PENDAHULUAN
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat
penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurya rumah sakit akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal
ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit
diharapkan mampu memahami konsvmennya secara keseluruhan agar dapat maju dan
berkembang. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika
profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga
profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional
adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan
moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing (Benyamin Lumenta, 1,989).
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien
menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien hanya
memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untnk melawan. Posisi demikian ini secara
historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik
karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan
yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak
Sudah merasa bahagia apabila kepadanya dkuliskan secarik kertas. Dari resep
tersebut secarc. implisjt telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritar bidang ilmu
yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan
kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai
apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu,
ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter
tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin
bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga dokter,
pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini
sederajat. Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah
tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu
kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun
jiwa dari pasiennya, dan hal ini ttntu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Dari
pasien yang dirugikan menuritut ganti rugi, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas
kerugian yang menimpa pasien. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik
untuk mengkaji persoalan mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai
Kor.sumen Jasa Di Bidang Pelayanan Medis (Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum Perdata)”
B. Rumusan Masalah
Di dalam penulisan makalah ini sesuai dengan judul yang diketengahkan maka
timbul beberapa masalah yang dianggap perlu untuk mendapatkan penyelesaian atau
pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Adakah perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang medis
2. Dapatkah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis menuntut
ganti rugi, dan apa dasamya 3. Siapakah yang harus bertanggung jawao atas /kerugian yang
C. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan lingkup masalah yang telah ditentukan maka untuk menghindari
agar jangan sampai timbul suatu pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permasalahan
dalam kaitannya dengan judul yang telah dipilih tersebut, maka untuk itu fokus pembahasan
masalah dalam makalah ini hanya disekitar perlindungan hukum terhadap pasien sebagai
konsumen jasa di bidang pelayanan medis ditinjau dari segi hukum perdata yang dititik
D. Tujuan Penulisan
tujuan tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di
bidang medis.
2. Mengetahui pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis
menuntut ganti rugi, dan apa dasamya 3. Mengetahui siapakah yang harus bertanggung
jawab atas kerugian yang menimpa pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis
dimaksud.
E. Kerangka Pemikiran
maka sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan mengganti
kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut mengalami kerugian
baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar kiranya kalau mereka yang
dirugikan tersebut mendapat imbalan bempa ganti rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya
dirugikan (konsumen), maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian
yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya. Hal tersebut terjadi
sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus, diterima dan tidak dapat dibalikkan
kepada orang lain, sebab dengan terjadinya kesalahan yang menimbulkan korban, tidak
terlepas dari kerugian yang ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib
pelayanan medis ada ketentuan yang mengatur. Pada dasamya ketentuan yang mengatur
perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata. Disamping
itu pasal 1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut:
RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan jjga perlindungan terhadap pasien,
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan
2. Ganti rugi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas
suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian
atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat
yang pemanen. Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak
berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik
berkaitan dengan martabat seseorang. Dalam Undang- undang No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi
pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen. Perlindungan hukum di
Jika seseorang merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ia akan
menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya.
Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum
sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian. Jika seseorang sebagai konsumen
melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar
ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata,
terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau
tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kausal
tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat atau asisten
lainnya), dalam hal ini dari pihak konsumen yang menderita kerugian dapat
menuntut ganti rugi. Dari kerugian yang di alami oleh konsumen, dalam hal iai
mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut berakibat kurang baik
berhak untuk menggugat ganti rugi (Djamali dan Terja Permana, 1988).
medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi atas kesalahan ataupun
kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya. Mengenai tuntutan ganti kerugian
secara perdata menurut pasal 1365 KUH Perdata, pelaku harus mengganti kerugian
Akan tetapi terdapat juga suatu ketentuan hukum yang menentukan bahwa
kerugian tersebut. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak yang
karenanya melanggar suatu norma hukum, hanya wajib membayar ganti rugi atas
Menurut Pasal 1366 KUH Perdata, berisikan ketentuan antara lain sebagai
Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) juga dapat dilihat dalam UU
No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55. Dari ketentuan pasal tesebut
maka dari pihak paramedis diharuskan berhati hati di dalam melakukan tindakan
medis yang mana dari pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan
tersebut. Jika kembali kepada asas hukum dalam hukum perdata dapat dikatakan
bahwa siapapun yang tindakannya merupakan pihak lain, wajib memberikan ganti
rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Dalam konsep dan teori dalam
ilmu hukum (Hermien Hadiati dan Keoswadji, 1984), perbuatan yang merugikan
a. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang
b. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan
konsumen jasa yang mana merasa dirugikan oleh dokter ataupun pihak rumah
sakit, dan tindakan tersebut menimbulkan suatu kerugian yang tidak sedikit
ataupun dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka dalam hal ini si
pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi (Jusuf Hanafiah dan
keadaan, dan dari pengganti kerugian kebanyakan besar berupa sejumlah uang.
kedudukan dari kedua belah pihak dan harus pula disesuaikan dengan keadaan.
Ketentuan yang paling akhir ini pada umumnya berlaku dalam hal memberikan
ganti kerugian yang diterbitkan dari suatu perbuatan melawan hukum terhadap
pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di
dalam tenaga medis tersebut. Tenaga Medis yang dimaksud adalah dokter, yang
rumah sakit, klinik spesialis, dan praktek bersama, sangat diperlukan sebagai
kerugian dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak
rumah sakit. Mengenai tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah
kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter itu sendiri atau tenaga medis lain.
Setiap masalah yang teijadi baik sengaja ataupun tidak sengaja perlu diteliti
terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan oleh para medis tersebut khusus
dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah sakit yang bertanggung jawab
secara umumnya. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakan
sanksi. Tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada dua
tenaga yaitu ; tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Swasta. Di dalam
dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat
dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap
pasien akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit. Pemberian sanksi juga
diatur dalam ketentuan Pasal 54 (1) UU No.23/ 1992 Tentang kesehatan yaitu
sebagai penjabaran lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di
kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi. Tanggung Jawab dilihat dari
karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga karena karena kurang hati-
tersebut terbawa oleh karena sifat daripada perjanjian yang terjadi antara dokter
Verbintenis ”. Suatu peijanjian yang harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh
Hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau
TINJAUAN PUSTAKA
dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang
merupakan konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang diinaksud dengan
konsumen. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2)
menyebutkan konsumen adalah “ setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen diartikan tidak hanya
individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau memakai terakhir.
Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli,
sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli (Setiawan, R., 1986).
menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen
sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat umuk dimanfaatkan oleh
dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mesdnya
sembilan butir hak konsumen yang di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalm penggunaannya
kt'nsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat
2000).
Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga
kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa
Delayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan
dalam bidang perawatan kesehatan (Shidarta, 2000). Sebelumnya periu juga untuk diketahui
akan pengertian dari pasien itu sendiri. Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H,
dalam bukunya, “Hukum Kedokteran” bahwa Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan
bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga
adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Dari sudut pandangan sosiologis
tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter,
tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan
pasien yang awam dalam bidang kesehatan. Pasien dalam ha. ini, dituntut untuk mengikuti
nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan
tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat
dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya
kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien.Situasi tersebut berakar pada
dasar- dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam
masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan
terhormat.
perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin
tinggi. Oleh ka rena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya
hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang - undangan (Soerjono Soekanto dan
Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah “setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan
upaya kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1
(3) yang dimaksud Tenaga kesehatan adalah “setiap orang yang mengabdikan diri daiam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Lain halnya menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1987 Tentang
disebutkan pada pasal 1, yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau
masyarakat. Dari pengertian Tenaga Kesehatan di atas perlu untuk diketahui katagori dari
tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 262/
1. Tenaga Medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokterran gigi dan pasca
sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Kategori ini
2. Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat kesehatan
3. Tenaga Paramedis Mon Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang
4. Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu pengetahuan yang
tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas, yaitu apoteker, pencatatan
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan
antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu menimbulkan
hak dan kewajiban yang timbal-balik. Hak tenaga kesehatan (dokter ataupun tenaga
kesehatan lain) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien menjadi kewajiban tenaga
kesehatan. Hubungan tenaga kesehatan dan pasien adalah hubungan dalam jasa
kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum
antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah apa yang dikenal sebagai perikatan
antara tenaga kesehatan, sebut saja (dokter) dengan pasien biasanya udalah perjanjian,
tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang. Apapun dasar dari
perikatan antara dokter dan pasien, selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang sama,
karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berlandaskan kepada apa yang di
kenal sebagai profesi dokter, yaitu pedoman dokter untuk menjalankan profesinya
dengan baik. Doktrin Hukum kesehatan menentukan ada dua bentuk perikatan, yaitu
Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah ikhtiar, yaitu upaya
semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, maka prestasi yang harus
diberikan berupa hasil tertentu. Menurut Hukum perdata, Hubungan dokter dan pasien
a. Berdasarkan Perjanjian
(Ius Contractu)
Disini terbentuk suatu kontrak teraupetik secara sukarela antara dokter dengan
tuntutan adalah tidak melakukan atau salah melakukan terhadap apa yang telah
diperjanjikan. Berdasarkan Hukum (Ius Delicto) Di sinilah berlaku prinsip barang
siapa menimbulkan kerugian pada orang lain, harus memberikan ganti rugi atas
tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua
Namun untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan
dirinya, yaitu bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu.
Mereka menghendaki suatu yang sama secara timbal-balik. Tidak dianggap sah jika
kesepakatan itu diberikan karena, (Subekti, R dan Tjitro Sudibyo, 1996) : · Salah
pengertian atau paksaan · Pemerasan atau paksaan · Adanya penipuan Dalam hal ini
apa yang tepat diberikan untuk menangani penyakit tersebut. Kepada pasien harus
penyakitnya agar timbul pengertian bagi pasien sehingga pasien untuk mengambil
keputusan. Setelah hal itu terpenuhi maka seorang pasien harus memberikan
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara dokter dan pasien. Orang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasamya orang yang
sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya serta mempunyai kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan
mereka sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan
semua orang kepada siapa siapa undang- undang telah melarang membuat
suatu perjanjian tertentu. Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat
c. Adanya suatu hal tertentu. Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak dan kewajiban-
kewajiban kedua belch pihak jika timbul suatu perselisihan. Terhadap hal atau
barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu yang sudah tentu jenis
atau halnya.
d. Adanya suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang dimaksud dalam perjanjian
adalah isi dari oerjanjian itu sendiri. Artinya perjanjian tersebut tidak boleh
suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat obyektif dalam
perjanjian sehingga bila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian itu dianggap
tidak pemah lahir sehingga tidak pemah ada akibat hukumnya. Dua syarat
memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif yang tercantum dalam pasal
3. Perjanjian yang yang telah disepakati itu harus dilaksanakan dengan baik,
jujur dan rela; d. Para pihak tidak saja terkait pada apa saja yang terancam
undang. Dalam transaksi teraupetik, kedua belah pihak secara umum terikat
oleh syarat tersebut diatas, dan bila transaksi itu sudah terjadi maka antara
kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
kemudian mengarah kepada suatu hubungan hukum, maka muncullah hak- hak dan
kewajiban dipihak pasien dengan tenaga kesehatan. Mengingat hak dan kewajiban dari
tenaga kesehatan sangat luas, maka penulis menyebutkan akan hak dan kewajiban dari
salah satu tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Untuk lebih jelasnya sejauhmana hak
dan kewajiban yang dimiliki masing- masing pihak, maka secara singkat penulis dapat
kemukakan; Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa secara profesional hak-hak tenaga
c. Hak untuk menolak melakukan yang menurut hati nuraninya tidak baik atau
tidak benar
g. Hak atas keterbukaan dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap
dirinya
h. Hak untuk memilih pasien. Seorang dokter itu juga mempunyai hak untuk
menentukan secara bebas tentang pasien yang ingin ia terima, walaupun hak
i. Seorang dokter juga mempunyai hak yang bersifat pribadi (mempunyai hak
j. Seorang dokter mempunyai hak atas adanya suatu fair play mengenai
berpegang pada fair play tersebut, maka sebaliknya, ia juga mengharapkan agar
medis” dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis dalam
suatu kasus kongkrif menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian pada
begiti perlu
proses penyakit.
2. Meringankan penderitaan
tersebut, dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang
terkecil.
kepentingan penderita”
masalah lainnya”
Dalam kontrak teraupetik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap
yaitu:
a. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri Hak ini baru mempunyai efek apabila
manusia sebagai individu mendapat kesempatan secara mandiri untuk dengan bebas
dan dengan tanggung jawab sendiri memutuskan apa yang menjadi tujuan
unsur pertanggung jawaban hanya Himiliki oleh mereka yang telah dewasa. Hak
untuk menentukan nasib sendiri dapat diartikan dalam dua hal, yaitu :
secara optimal bila tidak didampingi oleh hak atas atas informasi, karena keputusan
akhir mengenai penentuan nasibnya itu sendiri itu dapat diberikan apabila
segala untung dan ruginya apabila suatu keputusan tidak diambil. Hak pasien
1) Hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari
2) Hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak
informasi.
3) Hak atas rahasia kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam
Kewajiban dokter ini, menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu
4) Hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kerjasama antara dokter
pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil
pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini atas inisiatif dari pasien.
Dengan hak ini maka keuntungan lebih besar. Pertama, pasien tidak peril
tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan
6) Pasien juga memiliki hak konfidensialitas, yaitu yang menjamin didepan meja
hijau sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan
a) Pasien dalam hal ini mempunyai kewajiban yang paling penting adalah
b) Selain itu pasien harus dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan apabila
c) Pasien dalam hal ini juga harus mentaati aturan- aturin yang ada pada sarana
kesehatan.
pasien untuk sendiri, yakni untuk rahasianya yang wajib disimpan oleh
dokter.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis selalu berada
pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan. sehingga akibat
dari ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkar kerugian yang lebih
besar bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau masih awamnya pengetahuan
yang dimiliki pasien. Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup
merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau atau orang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama Yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap
kurang hati-hati menurut ukuran wajar. Karena, tidak melakukan apa yang seorang
dengan sikap hati-hati yang wajar akan melakukan, atau sebaliknya melakukan apa
yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar tidak akan melakukan ii dalam situasi
tersebut. Sedangkan kesalahan diartikan sebagai kelalaian berat, tidak waspada, sangat
tidak hati-hati. Kelalaian dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh dibawah standar
untuk ditentukan oleh hukum untukperlindungan orang lain terhadap resiko cidera yang
pekerjaan sesuai dengan standar profesi dan tidak sesuai prosedur tindakan medik,
dapat dikatakan telah melakukan kesalahan ataupun kelalaian. Hal ini tercantum pada
atau kelalaian dari pihak tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan
kelalaian tersebut. Dan dapat dibuktikan dengan adanya Medical Repout (Laporan
Tindakan Medik). Hukum pembuktian, pasal 1865 KUH Perdata menentukan ’’Setiap
orang yang mendalilkan bahwa mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
terhadap pasien, jika terjadi pelanggaran dalam pelayanan medis, dalam hal ini, ada
ketentuan yang mengatur. Yaitu sesuai dengan ketentuan UU Kesehatan (UU No. 23
Tahun 1992). Perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen juga diatur dalam
Peraturan Pemerintan RI No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, yaitu Pasal 23
yang berbunyi :
1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau
kelalaian
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
Dalam UU tersebut tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien
dalam hal ini juga merupakan konsumen. Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Butir (h)
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Dilihat dari
sudut tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tidak dapat diidentikkan dengan pelaku
seseorang terhadap orang lainnya diatur juga dalam KUH Perdata, yaitu Pasal
BAB III
PEMBAHASAN
sangat merugikan pihak pasien selaku konsumen. Dari kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan
dalam pelayanan medis kemungkinan beraampak sangat besar dari akibat ysng ditimbulkan,
apakah dari pasien mengalami ganguan-gangguan dari hasil yang dilakukan, atau bisa juga
menyebabkan cacat/kelumpuhan atau yang paling fatal meninggal dunia. Dan hal tersebut
tentu s aja sangat merugikan dari pihak pasien. Kerugian yang dialami pasien dapat diminta
ganti kerugian terhadap tenaga ksehatan yang melakukan kelalaian/kesalahan. Tetapi tidak
semua kerugian dapat dimintakan penggantian (Shidarta, 2000). Undang-Undang dalam hal
ini mengadakan pembatasan, denga menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira- kirakan
atau di duga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh dianggap sebagai suatu akibat
k.ngsung dari kelalaian si pelaku saja dapat dimintakan penggantian. Kalau terjadi perbuatan
dalam arti tidak perlu membayar ganti rugi kepada pasien.Kerugian yang dialami seseorang
1. Kerugian materiil, kerugian ini dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita
kehilangan kesenangan hidup. Jika melihat kasus yang terjadi tahun 2003 di Jalan
Buana Kubu (Rumah Bersalin) yang mana dari pihak pasien menuntut bidan, karena
menurut dari pihak pasien, bahwa dari kesalahan bidan menyebabkan bayi pertama
pasien meninggal dunia. Menurut Ibu Pudji, seorang tenaga kesehatan di RSUP
Sanglah, berpendapat; tenaga kesehatan (bidan) dalam hal ini sudah melakukan tugas
dengan baik, tetapi bidan juga kurang hati-hati, karena seharusnya bidan mengetahui
bahwa da i pihak pasien sangat memerlukan bantuan (keawaman pasien dalam bidang
kesehatan). Yang mana pada waktu perjalanan menuju ke rumah sakit, bidan seharunya
bisa memberikan petunjuk ataupun memberikan oksigen ataupun bantuan lain. Menurut
Ibu Astri di YLKI, berpendapat; tenaga kesehatan (bidan) yang merupakan public
namun bidan dalam hal ini melakukan kelalaian terhadap pihak pasien, karena pada
waktu menyuruh ke rumah sakit Sanglah, bidan tersebut tidak mendampingi langsung
pasien, melainkan dengan mengendarai kendaraan pribadi. Pasal 1365 KUH Perdata
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut. Begitu pula terhadap ketentuan Pasal 1366 KUH
Perdata yang menyebutkan “ setiap orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati -hatinya. Dilihat dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yang mana konsumen dapat menuntut haknya atas kerugian
yang diterima, yaitu dalam pasal 4 (h). UU No. 8 .Tahun 999 melindungi kepentingan
Seseorang yang merasa bahwa dirugikan oleh seseorang lain, dapat menuntut haknya atas
kerugian yang dialami terhadap yang berbuat. Begitu juga dalam pelayanan medis, seorang
konsumen (pasien) yang merasa dirugikan, berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas
kerugian yang dialami dalam pelayanan medis tersebut. Dari tuntutan yang dilakukan pasien
haruslah berdasar, dalam arti bahwa ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang dialami
memang benar dilakukan oleh yang bersangkutan (tenaga kesehatan). Seseorang dapat
2000). Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum dari tenaga kesehatan, dalam hal
terhadap pasien, dan menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kalangan
kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi kesehatan, mereka tidak
Pada dasamya pertanggung jawaban perdata bertujuan untuk memperoleh kompersasi atas
kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Dan biasanya yang menjadi sebab baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum,
merupakan dasar untuk menuntut tanggung jawab dari tenaga kesehatan. Yang dimaksud
dengan wanprestasi, yaitu keadaan tidak terpenuhinya suatu prestasi yang disebabkan
adanya kesalahan dari salah satu pihak di dalam suatu perjanjian. Kesalahan tersebut dapat
berwujud :
1. Kesengajaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki. Untuk
kepada orang lain. Cukup kiranya jika si pembuat walaupun mengetahui akan
terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Perbuatan wanprestasi dapat berupa:
profesinya dalam hal adanya kontrak teraupetik (pem ilihan atau peningkatan
kesehatan pasien) (Jusuf Hanafiah dan Amir Amri, 1999). Pada dasamya
tersebut. Bila kerugian yang diderita pasien didasarkan pada wanprestasi, maka
(tenaga kesehatan) atau suatu lembaga (rumah sakit) telah berjanji untuk,
Untuk memperoleh ganti rugi sebagai akibat dari wanprestasi, yang mana Pasal
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang di
dialami pasien, dalam hal ini juga dapat menuntut ganti rugi sesuai
pashn dapat menuntut tenaga kesehatan atas kerugian yang diterima. Hal
ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Inti dari pasal ini adalah ganti
tidak berbuat, yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan
kewajiban hukum itu sendiri atau kesusilaan, atau kepatutan dalam
masyarakat, baik terhadap diri sendiri atau benda orang lain. Ini berarti
3. Bertentangan-dengan kesusilaan
(2) Kesalahan/kelalaian
(3). Kerugian
masyarakat tersebut.
Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga
kesehatan bekerja. Rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat
dikelornpokkan menjadi: - pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan reliabilitatif - pendidikan dan latihan tenaga medis -
penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran Pertanggung jawaban hukum rumah sakit,
dalam hal ini badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang teijadi, bisa
secara :
(1) Langsung sebagai pihak, pada suatu peijanjian bila ada wanprestasi, atau
(2) Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
pumawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit
mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu ada pendapat yang
dan pengobatan, bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability dimana secara resmi terhadap pasien
yang di rawat, RS bertanggung jawab atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari
pelayanan yang, diberikan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan di
rumah sakit bersangkutan, selain tenaga kesehatan yang melakukan tindakan, rumah
sakit dalam hal ini juga bertanggung jawab atas bawahannya. Sanksi yang dijauhkan
kepada tenaga kesehata yang melakukan kesalahan ataupun kelalaian dapat berupa;
nasehat- nasehat dan anjuran, teguran-teguran keras, usul pencabutan ijin praktek, usul
pemindahan ke tempat lain. Terhadap tenaga PNS yang bekerja di Rumah sakit yang
sedangkan terhadap tenaga swasta biasanya sanksi yang diberikan berupa diberhentikan
sementara dari tugasnya atau dipecat. Doktrin Vicarious Liability Let The Master
karyawannya. Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut
doktrin Captain Of The Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan operasi
di rumah sakit. Dokter bedah tersebut, dalam hal ini tidak bekerja dalam kaitan
langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau dokter karyawan
untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab atas kesalahan
stafnya termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut yang merupakan
karyawan RS dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung jawab itu beralih kepada si
pemakai yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut harus rremastikan dulu apakah
dokter bedah itu bertnaggung jawab atas doktrin Majikan-Karyawan dan apakah dokter
itu mengawasi dan memberikan segala instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu
terjadi. Khusus meagenai dokter anestesi, dokter bedah tidak bertanggung jawab
terhadap tindakannya yang pada umumnya sudah dianggap bertanggung jawab penuh
sendiri atas segala tindakannya. Biasanya di dalam kamar induksi Captain Of The
D. Analisis Kasus
1. Kasus
No. Perkara : 28 / Pdt.G/2003/ PN. DPS Penggugat : Juli Christina (31 tahun), Kristen,
Wiraswasta, Alamat; JL Buana Kubu Gg Asem XIV B/3 Dps. Penggugat ; Bambang
Santoso (28 tahun), Wiraswata, Alamat sama. Selanjutnya disebul Penggugat I dan
Penggugat II melawan; Tergugat : I Gusti Ayu - Suniti; Bidan pada Rumah Bersalin
Ikatan Bidan Bali, Jl. Buana Kubu No; 51 Dps, selanjutnya disebut tergugat I I Gusti Rai
Widiasih : Pimpinan Runah Bersalin Ikatan Bali, Jl. Buana Kubu No. 51 Dps, selanjutnya
disebut tergugat II Ni Wayan Suri, SKm : Ketua Yayasan Buah Delima, Jl. Buana Kubu
No. 51 Dps, selanjutnya disebut tergugat III Kasus Posisi: Bahwa Penggugat I dan 2
adalah suami istri. Dari hasil perkawinan tersebut penggugat I mulai mengandung anak
pertama. Dari pemeriksaan di Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali tersebut, selalu
dinyatakan kandungan penggugat I dalam keadaan normal dan kondisi bayi serta Ibu
sehat- sehat, tidak ada kelainan apapun. Dari pemeriksaan itu juga diawasi oleh dokter
Made Suyasa Jaya, Sp OG. Pada tanggal 11 Agustus 2002, jam 20.00 wita, perut
penggugat I terasa sakit ( gejala mau melahirkan), kemudian diajak oleh penggugat II ke
RB Ikatan Bidan Bali untuk melakukan persalinan.Dan pada jam 21.00 wita, Bidan I
Gusti Ayu Suniti (tergugat I) mulai memeriksa kandungan penggugat 11, dan
memberikan petunjuk kepada penggugat I mengenai cara bemafas saat mau melahirkan ;
Tergugat I juga melakukan pemeriksaan detak jantung bayi dalam kandungan. Paca jam
21.30 wita terjadi kecelakaan lalu-lintas di depan RB tersebut, kemudian tergugat I keluar
dari ruangan dan meninggalkan pengugat I dan I. Pada jam 22.15 wita, tergugat baru lagi
Dan saat ketuban penggugat I telah dipecahkan. oleh tergugat I, seketika itu tergugat I
tampak kaget, panik serta kebingungan. Setelah itu tergugat I langsung menyuruh
kendaraan Mobil Bix milik penggugat II tanpa ditemani tergugat I. Pada jam 22.45
penggugat I dan II sampai di RSUP Sanglah, langsung dibawa ke IRD RSUP Sanglah
Dps. Tergugat I tiba di RSUP Sanglah pada jam 22.55 dengan mengendarai mobil
sendiri. Pada saat itu penggugat I sedang ditangani oleh tim medis RSUP Sanglah, dan
tanggal 11 Agustus 2002 jam 23.10 wita, penggugat I melahirkan, namun bayi tersebut
lahir dalam keadaan meninggal. Bahwa sesuai dengan keterangan pihak RSUP Sangah
tanggal 30 agustus 2002, penyebab kematian bayi adalah Prolaps Tali Pusat dan
kematian sudah dalam kandungan. Karena akibat tidak seriusnya dan tidak hati-hatinya
yang dimiliki oleh RB tersebut, sehingga dari perbuatan itu telah mengakibatkan
meninggalnya bayi pertama dan satu-saturiya dari penggugat I dan penggugat II.
Tergugat II adalah pimpinan dari Rumah Bersalin tersebut di atas, bertanggung jawab
penuh atas aktifitas dari RB tersebut, mengawasi semua staf yang ada di rumah bersalin,
termasuk terhadap tindakan yang dilakukan tergugat I. Bahwa tergugat III adalah
pimpinan Yayasan Buah Delima yang memiliki Rumah beralin tersebut. Sebagai ketua
yayasan, tergugat III bertanggung jawab pula terhadap keberadaan dari rumah bersalin,
termasuk terhadap pimpinan rumah bersalin tersebut yaitu tergugat II. Sesuai dengan UU
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan serta pasal 1365 dan pasal 136j6 KUH Perdata. Perbuatan Tergugat I,
II, III adalah perbuatan melawan hukum, maka para penggugat berhak menuntut ganti
rugi kepada tergugat I, II, III. Adapun tuntutan ganti rugi dari penggugat yaitu: - Ganti
Rugi Materiil ; biaya pemeriksaan kandungan, susu untuk ibu, obat- obatan, biaya
ambulan, sewa tempat, biaya pemakaman, biaya lain-lain. Kerugian materiil seluruhnya
sebesar Rp. 23.035.000 ( dua puluh juta tiga pulu lima ribu rupiah). - Ganti Rugi Moril ;
sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miyar rupiah) mengingat betapa besar rasa duka, sedih
kecewa akibat meninggalnya bayi pertama yang sangat di dambakan oleh penggugat.
pengugat seluruhnya, 2. menyatakan sah dan berharaga sita jaminan dalam perkara ini, 3.
menyatakan perbuatan para tergugat dalam perkara ini adalah sebagai perbuatan melawan
hukum, 4. menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti
kerugian kepada para pengguagt berupa kerugia materi sebesar 23.035.000 (dua puluh
tiga juta tiga puluh lima ribu rupiah) yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus, 5.
menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat secara tanggung
renteng akibat kerugian moril yang dinilai dengan uang berjumlah 1.000.000.000 (satu
miliyar rupiah) atau sejumlah yang dianggap pantas dan adil menurut hukum yang harus
dibayar secara seketika dan sekaligus, 6. menghukum para tergugat membayar biaya
perkara, atau mohon keputusan yang seadil-adilnya; Putusan Hakim: Dengan melihat
bukti baik yang diajukan oleh para penggugat dan mendengarkan keterangan dari para
saksi maupun dari keterangan para tergugat, serta dengan beberapa pertimbangan hakim
para penggugat seluruhnya, - menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara
yang berjumlah Rp 309.000,- (tiga ratus sembilan ribu rupiah); Demikianlah dipiraiskan
dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari; selasa 27 Mei 2003, oleh; I
Wayan Sugawa, SH sebagai Ketua Majelis, I Gusti Lanang Dauh, SH dan Arifin,SH
Denpasar tanggal 06 Pebruari 2003 No. 28/ Pdt/ G/ 2003/ PN. Dps putusan mana
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umuin pada hari ini juga oleh Ketua Majelis
dan hakim-hakim anggota tersebut dengan dibantu oleh Ni Ketut Sri Menawati, SH
Panitera pengganti serta dihadiri pula oleh kuasa para penggugat dan para tergugat.
2. Analisa Kasus
Pelayanan Medis dari kasus di atas. Dilihat dari ketentuan pasal 54 (2) UU No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan menyatakan; penentuan ada tidaknya kesalahan atau sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dan di
dalam penjelasannya pasal tersebut maksud dari ayat (2) adalah untuk memberikan
perlindungan yang seimbang dan obyektif baik kepada tenaga kesehatan maupun pihak
penerima pelayanan kesehatan. Peitimbangan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian atas
penerapan standar profesi dilakukan oleh suatu Majelis. Majelis ini tidak hanya terdiri
dari tenaga kesehatan saja, tetapi juga tenaga bidang lain yang berkaitan seperti ahli
hukum, ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli agama. Berdasarkan pasal 55 ayat (1) UU
No.23 Tahun 1992 berbunyi; Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan
kepada setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Dari kasus di atas, berdasarkan surat-surat
bukti dan keterangan saksi penggugat I dan tergugat, bayi dari penggugat I dan II lahir di
RS Sanglah dalam keadaan mati yang disebabkan oleh Prolaps Tali Pusar. Penulis
berpendapat, bahwa bidan (tergugat I) telah melakukan pertolongan dengan baik, dari
pemeriksaan, maupun pemberian petunjuk saat mau melahirkan. Tetapi pada waktu
Jika melihat kondisi dari penggugat I sudah mau melahirkan, seharusnya bidan ada dan
pasien.
BAB IV
A. Kesimpulan
Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam bab dimuka, maka dapat diambil suatu
1. Perlindungan hukum terhadap pasien ada, hal ini diatur di dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun
2. Pihak pasien, dapat menuntut ganti rugi terhadap kesalahan kelalaian tenaga medis, yang
didasarkan ketentuan Pasal 1365 - 1366 KUH Perdata, Pasal 55 dari Undang-Undang No.
23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Pasal 23 dari Peraturan Pemerintah Republik
3. Mengenai siape yang haras bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yaitu rumah sakit
tidak selalu bertanggung jawab jika terjadi kesakhan dari tenaga kesehatan di Rumah Sakit
bersangkutan,,karena dari tenaga kesehatan sendiri ada yang langsung bertarigung jawab
B. Saran
Hendaknya perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung jawab
tenaga kesehatan haruslah diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Pengaturan khusus iri
diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan. Dari pihak pasien
sendiri jika merasa tidak puas terhadap tindakan tenaga kesehatan, janganlah mengambil
kesimpulan dan mengganggap kesalahan selalu berada pada pihak tenaga kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Malpraktek Medik.
Pokok-PokokHukum Perikatan.
, Intermasa, Jakarta.