Anda di halaman 1dari 51

MALPRAKTIK MEDIK

Disusun oleh : Epi Elianti


Intan mutia
Selvia Ferina

Pembimbing :dr. Netty Herawati M.ked (For) Sp.F


MALPRACTICE

MEDICAL MALPRACTICE PROFESI LAIN

ETHICAL MALPRACTICE YURIDICAL MALPRACTICE

CRIMINAL MALPRACTICE

CIVIL MALPRACTICE

ADMINISTRATIVE
MALPRACTICE
DEFINISI MALPRAKTIK

Malpractice adalah praktik kedokteran


yang salah atau tidak sesuai dengan
standar pelayanan,standar profesi atau
standar prosedur operasional.
CRIMINAL
MALPRACTICE
Terjadi bila seorang dokter menangani
suatu kasus telah melanggar hukum dan
menyebabkan dia dituntut oleh negara
Pada Criminal Malpractice, tanggung jawabnya
bersifat individual dan personal.
CIVIL MALPRACTICE
Civil Malpractice adalah tipe malpractice
dimana dokter karena pengobatannya dapat
mengakibatkan pasien meninggal atau luka
tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar
hukum pidana. Sementara negara tidak dapat
menuntut secara pidana, tetapi pasien atau
keluarganya dapat menggugat dokter secara
perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti
rugi.
Pada Civil Malpractice tanggung gugat dapat
bersifat individual atau korporasi.
ADMINISTRATIVE MALPRACTICE
Didalam UU RI No.29 Tahun 2004 dan didalam
PERMENKES NO.2052/MENKES/PER/X/2011
Dijelaskan bahwa seorang dokter yang praktik
harus punya Sertifikat Kompetensi, Surat Tanda
Registrasi, dan Surat Ijin Praktik kalau seorang
dokter tidak mempunyainya selain dokter
mendapat sanksi pidana, sanksi perdata juga
sanksi administratif
Malpraktik menurut hukum di Indonesia
Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009
Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum

Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah

Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi
Pasal 34
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi

Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi tingginya bagi individu
atau masyarakat
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular kedalam masyarakat yang lebih luas
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau
c. Gangguan mental berat
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. Perintah undang-undang
b. Perintah pengadilan
c. Izin yang bersangkutan
d. Kepentingan masyarakat atau
e. Kepentingan orang tersebut

Pasal 63
(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan atau alat kesehatan kedalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak dapat ditujukan untuk mengubah identitas
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan Pasal 75
(3) Yang dimaksud dengan konselor adalah setiap
orang yang telah memiliki sertifikat sebagai
konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang
dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog,
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang
yang mempunyai minat dan memiliki
ketrampilan untuk itu.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir kecuali dalam hal kedaruratan
medis
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami kecuali korban perkosaan dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat
(3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 77
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak
aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang
dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan
yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan
pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih
mengutamakan imbalan materi daripada indikasi medis
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan
oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat
anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan
wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat
forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh dokter ahli forensik atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli
forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak
dimungkinkan.
UU RI No 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit
Rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi,
bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian, dan peralatan (pasal 7 (1))

Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan lokasi,


bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian dan peralatan tidak diberikan izin
mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin
operasional rumah sakit (pasal 17)
Pasal 13
(1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di
rumah sakit wajib memiliki surat izin praktik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di rumah sakit
wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan keselamatan pasien
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara rumah sakit wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
izin mendirikan dan izin operasional
(3) Izin mendirikan sebagaimana d imaksud pada ayat (2)
diberikan untuk jangka waktu 2(dua) tahun dapat
diperpanjang untuk 1(satu) tahun
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan untuk jangka waktu 5(lima) tahun dan dapat
diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Salah satu kewajiban rumah sakit adalah menyusun dan
melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital
by laws) (pasal 29 r)

Yang dimaksud dengan hospital by laws adalah peraturan


organisasi rumah sakit (corporate by laws) dan peraturan staf
medis rumah sakit (medical staff by laws) yang disusun dalam
rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik
(good corporate govermance) dan tata kelola klinis yang baik
(good clinical govermance). Dalam peraturan staf medis
rumah sakit (medical staf by laws) antara lain diatur
kewenangan klinis (clinical privilege)
Pasal 29
Ayat 2 : Pelanggaran atas kewajiban pada ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran
b. teguran tertulis
c. denda dan pencabutan izin rumah sakit
Pasal 43
(1) Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan
pasien
(2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam
rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
(3) Rumah sakit melaporkan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri.
Penjelasan pasal 43
(1) Yang dimaksud dengan keselamatan pasien adalah proses
dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien
yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen risiko,
identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar, dan
menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk
mengurangi serta meminimalisir timbulnya resiko.
(2) Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah
kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak
diharapkan (adverse event) dan nyaris terjadi (near miss)
Pasal 44
(1) Rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala
informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia
kedokteran
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut rumah sakit
dan menginformasikannya kepada media massa, dianggap
telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum
(3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memberikan kewenangan kepada
rumah sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran
pasien sebagai hak jawab rumah sakit
Pasal 45
(1) Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif
(2) Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam
melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan
nyawa manusia
Pasal 46
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit
Menurut UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 29
1. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda
registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin
praktik.
Pasal 41
1. Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin
praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang
papan nama praktik kedokteran.
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Pasal 46
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

Pasal 48
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar
profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya.
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban:
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien.
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
d. Melakukan pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan
ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 52
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
d. Menolak tindakan medis.
e. Mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya.
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
SANKSI PIDANA
KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan
selama-lamanya satu tahun.

KUHP 360
1. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
2. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau
pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan
sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari
pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu
dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya
keputusannya itu diumumkan.
UU RI No. 36 Tahun 2009
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)

Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
UU RI No 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit

Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan rumah
sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2(dua) tahun dan denda palingbanyak Rp.
5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
Pasal 63
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3(tiga) kali
dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal
62.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha
b. pencabutan status badan hukum
UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 75
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1.
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1.
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
SANKSI PERDATA
KUH Perdata 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas
kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya.

KUH Perdata 1367


Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan
untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh
kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau
bawahannya.
KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain)
dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami
dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang
biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai
hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut
kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan.
KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan
sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban,
selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut
penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut.
UU RI No. 36 Tahun 2009
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
SANKSI ADMINISTRATIF
UU RI No. 36 Tahun 2009
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala
dinas provinsi, atau kabupaten/ kota yang tugas pokok dan fungsinya
dibidang kesehatan
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. Peringatan secara tertulis
b. Pencabutan izin sementara atau izin tetap
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.
UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas pengadu
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter
gigi dan waktu tindakan dilakukan
c. Alasan pengaduan
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter
dan dokter gigi.
Pasal 69
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil
Kedokteran Indonesia.
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi
disiplin.
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat
berupa:
a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau
surat izin praktik.
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
PERMENKES NO 2052/MENKES/PER/X/2011
Pasal 30
1. Menteri, KKI, Pemerintah Daerah, dan
organisasi profesi melakukan pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai
dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-
masing.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada
pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan
yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.
Pasal 31
1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
dapat mengambil tindakan administratif
terhadap pelanggaran peraturan ini.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
ayat 1 dapat berupa peringatan lisan, tertulis
sampai pencabutan SIP.
3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
dalam memberikan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu
dapat mendengar pertimbangan organisasi
profesi.
Pasal 32
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat
mencabut SIP dokter dan dokter gigi dalam hal:
a. Atas dasar rekomendasi MKDKI
b. STR dokter atau dokter gigi dicabut oleh KKI.
c. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIP-nya
dan / atau
d. Dicabut rekomendasinya oleh organisasi profesi
melalui sidang yang dilakukan khusus untuk itu
Pasal 33
1. Pencabutan SIP yang dilakukan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota wajib disampaikan kepada dokter dan
dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
keputusan ditetapkan.
2. Dalam hal keputusan dimaksud pada pasal 32 huruf c
dan d tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri dalam waktu
14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.
3. Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima
surat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2,
Menteri dalam perkara pelanggaran disiplin kedokteran,
meneruskannya kepada MKDKI.
Pasal 34
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan
dokter gigi kepada Kepala Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Kementerian Kesehatan, Ketua KKI
dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, serta
tembusannya disampaikan kepada organisasi
profesi setempat.

Anda mungkin juga menyukai