Anda di halaman 1dari 15

ASPEK LEGAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Oleh:
Dita Lestari (20170303001)
Kania Sephia Putri (20170303002)
Kezia Irene Joseph (20170303028)
Maria Magdalena (20190303051)
Niara Aisyah Maharani (20170303009)
Novi Widhiyanti (20170303008)

Dosen Pembimbing :
Ns.Yuliati, SKp., MM.,M.Kep

Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan


Jurusan Keperawatan
Universitas Esa unggul
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
karena tanpa kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua
aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
semakin meningkat. Dengan semakin meningkatknya kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya kesehatan, maka semakin meningkat pula kesadaran masyarakat terhadap
hak-haknya dalam pelayanan kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal dan etik
muncul ketika perawatan menjadi sesuatu hal yang bisa ditawar. Kemudian pada
akhirnya menyebabkan seorang pemberi kesehatan berada dalam pengawasan yang
semakin ketat (Potter & Perry, 2005). Oleh karena itu, perawat harus senantiasa
memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, efektif, efiisen, dan juga aman. Jika
hal tersebut diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan
mengambil langkah hukum untuk menghadapinya.
Berdasarkan survey yang dilakukan di dua belas RS di Afrika Selatan kepada
171 orang perawat kritis dengan cara menyebarkan kuesioner untuk mengukur
pengetahuan perawat kritis terkait isu legal didapatkan hasil rata-rata persentase
pengetahuan perawat kritis sebesar 38,45% dimana indikator/standar kompetensi
tersebut adalah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa level pengetahuan perawat kritis
terkait isu legal liability di lingkungan keperawatan kritis masih di bawah standar
(Hyde, 2006)
Menurut Morton & Fontaine (2009), kepekaan dan kesadaran hukum
masyarakat yang telah semakin meningkat saat ini dibanding sebelumnya menjadikan
isu legal yang melibatkan perawatan kritis merupakan masalah yang semakin banyak
muncul. Seseorang klien memiliki hak legal dalam menerima pelayanan kesehatan
yang aman dan kompeten.. Hak legal adalah segala hak seseorang yang diakui secara
hukum . Pada saat ini jumlah tuntutan malpraktik yang menyebut dan melibatkan
perawat semakin banyak terjadi.

B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Legal
Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak
dan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan yang keterkaitan
dengan legal formal dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis.
Keterkaitan dengan kebijakan yang memberikan jaminan hukum terhadap pelayanan
keperawatan kritis, seperti: UU Kes, PERMENKES dan peraturan lainnya.

2. Maksud dan Tujuan


a. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang
sesuai dengan hukum
b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri
d. Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan
posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat berwenang
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.

3. Penerapan legal dalam area kritis


Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu
Surat Tanda Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.
Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun
memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan
yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang.
Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang
tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui.

Fungsi Hukum dalam Praktik Perawat

- Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai


dengan hukum
- Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
- Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
- Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.

Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan pasal 15 dan 16

- Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,


perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi.
- Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter

Dalam melaksanakan kewenangan perawat berhak dan berkewajiban untuk :


Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak :
a. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
b. Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
c. Menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
d. Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
e. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.

Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban:


a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
c. Merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain
yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
d. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
e. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan
batas kewenangannya;
f. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan kompetensi Perawat; dan
g. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Larangan
Perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam izin dan melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi

Sanksi
Sesuai dengan kebijakan pimpinan rumah sakit

Tinjauan Terhadap Area Utama Hukum


Menurut Morton & Fontaine (2009) terdapat tiga area hukum yang mempengaruhi praktik
perawat perawatan kritis, yaitu hukum adminstrasi, hukum sipil, dan hukum pidana.

a. Hukum Adminstrasi
Hukum adminstrasi merupakan suatu konsekuensi hukum dan regulasi negara bagian
dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di negara bagian terdapat suatu
badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek perawat. Dalam tiap
akta tersebut, praktik keperawatan didefinisikan, dan kekuasaannya didelegasikan
pada lembaga negara bagian biasanya disebut dengan State Board of Nursing.
Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang mengatur mengenai bagaimana
penafsiran dan implementasi dari akta praktek perawat seharusnya.
b. Hukum Sipil
Hukum sipil merupakan area kedua hukum yang mempengaruhi praktik keperawatan.
Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian, membentuk landasan dari
sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat.
c. Hukum Pidana
Area ketiga hukum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hukum pidana.
Berbeda dengan hukum sipil, dimana individu yang satteru menuntut individu yang
lain, hukum pidana terdiri atas kasus tuntutan hukum yang diajukan oleh negara
bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap perawat. Dalam hal ini yang
termasuk kasus pidana adalah penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat
kelalaian, dan pembunuhan murni.

Di Indonesia pengaturan sanksi pidana secara umum diatur dalam beberapa pasal pada KUH
Pidana dan pengaturan secara khusus dapat dijumpai pada pasal 190-200 UU Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Oleh sebab itu, undang-undang kesehatan memungkinkan
diajukannya tuntutan kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan. Tuntutan itu dapat berupa gugatan untuk
membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya. Adapun dasar peraturan yang terdapat
dalam Undang-Undang tentang kesehatan yaitu Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi. Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Menurut Hendrik (2011) Pemberian hak atau ganti rugi merupakan suatu upaya untuk
memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun
nonfisik kalau kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Selain tuntutan ganti kerugian
dalam perkara perdata dimungkinkan pula diajukan tuntutan dalam perkara pidana apabila
diduga tenaga kesehatan melakukan malpraktik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa contoh praktik medis pada masing-masing bidang
hukum di Indonesia :
A. Hukum pidana
a. Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
b. Melakukan kealpaan sehingga menyebabkan kematian/luka (pasal 359, 360, 361
KUHP)
c. Pelanggaran kesopanan (Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)
d. Pengguguran ( pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)
e. Rahasia jabatan bocor (pasal 322 KUHP)
f. Sengaja membiarkan penderita tak tertolong (pasal 340 KUHP)
g. Tidak memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya maut (pasl
531 KUHP)
B. Hukum Perdata
a. Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUH Perdata)
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH Perdata)
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUH
Perdata)
d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 (3) KUH Perdata)
C. Hukum Adminstratif
a. Praktik tanpa izin

Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau
sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:

a. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
d. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”

Kewajiban (Duty)
Menurut Morton& Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal antara dua
pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam situasi. Pada ranah
keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya hubungan kontrak antara pasien dan
fasilitas perawatan kesehatan. Dimana pasien sepakat untuk membayar layanan perawatan
kesehatan, sedangkan perawat wajib memberikan perawatan pada pasien sebagaimana
mestinya.
Seorang perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam merawat
pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan perawatan
sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut dianggap melakukan
pelanggaran pada kewajibannya.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian dari
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan melakukan suatu
kelalaian.
Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang
perawat kritis :
a. Assessment Failure
Adapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji
maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti tanda-tanda
vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.

Contoh Kasus :
Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan chest tube
pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan monitoring pasien dari
pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan pengecekan kembali pada pukul
03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien mengalami penurunan kesadaran,
oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam keadaan jelek. Kemudian klien
mengalami henti nafas dan henti jantung, dan kemudian segera dilakukan resusitasi
pada pasien. Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkan

b. Planning Failure
Adapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan
perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan
diagnosa yang tepat.

c. Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang
terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang tepat
terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap hasil-hasil
pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang diberikan,
serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.
Contoh kasus :
Kegagalan dalam Melakukan Tindakan yang Tepat :
Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya segera di
bawa ke rumah sakit. Sesampainya di UGD pasien diberikan penanganan pertama
seperti memberikan obat anti kejang dan memastikan jalan nafas bersih, kemudian
sang perawat meninggalkan pasien tanpa memasang side rail. Tiba-tiba pasien
mengalami kejang berulang, suaminya berusaha untuk menolong dengan
memeganginya, namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur yang mengakibatkan
fraktur pada tulang bagian wajahnya.

d. Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan dalam
melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan
dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai seorang advokat.
Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada
pasien.

Pelanggaran Kewajiban (Breach of Duty)


Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara konsisten sesuai standar
perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton & Fontaine (2009), kelalaian terbukti benar atau
salah dengan membandingkan perilaku perawat dengan standar perawatan. Pada umumnya,
kelalaian dapat berupa kelalaian biasa atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan
kecerobohan profesional, sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa perawat tersebut
secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang telah diketahui pasien.

Penyebab (Cause)
Menurut Morton & Fontaine (2012), hukum malpraktik juga mencantumkan keharusan
adanya hubungan kausal antara perilaku perawat perawatan kritis dan cedera yang terjadi
pada pasien. Cedera yang diderita pasien tersebut semestinya harus dapat dicegah.

Cedera (Damage)
Elemen keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau sesuatu yang
membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani perawatan dan biasannya cedera
yang didapatkan ini, dihitung sebagai kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan standar perawatan sehingga
menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh karena itu, pasien berhak menerima
kompensasi yang sesuai.

Standar Praktek Keperawatan Akut dan Kritis


Adapun standar praktik keperawatan akut dan kritis menurut ANA (2004), yaitu :
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Identifikasi Hasil
d. Perencanaan
e. Implementasi
f. Evaluasi

Malpraktek
Menurut Guwandi (2004) malpraktik mempunyai arti lebih luas dibandingkan dengan
kelalaian, karena dalam melpraktik selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian juga ada
tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan dan melanggar undang-undang.
Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang
termasuk dalam criminal malpractice.
Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik dan kelalaian dapat
dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut, yaitu :
a. Pada malpraktik (dalam arti sempit) – tindakan yang dilakukannya secara sadar,
dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak
tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya melanggar
undang-undang.
b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya.
Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif dari
petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.
Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medik dapat
didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH Pidana yang relevan dengan unsur tindak pidana
yang dilakukannya. Dengan demikian tindakan malpraktik tenaga kesehatan dapat dikenakan
selain sanksi adminstratif seperti pencabutan izin dan sanksi perdata, dapat pula dikenakan
sanksi pidana.
Namun, ketika perawat digugat untuk suatu kelalaian dikarenakan dianggap
”mencederai” pasien pada saat melaksanakan tugasnya, penggugat/pasien tidak bisa dengan
serta merta meminta ganti rugi terkait injury tersebut terkecuali jika perawat memang
mengakui bahwa ia melakukan malpraktik yang menyebabkan pasien cedera.
Menurut Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus dibuktikan oleh
penggugat/pasien. Dengan kata lain, penggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan
bahawa pernyataannya adalah benar. Adapun elemen-elemen yang harus dibuktikan oleh
penggugat/pasien yaitu :
1. Penggugat harus menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban terhadap
penggugat
2. Jika penggugat mampu menunjukkan kewajiban dari perawat tersebut, penggugat
harus mampu menggambarkan standar perawatan
3. Jika penggugat mampu menggambarkan standar perawatan, penggugat harus mampu
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dari standar perawatan tersebut
4. Meskipun pelanggaran mampu ditunjukkanm penggugat harus mampu membuktikan
bahwa pelanggaran ini menyebabkan cedera pada penggugat
5. Ketika penggugat membuktikan bahwa pelanggaran menyebabkan cedera, penggugat
harus mampu membuktikan bahwa timbul berbagai macam kerugian dikarenakan
pelanggaran dari kewajiban tersebut.
Jika pengugat tidak mampu membuktikan setiap elemen satu persatu, maka ini akan
menjadi hal yang sulit bagi penggugat untuk membuktikan kebenaran kasusnya.

Informed Consent (Persetujuan Tindakan)


Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal
yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan valid jika memenuhi tiga
elemen yaitu : pasien harus kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan
informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan pasien pada saat
pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).
Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan
kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu
berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas.
Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak diperlukan.
Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan persetujuan tindakan dan pasien
dapat melepaskan haknya untuk memberikan persetujuan tindakan dengan menyatakan ia
tidak menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur (Morton, 2009).
Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien untuk memberikan
informed consent merupakan isu yang terpisah. Sebuah hasil survei yang cukup unik
dilakukan pada Swedish Acute Coronary Trialist mengenai pendapat tentang kompetensi
pasien gawat darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa pasien SKA tidak
akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan tentang informed consent itu
sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir bahwa jumlah informasi yang biasanya mereka
berikan kepada pasien sudah cukup banyak. Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang
banyak dipikirkan dan dirasakan oleh physicians lainnya diluaran sana khususnya dalam
memberikan informed consent : seperti halnya pasien yang berkurang kompetensinya, bahkan
yang lebih parah lagi kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent
ini. Jadi poin yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa defisit dari kompetensi
seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi dengan pemeriksaan medis rutin.
Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau keluarga adalah
tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta untuk menyaksikan penandatanganan
formulir persetujuan tersebut. Pada kasus ini perawat bersaksi bahwa tanda tangan pada
formulir persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien atau keluarga. ketika perawat
menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi yang direncanakan, resiko,
manfaat, dan kemungkin akibat perawat dapat memberikan catatan pada formulir persetujuan
tersebut atau pada catatan perawat yang menyebutkan “prosedur disaksikan” (Morton, 2009).

Wrongful Death
Menurut Urden (2010), wrongful death merupakan kematian pasien yang disebabkan
oleh kelalaian dari petugas kesehatan profesional ataupun dari organisasi rumah sakit
tersebut.
Contoh Kasus :
Tn. B, 67 tahun, datang ke rumah sakit dengan COPD stadium akhir, hipoksemia, dan retensi
karbondioksida dan memakai bantuan oksigen menggunakan nasal kanul. Keadaan Umum
Tn.B sudah sangat buruk. Perawat M datang dan kemudian langsung melepaskan oksigen
pasien dan mulai memindahkan pasien ke ruangan sebelah yang jaraknya tidak terlalu jauh
dari ruangannya yang sekarang. Keluarga meminta agar oksigen tetap dipasang, tapi Perawat
M mengatakan bahwa ruangannya sangat dekat. Setelah pasien dipindahkan ke bed di
ruangan yang baru tersebut, pasien didapati berhenti bernapas.
Dari kasus diatas menunjukkan kelalaian perawat karena melakukan pemindahan
pasien tanpa memasang oksigen dimana perawat tersebut tampak mengabaikan keadaan
umum pasien dan hal yang sangat mendasar dari kebutuhan dasar manusia yaitu oksigenasi.
Oleh karena itu, untuk menghindari liabilitas wrongful death, penting sekali bagi
perawat untuk memperhatikan keadaaan akut dan kritis dari pasien, mengenali tanda dan
gejala dari komplikasi ataupun sesuatu yang membahayakan pasien, dan kewenangan untuk
melindungi pasien (Urden, 2010).

Liabilitas Pengganti
Menurut Morton & Fontaine (2009), pada beberapa kasus seseorang atau lembaga
dapat dianggap bertanggung jawab terhadap tuduhan orang lain atau lembaga lain. Hal ini
disebut sebagai liabilitas pengganti. Dibawah ini merupakan berbagai tipe liabilitas :
1. Respondeat Superior
Doktrin ini merupakan teori legal utama yang menyatakan bahwa rumah sakit
bertanggung jawab terhadap kelalaiannya, hal ini berdasarkan filosofi dikarenakan
rumah sakit biasanya mendapatkan keuntungan dari pasien yang mencari perawatan,
apabila terjadi kelalaian rumah sakit harus membayar beberapa kerugian yang
ditimbulkan oleh pegawai tersebut.
2. Liabilitas Perusahaan
Liabilitas perusahaan berlaku pada saat rumah sakit dianggap bertanggung jawab
terhadap tindakan yang tidak semestinya. Sebagai contoh, apabila ditemukan sebuah
unit sangat tidak memadai keadaan stafnya sehingga menimbulkan pasien cedera,
rumah sakit dianggap bertanggung jawab. Liabilitas perusahaan dapat juga terjadi
pada situasi yang mengambang, seorang perawat yang bekerja di tatanan perawatan
kritis harus memiliki kompetensi untuk melakukan penilaian segera dan bertindak
pada keputusan tersebut. Apabila ada seorang perawat yang tidak mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di ruang perawatan kritis dengan baik, maka biasanya
akan dilakukan rotasi.
3. Kelalaian Pengawasa
Kelalaian pengawasan diklaim saat seorang penyelia gagal mengawasi bawahannya.
Sebagai contoh, jika ada seorang perawat yang baru di rotasi ke ruang perawatan
kritis dan oleh kepala ruangan diperintah untuk melakukan tindakan keperawatan dan
pada akhirnya menimbulkan cedera pada pasien. Maka yang bertanggung jawab disini
adalah kepala ruangan tersebut karena kelalaian pengawasan.
4. Doktrin Nahkoda
Pada suatu waktu dokter dianggap sebagai nahkoda. Jadi perawat cenderung
mengikuti instruksi dari dokter. Namun, konsep ini telah diganti dengan konsep legal
yang disbut aturan liability personal, yaitu dilandasi dengan pendidikan, pengalaman,
dan latihan diharapkan perawat dapat mengambil keputusan yang baik. Jadi, ketika
mereka tidak yakin dengan kebenaran instruksi dokter, perawat dapat melakukan
klarifikasi pada dokter tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan

Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive,
and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73

Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding Legal
Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of Pretoria

Anda mungkin juga menyukai