Visum et Repertum

42
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHP:


(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan
keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHP.Yang dimaksud dengan penyidik disini
adalah penyidik sesuai dengan dengan pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi
Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang
berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia.10
Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang
meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHP).10
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah no.27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik polri berpangkat serendah-
rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang
komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya
tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua.
Untuk mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditanda tangani oleh yang
berwenang, maka yang penting adalah bahwa orang yang menandatangani surat tersebut selaku
penyidik.10
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk
memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHP sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ata ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Definisi
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun
bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis
yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan
peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-
baiknya.10

43
Perbedaan Visum et Repertum dengan Catatan Medis
Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan
pengobatan atau perawatan yang dilakukan oleh dokter. Catatan medis disimpan oleh dokter atau
institusi dan bersifat rahasia, tidak boleh dibuka kecuali dengan izin dari pasien atau atas
kesepakatan sebelumnya misalnya untuk keperluan asuransi.
Catatan medis ini berkaitan dengan rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti yang
terdapat dalam pasal 322 KUHP. Sedangkan Visum et Repertum dibuat berdasarkan Undang-
Undang yaitu pasal 120, 179 dan 133 KUHAP dan dokter dilindungi dari ancaman membuka
rahasia jabatan meskipun Visum et Repertum dibuat dan dibuka tanpa izin pasien, asalkan ada
permintaan dari penyidik dan digunakan untuk kepentingan peradilan.10
Jenis Visum et Repertum
Ada beberapa jenis Visum et Repertum, yaitu:
1. Visum et Repertum Perlukaan atau Keracunan
2. Visum et Repertum Kejahatan Susila
3. Visum et Repertum Jenazah
4. Visum et Repertum Psikiatrik
Tiga jenis visum yang pertama adalah Visum et Repertum mengenai tubuh atau raga manusia
yang berstatus sebagai korban, sedangkan jenis keempat adalah mengenai mental atau jiwa
tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et Repertum perlukaan,
kejahatan susila dan keracunan serta Visum et Repertum psikiatri adalah visum untuk manusia
yang masih hidup sedangkan Visum et Repertum jenazah adalah untuk korban yang sudah
meninggal. Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu, namun
sebaiknya untuk Visum et Repertum psikiatri dibuat oleh dokter spesialis psikiatri yang bekerja
di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.10

Visum et repertum Perlukaan


Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui
penyebab luka/sakit dan derajat luka atau sakitnya tersebut.
Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medic atas semua hasil
pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana, pencacatan harus
lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Catatan medic
yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam pemberitaan
visum et repertum.
Derajat luka ditentukan berdasarkan ketentuan KUHP pada pasal 352, pasal 90, pasal
352, pasal 353 dan pasal 351.10

Fungsi
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal
184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana
terhadap kesehatan dan jiwa manusia.Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang
hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti benda bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum
et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga
dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada

44
seseorang dan para praktisi hukum yang dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara
pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.10

Contoh visum et repertum untuk kasus 1:


PROJUSTITIA 11 Januari 2011
Visum et repertum no.: 1/I/2011
Visum et Repertum

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, dokter Aqilah binti Isa. Dokter pada bagian forensik
rumah sakit UKRIDA di Jakarta atas permintaan dari kepolisian Resort Grogol dalam suratnya
nomor/VeR/1/2011/LL/Res. Tng tertanggal 11 Januari 2011, maka dengan ini menerangkan
bahwa, pada tanggal sebelas januari tahun dua ribu sebelas pukul tiga sore Waktu Indonesia
Barat, bertempat di RS UKRIDA, telah melakukan pemeriksaan atas korban dengan nomor
registrasi 97011990 yang menurut surat tersebut adalah:--------------------------------
Nama : Nyonya B -----------------------------------------------------------------
Jenis kelamin : Perempuan ----------------------------------------------------------------
Warga Negara : Indonesia --------------------------------------------------------------
Alamat : xxx, Jakarta ------------------------------------------------------------
Hasil pemeriksaan
1. Dari anamnesis pada Nyonya B, harus ditanyakan mengenai hari terakhir menstruasi, lama
menstruasi, menarche, sudah punya pacar/menikah.
2. Pada korban ditemukan : ----------------------------------------------------------------
a. Dilihat dari pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemah/menurun, tekanan darah
menurun/normal, denyut nadi normal/cepat dan kecil serta suhu badan normal/meningkat.
b. Pada pemeriksaan daerah kelamin didapatkan pendarahan. Disertai keluhan mules/keram perut
di perut serta nyeri pinggang.
3. Di lakukan pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan darah didapatkan kadar darah yang rendah,
pemeriksaan golongan darah adalah __, pemeriksaan hormon kehamilan positif, pemeriksaan
radiologi kelihatan permukaan keadaan dinding rahim, pemeriksaan hasil curettage; hasil positif
darah manusia, golongan darah adalah __ sesuai dengan wanita tersangka. Hasil pemeriksaan
DNA terhadap jaringan serta wanita tersangka cocok. (Mencari hubungan antara jaringan yang
ditemukan dengan tersangka melalui pemeriksaan golongan darah, DNA)
4. Pengobatan yang telah di lakukan( terapi untuk mengurangkan pendarahan rahim). Dan korban
di pulangkan dalam keadaan yang baik.

45
A. Pandangan Masyarakat tentang Aborsi
Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan etika budaya ketimuran,
karena budaya timur masih memegang kuat agamanya. Saat ini, masalah aborsi, dan, karenanya,
masalah anti-aborsi menjadi sangat penting terutama untuk berkembang dengan baik, masyarakat
pasca-industri. Jelas bahwa ini bukan masalah individu lagi tapi benar-benar masalah sosial
karena tidak hanya menyangkut kesehatan perempuan tetapi juga menghasilkan dampak serius
terhadap situasi demografis di seluruh negeri dan pada suasana psikologis dalam masyarakat
pada umumnya dan dalam keluarga pada khususnya. Tradisional, aborsi adalah titik argumen
serius bagi dan melawan fenomena ini di sebagian besar masyarakat. Sebagai aturan, sebagian
besar dari masyarakat adalah melawan aborsi tapi pada kondisi tertentu bahkan konservatif
setuju bahwa aborsi mungkin diperlukan atau bahkan tak terelakkan. Lagi pula, masyarakat harus
sangat berhati-hati mengatasi masalah cuaca untuk mendukung atau menolak sepenuhnya ide-ide
aborsi tapi pada saat yang sama perempuan harus memiliki pilihan dan kesempatan untuk aborsi.
Pertama-tama, akan sangat penting untuk merujuk kepada beberapa data statistik yang
membuktikan bahwa aborsi tidak dapat dilarang pointblank, khususnya di negara berkembang
dengan baik. Tapi perlu untuk menggaris bawahi bahwa aborsi bukanlah masalah perempuan
hanya itu masalah seluruh masyarakat. Untuk membuktikan pernyataan ini akan cukup untuk
menyebutkan bahwa lebih dari 1000 serangan kekerasan terhadap klinik aborsi dan dokter
berkomitmen 1977-1991 dan banyak serangan tetap tidak dilaporkan (Grimes, 1991). Jadi, itu
berarti bahwa kelompok-kelompok sosial yang pasti sudah siap untuk mempertahankan
kepercayaan mereka antiaborsi bahkan oleh pelanggaran hukum.
Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan masalah dalam keluarga yang merupakan
bagian dari masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi seorang wanita untuk
memiliki suasana yang mendukung dari bagian dari kerabat terdekat, yakni suami dan orangtua.
Spesialis sangat merekomendasikan mengambil keputusan aborsi oleh kedua pasangan yang
dapat membuat keluarga kuat sedangkan perselisihan dapat mengakibatkan perceraian. Tetapi
juga penting bahwa perempuan tidak dapat dipaksa untuk aborsi juga. Jadi peran keluarga dalam
mengambil keputusan tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat atau keyakinan
pribadi.
Dengan mempertimbangkan semua tersebut di atas, perlu untuk mengatakan bahwa aborsi,
menjadi fenomena sosial, memiliki banyak lawan serta pendukung tetapi hanya sebagian kecil
yang cukup radikal dan siap untuk menyangkal titik pandang yang berlawanan. Sebagian besar
siap untuk menerima aborsi walaupun dalam kondisi tertentu. Ini berarti bahwa aborsi harus
disahkan tetapi pada saat yang sama harus diatur secara ketat agar tidak membahayakan
kesehatan wanita atau anak-anak mereka dalam kasus-kasus ketika aborsi mungkin yang dapat
dihindari.[3]
Kurangnya pengetahuan tentang pergaulan bebas tersebut yang akhirnya membuahkan sesuatu
yang tidak diinginkan. Masyarakat yang menganggap hal tersebut adalah sebagai aib yang harus
ditutupi tak segan melakukan tindakan abortus. Dalam keadaan seperti ini mereka rela
rnengeluarkan uang berjuta-juta rupiah bagi para dokter peralatan pendukung untuk
membuktikan kasus tindak pidana abortus provocatus asal bersedia melakukan tindakan
pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat tindakan ini adalah tindakan yang paling
benar untuk menutupi sebuah malu.
Pada hakekatnya keberadaan keluarga terdidik berbeda jauh dengan keluarga yang hidup
limpahankan materi. Akibat dari perbedaan yang demikian, peluang untuk melakukan aborsi bagi
anak darikeluarga berada tentu sangat besar. Akibat dari fenomena miring seperti ini, pandangan

46
masyarakat terhadap aborsi pun menjadi berbeda-beda. Bagi kalangan masrakat bawah secara
sadar memaknai bahwa penguguran kandungan sedari dini merupakan jalan pintas untuk
mengambil suatu pilihan hidup. Jalan final ini merupakan arah menuju kondisi yang lebih baik
untuk menghindarkan diri dari resiko serta ancaman setelah melakukan aborsi. Di kalangan
masyrakat menengah, aborsi dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Hal itu bertentangan dengan
nilai budaya yang melekat pada kebiasaan normatif yang menganggap aborsi merupakan sesuatu
yang kejam.
Pandangan yang lain datang dari kaum elit yang menilai aborsi merupakan upaya
menyelamatkan kehidupan, khususnya dalam jangka panjang. Hanya saja, dalam pelaksanananya
memerlukan konsekwensi logis. Misalnya, anak yang lahir hanya menimbulkan konflik
dikeluarga yang berujung pada pemilihan jalan aborsi. [4]
B. Bagaimana Pandangan Hukum tentang Aborsi
Muhajir Darwin dari Pusat Penelitian Kependudukan UGM dalam Round Table Discussion,
tentang Aborsi, Usia Kawin dan Pengaruhnya terhadapmFertilisasi yang diadakan BKKBN,
mengatakan:
ketika hukum tidak memberi tempat bagi pelayanan aborsi yang aman, maka para perempuan
yang mengalami kehamilan tanpa dikehendaki terpaksa pergi ke bidan atau dukun aborsi yang
tak kompten. Akibatnya, komplikasi kesehatan atau bahkan kematian mengancamnya.
Selanjutnya menurut Muhajir Darwin, bahwa angka kematian maternal di Indoonesia adalah
tertinggi di Asia yaitu sekitar 11% di antaranya karena pertolongan aborsi yang tidak aman.
Aborsi pada dasarnya adalah fenomena yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Aborsi dapat
dikatakan sebagai fenomena terselubung karena praktik aborsi sering tidak tampil ke
permukaan, bahkan cenderung ditutupi oleh pelaku utaupun masyarakat, bahkan negara.
Ketertutupan ini antara lain dipengaruhi oleh hukum formal dan nilai-nilai sosial, budaya, agama
yang hidup dalam masyarakat serta politik. Pada intinya pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa
tuntutan dikenakan bagi orang-orang yang melakukan aborsi ataupun orang-orang yang
membantu melakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Intinya hukum formal yang
mengatur masalah aborsi menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menolak aborsi.
Pengecualian diberikan jika ada indikasi medis sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 15 dan Pasal 80. Selain itu, masalah aborsi juga terkait
dengan Sumpah Dokter Indonesia yang antara lain menyatakan bahwa dokter akan menghormati
setiap kehidupan

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai abortus provocatus telah ditetapkan
secara cukup jelas, tetapi aturan yang tertulis tersebut tidak mengatur secara detail mengenai
sanksi yang diterima bagi pelaku abortus provocatus tersebut. Seperti yang dijelaskan pada pasal
299 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disana disebutkan Barang siapa dengan sengaja
merawat atau menyuruh seorang wanita memperoleh perawatan dan memberitahukan atau
Menimbulkan harapan padanya bahwa dengan perawatan tersebut suatu kehamilan itu dapat
menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara selama lamanya empat tahun atau denda
setinggi-tingginya tiga ribu rupiah.
Juga pada pasal 346 Kitab Undang-Undang Pidana disebutkan :
Seseorang wanita yang dengan sengaja menyebabkan atau menyuruh orang lain menyebabkan
gugurnya kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungannya, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya empat tahun.

47
Demikian juga seperti yang disebutkan pada pasal 347 Kitab Undang-Undang Pidana
yakni :Barang siapa, dengan sengaja menyebabkan gugurnya kandungan atau matinya janin
yang berada dalam kandungan seorang wanita tanpa mendapat izin dari wanita itu sendiri,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun.
Dari ketiga pasal yang disebut di atas sudah jelas bahwa hukum yang mengatur masalah abortus
provocatus masih sangat lemah. Pada pasal-pasal tersebut hukuman yang dikenakan pada pelaku
abortus provocatus terkesan amat sangat ringan yaitu hanya empat tahun penjara dan atau denda
sekurang-kurangnya tiga ribu rupiah, pada hal ditinjau dari segi manapun perbuatan atau
tindakan abortus provocatus adalah tindakan penghilangan nyawa yang juga berarti adalah
tindakan pembunuhan, serta seolah olah ada kesan bahwa perbuatan atau tindakan abortus
provocatus adalah tindakan yang dibolehkan.
Kasus abortus provocatus ini juga diatur dalam pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana :
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya kandungan seorang wanita dengan ijin
wanita itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enarn bulan.
Demikian juga pada pasal 349 Kitab Undang-Undang Pidana :
Bahwa jika seorang dokter, bidan, juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
dalam pasal 346 KUHP, ataupun melakukan atau membantu dalam salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam pasal itu bisa
ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk
melakukan kejahatan itu.
Dalam pasal ini menerangkan bahwa jika si pelaku adalah seorang dokter, bidan, ataupun juru
obat, maka hukuman yang diperoleh hanya ditambah sepertiganya dan sanksi dipecat dari
jabatannya. Inipun juga terkesan amat ringan, bagaimana bisa kalau si pelaku nyata-nyata adalah
seorang dari petugas kesehatan melakukan tindakan ilegal hanya dihukum lima tahun lebih
sedikit, padahal seorang petugas kesehatan harusnya lebih tahu tindakan yang tidak didasari oleh
tindakan medis adalah tindakan yang melanggar hukum.
Dari sekian pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku abortus provocatus, rata-rata
hukuman yang mereka terima sangatlah ringan. Dari sinilah yang memicu semakin banyaknya
kasus abortus provocatus di kalangan masyarakat.
C. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum Aborsi dan cara
mengatasinya.
Kebijakan Aborsi di IndonesiaIndonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelegalan
aborsi dalam konvensi-konvensi badan dunia PBB, satu kubu dengan negara-negara muslim
dunia ,sebagian negara Amerika Latin dan Vatikan.
Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan nyawa sang
ibu. Oleh karena itulah praktek aborsi dapat dikenai pidana oleh negara. Fatwa lembaga
keagamaan pun rata-rata mendukung kebijakan pemerintah tersebut , misalnya fatwa Majlis
Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 tentang aborsi yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan
medis diperbolehkan dan aborsi dengan alasan non medis diharamkan.
Akan tetapi bisakah Indonesia digolongkan dalam kubu pro live. Jawabnya bisa ya bisa tidak.
Walaupun kebijakan pemerintah Indonesia dengan melarang parktek aborsi condong ke kubu pro
live akan tetapi kebijakan lainnya justru mendorong terjadinya praktek aborsi. Diantaranya
larangan bagi siswa/i yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah untuk menikah.
Kebijakan inilah yang mendorong terjadinya praktek aborsi, siswi yang hamil akan dikeluarkan
dari sekolah dan dilarang untuk melanjutkan studynya, selain oleh karena tekanan orang tua,

48
masyarakat dan lingku-ngan. Karena itulah aborsi menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk
yang bisa diambil oleh seorang remaja yang hamil di luar nikah.
Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada adanya
pertentangan baik secara moral & kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama &
hukum di lain sisi. Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang
harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan, hasil
hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa
janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Anak yang dilahirkan dalam kondisi
& lingkungan seperti ini nantinya kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial
kemasyarakatan yang normal, kurang mendapat perlindungan & kasih sayang yang seharusnya
didapatkan oleh anak yang tumbuh & besar dalam lingkungan yang wajar, & tidak tertutup
kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat.
Dalam menghadapi kasus kejahatan abortus provocatus kriminalis ini tidak semudah yang
dibayangkan. Sesuai dengan teori mungkin bisa diungkap dengan tepat dan cepat, serta secara
pasti, tetapi tidak demikian. Banyak sekali kendala-kendala yang mesti dihadapi. Kendala yang
pertama adalah dari masyarakat itu sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang pergaulan bebas
tersebut yang akhirnya membuahkan sesuatu yang tidak diinginkan. Masyarakat yang
menganggap hal tersebut adalah sebagai aib yang harus ditutupi tak segan melakukan tindakan
abortus. Dalam keadaan seperti ini mereka rela rnengeluarkan uang berjuta-juta rupiah bagi para
dokter peralatan pendukung untuk membuktikan kasus kejahatan abortus provocatus kriminalis
asal bersedia melakukan tindakan pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat
tindakan ini adalah tindakan yang paling benar untuk menutupi sebuah malu. Padahal dari
tindakan tersebut tidak sedikit yang harus kehilangan nyawa atau sedikitnya mereka mengalami
keadaan dimana rahim mereka rusak dan tidak akan dapat lagi memiliki anak. Kesadaran
rnasyarakat yang amat sangat diperlukan dalam menuntaskan masalah ini.
Disamping itu karena kasus ini bukan merupakan kasus delik aduan maka agak sulit untuk
menuntaskan kasus ini hingga keakarnya, karena mereka yang tahu dengan masalah ini enggan
untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib,
Kendala yang lain yang mungkin menjadi penyebab sulitnya mengungkap kasus abortus
provocatus kriminalis adalah pihak kepolisian sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari
barang bukti abortus provocatus kriminalis. Karena hasilhasil dari perbuatan tersebut sering
sudah hancur atau dibuang entah kemana.[5] Selain Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan memberi hak-hak dalam perlindungan bagi perempuan yang melakukan tindakan
aborsi akibat menjadi korban pemerkosaan itu, merasa memiliki hak hukum.
D. Solusi mengatasi maraknya kasus aborsi
Yang harus di perhatikan untuk mengatasi maraknya kasus aborsi di masa sekarang ini yaitu :
1. Dari pihak keluaga yang harusnya memperhatikan perkembangan seorang anak dalam
suatu pergaulan baik dilingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah.
2. Tidak lepas juga peran sekolah dalam melakukan sosialisasi bagaimana agar para siswa
mengetahui bahaya dari pergaulan bebas yang menjurus ke sex bebas yang menyebabkan
hamil di luar nikah.
3. Menindak tegas oknum oknum yang membuka serta menjalankan suatu praktet untuk
melakukan aborsi.[6]
Untuk kehamilan di luar nikah atau karena sudah kebanyakan anak dan kontrasepsi gagal perlu
dipirkirkan kembali karena masih banyak orang mendambakan anak. Sebaiknya kita jangan
mencari pemecahan masalah yang pendek atau singkat atau jalan pintas, tapi harus jauh

49
menyentuh dasar timbulnya masalah itu sendiri. Prinsip melegalkan abortus, sama seperti Prinsip
lokalisasi. Banyak celah yang justru akan dimanfaatkan untuk melakukanseks bebas. Karena
seks bebas sudah jadi realita sekarang ini, apalagi di kota-kota besar. Jika di data, orang-orang
yang ingin mengaborsi, berapa persen yang dikarenakan karena terlalu banyak anak,
dibandingkan karena hamil di luar nikah atau hamil dalam perselingkuhan, jauh lebih besar yang
karena di luar nikah daripada karena alasan ekonomi.[7]
Perempuan berhak dan harus melindungi diri mereka dari eksploitasi orang lain, termasuk
suaminya, agar tidak perlu abortus. Sebab abortus, oleh paramedis ataupun oleh dukun, legal
atau illegal, akan tetap menyakitkan buatwanita, lahir dan batin meskipun banyak yang.
menyangkalnya. Karena itu kita harusberupaya bagaimana caranya supaya tidak sampai
berurusan dengan hal yang akhirnya merusak diri sendiri. Karena ada laki-laki yang bisa seenak
melenggang pergi, dantidak peduli apa-apa meskipun pacarnya/istrinya sudah abortus dan
mereka tidak bisa diapa-apakan, kecuali pemerkosa, yang jelas ada hukumnya.

50

Anda mungkin juga menyukai