Pembahasan kasus ini mempergunakan beberapa dasar hukum yang menjadi dasar
untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Dasar
hukum untuk tindakan aborsi yang melawan hukum menurut KUHP antara lain:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
1. Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat
Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi:
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan standar.
Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Bagian Ketiga
Indikasi Perkosaan
Pasal 34
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Pasal 35
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus
dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri;
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat
memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
Pasal 36
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan
oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi
atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
Pasal 37
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa
tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping
atau komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk
melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi; dan
(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau
tindakan rujukan bila diperlukan; dan