Anda di halaman 1dari 8

Hukum Perlindungan Konsumen

Kelompok-4

Indria Setyo Pratama Putri (17250201010)


Arista Niken Saputri (17250201012)
Ayuni Khoirunnisa Rahmi (17250201013)
Anindhya Permata Sari (17250203031)
Rohmad Fauzi (17250203033)
Nevin Harianti Saputri (17250203034)
Huda Fathin Pramana (17250203036)
Pengertian konsumen

Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi Kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen
orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.

Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan
dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada
tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri
baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Perlindungan Konsumen

Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan
agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan
Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa
menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan
kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala
kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan
arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat antara lain:
1. Asas perlindungan konsumen
2. Asas manfaat
3. Asas keadilan
4. Asas keseimbangan
5. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
6. Asas kepastian hukum
Peluang Terhadap profesi keperawatan

Pendidikan keperawatan sebagai proses untuk menghasilkan profesi perawat yang berkualitas saat ini dan di masa
mendatang, dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain: berkembangnya Iptek kesehatan, tuntutan kebutuhan
masyarakat akan layanan yang berkualitas, pengembangan profesi keperawatan, meningkatnya kompleksitas penyakit dan
respons pasien terhadap penyakit, serta pengobatan dan lingkungan. Perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar dari
seluruh tenaga kesehatan yang ada, dimana 80% kegiatan pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan asuhan
keperawatan (Gilles, 2000). Untuk itu dengan karakteristik pelayanan yang kontinu, sangat dekat dan lama dengan pasien
serta cakupan praktik yang luas tidak terbatas pada kondisi geografis dan sosial ekonomi, pelayanan keperawatan yang
diberikan harus berkualitas dan melindungi pasien. Hal ini perlu dilakukan karena akan berpengaruh langsung terhadap
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya
Perawat sebagai garda terdepan dari pelayanan kesehatan dan sebagai mitra dokter dituntut untuk dapat bersikap
profesional. Perawat sudah seharusnya mampu memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal dengan di dukung
oleh ilmu pengetahuan kesehatan, terutama ilmu keperawatan. Terlebih lagi dengan kondisi klien dan keluarganya yang
semakin kritis terhadap upaya pelayanan kesehatan terutama bidang keperawatan. Selain itu, perawat sebagai tenaga
kerja profesional yang bekerja di luar negeri juga merupakan salah satu aset bangsa, yang dapat mendatangkan sumber
devisa yang cukup menjanjikan.
 
Ancaman dalam Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Profesi Keperawatan

Muhamad sadi menjelaskan bahwa malpraktik di dalam bidang kesehatan merupakan penyimpangan terhadap suatu
kasus yang ditangani atau terhadap suatu masalah kesehatan (termasuk penyakit) oleh tenaga kesehatan termasuk
perawat, sehingga dapat memberikan dampak yang tidak baik bagi pasien berupa kecacatan ataupun sampai dengan
kehilangan nyawa (Sadi Is, 2015).
Adami chazawi juga membedakan malpraktik menjadi dua bentuk yaitu, malpraktik etik yaitu tindakan perawat yang
dilakukantidak sesuai dengan etika keperawatan seperti suatu, prinsip dan norma yang berlaku untuk perawat dan
malpraktik yuridis yaitu malpraktik yang dapat dibedakan menjadi malpraktik pidana, perdata dan administrative
(Praptianingsih, 2006). Malpraktik yang dilakukan oleh perawat akibat tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang profesi
keperawatan dan tidak sesuai dengan kode etik maka perawat harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukannya, suatu pertanggungjawaban memiliki dasar yang jelas, yaitu timbulnya suatu hak hukum oleh suatu
halterhadap seorang untuk dapat melakukan penuntutan terhadap orang lain serta suatu hal yang melahirkan pemberi
kewajiban sebagai suatu bentuk kewajiban hukum orang lain, namun sebelum itu perlu untuk diteliti kembali mengenai
kesalahan yang dilakukan dalam memberikan pelayanan medis tersebut apakah terjadi akibat salahnya pelimpahan
wewenang.
Menurut Pasal 53 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dikatakan bahwa pelayanan kesehatan
perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga.
Namun apabila dalam penyembuhan terjadi kesalahan atau perbuatan lalai yang menimbulkan kerugian, maka pihak
yang merasa dirugikan dalam hal ini pasien selaku konsumen pemanfaat pelayanan kesehatan berhak menuntut
ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Adapun
bentuk ganti rugi berupa; pengembalian uang; penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya;
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Pemberian ganti rugi harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal transaksi.
Pemberian ganti rugi juga tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Dalam pasal ini terlihat bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi
apabila terjadi kelalaian/kesalahan pada saat proses pengobatan pada Pasien yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan/dokter.

Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan sanksi perawat profesional ternyata UU No. 38 Tahun 2014 hanya
mengatur ancamanya bersifat administratif. Tidak ada satu pasal pun ancamannya berupa denda (ganti rugi),
kurungan, atau pidana penjara. Pada hal bisa saja seorang perawat profesional melakukan mal praktik keperawatan.
 
Kesimpulan

Pelimpahan kewenangan oleh tenaga medis kepada perawat diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dalam pasal 32 dijelaskan bahwa perawat dapat menerima
pelimpahan wewenang secara tertulis berupa delegatif ataupun mandat namun dalam peraturan tersebut tidak
diatur secara tegas dan pasti mengenai batas-batas wewenang tindakan medis yang boleh dilakukan oleh perawat,
akibat dari hal tersebut maka timbul ketidakpastian hukum terhadap perawat terkait tindakan pelayanan kesehatan
dalam melaksanan praktik keperawatan.
Pertanggungjawaban hukum perawat dalam pelayanan kesehatan oleh adanya perbuatan malpraktik apabila
perbuatan tersebut dilakukan dengan aturan pelimpahan wewenang yang jelas baik oleh dokter maupun oleh
direksi rumah sakit maka perawat tidak bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan tersebut,
namun apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan maka
perawat harus bersedia bertanggung jawab atas perbuatannya berupa tuntutan malpraktik aspek hukum
pidana,perdata dan administratif.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai