Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ester Rohmauli Agnesia Br Sihaloho

Nim : P07524121014
Kelas : 2A D3
Matkul : ETIKA DAN HUKUM KEBIDANAN

1. Bagaimana teknik adopsi pada anak?


Tata cara adopsi anak telah diatur dalam undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang didukung oleh peraturan pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang
dijelaskan lebih rinci dalam peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang
persyaratan pengangkatan Anak. Peraturan tersebut menyebut bahwa pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan tidak boleh memutus
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Menurut persyaratan pengadopsian anak bagi calon orang tua angkat harus berumur
minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun berdasarkan bukti identitas diri yang sah. Pasangan
yang akan mengadopsi anak harus sudah menikah sekurang-kurangnya lima tahun dibuktikan
dengan surat nikah atau akta perkawinan. Saat mengadopsi, diharuskan pengadopsi belum
mempunyai anak atau hanya memiliki seorang anak atau telah mengangkat seorang. Atau
mereka yang divonis tidak mungkin mempunyai anak yang dibuktikan oleh Dokter Ahli
kandungan dari Rumah sakit pemerintah.
Syarat orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut calon anak angkat
seperti pada pasal 39 ( 3 ). Pengadopsi juga harus mereka yang berasal dari keluarga mampu
dalam hal ekonomi dibuktikan adanya surat keterangan dari tempat bekerja. Kemudian harus
berkelakuan baik sehat jasmani dan rohani dan dalam keadaan sehat secara mental
berdasarkan keterangan psikolog. Adapun surat-surat yang perlu dilengkapi untuk adopsi
adalah foto copy surat nikah suami – istri yang telah dilegalisir di KUA tempat menikah atau
Akta perkawinan yang dilegalisir Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, foto copy akta
kelahiran suami – istri ,surat berkelakuan baik dari kepolisian, Akta kelahiran anak yang mau
diadopsi .
Surat persetujuan dari pihak keluarga suami dan pihak istri di atas meterai, surat
pernyataan motivasi pengangkatan anak yang telah ditandatangani diatas meterai,kartu
keluarga dan KTP yang telah dilegalisir Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Setelah
segala dokumen berhasil dilengkapi, calon orang tua angkat baru bisa mengajukan
permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi sosial dengan melampirkan
seluruh persyaratan.Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan Negeri dilakukan oleh calon
orang tua angkat atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke
pengadilan Negeri. Jika pengadilan Negeri sudah menetapkan dan proses pengangkatan anak
telah selesai, maka orang tua angkat harus melapor dan menyampaikan salinan penetapan
pengadilan Negeri tersebut ke Kementrian sosial dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil kabupaten atau Kota. Langkah terakhir, Kementrian Sosial akan mencatat dan
mondokumentasikan pengangkatan anak tersebut, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil membuatkan Akta pengangkatan anak,Barulah proses pengangkatan anak resmi secara
hukum.
2. Bagaimana dikatakan aborsi ilegal dan non ilegal?
A. Aborsi legal
Dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan
indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, sesuai pasal 75 ayat 2 huruf a dan b
Undang-Undang Kesehatan sertadengan persetujuan ibu yang hamil dan atau suami. Aborsi
legal sering juga disebut aborsi buatan atau pengguguran dengan indikasi medis. Meskipun
demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah mempunyai indikasi medis ini dapat
dilakukan aborsi buatan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi sebuah aborsi adalah :
1) Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik.
2) Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten.
3) Dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.

B. Bersifat Ilegal
Aborsi ilegal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak
kompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu atau ramu-ramuan), dengan atau tanpa
persetujuan ibu hamil dan atau suaminya. Aborsi ilegal sering juga dilakukan oleh tenaga
medis yang berkompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi medis.

Peraturan-Peraturan Hukum Yang Mengatur Aborsi Secara vertikal Undang-undang


Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam hal pengaturan tentang aborsi tidak sinkron
dengan berbagai Peraturan Perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai dengan
yang terendah karena berbagai alasan yuridis sebagai berikut :
a) UUD 1945
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 diatur tentang perlindungan anak pada khususnya.
Aborsi yang bermutu, aman dan bertanggung jawab untuk melindungi perempuan
yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan jelas bertentangan dengan asas
keseimbangan karena hanya mementingkan hak kesehatan reproduksi ibu.
b) PP No. 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia.
Didalam PP No. 26 Tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter Indonesia Terdapat satu
butir yang memuat larangan bagi dokter untuk melakukan aborsi yang berbunyi “saya
akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”.
c) Permenkes RI No. 343/Menkes/SK/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) Bagi Para Dokter di Indonesia.
Pasal 1 KODEKI “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.” Pasal 10 KODEKI “Setiap dokter Indonesia harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani”
d) Permenkes RI No. 585/Men.Kes./Per/IX/89 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Dokter dapat memberikan alternatif lain kepada perempuan yang menginginkan
aborsi yang aman dan bertanggung jawab dengan alasan kehamilan tidak diinginkan.
Misal melanjutkan kehamilannya di bawah suatu shelter.

3. Undang – undang aborsi


Melihat pada kemungkinan bahwa korban dari perkosaan bisa saja mengandung anak
hasil perkosaan, hal ini dapat membawa penderitaan mendatang kepada korban. Terlebih lagi
dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam KUHP mengatur secara eksplisit dinyatakan pada
Pasal 346 sampai dengan Pasal 348 bahwa tindakan menggugurkan atau mematikan
kandungan (selanjutnya disebut aborsi) merupakan tindak kejahatan. Hal ini juga dipertegas
dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(selanjutnya disebut UU Kesehatan) yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan aborsi. Pelarangan ini juga menggambarkan bahwa pada hakikatnya setiap ciptaan
Tuhan memiliki hak untuk hidup dan bertahan hidup. Begitu juga untuk janin yang belum
dilahirkan ke dunia. Walaupun belum dilahirkan sebagai seorang dalam wujud manusia,
negara tetap menjamin eksistensinya untuk lahir di dunia. Merujuk juga pada Pasal 53 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut
UU HAM), secara tegas dinyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ditambah lagi,
tindakan aborsi memiliki risiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan seorang
wanita bahkan dapat berisiko fatal diantaranya dapat menyebabkan penyakit kelamin, kanker
bahkan kematian.[4] Maka dari itu, tindakan aborsi menjadi suatu tindakan yang wajar saja
dilarang sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

Atas pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan kondisi korban tindak pidana


perkosaan, muncul indikasi-indikasi yang memberikan alasan pembenar dalam melakukan
tindak aborsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan jo Pasal 31 Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP
Kesehatan Reproduksi) yang menyatakan bahwa:

“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:


a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.”

Alasan pembenar dalam melakukan tindak aborsi ini tentunya harus diikuti dengan
syarat-syarat lainnya terutama dalam hal pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU
Kesehatan maupun peraturan lainnya. Salah satunya dinyatakan dalam Pasal 75 ayat (3) UU
Kesehatan yaitu:
“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang”

Kemudian terdapat juga dalam Pasal 76 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa:


“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.”

Adapun terdapat peraturan pelaksana dari tindak aborsi yang diperbolehkan bagi
korban perkosaan yaitu pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 PP Kesehatan Reproduksi.
Pada Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi dipaparkan bahwa:
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Berdasarkan dengan pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa bagi korban perkosaan
dapat melakukan tindakan aborsi dengan membuktikan bahwa kehamilan tersebut merupakan
akibat dari tindak pidana perkosaan. Hal ini dilakukan dengan bantuan keterangan para ahli
terkait hubungan kausalitas antara tindak perkosaan dan kehamilan korban. Selanjutnya
diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan
aborsi. Hal ini menjadi penting karena tindak aborsi merupakan suatu tindakan yang
berbahaya sehingga diperlukan pelaksanaan yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana seharusnya tidak hanya berfokus pada
pemberian hukuman kepada pelaku. Pemerintah seharusnya juga memikirkan perlindungan
hukum bagi korban dari tindak pidana tersebut. Pada tulisan ini, telah dibahas mengenai
perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan melalui tindak aborsi. Meskipun,
pada dasarnya tindak aborsi merupakan salah satu tindak pidana, namun terdapat beberapa
alasan pembenar yang menyebabkan korban perkosaan dapat melakukan tindakan aborsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga membawa suatu
pembahasan terkait upaya memperkuat efektifitas hukum terhadap tindak perkosaan terjadi di
masyarakat. Seperti yang dilakukan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dasar Hukum:
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915).
(2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Nomor 144 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063).
(3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 1999).
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran
Negara Nomor 169 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5559).
4. Undang – undang adopsi
Di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007: Pengangkatan anak bertujuan
untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial
untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya
sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan
atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih
maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya
memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina
Pelayanan Sosial Anak, Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga
Negara Indonesia (WNI) terdiri dari beberapa jenis :
1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption);
2. Pengangkatan Anak secara langsung (Private Adoption);
3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent);
4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi atas anak angkat
dan anak asuh. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang
tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar (Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Anak). Secara sederhana, terhadap anak asuh, yang
dialihkan adalah kewajiban pengasuhan. Ibarat tanaman, hanya menyirami dan memberi
pupuk saja. Seseorang, lembaga atau orang tua asuh sebagai pihak yang memastikan
terpenuhinya hak- hak anak: hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Tidak ada hak untuk mengambil anak ini dari kekuasaan orang
tuanya, yang beralih hanya kekuasaan untuk mengasuh. Ketika orang tua kandung atau
bahkan anak itu sendiri telah mampu berdiri di kakinya sendiri, maka selesailah kewajiban
pengasuhan itu. Tidak ada kewajiban lainnya baik ketika pengasuh masih hidup ataupun
setelah meninggal dunia, demikian juga sebaliknya. Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan
(Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Anak).
Ketika pengadilan menyatakan sah sebagai anak angkat, maka saat itulah beralih seluruh hak
kekuasaan orang tua kandung menjadi hak kekuasaan orang tua angkat. Seperti mencabut
sebatang pohon beserta akar terkecilnya untuk kemudian memindahkan dan menanam
kembali pohon ini ketempat yang benar-benar baru, yaitu lingkungan kehidupan orang tua
angkat. Mencabut dan memindahkan, sungguh berbeda dengan hanya menyiraminya saja.
Ada tanggung jawab yang harus ditunaikan ketika orang tua atau anak angkat meninggal
dunia. Lalu bagaimana prosedur pengangkatan anak sesuai dengan aturan hukum negara,
sehingga ia yang dilisankan sebagai anak angkat ini, paripurna pemenuhan hak-haknya.
Tata cara adopsi anak telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak ) dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP Adobsi) dan
dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 (PERMEN)
tentang Persyaratan Pengangkatan anak.

5. Bagaimana etika bidan behubungan dengan bidan di dunia?


Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu
pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses
sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Pekerjaan tidak sama
dengan profesi. Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional,
sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang
menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan
unjuk kerja sesuai dengn profesinya.
Perilaku profesional yang diharapkan masyarakat diantaranya :
 Bertindak sesuai dengan keahlian dan didukung oleh pengetahuan serta pengalaman
dan keterampilan yang tinggi
 Bermoral tinggi
 Berlaku jujur, baik pada orang lain maupun diri sendiri
 Tidak melakukan tindakan yang coba-coba yang tidak didukung ilmu pengetahuan
profesinya
 Tidak memberikan janji yang berlebihan
 Tidak melakukan tindakan yang semata-mata didorong oleh pertimbangan komersial
 Memegang teguh etika profesi
 Mengenal batas-batas pengetahuan
 Menyadari dan mengenal ketentuan hukum yang membatasi gerak-gerik dan
kewenangannya

Bidan sebagai tenaga profesional haruslah memiliki komitmen yang tinggi untuk :
 Memberikan asuhan berkualitas sesuai dengan standar etis (etika profesi)
 Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan, berlanjut diskusi formal
dan informal dengan sejawat
 Pada puncaknya mampu mengambil keputusan yang etis untuk memecahkan masalah
etika
 Menggunakan 2 pendekatan dalam pengambilan keputusan etis yaitu berdasarkan
prinsip dan berdasarkan asuhan kebidanan (Beauchamp Childress, 1994)

Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan haruslah profesional, dikatakan profesional


bila memiliki ciri-ciri berikut ini ;
 Memiliki keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam
menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang
bersangkutan dengan bidang tadi
 Memiliki ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah
dan peka dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil
keputusan terbaik atas dasar kepekaan
 Memiliki sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi
perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya
 Memiliki sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta
terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam
memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya

6. Bagaimana legalitas dilakukan tindakan aborsi?


Dalam Pasal 45 undang- undang tersebut dijelaskan bahwa setiap orang dilarang
untuk melakukan aborsi terhadap kandungannya kecuali jika perbuatannya dilakukan dengan
alasan dan mekanisme yang telah diatur dalam aturan hukum yang mengatur terkait aborsi
yakni UU Kesehatan dan PP No 61 Tahun 2014. Pada dasarnya setiap orang dilarang
melakukan aborsi, demikian yang disebut dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan"). Namun, larangan tersebut dikecualikan
berdasarkan [Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan]:
A. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan; atau
B. Tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling
dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang sebagaimana disebut dalam
Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan. Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU
Kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp1 miliar sebagaimana disebut dalam Pasal 194 UU Kesehatan. Sebagai
pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”).
Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini diperkuat dalam
Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP 61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan
aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya
dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34 ayat (2) PP
61/2014]:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (2)
huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja
sosial. Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan
bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014. Ini berarti, pada
pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk mendapatkan
pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi
tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya mengatakan bahwa
tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui
konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling.
Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):
a. Menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. Menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi
bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. Menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek
samping atau komplikasinya;
d. Membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan
sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. Menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.

Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP
61/2014):
a. Mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. Menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan
atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d. Menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya
kehamilan.

Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan


aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk
dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor
selama masa kehamilan, demikian dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.

Anda mungkin juga menyukai