Disusun oleh:
Maengkom, Kent S
Senduk, Offrielia
Felize Christofel
1. Pengertian legal
Aspek legal keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Tanda
Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.
Kewenangan itu , hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun
memiliki Kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang
didapat secara Berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang.
Kompotensi dalam keperawatan juga berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang
tertentu yang memiliki tingkat minimal yang dilampaui.
Dalam profesi keperawatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
dapartemen kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran.
Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan
tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.
1) Kewajiban
2) Hak-hak Perawat
Aspek Etik
1. Pengertian Etik
Etik adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa yang benar atau
apa yang paling tepat, memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar atau salah dan tindakan apa yang akan
apa yang harus dilakukan perawat terhadap kliennya dalam memberikan pelayanan
keperawatan kritis.
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut (kozier, Erb. 1990):
a. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan anggota
melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat yang
profesional.
3. Penerapan pengetahuan etik di area critical care Terdapat delapan asas etik dalam
keperawatan yaitu
a. Autonomi (otonomy)
Yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya, dalam hal ini
pasien atau keluarga terdekat. Dengan mengikuti prinsip autonomi berarti menghargai
holistik.
Yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien, setiap tindakan
medis dan keperawatan tidak boleh memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan
yang dilakukan tidak menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti
disengaja
Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis dan
keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan yang baik
yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien dan keluarga
Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil, dokter dan perawat
harus menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan tindakan kepada pasien.
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran,
tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “informed
concent” yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua informasi yang
g. Confidenciality ( kerahasiahan )
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua informasi tentang
yang diberikan kepada tenaga profesional kesehatan akan dihargai dan tidak
disampaikan/ diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami
bahwa berbagi informasi tentang pasien/klien dengan anggota kesehatan lain yang
ikut merawat pasien tersebut bukan merupakan pembeberan rahasia selama informasi
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah konsekwensi bahaya,
apakah tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan
petugas dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status
sosialnya, tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.
integritas diri. Dilema moral masih mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi
ternyata bertentangan dengan dengan beneficence atau non maleficence, atau bisa saja
bersamaan sepeti “ Rule of Double Effect ( RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk
Contoh: pemberian morphin sulfat untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang terjadi
pada pasien penderita cancer stadium akhir yang beresiko akan memberikan efek
Dalam keadaan RDE biasanya dikenal 4 elemen yang harus dipenuhi yaitu:
2. Niat tindakan adalah untuk tujuan baik, dampak buruk boleh saja telah dapat
Informed consent
A. Pengertian
Informed Consent merupakan proses komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien tentang
kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter atau perawat selaku tenaga medis
terhadap pasien yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan formulir Informed Consent
secara tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada
tubuhnya serta tugas utama tenaga kesehatan dalam melakukan upaya penyembuhan pasien.
Tujuan pemberian informasi secara lengkap mengenai penyakit serta tindakan medis yang
akan dilakukan adalah agar pasien bisa menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan
pilihannya sendiri. Pengetahuan dan faktor pendidikan juga mempengaruhi pemahaman pasien.
Hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan pengetahuan yang dimiliki dokter dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh pihak pasien. Bentuk persetujuan pasien untuk dilakukannya
pasien juga dipengaruhi komunikasi antara tenaga medis dan pasien. Bentuk komunikasi sendiri
terdiri dari 2 jenis persetujuan, yaitu langsung dan tidak langsung. Persetujuan langsung dapat
berbentuk persetujuan lisan maupun tulisan. Biasanya, semakin invasif (pelibatan
operasi/memasukkan suatu peralatan ke dalam tubuh pasien) dan atau semakin besar potensi
resiko terhadap pasien maka semakin besar pula kebutuhan terhadap persetujuan tertulis.
Persetujuan tidak langsung terjadi apabila ada interaksi nonverbal yang menunjukkan
persetujuan tindakan kesehatan. Persetujuan ini disebut Implied Consent atau Persetujuan
Tersirat, Dalam kondisi darurat: pasien tak mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat
(Permenkes 585/1989, Pasal 11) Presumed consent. Contohnya klien yang memposisikan
badannya untuk disuntik dan atau mengisyaratkan persetujuan tidak langsung untuk
dilakukannya pemeriksaan fisik atau organ-organ vital, dengan kata lain gestur badan yaitu
komunikasi nonverbal antara tenaga kesehatan dan pasien adalah persetujuan tidak langsung.
Perseujuan tidak langsung juga dapat terjadi apabila kondisi fisik individu tidak memungkinkan
untuk mengungkapkan atau mengambil keputusan adanya tindakan atau tidak, kondisi seperti ini
sering terjadi dalam kondisi kegawatdaruratan.
Informed consent untuk terapi medis dan pembedahan adalah tanggungjawab tenaga
prosedural seperti dokter, termasuk perawat praktisi atau perawat non praktisi, perawat anestesi,
perawat bidan dan perawat yang melakukan asuhan keperawatan. Menjaga tetap adanya
komunikasi dua arah antara pasien dan tenaga medis adalah yang terpentig, penejalasan
prosedural, memastikan pemahaman pasien dan mendapat persetujuan atau izin pasien juga harus
diperhatikan.
3. Manfaat yang diharapkan dan kerugian kemungkinan alternatif terapi (bila tidak dilakukan
tindakan)
1. Threshold elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan
sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi
membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sehingga pengambilan consent terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman).
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
a. Dinyatakan (expressed)
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada
tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna.
Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif
harus memperoleh persetujuan tertulis.
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti,
namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya
adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan
diambil darahnya.
c. Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan pasien itu sendiri, dengan syarat
bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus
mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien (bukan baik untuk orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang
tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
6. Menyertakan publik.
C. Keluhan
2. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya – jawab.
3. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
D. Landasan Hukum
PerMenKes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989 persetujuan tindakan medik/ informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut. Tindakan terhadap pasien
berupa diagnostik dan terapeutik.
Persetujuan
a. Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapatkan persetujuan.
b. Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.
c. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
risiko yang ditimbulkannya.
d. Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
e. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
3. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
E. Pembatalan
Pembatalan apabila syarat subyektif tidak terpenuhi mengakibatkan suatu perjanjian tidak sah
secara hukum. Perjanjian akan menjadi batal apabila salah satu pihak memohon pembatalan.
1. Tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien
2. Sebaiknya pihak RS/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap
anjuran tindakan medik tsb di lembaran khusus
G. Saran
2. Diperlukan pembaharuan dalam ketentuan Informed consent yang lebih berpihak pada
pasien.
Pasien tidak boleh merasa terpaksa atau merasa dipaksa agar dapat memberikan keputusan
persetujuan (informed consent) secara sukarela. Perasaan takut penolakan terhadap profesional
sering membuat pasien merasa sungkan dan atau terpaksa dalam memberikan persetujuan;
persetujuan semacam ini bukanlah persetujuan sukarela. Pemaksaan akan membuat keputusan
tidak valid dan tidak sesuai prosedur untuk pemenuhan pengambilan persetujuan.
Pasien harus mengerti prosedur dan tindakan yang dijelaskan. Istilah yang terlalu mendalam
atau bahasa yang jarang didengar awam akan menghambat pemahaman. Jika pasien tidak dapat
membaca maka tenaga medis harus membacakan dan dalam kondisi demikian pasien harus tetap
memahami formulir informed consent sebelum menandatanganinya. Kecakapan disini adalah
tanggapan yang dapat dijadikan landasan untuk menentukan persetujuan dan memutuskan
tindakan; ditolak atau menerima. Jika sudah diberi penjelasan, orang dewasa yang cakap dapat
mengambil keputusan mandiri terkait kesehatan. Penentuan usia orang dewasa disini biasanya
lebih dari 18 tahun dan sadar secara orientasi. Pasien yang bingung, diorientasi atau sedasi
dianggap tidak cakap untuk pengambilan keputusan.
Pada awal mulanya informed consent ditulis dengan mempertimbangkan tatanan perawatan
akut. Namun, dalam perkembangannya ternyata informed consent juga dirasa penting dalam
memberikan asuhan keperawatan dan atau tindakan medis lainnya. Informasi yang cukup tentang
penjelasan informed consent dan informasi prosedural yang memadai akan membuat
pengambilan keputusan akan tepat dan sukarela. Konsultasi juga dapat diberikan kepada
keluarga pasien; jika pasien memang tidak cakap dalam pengambilan keputusan seperti dalam
poin b.
D. Dokumentasi
Aspek yang juga tak kalah penting adalah pendokumentasian. Hak memberikan persetujuan
juga mencakup menolak dan menerima bahwa pasien juga dapat megubah pikiran mereka.
Segala bentuk kekhawatiran, persetujuan, penolakan dan pertanyaan pasien harus
didokumentasikan. Selain itu, pada awal 1998 penganjuran untuk adanya pencatatan pernyataan
pemahaman pasien.
Nurhayati.(2013) Aspek Legal Dan Etik Keperawatan Critical Care. HiperCCI Jateng Rs
Panti Wilasa Dr Cipto
Satiti, Y., Susilo, H., & Dewanto, A. (2015). Penyampaian informasi oleh perawat
dalam persetujuan tindakan medis di Rumah sakit : permasalahan dan solosi. Jurnal kedokteran
Brawijaya, vol. 28