Anda di halaman 1dari 17

Aspek Legal dan Etis Pada Keperawatan Kritis

Disusun oleh:

Legrans, Pricilia Honesty

Maengkom, Kent S

Senduk, Offrielia

Felize Christofel

Tidajoh, Resa Jelita

Kansil, Maria Alwin


Aspek Legal

1. Pengertian legal

Aspek aturan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup


wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan.
Keterkaitan dengan legal formal dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis
keterkaitan dengan kebijakan yang memberikan jaminan hukum dalam pelayanan keperawatan
kritis, seperti UU Kes, PERMENKES dan peraturan lainnya.

2. Maksud dan tujuan

a. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai


dengan hukum

b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain

c. Membantu menentuka batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri

d. Membantu mempertahankan stadard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi

perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum

e. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang , perawat berwenang


melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan penyelamatan jiwa.

3. Penerapan legal dalam area critical care

Aspek legal keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Tanda
Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.

Kewenangan itu , hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun
memiliki Kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang
didapat secara Berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang.
Kompotensi dalam keperawatan juga berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang
tertentu yang memiliki tingkat minimal yang dilampaui.

Dalam profesi keperawatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
dapartemen kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran.
Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan
tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.

4. Fungsi hukum dalam praktik perawat

 Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai


dengan hukum
 Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
 Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
 Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.

5. Kepmenkes 1239/2001 tentang praktik keperawatan pasal 15 dan 16

 Melakukan asuhan keperawatan meliputi Penkajian, penetapan keperawatan,


perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi.
 Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilkukan atas permintan tertulis dokter
 Dapat melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban :
o Mengormati hak pasien
o Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
o Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan erundang-undangan yang berlaku
o Memberikan informasi
o Meminta persetujuan tindakan yang dilakukan
o Melakukan catatan perawatan dengan baik

6. Hak dan kewajiban perawat

1) Kewajiban

 Setiap perawat wajib mempunyai


- Sertifikasi Kompetensi
- Surat tanda registrasi
- Surat ijin praktek (SIP)
- Memperbaharui sertifikasi kompetensi
- Menghormati hak pasien
- Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
- Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan aturan undang-undang keperawatan
- Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
- Meminta persetujuan setiap tindakan yang akan dilakukan perawat sesuai dengan
kondisi pasien baik secara tertulis
- Mencatat semua tindakan keperawatan secara sesuai peraturan dan SOP yang berlaku
- Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan
praktik
- Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
- Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan kewenangan

2) Hak-hak Perawat

- Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum

- Hak mendapat upah yang layak

- Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.

Aspek Etik

1. Pengertian Etik

Etik adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa yang benar atau

apa yang paling tepat, memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada

dalam organisasi dan diri pribadi.

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar atau salah dan tindakan apa yang akan

dilakukan. Etika Keperawatan merefleksikan bagaimana seharusnya perawat berprilaku,

apa yang harus dilakukan perawat terhadap kliennya dalam memberikan pelayanan

keperawatan kritis.

2. Maksud dan Tujuan Aspek Etik dalam Critical Care

Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut (kozier, Erb. 1990):

a. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan anggota

tenaga kesehatan lainnya.


b. Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang

melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat yang

tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.

c. Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk

mengorientasikan lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik keperawatan

profesional.

d. Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan professional

3. Penerapan pengetahuan etik di area critical care Terdapat delapan asas etik dalam

keperawatan yaitu

a. Autonomi (otonomy)

Yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya, dalam hal ini

setiap keputusan medis ataupun keperawatan harus memperoleh persetujuan dari

pasien atau keluarga terdekat. Dengan mengikuti prinsip autonomi berarti menghargai

pasien untuk mengambil keputusan sendiri berdasarkan keunikan individu secara

holistik.

b. Non maleficence (tidak merugikan)

Yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien, setiap tindakan

medis dan keperawatan tidak boleh memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan

yang dilakukan tidak menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti

dengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan dan bahaya yang tidak

disengaja

c. Beneficence ( kemurahan hati)

Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis dan

keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan yang baik
yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien dan keluarga

d. Justice (perlakuan adil)

Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil, dokter dan perawat
harus menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan tindakan kepada pasien.

e. Fidelity (setia, menepati janji ),

Setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh

seseorang.Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan

dan tanggung jawab yang telah dibuat .

Setiap tenaga keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada


individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat. Apabila terdapat konflik diantara berbagai
tanggungjawab, maka diperluka penentuan prioritas sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

f. Veracity (kebenaran, kejujuran),

Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran,

tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “informed

concent” yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua informasi yang

diperlukan oleh pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.

g. Confidenciality ( kerahasiahan )

Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua informasi tentang

pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi

yang diberikan kepada tenaga profesional kesehatan akan dihargai dan tidak

disampaikan/ diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami

bahwa berbagi informasi tentang pasien/klien dengan anggota kesehatan lain yang

ikut merawat pasien tersebut bukan merupakan pembeberan rahasia selama informasi

tersebut relevan dengan kasus yang ditangani


h. Accountability ( akuntabilitas )

Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah konsekwensi bahaya,
apakah tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan
petugas dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status
sosialnya, tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.

Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut menyangkut

kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self determination, perlakuan adil dan

integritas diri. Dilema moral masih mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi

dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau apabila prinsip beneficence

dihadapkan dengan non maleficence, misalnya apabila keinginan pasien (otonomi)

ternyata bertentangan dengan dengan beneficence atau non maleficence, atau bisa saja

apabila sesuatu tindakan mengandung beneficence dan nonmaleficence terjadi secara

bersamaan sepeti “ Rule of Double Effect ( RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk

memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki

resiko terjadinya perburukan sehingga berlawanan dengan prinsip nonmaleficence.

Contoh: pemberian morphin sulfat untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang terjadi

pada pasien penderita cancer stadium akhir yang beresiko akan memberikan efek

depresan yang dapat menekan pusat pernafasan pasien.

Dalam keadaan RDE biasanya dikenal 4 elemen yang harus dipenuhi yaitu:

1. Sifat tindakan haruslah baik atau setidaknya netral

2. Niat tindakan adalah untuk tujuan baik, dampak buruk boleh saja telah dapat

dibayangkan tetapi harus bukan diniatkan.


3. Dampak buruk haruslah bukan cara untuk mencapai tujuan baik

4. Dampak baik harus melebihi dampak buruk

Informed consent

A. Pengertian

Informed Consent merupakan proses komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien tentang
kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter atau perawat selaku tenaga medis
terhadap pasien yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan formulir Informed Consent
secara tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada
tubuhnya serta tugas utama tenaga kesehatan dalam melakukan upaya penyembuhan pasien.

Tujuan pemberian informasi secara lengkap mengenai penyakit serta tindakan medis yang
akan dilakukan adalah agar pasien bisa menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan
pilihannya sendiri. Pengetahuan dan faktor pendidikan juga mempengaruhi pemahaman pasien.
Hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan pengetahuan yang dimiliki dokter dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh pihak pasien. Bentuk persetujuan pasien untuk dilakukannya
pasien juga dipengaruhi komunikasi antara tenaga medis dan pasien. Bentuk komunikasi sendiri
terdiri dari 2 jenis persetujuan, yaitu langsung dan tidak langsung. Persetujuan langsung dapat
berbentuk persetujuan lisan maupun tulisan. Biasanya, semakin invasif (pelibatan
operasi/memasukkan suatu peralatan ke dalam tubuh pasien) dan atau semakin besar potensi
resiko terhadap pasien maka semakin besar pula kebutuhan terhadap persetujuan tertulis.

Persetujuan tidak langsung terjadi apabila ada interaksi nonverbal yang menunjukkan
persetujuan tindakan kesehatan. Persetujuan ini disebut Implied Consent atau Persetujuan
Tersirat, Dalam kondisi darurat: pasien tak mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat
(Permenkes 585/1989, Pasal 11) Presumed consent. Contohnya klien yang memposisikan
badannya untuk disuntik dan atau mengisyaratkan persetujuan tidak langsung untuk
dilakukannya pemeriksaan fisik atau organ-organ vital, dengan kata lain gestur badan yaitu
komunikasi nonverbal antara tenaga kesehatan dan pasien adalah persetujuan tidak langsung.
Perseujuan tidak langsung juga dapat terjadi apabila kondisi fisik individu tidak memungkinkan
untuk mengungkapkan atau mengambil keputusan adanya tindakan atau tidak, kondisi seperti ini
sering terjadi dalam kondisi kegawatdaruratan.

Informed consent untuk terapi medis dan pembedahan adalah tanggungjawab tenaga
prosedural seperti dokter, termasuk perawat praktisi atau perawat non praktisi, perawat anestesi,
perawat bidan dan perawat yang melakukan asuhan keperawatan. Menjaga tetap adanya
komunikasi dua arah antara pasien dan tenaga medis adalah yang terpentig, penejalasan
prosedural, memastikan pemahaman pasien dan mendapat persetujuan atau izin pasien juga harus
diperhatikan.

Pedoman umum yang harus dijelaskan

1. Tujuan adanya tindakan

2. Segala resiko yang akan timbul bila dilakukan tindakan

3. Manfaat yang diharapkan dan kerugian kemungkinan alternatif terapi (bila tidak dilakukan
tindakan)

Tiga elemen Informed consent

1. Threshold elements

Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan
sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi
membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sehingga pengambilan consent terganggu.

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman).

Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga


medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat”.

Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :

a. Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan


bagaimana “biasanya” dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada
kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat,
misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, Informasi yang
seharusnya itu berarti untuk sisi sosial namun dianggap tidak harus disampaikan.

b. Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

c. Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. Elemen dari Persetujuan

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

1. Dinyatakan secara lisan

2. Dinyatakan secara tertulis.

Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada
tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna.
Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif
harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti,
namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya
adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan
diambil darahnya.
c. Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan pasien itu sendiri, dengan syarat
bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus
mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien (bukan baik untuk orang banyak).

Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang
tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

B. Fungsi Informed Consent

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :

1. Promosi otonomi individu.

2. Proteksi terhadap pasien dan subjek.

3. Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.

4. Mendorong adanya penelitian yang cermat.

5. Promosi keputusan yang rasional

6. Menyertakan publik.

C. Keluhan

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

1. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

2. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya – jawab.

3. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

4. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Keluhan dokter tentang informed consent

1. Pasien tidak mau diberitahu.

2. Pasien tak mampu memahami.

3. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.


4. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

D. Landasan Hukum

PerMenKes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989 persetujuan tindakan medik/ informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut. Tindakan terhadap pasien
berupa diagnostik dan terapeutik.

Persetujuan

a. Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapatkan persetujuan.

b. Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.

c. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
risiko yang ditimbulkannya.

d. Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.

e. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Hal-hal yang harus dijelaskan oleh tenaga kesehatan

Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.


f. Perkiraan pembiayaan

Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :

a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :

1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas


sesuai dengan profesinya.

2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.

3. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

b. Dasar hukum informed consent

1. UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan

2. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/


Medical record

5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan


Tindakan Medis

6. Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS

7. Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang

8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah


Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh
Manusia

E. Pembatalan
Pembatalan apabila syarat subyektif tidak terpenuhi mengakibatkan suatu perjanjian tidak sah
secara hukum. Perjanjian akan menjadi batal apabila salah satu pihak memohon pembatalan.

F. Penolakan (Informed Refusal)

Merupakan hak pasien/ keluarga pasien

1. Tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien

2. Sebaiknya pihak RS/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap
anjuran tindakan medik tsb di lembaran khusus

G. Saran

1. Informed consent seharusnya tidak mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (undue


influence) oleh pihak pembuatnya. Informed consent haruslah memenuhi asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat seperti undang-
undang.

2. Diperlukan pembaharuan dalam ketentuan Informed consent yang lebih berpihak pada
pasien.

4 hal yang harus diperhatikan

A. Tidak Adanya Paksaan

Pasien tidak boleh merasa terpaksa atau merasa dipaksa agar dapat memberikan keputusan
persetujuan (informed consent) secara sukarela. Perasaan takut penolakan terhadap profesional
sering membuat pasien merasa sungkan dan atau terpaksa dalam memberikan persetujuan;
persetujuan semacam ini bukanlah persetujuan sukarela. Pemaksaan akan membuat keputusan
tidak valid dan tidak sesuai prosedur untuk pemenuhan pengambilan persetujuan.

B. Kecakapan atau Tanggapnya Pasien Terhadap

Pasien harus mengerti prosedur dan tindakan yang dijelaskan. Istilah yang terlalu mendalam
atau bahasa yang jarang didengar awam akan menghambat pemahaman. Jika pasien tidak dapat
membaca maka tenaga medis harus membacakan dan dalam kondisi demikian pasien harus tetap
memahami formulir informed consent sebelum menandatanganinya. Kecakapan disini adalah
tanggapan yang dapat dijadikan landasan untuk menentukan persetujuan dan memutuskan
tindakan; ditolak atau menerima. Jika sudah diberi penjelasan, orang dewasa yang cakap dapat
mengambil keputusan mandiri terkait kesehatan. Penentuan usia orang dewasa disini biasanya
lebih dari 18 tahun dan sadar secara orientasi. Pasien yang bingung, diorientasi atau sedasi
dianggap tidak cakap untuk pengambilan keputusan.

C. Informasi yang Cukup

Pada awal mulanya informed consent ditulis dengan mempertimbangkan tatanan perawatan
akut. Namun, dalam perkembangannya ternyata informed consent juga dirasa penting dalam
memberikan asuhan keperawatan dan atau tindakan medis lainnya. Informasi yang cukup tentang
penjelasan informed consent dan informasi prosedural yang memadai akan membuat
pengambilan keputusan akan tepat dan sukarela. Konsultasi juga dapat diberikan kepada
keluarga pasien; jika pasien memang tidak cakap dalam pengambilan keputusan seperti dalam
poin b.

D. Dokumentasi

Aspek yang juga tak kalah penting adalah pendokumentasian. Hak memberikan persetujuan
juga mencakup menolak dan menerima bahwa pasien juga dapat megubah pikiran mereka.
Segala bentuk kekhawatiran, persetujuan, penolakan dan pertanyaan pasien harus
didokumentasikan. Selain itu, pada awal 1998 penganjuran untuk adanya pencatatan pernyataan
pemahaman pasien.

Contoh Informed Consent


E. Masalah yang ditemukan dalam proses informed consent

1. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.


2. Perilaku Tenaga kesehatan yang terburu-buru, tidak perhatian atau tidak memberikan
kesempatan untuk Tanya-jawab.
3. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi.
4. Pasien dalam keadaan tidak sadar.
5. Pemahaman cara menjelaskan informasi medis rendah
6. Belum ada SK pendelegasian pada perawat untuk menyampaikan informasi medis
7. Sistem pengawasan belum berjalan
8. SOP kurang jelas atau kurang spesifik
9. Belum ada alat bantu untuk menjelaskan
10. Perawat tidak melakukan komunikasi terapeutik secara efektif.
Daftar Pustaka

Nurhayati.(2013) Aspek Legal Dan Etik Keperawatan Critical Care. HiperCCI Jateng Rs
Panti Wilasa Dr Cipto

Oktarina.(2013) Issue Berkaitan Aspek Legal Pada Keperawatan Kritis Dan


Kegawatdaruratan. Modul Konsep Dasar Keperawatan Kritis Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran : Bandung

Satiti, Y., Susilo, H., & Dewanto, A. (2015). Penyampaian informasi oleh perawat
dalam persetujuan tindakan medis di Rumah sakit : permasalahan dan solosi. Jurnal kedokteran
Brawijaya, vol. 28

Anda mungkin juga menyukai