Anda di halaman 1dari 7

LEARNING OBJECTIVE

BLOK 6

SKENARIO 2

"ABORSI DAN MALPRAKTEK”

NAMA : CINDY AMALIA OCTAVIANI

STAMBUK : N 101 18 068

KELOMPOK : 12

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2019/2020
1. Mahasiswa dapat mengetahui kewajiban kita jika mendapat kasus seperti pada scenario
pada pasien, keluarga, organisasi kesehatan dan masyarakat
Jawab :
Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien
dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Dalam hal ini apabila
pasiennya adalah anak atau orang yang tidak sadar, maka dokter atau ahli medis yang
memeriksa atau menangani si pasien wajib memberikan penjelasan kepada keluarganya
atau yang mengantar. Penjelasan tentang tindakan kedokteran dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008, pada Pasal 7 ayat (3) sekurang-kurangnya
mencangkup,
a) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c) Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
d) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
f) Perkiraan pembiayaan.
Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi
tanggung jawab dokter yang melakukan tindakan kedokteran. Sarana pelayanan
kesehatan bertanggungjawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran. Adapun
upaya perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana di atur dalam Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan
dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Peraturan Pemerintah Nomor
61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 sampai dengan Pasal 39.
menjelaskan tentang indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas
larangan aborsi atau dengan kata lain memperbolehkan aborsi berdasarkan indikasi medis
dan atau akibat dari korban pemerkosaan.
Dokter dan tenaga medis lainnya tetap mempunyai kewajiban untuk menolak
(membantu) menggugurkan, apabila berdasarkan pertimbanganpertimbangan lengkap
menyeluruh yakni bahwa pengguguran tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
karena masih ada jalan lain untuk mengatasi persoalanpersoalan lain yang mungkin
muncul apabila kandungan tetap dipertahankan.
Upaya-upaya Penanggulangan atau pencegahan tindak pidana pengguguran
kandungan (aborsi) atas indikasi medis tanpa seijin ibu yang mengandung atau keluarga,
dalam ikatan perkawianan dapat dilakukan, dengan :
1) Konsultasi kepada dokter atau ahli medis;
2) Sosialisasi atau penyuluhan di tingkat Rukun Tetangga (RT);
3) Peningkatan kesempatan kerja untuk menekan tingkat pengangguran.
Adapun tindakan penggugurang kandungan (aborsi) di luar perkawinan, akibat dari
pemerkosaan ataupun pergaulan bebas (free sex), maka dapat dilakukan dengan antisipasi
dengan cara :
1) Memasukan materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum pembelajaran di Sekolah
Tingkat Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun sederajat, dan di
tingkat Perguruan Tinggi (PT);
2) Mengadakan penyuluhan atau seminar dimulai di sekolah atau perguruan tinggi untuk
memberitahukan seberapa bahayanya tindakan pengguguran kandungan akibat dari
pergaulan bebas atau free sex;
3) Pendekatan secara agama;
4) Pengawasan orang tua.

Sumber :

https://www.researchgate.net/publication/333082604_TANGGUNG_JAWAB_DOKTER
_DALAM_MELAKUKAN_ABORSI_TANPA_SEIJIN_IBU_YANG_MENGANDUNG
_ATAU_KELUARGA_DALAM_PERSPEKTIF_HUKUM_POSITIF_DI_INDONESIA

2. Mahasiswa dapat mengetahui hak pasien mengenai aborsi dan apakah diluar negeri bisa
dilakukan aborsi ?
Jawab :
Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Dalam Pasal
75:
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a) Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
c) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan “diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
d) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
e) Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang
telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang
dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.
Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari
tugasnya untuk mengedepankan kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu
perlu dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang tidak langsung melakukan
pengguguran. Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan
indikasi social ekonomi.

Butir ke-2 dan 3, mungkin para ahli kesehatan dan ahli hukum dapat memahami
alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, di mana pada butir
ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang
baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan ini bertentangan dengan UU HAM
Pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan, dan Pasal 54
mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus
atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik dan mental. Pada butir ke 3,
kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan
mungkin akan diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan
Pasal 4 tentang perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat dan martabat kemanusiaan. Sedangkan
bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan
yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri
adalah korban suatu kejahatan, dan pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang
berat.

Dalam Pasal 76 :
Aborsi sebagaimana dimaksud Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1) Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh merited;
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam KUHP terdapat larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya
dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan diundangkannya UU No 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka pasal-pasal tentang aborsi
dalam KUHP ini tidak berlaku lagi atas dasar Lex Specialis Derogat Lex Generalis.
Berbeda dengan KUHP, UU Kesehatan memberikan pengecualian (legalisasi) terhadap
tindakan aborsi tertentu, yaitu aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu
atau janinnya. Pasal 49 ayat (3) UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa
wanita berhak memperoleh perlindungan hukum yang berkaitan dengan fungsi
reproduksinya.

Malaysia
Hukum aborsi di Malaysia diatur dalam Penal Code Section 312 tahun 1989. Serupa
dengan Indonesia, aborsi di Malaysia adalah legal, jika:

 Kehamilan mengancam nyawa ibu


 Dilakukan atas dasar menjaga kesehatan fisik
 Dilakukan atas dasar menjaga kesehatan mental
Tetapi, aborsi tetap tidak diizinkan bagi korban pemerkosaan, alasan keuangan, alasan
sosial, maupun risiko janin lahir cacat.
Lebih lanjut, sebelum seorang wanita bisa menjalankan aborsi, ia harus terlebih dulu
menyetujui prosedur tersebut dan mendapatkan persetujuan pra-medis dari dokter atau
pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab.
Periode legal untuk menjalankan aborsi di Malaysia adalah 120 hari dari masa kehamilan.
Menurut studi yang dikepalai oleh Wen Ting Tong tahun 2012 dan dipublikasikan dalam
jurnal BMC Public Health, angka kejadian kehamilan penduduk Malaysia mengalami
penurunan dari 3.0 menjadi 2.3 dari tahun 2000-2008, walaupun prevalensi pengguna
kontrasepsi tetap stabil selama 20 tahun terakhir.
Angka ini mengindikasikan aborsi kerap terjadi di seluruh Malaysia, namun belum ada
data pasti mengenai jumlah aborsi di negara ini.

Singapura
Hukum aborsi di Singapura adalah legal dan diatur dalam statuta Termination of
Pregnancy Act, alias TOP Act.
Statuta ini mengatur siapa saja dan bagaimana aborsi bisa dilakukan, sebagai berikut:

 Warga negara Singapura atau pasangan dari warga negara Singapura, atau penduduk
permanen Singapura atau memegang izin kerja permanen, atau istri dari pemegang izin
kerja permanen. Aborsi ilegal dilakukan bagi pendatang Singapura dengan izin turis atau
sosial.
 Seorang wanita yang telah tinggal di Singapura sekurang-kurangnya 4 bulan, walaupun
aborsi tetap bisa dilakukan jika masa tinggal kurang dari yang ditentukan saat
mempertimbangkan keselamatan nyawa ibu.
 Tidak ada batasan umur untuk menjalankan aborsi.
 Wanita di bawah umur (usia kurang dari 16 tapi lebih dari 14 tahun) tidak diperlukan
untuk mendapatkan persetujuan legal dari orangtua sebelum menjalankan aborsi. Tapi
hanya wanita yang berusia 21 tahun dan lebih yang bisa meminta aborsi atas
keinginannya sendiri.
 Aborsi dilarang dilakukan setelah usia kehamilan lebih dari 24 minggu (6 bulan), kecuali
kehamilan tersebut mengancam nyawa ibu.
Sama halnya dengan Indonesia, wanita yang ingin menjalankan aborsi di Singapura harus
terlebih dulu berkonsultasi dengan dokter dan konselor kompeten.
Pada 2012, dikutip dari theasianparent.com, Kementerian Kesehatan (MOH) Singapura
mencatat ada sekitar 110,624 aborsi legal yang dilakukan di Singapura, dan hanya 6,431
di antaranya adalah warga negara Singapura.

Filipina
Berdasarkan Artikel II dari Konstitusi Filipina 1987 dan Artikel 256, 258, dan 259 dari
Revised Penal Code of The Phillipines, aborsi termasuk tindakan kriminal dan bisa dijerat
hukum pidana dengan tidak adanya perkecualian, bahkan keselamatan nyawa dan
kesehatan ibu dan/atau janin, serta korban perkosaan. Hukuman penjara bagi pelaku
tindak aborsi berkisar dari enam bulan hingga enam tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh dari NCBI, pada 2000, diperkirakan 78,900 wanita
berada dalam perawatan rumah sakit pasca-aborsi, 473,400 orang pernah menjalankan
aborsi, dan tingkat kejadian aborsi pada saat itu mencapai 27 per 1,000 wanita usia 15-44
tahun.
Mengutip dari Irinnews.org, berdasarkan data survei Guttmacher Institute, organisasi
non-profit berfokus pada kesehatan reproduktif, ada sekitar 560 ribu kasus aborsi di
Filipina pada tahun 2008.

Jepang
Aborsi termasuk tindak pidana di Jepang. Namun, aborsi boleh dilakukan dan dilindungi
oleh dua statuta: Eugenic Protection Law 1948 dan versi revisinya, Maternal Body
Protection Law 1996, dengan ketentuan sebagai berikut:

 Guna menyelamatkan nyawa dan/atau kesehatan fisik wanita


 Kehamilan adalah hasil dari perkosaan atau inses
 Alasan finansial dan/atau sosial
Dengan catatan, aborsi menjadi ilegal jika dilakukan atas dasar cacat janin atau kesehatan
mental ibu.
Aborsi legal hanya boleh dilakukan dalam 24 minggu (6 bulan) pertama usia kehamilan,
wajib dalam fasilitas medis memadai di bawah pengawasan dokter yang telah ditunjuk
oleh asosiasi medis lokal, dan atas persetujuan dari pasien. Persetujuan dari wanita
pengidap keterbelakangan mental dapat diberikan oleh walinya . Ketika kehamilan adalah
hasil perkosaan atau inses, aborsi bisa dilakukan tanpa persetujuan hukum dari wanita
tersebut.
Menurut analisis demografis oleh Ryuzaburo Sato di National Institute of Population and
Social Security Research, tingkat kejadian aborsi di Jepang pada tahun 1955 mencapai
rekor tertinggi hingga 1.17 juta, dan dilaporkan terus menurun drastis seiring berjalannya
waktu. Pada tahun 2005, angka kejadian aborsi mencapai 289 ribu kasus per 1,000 wanita
berusia 15-49 tahun.

Korea Selatan
Hukum aborsi di Korea Selatan adalah ilegal, berdasarkan keputusan mahkamah
konstitusional Republik Korea Selatan. Pelarangan ini telah berlangsung selama 63 tahun
semenjak aborsi pertama kali dilarang tahun 1953. Kemudian pada tahun 1973, Maternal
and Child Health Law membuat beberapa pengecualian dalam tiga situasi di bawah ini:

 Guna menyelamatkan nyawa ibu


 Jika wanita hamil atau pasangannya menderita penyakit menular, atau kelainan genetik
lainnya yang telah ditentukan dalam Presidential Decree
 Kehamilan merupakan akibat dari perkosaan atau inses
Biaya aborsi di Korea Selatan termasuk sangat murah. Mengutip dari Worldmag.com,
Korea Selatan adalah salah satu negara dengan tingkat aborsi tertinggi di dunia —
terutama karena pemerintah Korea Selatan memilih untuk mengabaikan masalah ini.
Sebuah studi 2005 memperkirakan bahwa Korea Selatan memiliki sekitar 340.000 aborsi
tahun dengan total populasi 50 juta penduduk.
Sumber :
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta,
2010.
http://kompas.com/ver1/kesehatan/0609/15/020926.htm
https://www.rappler.com/indonesia/149099-hukum-aborsi-indonesia-negara-asia

Anda mungkin juga menyukai