Anda di halaman 1dari 9

Arty Sriwahyuni Peranginangin_1814101062_Hukum Kesehatan

TINDAKAN ABORSI ILEGAL YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM DOKTER


TANPA IJIN PRAKTIK DAN MENYEBABKAN KEMATIAN PASIEN.

Sudut Pandang Hukum :

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009,


Pasal 75 bahwa “setiap orang dilarang melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan
indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan” dan aturan ini diperkuat
dengan Pasal 77 yang berisi pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 mengenai tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak
aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan Subjeknya adalah dokter, bidan atau tukang obat. Mereka ini adalah
subjek khusus, tindakan yang dilakukan adalah : a. Membantu kejahatan tersebut Pasal 346 ;
membantu disini adalah dalam arti Pasal 56. Namum kepada mereka ini bukannya diancamkan
maksimum empat tahun dikurangi dengan sepertiganya, melainkan empat tahun ditambah
sepertiganya. b. Melakukan kejahatan tersebut Pasal 347 atau 348. Dalam hal ini maksimum
ancaman pidananya ditambah dengan sepertiganya dari Pasal 347 atau 348.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam KUHPidana terdapat larangan terhadap aborsi, dan
bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Artinya pihak manapun dilarang
melakukan praktik aborsi termasuk dokter, terlebih jika praktik yang dilakukan diluar
kemampuan sang dokter dan tidak memiliki ijin praktik, tetapi terdapat hal yang dikecualikan
menurut medis, dalam Undang-undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tenaga medis
diperbolehkan untuk melakukan aborsi secara legal, tenaga medis yang dimaksud ialah dokter
yang memang memiliki ijin praktek dan berwenang/ahli dibidangnya yang dapat melakukan
tindakan aborsi, di samping itu untuk melakukan aborsi juga, pasien harus memenuhi syarat
untuk melakukan tindakan tersebut. Pada perempuan hamil karena alasan medis dengan
persetujuan perempuan yang bersangkutan disertai suami dan keluarganya. KUHP memandang
aborsi sebagai tindak kejahatan terhadap nyawa dan menjatuhkan hukuman pidana kepada siapa
saja yang terlibat, baik wanita yang meminta pelayanan, maupun orang yang menganjurkan,
serta tenaga yang memberikan pelayanan aborsi. Ancaman pidana yang diberikan terhadap
pelaku Abortus Provocatus Criminalis jauh lebih berat daripada ancaman pidana sejenis KUHP.
Dalam Pasal 194 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pidana yang
diancam adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan dalam KUHP, pidana
yang diancam paling lama hanya 4 (empat) tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu
rupiah (Pasal 299 KUHP), paling lama 4 (empat) tahun penjara (Pasal 346 KUHP), paling lama
12 (dua belas) tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan
penjara (Pasal 348 KUHP).

Kesimpulannya, setiap tindakan aborsi yang dilakukan oleh oknum yang tidak kompeten
atau tidak memiliki ijin praktek/bukan ahli maka kegiatan tsb dianggap illegal dan bertentangan
dengan hukum pidana dan ajaran agama karena dianggap dapat membahayakan/menghilangkan
suatu nyawa. Dokter yang melakukan praktek ilegal diluar kemampuannya untuk meraup
keuntungan misalnya, dapat dijerat hukum pidana karena ikut serta membantu penghilangan
nyawa, apabila seseorang terbukti melakukan tindakan aborsi secara illegal dan kemudian hari
terjadi suatu hal diluar dugaan seperti kematian maka sulit untuk memperoleh perlindungan
hukum terkait tindakan aborsi illegal tersebut. Hal ini berkaitan dengan tindakan Abortus
provokatus criminalis, ialah pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja tanpa
mempunyai alasan kesehatan (medis), didorong oleh alasan-alasan yang lain dan melawan
hukum. Menurut Pasal 346 KUHP : “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau
mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana dengan pidana
penjara selamalamanya empat tahun”.

Sudut Pandang Dunia Kedokteran :


Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah abortus, yaitu menggugurkan kandungan, yang
berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi bahwa aborsi
adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat janin kurang dari
1000 gram. Aborsi juga diartikan mengeluarkaan atau membuang baik embrio atau fetus secara
prematur (sebelum waktunya). Istilah Aborsi disebut juga Abortus Provokatus. Sebuah tindakan
abortus yang dilakukan secara sengaja. Dalam dunia kedokteran abortus provocatus medicinalis
dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak
yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar
kandungan, misalnya : janin menderita kelainan ectopia kordalis (janin yang akan dilahirkan
tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang
punggung terbuka tanpa ditutupi kulit), maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak
besar). Dalam undang-undang kesehatan juga telah mengatur mengenai aborsi yang dilakukan
oleh korban perkosaan yang diindikasikan dapat menyebabkan trauma psikis bagi si ibu.
berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, tindakan medis (aborsi), sebagai
upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta pertimbangan tim ahli. Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang
dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan
yang di lakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih dan terakreditasi, tenaga kesehatan
tersebut ahli dibidangnya dan memiliki ijin praktek dan dibuktikan dengan sertifikat keahlian
atas kegiatan tersebut. Untuk dapat melakukan tindakan aborsi juga, pasien harus memenuhi
syarat berikut : Aborsi tersebut hanya dapat dilakukan: (lihat Pasal 76 UU Kesehatan)

1. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
2. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
 Dalam UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan: “Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Ketentuan ini dapat dikenakan kepada
dokter, tenaga kesehatan lainnya, dan 2 wanita mengandung yang dengan sengaja melakukan
aborsi ilegal.

Disamping itu dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 72
juga memuat ketentuan mengenai jaminan setiap orang untuk melakukan reproduksi. Namum
dalam hal ini Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari bagi wanita yang
tidak menginginkan kehamilannya karena adanya beberapa alasan tertentu. Tetapi kembali lagi,
jenis aborsi yang dapat dilakukan adalah dengan ada indikasi medis agar terciptanya pertanggung
jawaban hukum dan perlindungan hukum jika terjadi suatu hal diluar dugaan yang berakibat
buruk bagi pasien, dan apabila kehamilan itu benar-benar mengancam hidup sang ibu. Dalam
kasus ini, aborsi dapat dibenarkan berdasarkan prinsip legalimate defense (pembelaan diri yang
sah).16 Dokter dan tenaga medis lainnya tetap mempunyai kewajiban untuk menolak
(membantu) menggugurkan, apabila berdasarkan pertimbanganpertimbangan lengkap
menyeluruh yakni bahwa pengguguran tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan karena
masih ada jalan lain untuk mengatasi persoalan lain yang mungkin muncul jika janin
dipertahankan.

Sudut Pandang Saya :

Jika terdapat oknum dokter gigi yang melakukan praktik aborsi dimana ia tidak memiliki
ijin/wewenang untuk melakukan praktik aborsi maka dapat dikatakan kegiatan tersebut illegal
dan malpraktik, malpraktik disini dalam arti luas. Malpraktik  juga berarti kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian
tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia. Pasal 194 berbunyi: “Setiap
orang yg dg sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dg ketentuan sbagaimana di maksud dlm
pasal 75 ayat 2 di pidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
1M”. Jika dikaji lebih jauh, selain melanggar KUHP, tindakan aborsi yang dilakukan oknum
tenaga medis yang dianggap secra illegal ini dan mengakibatkan pasien meninggal, maka dapat
dipastikan tenaga kesehatan tersebut sudah melanggar etika profesi kerja, karena dianggap
melakukan Malpraktek Medik dimana memicu pasien mengalami luka berat sampai meninggal
dunia akibat dari tindakan yang dilakukan oleh dokter dimana hal ini merupakan bentuk
kelalaian professional karena bekerja diluar kemampuan/praktek kerjanya, serta Malpraktek Etik,
Seperti yang sudah diatur dalam KODEKI, merupakan tindakan dokter yang bertentangan
dengan etika kedokteran, yang merupakan bagian dari standar prinsip, etika, aturan dan juga
norma yang berlaku untuk dokter karena sudah melakukan tindakan aborsi illegal. Berat atau
ringannya sanksi yang diterima oleh pelanggar tergantung dengan pelanggaran etik yang
dilakukan. Tetapi saat terjadi pelanggaran, sanksi yang diterima sebaiknya bersifat mendidik
agar pelanggaran terkait tidak terulang kembali di masa depan dan sanksi tersebut menjadi
pelajaran bagi dokter lain. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah : Melangsungkan
tindakan aborsi tidak dengan pengawasan ahli, Memberitahu rahasia kedokteran dengan sengaja,
Tidak menolong saat keadaan darurat, Memalsukan surat keterangan kedokteran, Mengerjakan
visum et repertum nonakurat, Mengilegalkan data kedokteran Sanksi resiko medik dalam UU
Praktik Kedokteran juga Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tidak dapat dipertanggung jawabkan
sebab tidak mengandung unsur pidana. Resiko medik atau bisa disebut sebagai kecelakaan medik
tidak dapat disalahkan karena hal tersebut tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara tidak
terduga. Perbedaan yang jelas dimiliki oleh Sanksi malpraktik dan resiko medik dalam UU
Praktik Kedokteran juga UU Kode Etik Kedokteran ialah hukuman kepada dokter yang
menjalankan malpraktek seperti medical malpractice, civil malpractice, juga administrative
malptactice dan termasuk pada pelanggaran etikolegal maka kepada dokter yang melakukan
sanksi malpraktik terkait diberikan sanksi oleh Majelis yang terhormat etik kedokteran yakni:
Teguran dan tuntutan secara lisan atau tulisan Naiknya gaji atau pangkat yang ditunda Turun gaji
atau pangkat satu tingkat lebih rendah izin praktek dokter dicabut sementara atau selama-
lamanya. Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat
melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang ada bukti
yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal terhadap pasien(-
pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa sebelum melalui proses
di pengadilan.

SEORANG DOKTER BEDAH PLASTIC MELAKUKAN OPERASI HIDUNG


TETAPI MENGALAMI KEGAGALAN DAN MENGAKIBATKAN HIDUNG
PASIEN MELELEH

Transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan individu yang berupa
upaya kesehatan kuratif. Pemberian pelayanan medik ini didasarkan atas keahlian, keterampilan,
dan ketelitian, yang bertujuan yaitu untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit, serta untuk
meringankan penderitaan pasien. Pelayanan medik ini dilakukan oleb tenaga medik. dan
berkaitan dengan profesi medik, yaitu dokter dan dokter gigi. Dengan demikian antara dokter
dengan pasiennya terdapat suatu hubungan. yang dikenal dengan transaksi terapeutik (perjanjian
terapeutik). Dokter dan pasien adalah dua subyek hukum yang terkait dalam hokum kedokteran.
Dari keduanya akan terbentuk suatu hubungan, baik hubungan medic maupun hubungan hukum.
Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum, adalah hubungan antara subyek hukum
dengan subyek hukum. Dilihat dari hubungan hukumnya, antara dokter dan pasien terbentuklah
apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Doktrin IImu Hukum mengenal dua macam
perikatan, yaitu perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis) dan perikatan basil (rem/toot
verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan oleh dokter adalah upaya
semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, prestasi yang harus diberikan oleh dokter
berupa hasil, didalam transaksi terapeutik terdapat dua pihak, yaitu dokter sebagai pemberi
pelayanan medik dan pasien sebagai penerima pelayanan medik. Hak dokter disatu pihak dan
kewajiban pasien dilain pihak secani, timbal balik, serta prestasi yang harus dilaksanakan oleh
masing-masing pihak. Oleh karena itu dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien dapat
dijumpai hak-hak pasien disatu pihak dan pada pihak lain, kewajiban-kewajiban dari dokter, dan
demikian pula sebaliknya. Obyek dari hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam
perjanjian atau transaksi terapeutik ini adalah berbuat sesuatu yakni berupa upaya kesehatan
(kuratif) atau terapi untuk penyembuhan pasien. Walaupun perjanjian antara dokter-pasien
adalah suatu perjanjian upaya (ins panning verbintenis), yakni prestasinya berupa suatu upaya
semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien, tetapi upaya tersebut harus dilakukan oleh
dokter dengan hati-hati dan usaha keras.

Dari situasi kasus, dijelaskan bahwasanya dokter memberikan garansi keberhasilan operasi dan
nyatanya hidung pasien mengalami kerusakan (meleleh), artinya terjadi kegagalan, dalam arti
pasien tidak menjadi sembuh atau bahkan memperparah kondisi semula, maka hal tersebut
merupakan risiko yang harus ditanggung baik oleh dokter maupun pasien. Namun demikian
dokter tidak boleh berbuat sesuka hatinya didalam usaha menyembuhkan pasien tersebut. Ada
standar profesi medis dan kode etik profesi medis serta itikad baik yang harus dijadikan acuan
oleh dokter dalam usaha melakukan penyembuhkan pasien tersebut, yang bila hasil pengobatan
tidak sesuai dengan harapan pasien, maka dokter akan mendapatkan perlindungan hukum dan
terhindar dari tuduhan malpraktik. Dalam suatu transaksi terapeutik antara dua pihak,dalam hal
ini dokter dan pasien memunculkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Menurut Pasal 50
UUPK Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak, yakni
sebagai herikut: 1) Memperoleh Perlindungan Hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional 2) Memberikan Pelayanan Medis
Menurut Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional 3) Memperoleh Informasi yang
Lengkap dan Jujur dari Pasien atau Keluarganya 4) Menerima Imbalan Jasa. Disamping hak-hak
seperti yang telah diuraikan tersebut di atas, Dokter pun memiliki beberapa kewajiban dalam
menjalankan profesainya.

Transaksi terapeutik juga terjadi pada pelayanan klinik kecantikan dimana transaksi yang
terjadi lebih banyak kepada transaksi / perjanjian yang bersifat Perikatan hasil atau Resultaat
verbintenis.Pada perikatan hasil, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan
dikatakan melawan hukum, yakni terjadinya perbuatan melanggar hukum; adanya
kesalahan/kelalaian, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan sebab akibat antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian. Dalam perikatan ikhtiar, prestasi yang
diperjanjikan dalam perikatan antara dokter dan pasien adalah suatu ikhtiar yakni upaya
semaksimal mungkin, sehingga dikatakan prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian terapeutik
antara dokter dan pasien tidak dapat di ukur. Maka dari itu dalam konsep ini seorang dokter
hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan
mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai standar profesinya. Dalam pelayanan
estetik transaksi terapeutik yang terjadi merupakan perikatan hasil. Hal ini dikarenakan semua
tindakan dilakukan sebagai upaya yang bersifat' estetika belaka, yakni menambah keindahan atau
bentuk dari organ tubuh, (yang hasilnya terukur) bukan upaya pengobatan dari fungsi organ. dan
jaringan tubuh yang rusak. Dengan demikian dalam hubungan dokter pasien, dokter memberikan
suatu prestasi yang tertentu, yakni berbuat sesuatu sesuai dengan kesepakatan yang dicapai
dengan pasien. Pelayanan klinik kecantikan bahkan menjanjikan hasil sebelum (before) dan
sesudah (after) tindakan yang memperlihatkan adanya perubahan terbadap masalah yang
dihadapi. Dilakukannya tindakan pembedahan estetik yang bertujuan untuk mengubah atau
memperbaiki penampilan personal, misalnya: liposuction, perbaikan jaringan parut, rinoplasti,
blefaroplasti, bedah plastik pada hidung agar mancung, dagu agar Jancip atau belah ,hasilnya
harus terukur dengan demikian prestasinya dapat diperjanjikan. Namun penumpukan lemak pada
jaringan dan keloid sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik genetik maupun lingkungan,
demikian juga patofisiologinya (perangai penyakit) tidak bisa dianalogikan dengan hidung pesek
atau kelopak mata sipit. Hasil tindakan bisa tidak terukur walaupun telah dikerjakan sebaik
baiknya oleh dokter bedah plastik yang kompeten, sehingga kriteria wanprestasi tidpx terpenuhi.
Dalam hal ini transaksi terapeutik pada liposuction dan eksisi keloid, bisa dikategorikan sebagai
perikatan upaya.

Menurut hukum, bentuk kesalahan terse but dapat terjadi karena adanya
kelalaian/kealpaan atau kesengajaan. Namun demikian, dalam malpraktik medis pada umumnya
bentuk kesalahan yang dilakukan oleh dokter berupa kelalaian, yang temyata menimbulkan
akibat yang serius I fatal pacta pasien. Dengan demikian, Malpraktik medis adalah kesalahan
dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan SPM. SPM biasanya disusun oleh
perhimpunan profesi. Berdasarkan Pasal satu Undang-Undang Praktek Kedokteran pelayanan
klinik kecantikan baik tipe pratama maupun utama yang diberikan oleh dokter/dokter spesialis
belum jelas ketentuan hukumnya.

Dari kasus diatas, karena terciptanya perjanjian terapeutik timbullah pembagian


tanggungjawab baik itu responsibility ataupun liability yang membawa pengertian yang berbeda
dari segi hukumnya. Responsibility diartikan sebagai tanggungjawab yang disebabkan perbuatan
atas dirinya sendiri. Sedangkan liability lebih diartikan sebagai tanggungjawab yang disebabkan
perbuatannya terhadap orang lain, sehingga liability inilah yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia sebagai pertanggungjawaban hukum. Dimana apabila seseorang melakukan kesalahan,
kelalaian dan akibat dari kelalaian / kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi orang lain maka
seseorang itu dapat dimintakan tanggungjawab hukumnya, sehingga orang yang menderita
kerugian akibat dari kesalahan / kelalaian itu berhak untuk menggugat ganti rugi. Liability atau
tanggungjawab hukum ini berlaku juga pada pelayanan klinik kecantikan,sehingga dokter
melakukan kelalaian/kesalahan dalam menjalankan tugas mediknya terhadap pasien, maka
Pasien dapat menggugat untuk membayar ganti rugi. Menurut alam pikiran hukum bahwa
apabila seorang dokter dengan pasien telah mengikatkan diri, maka dokter tersebut berusaha
mengadakan perawatan terhadap pasien sebagai suatu kewajiban. Kewajiban pokok seorang
dokter terhadap pasiennya adalah usaha keras (in spanning) dari dokter untuk menyembuhkan
pasiennya. Tanggung jawab hukum seorang dokter timbul oleh karena adanya landasan yang
berdasarkan kontrak atau persetujuan/perjanjian pasien dengan dokter. Tanggung jawab hukum
dokter terjadi apabila seorang pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar
perbuatan yang merugikan pasien tersebut. Setiap subyek hukum dapat dikenakan tanggung
jawab secara hukum, seseorang dapat dikenakan tanggung jawab perdata yang didasarkan pada
wanprestasi, maka harus terdapat hubungan kontraktual atau perjanjian, baik lisan maupun
tertulis dan isi dari perjanjian tersebut haruslah berupa prestasi -yang terukur (perikatan hasil)
sebagai kriteria untuk menentukan wanprestasi. Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan, timbul
karena tindakan seorang dokter dalam pemberian jasa pelayanan medis yang tidak sesuai dengan
apa yang diperjanjikan. Artinya dari kasus diatas, maka sang dokter dapat dimintai
pertanggungjawaban secara perdata karena terbukti melanggar perjanjian/wanprestasi dan
dimintai ganti rugi.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
melakukan tindakan medis adalah dokter. Dengan demikian, apabila dibubungkan dengan
pelaksanaan terpenuhinya standar profesi dalam pelayanan medis, maka standar profesi yang
hams dipenuhi oleh dokter adalah standar profesi medis. Apabila dokter tidak memenuhinya
maka dokter dapat dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktik medis yang dapat dituntut
secara hukum. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 53 UU Kesehatan, standar profesi
merupakan pedoman dan petunjuk dalam pelaksanaan praktik profesi tenaga kesehatan yang
pelaksanaannya harus menghormati hak-hak pasien.

Anda mungkin juga menyukai