Anda di halaman 1dari 16

MODUL BELAJAR

MALPRAKTEK DAN HUKUM KEDOKTERAN

ADJI SUWANDONO
NIP. 19801213 200912 1 004
MALPRAKTEK

A. Pengertian

Malpraktek (malapraktek) terdiri dari suku kata mal dan praktek. Mal berasal dari
kata Yunani, yang berarti buruk. Praktek (Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Purwadarminta, 1976) yang berarti praktek. Jadi, malpraktek berarti menjalankan
pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Kejadian ini sering terjadi
di dunia kesehatan salah satunya karena kelalaian. Malpraktek berarti tindakan kelalaian
profesional yang ilegal.

Kasus malpraktek medis yang paling umum termasuk meninggalkan kain kasa
atau instrumen di lokasi operasi setelah operasi, menyebabkan trauma pada bagian tubuh
yang tidak terkait dengan lokasi perawatan, melakukan pada bagian tubuh yang salah
dan penegakan diagnosis yang kurang tepat. Malpraktek tidak hanya terdapat dalam
bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan
publik, dan wartawan.

B. Pelaku - Pelaku Tindak Pidana Malpraktek

Pelaku - pelaku tindak pidana malpraktek medik ialah para tenaga medis (dalam
review artikel ini).

C. Jenis - Jenis Malpraktek

Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice).

1. Malpraktek Etik

Tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika


profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang dokter yang melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Etika kedokteran yang
dituangkan dalam kode etik kedokteran merupakan seperangkat standar etis, prinsip,
aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh dokter.

2. Malpraktek Yuridis

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu


malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice)
dan malpraktek administratif (administrative malpractice) :
- Malpraktek Perdata

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang


menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam
transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian
kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam
melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat
ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat
(culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktek pidana.12 Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang
dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam
tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal
kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang
tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter
dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang
berkepanjangan terhadap pasien.

- Malpraktek pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau


mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat
dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia
atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu :

- Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),

Tenaga medis tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat


padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta
memberikan surat keterangan yang tidak benar. Contoh : melakukan aborsi
tanpa tindakan medis.

- Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis. Contoh : Kurang hati-hatinya perawat dalam memasang
infus yang menyebabkan tangan pasien membengkak karena terinfeksi.

- Malpraktek pidana karena kelalaian (negligence)

Terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan


tenaga kesehatan yang kurang hati- hati.Contoh : seorang bayi berumur 3
bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas bidai yang
dipergunakan untuk memfiksasi infus.
3. Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan


pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang
sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

D. Pengaturan Malpraktek Medis Menurut Hukum di Indonesia

Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum di


Indonesia dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

a. KUHP

Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam
KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan
malpraktek tersebut. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan
percobaan melakukan kejahatan pasal ini hanya menentukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah
melakukan suatu percobaan. Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan Surat, Pasal
345, 347, 348, 349 KUHP yang berkaitan dengan upaya abortus criminalis
(pengguguran kandungan) karena di dalamnya terdapat unsur adanya upaya
menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal 351 KUHP
tentang Penganiayaan sebagaimana penjelasan Menteri Kehakiman bahwa setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaanbadan
kepada orang lain atau dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang
lain. Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 359 KUHP.

Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana malpraktek kedokteran


dapat didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena kesalahan
dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi pasien
sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana
malpraktek kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari
rasa takut yang berlebihan dengan adanya pasal ini. Pasal 360 KUHP, rumusan
dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka – luka berat
maupun kematian yang merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga
dari sudut pandang subjektif sikap batin petindak disini termasuk dalam
hubungannya dengan akibat perbuatannya.

Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai
dokter, bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan
pekerjaannya karena apabila mereka lalai sehinga mengakibatkan kematian bagi
orang lain atau orang tersebut menderita cacat maka hukumannya dapat diperberat
1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP
“kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang
mati, si tersalah itu dihukum penjara paling lama

sembilan tahun”. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan
dengan euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya
penanggulangan tindak pidana malpraktek di Indonesia menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Termasuk
juga dengan euthanasia aktif dengan permintaan.

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pidana terkait dengan penanggulangan tindak pidana malpraktek medis dapat


dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan yang berkaitan dengan dengan
kelalaian, disebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.” Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan. Terkait dengan
transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, apabila
terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat dijatuhi sanksi pidana
sesuai ketentuan Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan : “Setiap orang yang
dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)” Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal
76, Pasal 77 UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan
sanksi sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”

c. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana


malpraktek kedokteran pada Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dapat dilihat dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran
mengenai kewajiban dari dokter dan dokter gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU Praktik
Kedokteran yang berlaku bagi orang yang bukan dokter yang dengan sengaja
menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan
bagi masyarakat seolah – olah dokter yang telah memiliki SIP atau STR ( Surat
izin praktik atau Surat Tanda Registrasi ), Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80 UU Praktik
Kedokteran.
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran
tersebut dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80
ayat (1) dan ( 2 ) UU Praktik Kedokteran dapat dikenakan kepada perorangan
yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa
SIP, selain itu korporasi yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan Dokter yang tidak mempunyai SIP juga dapat dikenakan pidana.
Menganalisa pada ketentuan Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan Pasal
79 huruf c sebelum putusan mahkamah konstitusi materi muatan yang terdapat
di dalam UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan kriminalisasi terhadap
tindakan dokter yang berpraktik kedokteran yang tidak dilengkapi STR, SIP dan
tidak memasang papan nama, serta tidak menambah ilmu pengetahuan dengan
ancaman pidana yang cukup berat dan denda yang sangat tinggi Hal demikian
dapat menimbulkan rasa takut bagi dokter di dalam melakukan pengobatan
terhadap pasien.

E. Menghindari Tuntutan Hukum

1. Perawatan dan diagnosis pasien

- Lakukan pengobatan yang baik.


Cobalah untuk memperlakukan setiap pasien seolah-olah itu adalah
anggota keluarga Anda, meskipun ini mungkin sulit dengan beberapa
pasien. Buat pasien merasa bahwa Anda peduli.

- Lihat pasien Anda


Jika pasien memiliki masalah, lihat dan sentuh pasien. Banyak kasus
malpraktek muncul dari pasien yang mengeluh sakit, demam, muntah,
perubahan status mental, atau perdarahan, dan dokter tidak melihat pasien
berjam-jam, hanya berbicara dengan perawat saja. Membela para dokter di
pengadilan ini sulit. Lebih mudah membela seorang dokter yang peduli,
berempati, dan berinteraksi dengan pasien mereka.

- Tanggapi keadaan darurat medis dengan cepat dan dokumentasikan


Tindakan sederhana ini, waktu tanggap darurat, waktu dokter mulai
merawat pasien, dan mencatat tanda-tanda vital sering tidak
didokumentasikan selama keadaan darurat.

- Ketahui standar komunitas dan ikuti mereka


Jangan memotong sudut dalam keadaan apa pun. Jika tes diperlukan,
dapatkan itu. Biaya tes mahal itu murah dibandingkan dengan biaya
finansial dan emosional dari suatu tuntutan.
- Jika pasien gagal merespons terapi,
Lakukan rujuk pasien ke spesialis. Ini adalah salah satu utas paling umum
yang kita lihat dalam kasus malpraktek; jika terapi tidak berhasil, ubah,
atau minta bantuan.

- Jika Anda melakukan tes pastikan Anda melihat hasilnya dan


menginterpretasikan hasil itu.
Jangan bergantung pada perawat, penyedia tingkat menengah, atau asisten
medis untuk menginterpretasikan tes yang Anda lakukan.

- Selalu pikirkan skenario terburuk.


Apa hal terburuk yang bisa dimiliki pasien ini? Bias penahan, atau fokus
pada satu diagnosis dapat menyebabkan diagnosis yang salah. Tetap
berpikiran terbuka, dan pertimbangkan hal terburuk yang mungkin dimiliki
pasien, dan singkirkan dengan ujian, tes, atau rujukan.

- Jangan pernah melewatkan pemantauan tanda-tanda vital selama prosedur


terutama jika prosedur tersebut dilakukan di departemen darurat atau di
lantai rumah sakit.

2. Komunikasi

- Berkomunikasi dengan baik.


Bicaralah langsung dengan tidak hanya pasien Anda tetapi juga keluarga
mereka dan pihak lain yang berkepentingan.

- Bicaralah langsung dengan konsultan.


Hubungi mereka secara langsung dan diskusikan keprihatinan Anda
dengan pasien. Jangan mengandalkan rekam medis atau rekam medis
elektronik (EMR) untuk menyampaikan kekhawatiran bagi pasien.
Tuliskan dalam bagan bahwa Anda telah berdiskusi, dan apa yang Anda
katakan. Banyak tuntutan hukum timbul dari satu dokter yang hebat yang
tidak tahu apa yang dilakukan konsultan lain dalam kasus ini karena
mereka tidak berbicara satu sama lain.

3. Dokumentasi

- Dokter harus mendokumentasikan apa yang mereka lihat, secara terperinci.


Pekerjaan terperinci sangat membantu jika terjadi sesuatu yang buruk pada
pasien.

- Ketidakpatuhan pasien dengan tes atau pengobatan yang direkomendasikan


dokter merupakan masalah yang muncul.
Jika pasien menolak tes, pencitraan, atau perawatan, dokumentasikan
secara terperinci bahwa Anda mendiskusikan konsekuensi potensial,
termasuk kematian, ketidakpatuhan. Ketidakpatuhan obat adalah masalah
khusus.

4. Keterampilan dokter

- Perlakukan perawat dan penyedia layanan kesehatan sekutu dengan


hormat.
- Ikuti perkembangan pendidikan dan keterampilan medis di bidang Anda.
Jangan biarkan sertifikasi papan berakhir. Hal pertama yang ditanyakan
oleh pengacara penggugat adalah sekolah, pelatihan, dan sertifikasi.
- Jangan pernah menggunakan media sosial dalam perawatan pasien,
terutama Facebook.
- Berhati-hatilah dalam memberikan perawatan medis kepada teman dan
anggota keluarga. Anda harus memiliki hubungan medis yang mapan
dengan pasien.
- Jangan pernah mengubah rekam medis setelah fakta, terutama setelah
kejadian buruk dengan pasien.

5. Protokol / Pedoman

Protokol dan pedoman membantu karena disetujui oleh sejumlah besar dokter
dari berbagai bidang. Jelaskan kapan Anda memilih untuk tidak menggunakan
protokol atau panduan. Tidak masalah untuk menyimpang dari protokol yang
ditetapkan; namun selalu jelaskan alasan medis untuk melakukannya.
Seringkali malpraktek terjadi alasannya mungkin di luar kendali dokter;
namun demikian, sebagian besar kasus malapraktik muncul dari peristiwa yang
dapat dicegah. Orang-orang pada umumnya percaya, bahwa semua kasus
malpraktek berasal dari kesalahan besar, namun, sebenarnya kesalahan sering
kali sederhana. Hubungan dokter-pasien harus dibangun pada pemahaman
situasi dan mengelola detail yang dapat dikontrol untuk menghindari komplikasi
dari kejadian yang tidak terduga.
HUKUM KEDOKTERAN & KESEHATAN

A. Pengertian

Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan


dalam mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Pergaulan hidup atau hidup
dimasyarakat yang sudah maju seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat
kebiasaan yang turun-temurun seperti sebelumnya lahirnya peradaban yang modern.
Untuk itu, kelompok masyarakat yang hidup dalam suatu masyarakat atau Negara
diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis, yang disebut hukum. Meskipun demikian,
tidak semua prilaku masyarakat atau hubungan antara satu dengan yang lainnya juga
masih perlu diatur oleh hukum yang tidak tertulis yang disebut : etika, adat – istiadat,
tradisi, kepercayaan dan sebagainya.
Hukum kesehatan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan manusia, dia
lebih banyak mengatur hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan, dan lebih spesifik
lagi hukum kesehatan mengatur antara pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit,
puskesmas, dan tenaga-tenaga kesehatan lain dengan pasien. Salah satu tujuan dari
hukum, peraturan, deklarasi ataupun kode etik kesehatan adalah untuk melindungi
kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga
kesehatan.
Oleh karena itu hukum kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan terhadap
pasien sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah yang akan timbul diantara
hubungan perikatan antara dokter dan pasien, dan atau kelalaian serta kesalahan yang
dilakukan oleh dokter, yang berakibat hukum entah itu hukum perdata maupun pidana.
Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum
kesehatan publik (public health law) dan hukum kedokteran (medical law). Hukum
kesehatan publik lebih menitik beratkan pada pelayanan kesehatan masyarakat atau
mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit atau seperangkat kaidah yang mengatur semua
aspek yang berkaitan dengan upaya di bidang kesehatan; meliputi kedokteran, keperawatan
dan kebidanan, makanan dan minuman, rumah sakit, lingkungan hidup, lingkungan kerja,
dan lain-lain yang terkait dengan upaya kesehatan sedangkan untuk
hukum kedokteran bagian dari hukum kesehatan yang mengatur semua aspek yang
berkaitan dengan amalan perobatan (law regulating the practice of medicine).

B. Definisi Hukum Kesehatan Menurut Pakar Ahli Hukum

Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan
perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara.
Leenen Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan
hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
menyatakan yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak
dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum
kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan /
pelayanan kedokteran (medical care/ sevice).
Dengan hukum ini, kontrol atas perilaku para profesional medis sedang dibentuk
atas nama masyarakat, yang bertujuan melindungi hak dan kepentingan tidak hanya
pasien, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

C. Ruang Lingkup Hukum Kedokteran

1. Hukum Medis (Medical Law);


2. Hukum Keperawatan (Nurse Law);
3. Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
4. Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
5. Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
6. Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);
7. Hukum Keselamatan Kerja;
dan peraturan-peraturan lain yang ada kaitan langsung dapat mempengaruhi kesehatan
manusia.

Latar belakang disusunnya peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan


kesehatan, adalah : karena adanya kebutuhan :

1. Pengaturan pemberian jasa keahlian


2. Tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. Keterarahan
4. Pengendalian biaya
5. Kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta
identifikasi kewajiban pemerintah
6. Perlindungan hukum pasien
7. Perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. Perlindungan hukum pihak ketiga
9. Perlindungan hukum bagi kepentingan umum

D. Subjek dan Objek dalam Hukum Kedokteran

Subjek hukum kesehatan adalah pasien dan tenaga kesehatan termasuk institusi
kesehatan, sedangkan objek hukum kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg
voor de gezondheid).

E. Hubungan Hukum dalam Hukum Kedokteran

Hukum kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum
maupun kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi,
mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau
pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun dapat dijadikan
pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan
hukum baru.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :

1. Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum.
Misalnya, hubungan sosial/ kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi,
hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
2. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.

Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :

1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.

Pelayanan kesehatan melibatkan tenaga kesehatan (antara lain dokter) dengan


pasien dan sarana kesehatan. Sedangkan sumber daya kesehatan, terdiri dari sumber daya
manusia (tenaga kesehatan yaitu antara lain dokter, apoteker, bidan, dan perawat), juga
sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, klinik, dan tempat praktik dokter).
Sarana kesehatan biasanya dimiliki oleh pemerintah dan swasta untuk sarana kesehatan
swasta (SKS). Oleh karena itu hubungan hukum seperti apa yang muncul dan berkaitan
dengan sarana kesehatan, dokter, dan pasien.
Sarana kesehatan swasta (SKS) merupakan obyek hukum sedangkan subyek
hukumnya adalah dokter dan pasien. Hubungan hukum akan terjadi bila seorang pasien
datang ke sarana kesehatan swasta untuk berobat. Hubungan hukum antara dokter,
pasien, dan sarana pelayanan kesehatan swasta berbentuk perikatan untuk berbuat
sesuatu, yang dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien adalah pihak penerima
jasa pelayanan kesehatan dan dokter serta SKS adalah pihak-pihak yang memberi
pelayanan kesehatan.
Hubungan hukum ini selalu meletakan hak dan kewajiban yang timbal balik,
artinya hak subyek hukum yang satu menjadi kewajiban subyek hukum yang lain,
demikian juga sebaliknya. Hubungan hukum dalam bidang hukum perdata dikenal
sebagai perikatan (verbintenis). Hubungan antara dokter dan pasien selain hubungan
medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada hubungan medik, hubungan dokter dan
pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti pasien adalah orang sakit yang
awam dan dokter adalah orang sehat yang lebih tahu tentang medis.
Namun dalam hukum terdapat hubungan yang seimbang, yakni hak pasien
menjadi kewajiban dokter dan hak dokter menjadi kewajiban pasien dan keduanya
merupakan subyek hukum. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat berbentuk
perikatan yang lahir karena perjanjian dan dapat berbentuk perikatan. Contoh hubungan
hukum dokter dan pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila pasien datang ke
tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan
memasang papan nama, dalam arti pasien menerima penawaran dari dokter, maka
terbentuklah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perikatan antara dokter dan pasien
yang lahir karena UU, apabila dokter secara sukarela membantu orang yang kecelakaan
pada saat dokter tersebut sedang melintas di tempat terjadinya kecelakaan tersebut.
Tanpa ada perintah atau permintaan dari siapapun dokter berkewajiban melakukan
pertolongan sampai orang tersebut atau keluarganya dapat mengurusnya.
Hubungan hukum antara SKS dan pasien tergantung dari hubungan antara dokter
dengan SKS tersebut. Apabila terdapat kerugian yang diderita pasien karena pelayanan
kesehatan yang didapat, akan terdapat dua perjanjian, yaitu dengan SKS dan dokter yang
mengobatinya. Maka pasien harus mencari tahu terlebih dahulu, siapa yang melakukan
kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Apabila kesalahan dilakukan oleh
SKS, maka pasien hanya menggugat SKS. Tapi, apabila kesalahan oleh dokter yang
mengobati maka pasien hanya harus menggugat dokter tersebut. Begitu pula jika
kesalahan dibuat baik SKS ataupun dokternya maka gugatan harus ditujukan kepada
keduanya.
Peristiwa hukum yang dapat terjadi di SKS adalah bilamana pasien merasa
dirugikan oleh pihak SKS atau dokter yang sedang bertugas di SKS tersebut. Namun
dapat saja terjadi di bagian lain misal bagian farmasi dan sebagainya. Pelayanan medis
yang berlaku di rumah sakit tentunya tidak lepas dari standar prosedur yang berlaku
dimasing-masing rumah sakit sehingga dokter atau tenaga kesehatan di tuntut dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tidak boleh lepas dari standar yang telah
ditetapkan, namun dalam kenyataan di lapangan seringkali dokter atau tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugas-tugasnya lalai dan tidak jarang mengakibatkan kondisi pasien
bisa berubah menjadi lebih sakit ataupun meninggal karena kelalaian tersebut yang
berakibat pada tuntutan hukum.
Oleh karena itu dalam beberapa kasus yang yang sering muncul di publik telah
memberikan suatu peringatan bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab agar supaya tidak terjadi kesalahan,
kelalaian ataupun pembiaran, yang berakibat pada tuntutan hukum.
Pembiaran medik secara umum belum di kenal secara luas di kalangan
masyarakat baik itu profesi hukum, pembiaran medik merupakan salah satu tindakan
kedokteran dimana dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak sesuai standar
prosedur yang berlaku, adapun dapat dikatakan pembiaran medik adalah suatu tindakan
dokter tidak sungguh-sungguh atau tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien dengan berbagai alasan yang terkait dengan sistem pelayanan kesehatan.
Pembiaran medik ini sering kali terjadi di rumah sakit terlebih khusus bagi
masyarakat atau pasien miskin dengan alasan harus memenuhi beberapa syarat
administrasi, pembiaran medik juga sering terjadi pada Instalasi Gawat Darurat (IGD)
atau Unit Gawat Darurat (UGD) setiap pasien yang masuk ke unit tersebut seringkali
tidak diberikan pelayanan yang memadai sehingga dapat terjadi pembiaran, dalam hal
tersebut, dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas di unit tersebut harus bertanggung
jawab, dalam pertanggung jawab tersebut juga tidak lepas dari peran rumah sakit yang
melaksanakan pelayanan kesehatan.
Kasus pembiaran medik yang berdampak pada kecacatan atau kematian kepada
pasien menimbulkan dampak hukum yang sangat besar, namun begitu karena
ketidaktahuan atau kurang pahamnya pasien dalam sistem pelayanan kesehatan menjadi
suatu hal yang biasa saja. Dalam sistem hukum Indonesia pembiaran medik secara umum
belum tercantum secara jelas namun dalam hal yang demikian dapat diasumsikan ke
dalam beberapa peraturan perundang undangan yang ada misalnya :

1. KUH Perdata

Dalam pasal 1366 KUHPerdata, bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabakan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Dalam asumsi pasal tersebut
kelalaian adalah merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang bertugas di rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien tentunya merupakan tanggung jawabnya, jika terjadi pembiaran medik
karena hal-hal yang diperbuat atau tidak diperbuat sesuatu yang mengabaikan
pasien dengan alasan tertentu misalnya karena tidak ada biaya, atau penjaminnya,
sehingga mengakibatkan terjadinya kecacatan dan kematian bagi pasien, maka
tenaga kesehatan dapat di gugatan perdata dalam hal kelalaian dari tugas dan
tanggung jawabannya yang seharusnya dikerjakan.

2. KUHP

Pasal 304 KUHP, Sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam


keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Dalam
hal demikian, tenaga kesehatan dengan sengaja membiarkan pasien yang masuk
di rumah sakit dan membutuhkan perawatan namun dengan kelalaiannya
membiarkan pasien sehingga pasien mengalami kecacatan dan atau kematian,
maka tenaga kesehatan tersebut dapat di tuntut melakukan suatu tindakan
kejahatan pidana, berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang
pidana, antara lain apakah tindakan, atau perbuatan dan sebab-akibat yang terjadi
tersebut memenuhi kualifikasi suatu kejahatan atau tidak. Berkaitan dengan
kenyataan yang dapat dijadikan perkara pidana yang artinya bahwa ada korban
yang terancam atau dibahayakan jiwanya dan apakah kejadian tersebut murni
karena faktor manusia dan bukan alam.
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam ketentuan pidana


tidak secara jelas mengatur tentang tindak pidana kesehatan dalam Pasal 190
menyebutkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/ atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 (ayat 2) di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,-. Dalam hal pasal ini dengan secara
tegas hanya mengatur tentang ketentuan pidana yang terjadi di unit gawat darurat
tetapi tidak dengan pasien umum yang berada di rumah sakit, untuk pembiaran
medik ini bisa terjadi pada unit gawat darurat ataupun untuk pelayanan umum
karena pembiaran medik terjadi pada pasien yang kurang mampu.
Penjelasan diatas sedikit banyak telah mengulas tentang pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang menyebabkan banyak kejadian yang bertentangan dengan
standar prosedur pelayanan kesehatan yang berdampak pada penututan atau
gugatan hukum, maka diwajibkan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit dalam menjalankan
tugasnya harus sesuai dengan standar prosedur pelayanan kesehatan yang telah
ditetapkan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, h.
134

Bono MJ, Hipskind JE. Medical Malpractice. [Updated 2020 Feb 18]. In:
StatPearls[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470573/

Ivanović, S., Stanojević, Č., Jajić, S., Vila, A. and Nikolić, S. 2013. MEDICAL LAW
AND ETHICS. Acta medica medianae, pp.67-72.

Kim, Y., 2017. Malpractice and complications. Journal of the Korean Association of
Oral and Maxillofacial Surgeons, 43(1), p.1.

Ninik Mariyanti, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
Bina Aksara, Jakarta, h. 75-76

Notoatmodjo, S. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta ; Rineka Cipta. hal.43.

Sampurno, B. 2011. TIM PENYUSUNAN KOMPENDIUM HUKUM KESEHATAN.


Jakarta ; Kementerian Hukum Dan Ham Ri.

Anda mungkin juga menyukai