Oleh :
dr. Mirban Aulia Rahmaan Singobangah 04052722024001
dr. Rizky Agustria 04052722024002
dr. Dwi Cahya Puspitasari 04052722024003
dr. Meitry Tiara Nanda 04052722024004
dr. Izza Aliya 04052722024005
dr. Andharu Primayudha Infantri 04052722024006
dr. Asri Indriyani Putri 04052722024007
dr. Dian Permata Rizda 04052722024008
dr. Arif Sangjaya 04052722024009
dr. Anggy Albernande 04052722024010
Pembimbing
Dr. Rizal Sanif, Sp.OG(K), MARS
1. Telusur kasus di bidang obstetri dan ginekologi yang berkaitan dengan etika dan
hukum profesi
Pada suatu hari di salah satu praktek dokter spesialis kandungan, datang
seorang perempuan usia 20 tahun yang mengaku telah menjadi korban pemerkosaan
oleh laki-laki yang tidak ia kenal, kemudian perempuan tersebut hamil dan karena
ketakutan akan ketahuan orang tuanya bahwa dia telah diperkosa, maka perempuan
tersebut tidak segera melapor ke pihak berwenang dan ia membiarkan usia
kehamilannya hingga 4 bulan. Perempuan tersebut memohon agar dapat dilakukan
pengguguran kandungan karena Ia sangat tertekan secara psikologis. Menghadapi
kejadian tersebut sang dokter meminta saran dan penjelasan terhadap situasi yang
sedang dihadapi, apakah masih bisa dilakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 UU No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan? Apakah tindakan aborsi tersebut merupakan suatu
tindak pidana?
Pembahasan :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terdapat ketentuan
yang melarang perbuatan aborsi sebagaimana yang diatur pada Pasal 346 KUHP yang
menyatakan: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling
lama empat tahun”. Dalam hal ini, KUHP sebagai aturan dengan tegas menyatakan
bahwa perbuatan aborsi adalah sesuatu yang dilarang sehingga dapat dijerat dengan
Pasal 346 KUHP.
UU Kesehatan adalah sebuah aturan khusus yang mengatur tentang perbuatan
atau tindakan aborsi berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP: “Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. Oleh karena
itu, ketentuan Pasal 346 KUHP yang mengatur tentang tindakan aborsi sudah
selayaknya dikesampingkan karena telah ada aturan khusus yaitu UU Kesehatan yang
mengatur hal tersebut.
Pengambilan keputusan yang etis yang bertanggung jawab mensyaratkan
kemampuan untuk mengenali sebuah keputusan atau permasalahan sebagai sebuah
keputusan etis atau permasalahan etis. Kita diminta untuk mengidentifikasi dan
mempertimbangkan semua pihak yang dipengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-
orang ini biasa disebut dengan para pemangku kepentingan (stakeholder).
Suatu tindakan aborsi dapat dinyatakan sebagai sebuah tindakan yang legal juga
harus memperhatikan kententuan Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yang menerangkan
sebagai berikut: “Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang”. Sehingga tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU
Kesehatan itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor.
4