Anda di halaman 1dari 25

ABORSI

DAN
EUTHANASIA
Dasar hukum:

• 1. UNDANG2 NO.36 THN 2009 TTG


KESEHATAN
• 2. PP NO 61 THN 2014 TTG KESEHATAN
REPRODUKSI
Pengertian Aborsi

Pengertian : Perbuatan penghilangan nyawa


janin/manusia.
Tergolong pembunuhan khusus sengaja ataupun
tidak.
Bertentangan dengan hukum dan agama serta
norma sosial
Peraturan Terkait
Aborsi dalam KUHP dan UU no 36 tahun 2009
Pasal 346
• Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
• Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena
pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu
kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan 348, dapat
dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat dapat dikecualikan berdasarkan:
• a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
• b. berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
• c. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 15
(1)Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dlm ayat (1) hanya dapat
dilakukan :
• a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
• b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
• c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
• d. pada sarana kesehatan tertentu.
Pasal 80 ayat 1 uu no.23/1992
• Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis
tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
• Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”). Ketentuan
legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini
diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP
61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan
aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan kehamilan
akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
[Pasal 34 ayat (2) PP 61/2014]:
Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan
• a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang
dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
• b. keterangan penyidik, psikologi, dan/atau ahli lain mengenai
adanya dugaan perkosaan.
• Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan
Pasal 34 ayat (2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis
psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial.
• Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan
dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP
61/2014. Ini berarti, pada pengaturannya, wanita
hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk
mendapatkan pelayanan aborsi yang aman,
bermutu, dan bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan
aborsi tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada
intinya mengatakan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling
dan pasca konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat
(3) PP 61/2014):
• a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
• b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin
melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang;
• c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan
dilakukan dan kemungkinan efek samping atau
komplikasinya;
• d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi
untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan
aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan
aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi;
dan
• e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37
ayat (4) PP 61/2014):
• a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan
aborsi;
• b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah
menjalani aborsi;
• c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan
konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
• d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk
mencegah terjadinya kehamilan.
Euthanasia di Indonesia

• Tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan
menyuruhnya pulang atau tetap di RS tanpa dilakukan apa-apa terhadapnya apakah
itu termasuk euthanasia secara tidak langsung dan apakah ada sanksi terhadap hal
seperti itu.
• Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari
setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini
dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

• Terkait dengan euthanasia, Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang berjudul Euthanasia Dalam
Perspektif Hukum Pidana .
Disebutkan bahwa euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos, mati dengan
baik tanpa penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam
pengetahuan hukum kedokteran mendefinisikan euthanasia sesuai dengan
rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda), yang menyatakan euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan
ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M. Yusup & Amri Amir,
1999:105).
Sebagaimana dikutip Haryadi, menurut Kartono
Muhammad, euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5
kelompok yaitu:
• 1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan
cara menolak memberikan/mengambil tindakan
pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa
yang sedang berlangsung.
• 2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif,
baik langsung maupun tidak langsung yang
mengakibatkan kematian.
• 3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas
persetujuan atau permintaan pasien.
• 4. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian
tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut
juga sebagai merey killing.
• 5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian
sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh
atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah
(Kartono Muhammad, 1992:19).
Dasar Hukum
• Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar
hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu
artikel hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap
Melanggar KUHP, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah
Emong berpendapat :
,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang
larangan melakukan euthanasia.yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:
• “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
• Euthanasia Dimungkinkan Dengan Syarat
Limitatif dan Permohonan Euthanasia
Menimbulkan Pro dan Kontra.
• Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia,
terutama untuk euthanasia aktif dapat dipidana
paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan
tetapi, dalam praktiknya tidak mudah menjerat
pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.
KESIMPULAN
• Pada sisi lain, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan
ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter
menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan
nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki.
Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama
dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Kesimpulan……
• Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya
untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja
menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di
sekitar 1990 di Belanda, seorang keluarga pasien yang
ingin melakukan euthanasia tetapi ditolak oleh pengadilan
• Pertimbangan agama menjadi salah satu pertimbangan
khusus bagi pelaksana kegiatan ini.

Anda mungkin juga menyukai