Ketika mendengar kata Malpraktik, mungkin yang terlintas dalam benak
Saudara adalah keadaan dokter yang gagal mengobati pasien. Namun ternyata, Malpraktik sendiri memiliki definisi yang luas. Malpraktik adalah setiap sikap tindak yang salah dan juga kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan memberikan pelayanan profesional dan melakukan tindakan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral. Topik pembahasan kali ini berfokus pada Malpraktik dalam lingkup Kedokteran. Sebelum menyelam lebih dalam, terdapat beberapa dasar hukum berpraktiknya seorang Dokter. Yang pertama terdapat Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), dan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU Rumah Sakit”). Pertanyaan Saudara adalah bagaimana upaya hukum terkait Malpraktik yang dilakukan oleh Dokter. Malpraktik dapat ditinjau berdasarkan Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Hubungan Hukum yang terjadi antara Dokter dengan Pasien berbeda dengan Hubungan Hukum antara Perseorangan pada umumnya. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien didasari oleh transaksi atau Kontrak Terapeutik antara Dokter dengan Pasien yaitu dimana Dokter bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter. Hubungan hukum Dokter dan Pasien timbul berdasarkan kesepakatan dan Undang-Undang. Perikatan karena kesepakatan membawa suatu keadaan wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum dokter atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang disebut perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang menyebutkan “Setiap orang bertanggung jawab hukum hanya kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatian”. Sedangkan dalam Pasal 1313 jo. 1234 KUHPer mengatakan “Perikatan Hukum adalah sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu yang disebut Prestasi”. Pertanyaan berikutnya, apakah berdasarkan Kontrak Terapeutik tersebut, seorang Dokter dapat dipidana akibat Malpraktik? Tidak ada satu pasal pun yang membahas bahwa dengan lalainya seorang tenaga medis dapat dipidana. Walaupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tepatnya pada Pasal 359 kita mengenal kalimat “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Dan dalam Pasal 360 KUHP yang berisi “(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”. Dalam menentukan seorang Dokter melakukan Malpraktik, hal tersebut dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDI”). Dasar Hukum kewenangan MKDI tersebut terdapat pada Pasal 1 Ayat 14 UU Praktik Kedokteran yang berisi “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi”. Jika terdapat dugaan seorang dokter melakukan Malpraktik, maka hal yang harus dilakukan adalah melapor pada MKDI. Malpraktik memiliki beberapa jenis, yakni malpraktik yang merupakan kealpaan menyebabkan kematian dan kealpaan yang menyebabkan luka-luka. Kealpaan berarti seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, atau teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi dalam kealpaan seseorang kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Terdapat beberapa unsur terkait Malpraktik yang dilakukan oleh Dokter, diantaranya: 1. Dokter telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan profesinya 2. Tindakan Dokter tersebut dilakukan karena kealpaan atau kelalaian 3. Kesalahan tersebut akibat Dokter tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan yang seharusnya dilakukan berdasarkan standar profesi 4. Adanya suatu akibat yang fatal yaitu meninggalnya pasien atau pasien menderita luka berat. Lalu bagaimanakah langkah atau tahapan dalam upaya penegakan hukum pasien yang mengalami Malpratik?. Tahapan pertama yaitu pengaduan kepada MKDI tentang dugaan Malpraktik yang dilakukan seorang Dokter. Selanjutnya, hal yang harus dilakukan adalah melakukan Mediasi atau jalur non litigasi terlebih dahulu antara Dokter dengan Pasien. Hal ini berdasarkan Pasal 29 UU Kesehatan yang bunyinya “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Pertanggung jawaban tersebut juga didasari oleh Pasal 46 UU Rumah Sakit “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Jika memang tidak ditemukan jalan keluar, silahkan menempuh jalur litigasi dengan mengajukan gugatan Keperdataan pada Pengadilan Negeri yang berwenang.