Oleh:
Akuntansi Terapan 7A
JAKARTA
2016
Pengertian Pelanggaran Kode Etik Profesi
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari dan sekaligus menjamin mutu profesi
itu dimata masyarakat.
Jadi kalau pelanggaran kode etik profesi berarti pelanggaran atau penyelewengan
terhadap sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi suatu
profesi dalam masyarakat.
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi
1. Kasus Malapraktek
Contoh nyatanya adalah kasus Drs. Irwanto PhD, peneliti dari Universitas Atmajaya, Jakarta,
yang lumpuh akibat dokter salah mendiagnosis dan kasus Fellina Azzahra (16 bulan ), bocah
yang ususnya bocor setelah dioperasi di Rumah Sakit Karya Medika, Cibitung, Bekasi.
Terhadap tindakan medical errors yang diduga malapraktek itu tidak ada
pertanggungjawaban, baik secara profesi maupun hukum.
Kasus dari Drs. Irwanto PhD terjadi karena adanya kesalahan diagnosis yang menyebabkan
salahnya penegambilan tindakan yang berakibat fatal terhadap dirinya. Awalnya hanya
merasa tidak enak badan karena kelelahan. Dokter di Rumah Sakit Internasional Bintaro,
Tangerang, Banten, mendiagnosa Irwanto menderita gangguan jantung. Dokter pun segera
menangani Irwanto. Anehnya, alih-alih pulih, kondisi Irwanto memburuk, hingga lumpuh
dari bagian dada ke bawah.
Karena kesalahan tersebut, Irwannto menjadi lumpuh. Irwanto pun menempuh jalur hukum
untuk menyelesaikan kasus ini. Di luar masalah itu, Irwanto menyesalkan IDI yang dinilai
tidak proaktif menyikapi maraknya malapraktek di Tanah Air.
Di republik ini, kesalahan pengobatan oleh dokter tidak teratur secara khusus, malah dalam
Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi VII DPR, Rabu (25/8)
lalu, kasus malapraktek sama sekali tidak disinggung. Dalam kasus malapraktek dokter,
sebenarnya ada dua pelanggaran profesi dan pelanggaran hukum. Namun, selama ini dalam
setiap kasus malapraktek, dokter selalu berada di pihak yang benar. Keluhan yang secara
lansung diajukan pasien selalu ditolak dan dan dimentahkan dengan berbagai argumentasi
medis dan alasan teknis. Akibatnya, kerugian kesehatan dan material selalu melekat dalam
diri pasien, sedangkan dokter tidak sedikitpun tersentuh tanggung jawab dan nurani
kemanusiaannya. Semua ini disebabkan tidak ada payung hukum yang bisa dijadikan dasar
penyelesaian kasus itu. Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 pun tak dapat
digunakan untuk menangani pelanggaran atau kelalaian dokter. UU ini hanya di desain untuk
diperjelas lebih lanjut dengan 29 peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini baru terbentuk
enam PP. Aturan lebih lanjut yang tidak ada itu antara lain menyangkut standar pelayanan
medis dan standar profesi. Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat
mendifinisikan mana yang disebut malapraktek, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan.
Selama ini masyarakat yang menggugat dokter kepengadilan karena merasa tindakan dokter
itu merugikan atau mencelakakan pasiennya, sekedar menggunakan pasal-pasal Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terhadap pelanggaran yang sifatnya hukum, ada
pendapat apakah pelanggaran profesi itu tidak diarahkan kepada ganti rugi saja. Apakah
harus dipidana. Itu harus ditimbang-timbang manakah yang paling cocok bagi kepentingan
korban. Mestinya, dalam menyikapi persoalan malapraktek harus berorentasi kepada korban.
Bagaimana memulihkan korban dan apa yang dilakukan jika korban meninggal dunia.
Sayang, sistem hukum dinegeri ini pada umumnya belum memperhatikan persoalan itu.
”Walaupun belum ada standar, tetapi praktik standar profesi sudah ada sejak dahulu. Semisal
sekolah profesi hukum atau dokter sudah mengenalkan hal itu seperti sumpah Socrates”
ungkap Bagir Manan saat mempersoalkan belum adanya standar pelayanan medis dan rumah
sakit. Dominasi kehendak untuk melakukan tindakan selamat-tidaknya seorang pasien yang
di tangani ada ditangan dokter. Namun malapraktek dalam profesi kedokteran agak sulit
dicabut.Begitu juga dari sisi kompetensi peradilan, mungkin hanya memperpanjang birokrasi
bila ditangani bukan oleh peradilan umum. Jika terbukti adanya malapraktek, kasus itu bisa
dilanjutkan ke perkara perdata. Akan tetapi, kelalaian yang terjadi dalam kegiatan pemberian
terapi yang dilakukan dokter bukan kelalaian atau kesalahan yang bersifat organisatoris.
Artinya, bukan tertuju kepada pribadi yang berkaitan dengan disiplin. Kelalaian itu bersifat
pelayanan publik sehingga implikasinya adalah implikasi publik alias tindakan pidana umum.
Jika bersifat pidana, kelalaian itu merupakan kompetensi peradilan umum. Misalnya seorang
dokter yang salah mendiagnosis seoarang pasien, lalu obat yang diberikan adalah berdasarkan
hasil diagnosis yang salah itu, maka dapat dipastikan bahwa yang menjadi korban adalah
pasien. Sesungguhnya kelalaian ini masuk katagori tindak pidana sebagaimana diatur dalam
pasal 359 KUHP. Atau meninggalkan seorang pasien yang memerlukan pertolongan seperti
diatur dalam pasal 304 KUHP. Tindakan itu adalah malapraktek yang tentu menjadi
kompetensi peradilan umum.
Kritik :
Dokter di Rumah Sakit Internasional Bintaro salah mendiagnosis Drs. Irwanto. Kesalahan
diagnosis itu diketahui setelah Bapak Irwanto memeriksakan kembali kondisi nya di rumah
sakit di Singapura. Maka, terbuktilah bahwa keadaan jantung Bapak Irwanto baik-baik saja
dan ada dugaan malapraktek oleh Dokter Rs. Internasional Bintaro. Atas kasus ini, tidak ada
tindakan yang jelas dari para penegak hukum dan termasuk dari Ikatan Dokter Indonesia
(IDI). IDI dianggap tidak proaktif terhadap maraknya kasus malapraktik di negara kita ini.
Kesalahan pengobatan oleh dokter tidak teratur secara khusus di negara kita ini, apalagi
didalam Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi VII DPR
kasus malapraktek sama sekali tidak disinggung. Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23
Tahun 1992 pun tak dapat digunakan untuk menangani pelanggaran atau kelalaian dokter.
Karena tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang malapraktek maka seakan-akan
dokter tidak bersalah jika terjadi malapraktek tersebut dan seakan-akan masyarakatlah yang
menjadi pihak yang bersalah karena tidak ada payung hukum yang melindungi pasien atas
kasus ini. Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat mendifinisikan mana yang
disebut malapraktek, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan. Padahal secara etika, tindakan
malapraktek ini telah merugikan para korban baik secara materiil maupun nonmateril.
Didalam kasus ini, dokter di Rs Internasional Bintaro telah melanggar Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang terdiri dari Pasal 5 dan Pasal 7a. Dimana dalam hal malapraktek ini, dokter
tersebut telah melemahkan kondisi fisik pasien tanpa dilakukan suatu persetujuan terlebih
dahulu dari pasien yang bersangkutan dan ini telah melanggar Kode Etik Kedokteran
Indonesia Pasal 5. Dan juga, dokter tersebut telah salah mendiagnosa sehingga bisa dikatakan
bahwa dokter itu tidak kompeten dalam bidangnya, maka itu telah melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia Pasal 7a.
Sebaiknya, untuk mengurangi terjadinya malapraktek di negara ini haruslah ditentukan suatu
payung hukum yang mengatur secara terperinci mengenai kasus malapraktek, ditegakkan
sanksi-sanki yang secara jelas menghukum jika terjadi malapraktek dan juga sebaiknya
dokter dalam memberikan diagnosa itu harus benar-benar didasari dengan kemampuannya
dan benar-benar memahami keluahan pasien sebelum melakukan suatu diagnosa. Sehingga
kasus ini tidak terulang kembali dan tidak ada lagi pasien dimana pun yang merasa dirugikan
baik fisik maupun secara materi.
2. Tidak Kompeten
Pada April 2016, Ibu Ira memeriksakan kondisi nya ke Rs. XX di daerah Bandung. Beliau
mengeluhkan bahwa perutnya telah sakit selama akhir-akhir minggu ini. Kemudian Dokter
Ryan memeriksa ibu Ira. Setelah memeriksa keadaan ibu Ira, dokter Ryan merasa tidak
terlalu memahami apa penyakit yang dialami ibu Ira, kemudian ia hanya memberikan obat
untuk meredam rasa sakit diperutnya. Dan setelah beberapa jam, ibu Ira meminum obat dari
dokter Ryan, perutnya masih terasa sakit seperti sebelumnya.
Kritik :
Dokter Ryan tidak kompeten didalam bidangnya karena ia tidak benar-benar memahami apa
yang dialami oleh ibu Ira. Sebelum memberikan resep obat untuk meredam rasa sakitnya, ia
pun tidak berusaha untuk bertanya terlebih dahulu kepada dokter lain dan malah mengambil
tindakan hanya sebatas memberikan obat peredam rasa sakit saja, padahal sakit nya itu masih
berkelanjutan. Hal ini menyebabkan dokter Ryan sebenarnya telah melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia Pasal 7a dimana dokter Ryan tidak kompeten di dalam bidangnya.
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek
kedokteran.
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah
Kerja Susila Kedokteran Indonesia.
Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter
Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingandan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.
http://blogfityu.blogspot.co.id/2009/04/tugas-pelanggaran-kode-etik-profesi.html
www.mikroskil.ac.id/~erwin/etika%20profesi/03.ppt
http://mahrus.wordpress.com/2008/02/04/penyebab-pelanggaran-kode-etik-profesi-it