Anda di halaman 1dari 5

TUGAS ETIKA DAN HUKUM DALAM PROFESI

Oleh :
dr. Mirban Aulia Rahmaan Singobangah 04052722024001
dr. Rizky Agustria 04052722024002
dr. Dwi Cahya Puspitasari 04052722024003
dr. Meitry Tiara Nanda 04052722024004
dr. Izza Aliya 04052722024005
dr. Andharu Primayudha Infantri 04052722024006
dr. Asri Indriyani Putri 04052722024007
dr. Dian Permata Rizda 04052722024008
dr. Arif Sangjaya 04052722024009
dr. Anggy Albernande 04052722024010

Pembimbing
Dr. Rizal Sanif, Sp.OG(K), MARS

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
2

1. Telusur kasus di bidang obstetri dan ginekologi yang berkaitan dengan etika dan
hukum profesi

Pada suatu hari di salah satu praktek dokter spesialis kandungan, datang
seorang perempuan usia 20 tahun yang mengaku telah menjadi korban pemerkosaan
oleh laki-laki yang tidak ia kenal, kemudian perempuan tersebut hamil dan karena
ketakutan akan ketahuan orang tuanya bahwa dia telah diperkosa, maka perempuan
tersebut tidak segera melapor ke pihak berwenang dan ia membiarkan usia
kehamilannya hingga 4 bulan. Perempuan tersebut memohon agar dapat dilakukan
pengguguran kandungan karena Ia sangat tertekan secara psikologis. Menghadapi
kejadian tersebut sang dokter meminta saran dan penjelasan terhadap situasi yang
sedang dihadapi, apakah masih bisa dilakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 UU No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan? Apakah tindakan aborsi tersebut merupakan suatu
tindak pidana?

2. Carilah jawaban dan pembahasan terhadap kasus tersebut menurut langkah –


langkah pembuatan keputusan etik!
Langkah- langkah dalam pengambilan keputusan
1) Menentukan fakta-fakta yang terjadi
2) Mengidentifikasi para pemegang kepentingan dan mempertimbangkan situasi-
situasi dari sudut pandang mereka
3) Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang tersedia
4) Mempertimbangkan bagaimana sebuah keputusan dapat memengaruhi para
pemegang kepentingan, membandingkan dan mempertimbangkan alternatif:
a. Konsekuensi-konsekuensi
b. Kewajiban-kewajiban, hak-hak, prinsip-prinsip
c. Dampak bagi integritas dan karakter pribadi
5) Membuat sebuah keputusan
6) Memantau hasil
3

Pembahasan :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terdapat ketentuan
yang melarang perbuatan aborsi sebagaimana yang diatur pada Pasal 346 KUHP yang
menyatakan: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling
lama empat tahun”. Dalam hal ini, KUHP sebagai aturan dengan tegas menyatakan
bahwa perbuatan aborsi adalah sesuatu yang dilarang sehingga dapat dijerat dengan
Pasal 346 KUHP.
UU Kesehatan adalah sebuah aturan khusus yang mengatur tentang perbuatan
atau tindakan aborsi berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP: “Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. Oleh karena
itu, ketentuan Pasal 346 KUHP yang mengatur tentang tindakan aborsi sudah
selayaknya dikesampingkan karena telah ada aturan khusus yaitu UU Kesehatan yang
mengatur hal tersebut.
Pengambilan keputusan yang etis yang bertanggung jawab mensyaratkan
kemampuan untuk mengenali sebuah keputusan atau permasalahan sebagai sebuah
keputusan etis atau permasalahan etis. Kita diminta untuk mengidentifikasi dan
mempertimbangkan semua pihak yang dipengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-
orang ini biasa disebut dengan para pemangku kepentingan (stakeholder).
Suatu tindakan aborsi dapat dinyatakan sebagai sebuah tindakan yang legal juga
harus memperhatikan kententuan Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yang menerangkan
sebagai berikut: “Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang”. Sehingga tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU
Kesehatan itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor.
4

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:


a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.

Adapun dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor


61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”) menjelaskan tentang
indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi
atau dengan kata lain memperbolehkan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis
atau akibat dari korban pemerkosaan. Untuk tindakan aborsi akibat dari korban
pemerkosaan, batas usia kehamilan haruslah tidak lebih dari 40 hari dihitung sejak hari
pertama haid terakhir.

Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan:


a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat
keterangan dokter; dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
5

Dari skenario di atas, perempuan tersebut seharusnya mencari perlindungan


hukum sebagai seorang korban dari tindak pidana pemerkosaan. Selaku korban
pemerkosaan diberikan hak untuk melakukan tindakan aborsi sejauh hal tersebut
sesuai dengan ketentuan udang-undang yang telah diuraikan di atas.
Jadi untuk kasus tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
dijelaskan, tindakan aborsi pada usia kandungan yang telah mencapai 4 bulan dan
tanpa ada keterangan dari pihak yang berwenang adalah suatu tindakan aborsi yang
ilegal dan telah melanggar ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan, yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter
dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun
pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya. Oleh karena itu keputusan
untuk melakukan tindakan aborsi tersebut tidak boleh dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai