Nim : P07524121014
Kelas : 2A D3
Matkul : ETIKA DAN HUKUM KEBIDANAN
B. Bersifat Ilegal
Aborsi ilegal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak
kompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu atau ramu-ramuan), dengan atau tanpa
persetujuan ibu hamil dan atau suaminya. Aborsi ilegal sering juga dilakukan oleh tenaga
medis yang berkompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi medis.
Alasan pembenar dalam melakukan tindak aborsi ini tentunya harus diikuti dengan
syarat-syarat lainnya terutama dalam hal pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU
Kesehatan maupun peraturan lainnya. Salah satunya dinyatakan dalam Pasal 75 ayat (3) UU
Kesehatan yaitu:
“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang”
Adapun terdapat peraturan pelaksana dari tindak aborsi yang diperbolehkan bagi
korban perkosaan yaitu pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 PP Kesehatan Reproduksi.
Pada Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi dipaparkan bahwa:
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Berdasarkan dengan pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa bagi korban perkosaan
dapat melakukan tindakan aborsi dengan membuktikan bahwa kehamilan tersebut merupakan
akibat dari tindak pidana perkosaan. Hal ini dilakukan dengan bantuan keterangan para ahli
terkait hubungan kausalitas antara tindak perkosaan dan kehamilan korban. Selanjutnya
diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan
aborsi. Hal ini menjadi penting karena tindak aborsi merupakan suatu tindakan yang
berbahaya sehingga diperlukan pelaksanaan yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana seharusnya tidak hanya berfokus pada
pemberian hukuman kepada pelaku. Pemerintah seharusnya juga memikirkan perlindungan
hukum bagi korban dari tindak pidana tersebut. Pada tulisan ini, telah dibahas mengenai
perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan melalui tindak aborsi. Meskipun,
pada dasarnya tindak aborsi merupakan salah satu tindak pidana, namun terdapat beberapa
alasan pembenar yang menyebabkan korban perkosaan dapat melakukan tindakan aborsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga membawa suatu
pembahasan terkait upaya memperkuat efektifitas hukum terhadap tindak perkosaan terjadi di
masyarakat. Seperti yang dilakukan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dasar Hukum:
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915).
(2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Nomor 144 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063).
(3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 1999).
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran
Negara Nomor 169 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5559).
4. Undang – undang adopsi
Di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007: Pengangkatan anak bertujuan
untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial
untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya
sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan
atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih
maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya
memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina
Pelayanan Sosial Anak, Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga
Negara Indonesia (WNI) terdiri dari beberapa jenis :
1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption);
2. Pengangkatan Anak secara langsung (Private Adoption);
3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent);
4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat.
Bidan sebagai tenaga profesional haruslah memiliki komitmen yang tinggi untuk :
Memberikan asuhan berkualitas sesuai dengan standar etis (etika profesi)
Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan, berlanjut diskusi formal
dan informal dengan sejawat
Pada puncaknya mampu mengambil keputusan yang etis untuk memecahkan masalah
etika
Menggunakan 2 pendekatan dalam pengambilan keputusan etis yaitu berdasarkan
prinsip dan berdasarkan asuhan kebidanan (Beauchamp Childress, 1994)
Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (2)
huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja
sosial. Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan
bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014. Ini berarti, pada
pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk mendapatkan
pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi
tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya mengatakan bahwa
tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui
konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling.
Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):
a. Menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. Menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi
bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. Menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek
samping atau komplikasinya;
d. Membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan
sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. Menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP
61/2014):
a. Mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. Menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan
atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d. Menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya
kehamilan.