Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

ASUHAN KEGAWATDARURATAN OBSTETRI

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 7 :
1. RIVALDO ROMPAS
2. YANSI LARIWU
3. PINGKY MUNERI
4. ASTIVANI LAKSANDER
5. FARAMITA HANGKIHO

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
MANADO
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
perkenanan-Nya kami boleh menyelesaikan pembuatan makalah ini. Makalah ini
disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas Keperawatan Gawat darurat yang
diberikan oleh Dosen Ns, Olvin Manengkey S,kep. M,kes..
Makalah ini kami akui masih terdapat banyak kekurangan karena pengalaman
dan pengetahuan yang kami miliki masih kurang. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.

Manado, Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

BAB l PENDAHULUAN.................................................................................

A. Latar Belakang.................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................
C. Tujuan..............................................................................................
D. Manfaat

BAB ll PEMBAHASAN.................................................................................

A. Ruptur Uteri.....................................................................................
B. Preeklampsia..................................................................................
C. Mola Hidatidosa.............................................................................
D. Distosia Bahu.................................................................................

BAB lll ASUHAN KEPERAWATAN............................................................

A. Pengkajian.....................................................................................
B. Analisa Data..................................................................................
C. Pemeriksaan Fisik........................................................................
D. Diagnosa Keperawatan................................................................
E. Intervensi......................................................................................

BAB lV PENUTUP........................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Saran.................................................................................................
C. Daftar Pustaka.................................................................................

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan obstetri adalah suatu keadaan yang datangnya tiba-
tiba, tidak diharapkan, mengancam jiwa, sehingga perlu penanganan yang
cepat dan tepat untuk mencegah morbiditas maupun mortalitas.
Kegawatdaruratan obstetri diantaranya disebabkan oleh pendarahan,
eklampsia, infeksi, persalianan lama akibat distosia dan keguguran.
Di Indonesia permasalahan gawat darurat obstetri terjadi karena
mengalami empat hal keterlambatan yaitu terlambat mengenali bahaya dan
risiko, terlambat mengambil keputusan untuk mencari pertolongan, terlambat
mendapatkan transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan yang
lebih mampu, dan terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas rujukan.
Oleh karena itu pelayanan obstetri memerlukan kontiunitas pelayanan serta
akses terhadap pelayanan obstetri emergensi ketika timbul komplikasi.
Sehingga setiap persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih,
peningkatan terhadap pelayanan obstetri emergensi, serta sistem rujukan yang
efektif.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Obstetri?
2. Bagaimana etiologi penyakit Obstetri?
3. Apa saja tanda dan gejala Obstetri?
4. Bagaimana patofisiologi Obstetri?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Obstetri?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan Obstetri?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada Obstetri?
1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan proses kegawatdaruratan, mahasiswa mampu
melakukan upaya pemecahan masalah yang ada pada kasus Obstetri
dengan menggunakan pendekatan proses asuhan keperawatan yang
disusun secara sistematis dan komprehensif.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan pengertian Obstetri
b. Mampu menjelaskan etiologi Obstetri
c. Mampu menjelaskan tanda dan gejala Obstetri
d. Mampu menjelaskan patofisiologi Obstetri
e. Mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang Obstetri
f. Mampu menjelaskan penatalaksanaan Obstetri
g. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada Obstetri

D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan makalah ini adalah
menambah pengetahuan pembaca dan mengetahui tindakan yang tepat
mengenai Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Obstetri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ruptur uteri
a. Definisi
Ruptur uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan
rongga peritoneum dapat berhubungan. Beberapa pendapat mengatakan
bahwa ruptur uteri adalah adalah robekan atau diskontinuitas dinding
rahim akibat dilampauinya daya regang myometrium.
b. Etiologi
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah
ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan
uterus yang sebelumnya tanpa parut. Akhir-akhir ini, penyebab ruptur
uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio
sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering
terjadi bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk
memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan riwayat
seksio sesarea. Faktor predisposisi ruptur uteri lain yang sering dijumpai
adalah riwayat manipulasi atau operasi traumatik, misalnya kuretase,
perforasi, dan miomektomi. Stimulasi uterus yang berlebihan atau tidak
tepat dengan oksitosin juga dapat menjadi penyebabnya, meskipun hal ini
sekarang sudah sangat jarang terjadi. Umumnya, uterus yang sebelumnya
tidak pernah mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan,
tidak akan terus berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya
sendiri
c. Tanda dan gejala
a. His yang kuat dan terus menerus
b. Rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah
c. Nyeri waktu ditekan
3
d. Gelisah
e. Nadi dan pernapasa cepat
f. Segmen bawah uterus tegang
g. Nyeri pada perabaan lingkaran retraksi (van bandle ring) meninggi
sampai mendekati pusat
h. Ligamentum rotunda menegang
i. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita sangat kesakitan dan
seperti ada robek dalam perutnya
j. Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai
syok
d. Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan
demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih
tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin
yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim.
Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya
menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas
rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian
terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya :
panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah
mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa
rahim ke atas.
Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah
pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran
bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus
kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang
dipegang ditempatnya oleh ligamentum-ligamentum pada sisi belakang
(ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri (ligamentum
cardinal) danpada sisi dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina).

4
Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin
tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin
lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas
dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi ruptur
uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen
bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating, terjadilah
perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea).
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada
parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas
seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan
sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas
seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum
persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering
terjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi lambat laun pada
jaringan-jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama
sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi
rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak
berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar
e. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah
b. USG
f. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah:
a. Perbaiki keadaan umum
1) Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah b.
2) Berikan antibiotika
3) Oksigen Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan
persalinan harus dilakukan denganncermat, khususnya pada
persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada wanita yang

5
pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada
uterus.
Pada distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim,
bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus segera
diselesaikan. Keselamatan wanita yang mengalami ruptur uteri paling
sering bergantung pada kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi
hipovolemia dan mengendalikan perdarahan.
a. Laparotomi Perlu ditekankan bahwa syok
hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali
dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam
memulai pembedahan tidak akan bisa diterima. Bila
keadaan umum penderita mulai membaik,
selanjutnya dilakukan laparotomi dengan tindakan
jenis operasi:
1) Histerektomi, baik total maupun subtotal. Histerektomi dilakukan
jika: fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi, kondisi buruk
yang membahayakan ibu.
2) Repair uterus (histeorafi)yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit
sebaik-baiknya. Histeorafi dilakukan jika : masih mengharapkan
fungsi reproduksinya kondisi klinis ibu stabil ruptur tidak
berkomplikasi.
3) Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik
yang cukup.
B. Preeklampsia
a. Definisi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi dan proteinuria pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak
terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada

6
pertengahan kehamilan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap hal yang
biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia.
b. Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab
preeklampsia namun hingga kini belum ada yang memuaskan sehingga
Zweifel menyebut preeklampsia sebagai “the disease of theories”.
Adapun teori-teori yang ada saat ini adalah:
a. Teori vaskularisasi plasenta Pada kehamilan normal, rahim dan
plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang – cabang arteri
uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi
arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi
cabang arteri spiralis. Pada kehamilan proliferasi tropoblas akan
menginvasi desidua dan miometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel
trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan
mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunica media dan
jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri
dengan materi fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trisemester I
dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada
deciduomyometrial junction. Pada usia kehamilan 14-16 minggu
terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas dimana sel-sel trofoblas
tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalam
miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu
penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta
perubahan material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari invasi
trofoblas ini akan menimbulkan distensi lapisan otot arteri spiralis
akibat degenerasi, dan juga vasodilatasi arteri spiralis, pembuluh
darah menjadi berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong
sehingga akan terjadi dilatasi secara pasif sehingga dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada
7
kehamilan. yang kemudian akan memberikan dampak penurunan
tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling
arteri spiralis7 . Pada preeklampsia terjadi kegagalan remodelling
menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri
spiralis tidakmengalami distensi dan vasodilatasi yang akibatnya
aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta. Kegagalan tersebut dapat terjadi karena 2 hal yaitu:
1. Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel
trofoblas. 2. Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap
pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap ke dua
tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam
miometrium tetap mempunyai dinding muskulo-elastik yang reaktif
yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Akibatnya terjadi
gangguan alirah darah di daerah intervili yang menyebabkan
penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan
iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan bayi intra uterine (IUGR), asfiksia neonatorum hingga
kematian bayi.
b. Teori Iskemik Plasenta dan Radikal Bebas. Seperti yang sudah
dijelaskan di teori vaskularisasi plasenta bahwakelainan yang terjadi
pada preeklampsia terjadi pada plasenta di mana terdapat invasi
trofoblas yang tidak adekuat pada arteri spiralis yangakhirnya
menyebabkan kegagalan remodelling arteri spiralis. Kegagalan
tersebut akan membuat hipoperfusi plasenta dengan akibat iskemia
plasenta. Hal ini merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu
radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radikal
hidroksil akan merusak membran sel yang banyak mengandung
asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak
8
juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. lunak sehingga
memungkinkan terjadinya sejumlah aliran darah ke uteroplasenta.
Sedangkan pada gambar (B) : preeklampsia, perubahan arteri spiralis
ini tidak terjadi dengan sempurna sehingga dinding otot tetap kaku
dan sempit dan akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke
sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan hipoksia6 .
c. Teori disfungsi endotel Disfungsi endotel adalah keadaan dimana
terjadi kerusakan membran sel endotel yang mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Pada keadaan ini didapatkan adanya ketidakseimbangan
antara faktor vasodilatasi dan vasokontriksi. Endotel menghasilkan
zat-zat penting yang bersifat relaksasi pembuluh darah, seperti nitric
oxide (NO) dan prostasiklin (PGE2). Prostasiklin merupakan suatu
prostaglandin yang dihasilkan di sel sel epitel yang berasal dari asam
arakidonat dimana dalam pembuatannya di katalisir oleh enzim
siklooksigenasi. Prostasiklin akan meningkatan cAMP intraselular
pada sel otot polos dan trombosit yang memiliki efek vasodilator dan
anti agregasi trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit,
berasal dari asam arakidonat dengan bantuan siklooginase.
Trombosan memiliki efek vasokontriktor dan agregasi trombosit.
Prostasiklin dan trombosan A2 memiliki efek yang berlawanan
dalam mekanisme yang mengatur trombosit dan dinding pembuluh
darah. Pada kehamilan normal terdapat kenaikan prostasiklin oleh
jaringan ibu, plasenta dan janin. Pada preeklampsia terjadinya
kerusakan endotel akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi
prostasiklin karena endotel merupakan tempat terbentuknya
prostasiklin dan sebagai kompensasinya tromboksan A2 akan
ditingkatkan. Selain itu, kerusakan endotel juga menyebabkan
terjadinya peningkatan endotelin sebagai vasokontriktor dan
penurunan nitric oxide (NO) sebagai vasodilator dan memegang
fungsi penting dalam regulasi fungsi ginjal dan tekanan arterial
9
pembuluh darah. Ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
tahanan perifer yang pada akhirnya akan memicu preeklampsia.
c. Tanda dan gejala
- Tekanan darah > 160/110 dengan syarat diukur dalam keadaan
relaksasi (pengukuran minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak
dalam keadaan his.
- Oliguria, produksi urine < 500 cc/24 jam yang disertai kenaikan
kreatinin plasma.
- Gangguan visus dan serebral.
- Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan.
- Edema paru dan sianosis.
d. Patofisiologi
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan
oleh vasospasme dan iskemia.
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan
respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.
Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan
kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.
Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume
intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan
pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan
anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin
dalam rahim. Perubahan organ-organ yaitu:
a. Perubahan kardiovaskuler Gangguan fungsi kardiovaskuler yang
parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai
10
gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan
afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara
nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan
onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai
ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.
b. Metabolisme air dan elektrolit Hemokonsentrasi yang menyerupai
preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui penyebabnya. Jumlah
air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita
preeklampsia dan eklampsia daripada pada wanita hamil biasa atau
penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak
dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.
Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada
preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum
biasanya dalam batas normal.
c. Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau
eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan
adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang
ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia dan
ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri
maupun didalam retina.
d. Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi
tidak berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung
penguat endotel akan terbuka menyebabkan plasma dan sel-sel darah
merah keluar ke ruang ekstravaskular. Pada keadaan selanjutnya

11
dapat ditemukan pendarahan. Selain itu ditemukan juga edema-
edema dan anemia pada korteks serebri.
e. Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat
dan eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema
paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang
mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses
persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat
banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria,
penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan
penurunan albumin yang diproduksi oleh hati.
f. Hati Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan
integritas hepar, perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali
tahan panas yang berasal dari plasenta. Nekrosis hemoragik periporta
di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan terjadinya peningkatan
enzim hati didalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat
mengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar
dan membentuk hematom subkapsular .
g. Ginjal Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama
glomeruloendoteliosis, yaitu pembengkakan dari kapiler endotel
glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi
ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama
pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan
preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi
glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma
sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada
beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat
beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar
hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal
12
akibat vasospasme yang hebat6 . Kelainan pada ginjal biasanya
dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air. Retensi garam dan
air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat
spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan
ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di
tubulus . Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati,
terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar
protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin,
globulin, dan transferin. Protein – protein molekul ini tidak dapat
difiltrasi oleh glomerulus.
h. Darah Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi
intravaskular (DIC) dan destruksi pada eritrosit6 . Trombositopenia
merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang
dari 150.000/μl ditemukan pada 15 – 20 % pasien. Level fibrinogen
meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil
dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen yang
rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption). Pada
10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP
syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. ditemukan level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya
berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya
(placental abruption).
i. Plasenta dan Uterus Menurunnya aliran darah ke plasenta
mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang lama
pertumbuhan janin akan tergangggu, pada hipertensi yang lebih
pendek bisa terjadi gawat janin bahkan kematian karena kekurangan
oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap
perangsangan sering didapatkan pada preeklampsia, sehingga mudah
terjadi partus prematurus.
13
e. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji diagnostik dasar
b. Pengukuran tekanan darah, analisis protein dalam urin, pemeriksaan
edema, pengukuran tinggi fundus uteri dan pemeriksaan funduskopi.
c. Uji Laboratorium
d. Uji untuk meramalkan hipertensi
f. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksaaan preeklampsi/ eklampsi meliputi :
a. Mencegah / mengatasi kejang
b. Menurunkan tekanan darah
c. Hati hati penggunaan cairan
d. Melahirkan bayi pada saat yang optimal buat ibu maupun bayi.
Wanita dengan preeklamsia dan kehamilan prematur dapat diamati
secara rawat jalan, dengan penilaian sering ibu dan janin
kesejahteraan.
Wanita yang patuh, yang tidak memiliki akses siap untuk perawatan
medis, atau yang memiliki preeklamsia progresif atau berat harus dirawat
di rumah sakit . Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam
penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi
tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal
meningkat, tekanan vena pada ekstremitas bawah menurun dan
reabsorpsi cairan bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur
mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat
menurunkan tekanan darah.
Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan
konservatif, dalam hal ini kehamilan harus diterminasi jika mengancam
nyawa maternal . Selama persalinan, tujuan manajemen adalah untuk
mencegah kejang dan mengontrol hipertensi. Magnesium sulfat adalah
obat pilihan untuk pencegahan kejang eklampsia pada wanita dengan
preeklamsia berat dan untuk pengobatan wanita dengan eklampsia
seizures. Dosis obat yang digunakan adalah 4-gr loading dosis
14
magnesium sulfat diikuti dengan infus kontinu pada tingkat 1 gr per jam.
Magnesium sulfat telah terbukti lebih unggul dibanding dengan fenitoin
(Dilantin) dan diazepam (Valium) untuk pengobatan kejang eklampsia8 .
Terapi obat antihipertensi dianjurkan untuk wanita hamil dengan tekanan
darah sistolik dari 160 ke 180 mm Hg atau lebih dan tekanan darah
diastolik dari 105 ke 110 mm Hg atau lebih.
Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan tekanan sistolik 140 ke 155
mm Hg dan tekanan diastolik 90 untuk 105 mm Hg. Untuk menghindari
hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertingkat1 .
Hydralazine (Apresoline) dan labetalol (Normodyne, Trandate) adalah
obat antihipertensi yang paling umum digunakan pada wanita dengan pre
eklampsia. Nifedipin (Procardia) dan natrium nitroprusside (Nitropress)
adalah potensial alternatif. Terapi labetalol tidak boleh digunakan pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif. Penggunaan ACE-
Inhibitor di kontra indikasikan pada wanita hamil. Wanita dengan
preeklamsia harus diberi konseling tentang kehamilan berikutnya. Pada
wanita nulipara dengan preeklamsia sebelum 30 minggu kehamilan,
tingkat kekambuhan untuk gangguan ini setinggi 40 persen pada
kehamilan seterusnya.

C. Mola hidatidosa
a. Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri – ciri stroma

villi korialis langka vaskularisasi dan edematous hidup dan tumbuh secara

terus menerus, jaringan trofoblas pada villi kadang – kadang berproliferasi

ringan dan kadang – kadang keras, dan mengeluarkan hormone, yakni Human

Chorionic Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar dari pada

kehamilan yang biasa. (Prawirohardjo, 2007). Mola hidatidosa adalah suatu

kehamilan yang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh

15
villi korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik.Secara

makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembunga –

gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukurannya

yang bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm. (Prawirohardjo,

2008).

Klasifikasi mola hidatidosa yaitu :


Sesuai dengan derajatnya, mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi 2

jenis yaitu mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial

1. Mola hidatidosa komplit, Kehamilan mola hidatidosa komplit yaitu


penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak
disertai janin dan seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik.

2. Mola hidatidosa parsial, Kehamilan mola parsial yaitu sebagian


pertumbuhan dan perkembangan villi korialis berjalan normal sehingga
janin dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai aterm (Manuaba,
2009).

b. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui, tetapi factor – factor yang
dapat menyebakan antara lain :
- Faktor ovum
Ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan, spermatozoa memasuki ovum yang telah kehilangan
nukleusnya atau dua serum memasuki ovum tersebut sehingga akan
terjadi kelainan atau gangguan dalam pembuahan.

16
- Imunoselektif dari trophoblast, yaitu dengan kematian fetus,
pembuluh darah pada stroma villi menjadi jarang dan stroma villi
menjadi sembab dan akhirnya terjadi hyperplasia sel –sel
trophoblast.
- Keadaan sosial ekonomi rendah, akan berpengaruh terhadap
pemenuhan gizi ibu yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pembentukan ovum abnormal yang mengarah pada terbentuknya
mola hidatidosa
- Paritas tinggi, ibu multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan
mola hidatidosa karena trauma melahirkan atau penyimpanan
transmisi secara genetif yang dapat diidentifikasi dan penggunaan
stimulan ovulasi seperti klomifen atau menotropiris
- Gizi, Kekurangan protein, kekurangan vitamin A, nutrisi yang
masuk ke dalam tubuh kurang baik
- Kualitas ovum dan sperma yang tidak baik
- Infeksi virus dan factor kromosom belum jelas
- Pada wanita yang ovulasinya distimulasi dengan klomiferm
- Wanita yang berada di kedua ujung masa reproduksi (awal batasan
tahun atau premenopause).
- Umur, lebih banyak ditemukan pada wanita hamil berumur dibawah
20 tahun dan diatas 35 tahun
- Genetik, wanita dengan balanced translocation mempunyai resiko
lebih rendah tinggi (Sastrawinata, 2004; Norwitz, 2010).

b. Tanda dan Gejala


Pada stadium awal, tanda dan gejala mola hidatidosa tidak dapat
dibedakan dari tanda dan gejala kehamilan normal.Pada waktu selanjutnya
perdarahan pervagina pada semua kasus.Cairan yang keluar dari vagina bisa
berwarna coklat tua (menyerupai jus buah prum) atau merah terang, bisa sedikit
atau banyak.Keadaan ini bisa berlangsung selama beberapa hari saja atau secara
intermiten selama beberapa minggu. Pada awal kehamilan, kira – kira setengah

17
jumlah wanita memiliki rahim yang lebih besar dari usia kehamilan yang
diperkirakan melalui tanggal menstruasi.

Anemia akibat kekurangan darah, rasa mual dan muntah yang berlebihan

(hyperemesis gravidarum), dan kram perut yang disebabkan distensi rahim

merupakan gejala yang cukup sering ditemukan.Anemia terjadi akibat perdarahan

intrauterine.Preeklampsia terjadi pada sekitar 15% kasus. Pada penderita mola

dapat ditemukan beberapa gejala – gejala sebagai berikut :

1. Hamil muda yang kadang – kadang lebih nyata dari kehamilan biasa

amenore

2. Terjadi gejala toksemia pada kehamilan trimester 1 dan 2

3. Dijumpai gejala tirotoksitosis atau hipertiroid

4. Peningkatan tajam kadar Human Chorionic Gonadatrophin (HCG) karena

proliferasi cepat sel placenta, yang mengekskresikan HCG.

5. Perdarahan tanpa nyeri yang tidak teratur paling banyak terjadi pada 12
minggu kehamilan.

6. Tidak ada bunyi denyut jantung janin

7. Tidak ada aktivitas janin

c. Patofisiologi

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan pathogenesis dari

penyakit trofoblast : Teori missed abortion, mudah mati pada kehamilan 3 – 5

minggu karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi

penimbunan cairan masenkim dari vili dan akhirnya terbentuklah gelembung

– gelembung. Teori neoplasma dari park. Sel – sel trofoblast adalah abnormal

dan memiliki fungsi yang abnormal dimana terjadi reabsorbsi cairan yang

berlebihan kedalam vili sehingga timbul gelembung – gelembung.Studi dari

18
Herting lebih menegaskan lagi bahwa mola hidatidosa semata – mata akibat

akumulasi cairan yang menyertai degenerasi awal atau tidak adanya embrio

komplit pada minggu ke tiga dan kelima.Adanya sirkulasi material yang terus

menerus dan tidak adanya fetus menyertai menyebabkan trofoblast

berproliferasi dan melakukan fungsinya selama pembentukan cairan (Morgan,

2009).

d. Pemeriksaan Diagnostik

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan rontgen, USG dan lain – lain. dalam pemeriksaan diagnostic

ibu hamil dengan mola hidatidosa dilakukan oleh laboratorium yaitu

dengan pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks : pada mola ada

gambaran emboli udara, foto rontgen abdomen : tidak terlihat tulang –

tulang janin ( pada kehamilan 3 – 4 bulan ), Human Chorionic

Gonadatropin (HCG) diproduksi oleh trofoblas dan konsentrasi HCG di

urin atau serum menunjukkan jumlah dari sel trofobals yang hidup

sehingga HCG merupakan penanda yang unik, USG (tanpa gambaran

janin) : pada mola akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak

terlihat janin (Manuaba, 2009).

e. Penatalaksanaan Medis

Dalam pengobatan mola hidatidosa yang lebih di utamakan adalah

menegakkan diagnosis sebelum gelembung mola dikeluarkan, sehingga

perdarahan yang timbul pada waktu mengeluarkan mola dapat dikendalikan

(Manuaba, 2009).

Langkah pengobatan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap sebagai berikut :


19
1. Perbaikan keadaan umum

Pengeluaran gelembung mola yang disertai perdarahan memerlukan

transfuse, sehingga penderita tidak syok yang dapat menyebabkan

kematian (Manuaba, 2009).

2. Pengeluaran jaringan mola hidatidosa

Dalam menghadapi kasus mola hidatidosa terdapat beberapa

pertimbangan yang berkaitan dengan umur penderita dan paritas, ada dua

cara pengeluaran jaringan mola hidatidosa :

a) Evakuasi jaringan mola hidatidosa

Pada mola hidatidosa dengan umur muda dan jumlah anak sedikit,

rahim perlu diselamatkan dengan tindakan evakuasi jaringan

mola.Evakuasi jaringan mola dilakukan dengan kuret vakum,

kemudian sisanya dibersihkan dengan kuret tajam (Sastrawinata,

2004).

b) Histerektomi

Dengan pertimbangan umur relative tua (35 tahun)paritas diatas

3, dan uterus yang sangat besar (mola besar), yaitu setinggi pusat atau

lebih, pada penderita mola hidatidosa dilakukan tindakan radikal

histerektomi. Pertimbangan ini didasarkan kemungkinan keganasan

koriokarsinomamenjadi lebih tinggi.Hasil operasi diperiksakan

kepada ahli patologi anatomi (Manuaba,

2009).

3. Pengobatan profilaksis dengan sitostatistika (kemoterapi)

20
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang dapat berkelanjutan

menjadi koriakarsinoma.Untuk menghindari terjadinya degenerasi ganas,

penderita mola yang mempunyai factor resiko seperti umur diatas 35

tahun atau gambaran patologi anatomi yang mencurigakan diberi

profilaksis dengan sitostatistika (kemoterapi) :

a. Methotrexate 20 mg/hari atau

b. Actinomycin D 1flc/hari, 5 hari berturut – turut.

(Sastrawinata, 2004; Manuaba, 2009).

4. Pengawasan lanjutan

D. DISTOSIA BAHU

a. Definisi

Distosia adalah persalinan yang panjang, sulit atau abnormal yang


timbul akibat berbagai kondisi.(Bobak, 2004 : 784)

Distosia secara harfiah, berarti persalinan sulit, ditandai oleh kemajuan


persalinan yang terlalu lambat. Secara umum, persalinan abnormal sering
terjadi jika terdapat ketidakseimbangan ukuran antara bagian presentasi
janin dan jalan lahir. Distosia merupakan akibat dari beberapa kelainan
berbeda yang dapat berdiri sendiri atau kombinasi. (Leveno, 2009)

21
Defenisi Distosia adalah persalinan yang sulit yang ditandi dengan
adanya hambatan kemajuan dalam persalinan (tim obstetric.FKUNPAD,
2005)

b. Etiologi

Distosia dapat disebabkan oleh :

1. Persalinan disfungsional akibat kontraksi uterus yang tidak efektif


atau akibat upaya mengejan ibu (kekuatan/power)
2. Perubahan struktur pelvis (jalan lahir/passage)
3. Sebab pada janin meliputi kelainan presentasi/kelainan posisi, bayi
besar, dan jumlah bayi (passengger)
4. Respons psikologis ibu terhadap persalinan yang berhubungan dengan
pengalaman, persiapan, budaya, serta sistem pendukung

c. Manifestasi Klinik

Gejala pada ibu :

1. Gelisah
2. Letih
3. Suhu tubuh meningkat
4. Nadi dan pernafasan cepat

5. Edem pada vulva dan serviks


6. Bisa jadi ketuban berbau janin

Gejala lain :

1) Dapat dilihat dan diraba,perut terasa membesar kesamping.


2) Pergerakan janin pada bagian kiri lebih dominan.
3) Nyeri hebat dan janin sulit dikeluarkan.
4) Terjadi distensi berlebihan pada uterus.

22
5) Dada teraba seperti punggung ,belakang kepala terletak berlawanan
dengan letak dada, teraba bagian-bagian kecil dan denyut jantung janin
terdengar leih jelas pada dada.

d. Patofisiologi
His yang normal dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri yang
kemudian menjalar merata simetris ke seluruh korpus uteri dengan adanya
dominasi kekuatan pada fundus uteri di mana lapisan otot uterus paling
dominan, kemudian mengadakan relaksasi secara merata dan menyeluruh
hingga tekanan dalam ruang amnion balik ke asalnya ± 10 mmHg.
Incoordinate uterine action yaitu sifat His yang berubah. Tonus
otot uterus meningkat, juga di luar His dan kontraksinya tidak berlangsung
seperti biasa karena tidak ada sinkronasi kontraksi bagian-bagiannya.
Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah
menyebabkan His tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
Disamping itu, tonus otot uterus yang menaik menyebabkan rasa
nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dapat pula menyebabkan
hipoksia pada janin. His ini juga di sebut sebagai Incoordinate hypertonic
uterine contraction. Kadang-kadang pada persalinan lama dengan ketuban
yang sudah lama pecah, kelainan His ini menyebabkan spasmus sirkuler
setempat, sehingga terjadi penyempitan kavum uteri pada tempat itu. Ini
dinamakan lingkaran kontraksi atau lingkaran kontriksi. Secara teoritis
lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, tetapi biasanya ditemukan pada
batas antara bagian atas dengan segmen bawah uterus. Lingkaran kontriksi
tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan dalam, kecuali kalau
pembukaan sudah lengkap sehingga tangan dapat dimasukkan ke dalam
kavum uteri.

e. Pemeriksaan Penunjang
d. Tes prenatal: dapat memastikan polihidramnion, janin besar atau
gestasi mutipel.
e. Tes stress kontraksi/tes nonstres: mengkaji kesejahteraan janin.

23
f. Ultrasound atau pelvimetri sinar x: mengevaluasi arsitektur pelvis,
presentasi janin, posisi dan formasi.
g. Pengambilan sampel kulit kepala janin: mendeteksi atau
mengesampingkan asidosis.

f. Penatalaksanaan

1. Penanganan Umum

b. Nilai dengan segera keadaan umum ibu dan janin


c. Lakukan penilaian kondisi janin : DJJ
d. Kolaborasi dalam pemberian :
 Infus RL dan larutan NaCL isotanik (IV)
 Berikan analgesiaberupa tramandol/ peptidin 25 mg (IM)
atau morvin 10 mg (IM)
o Perbaiki keadaan umum
 Dukungan emosional dan perubahan posisi
 Berikan cairan
2. Penanganan Khusus
a. Kelainan His
 TD diukur tiap 4 jam
 DJJ tiap 1/2 jam pada kala I dan tingkatkan pada kala II
 Pemeriksaan dalam :
o Infus RL 5% dan larutan NaCL isotonic (IV)
o Berikan analgetik seperti petidin, morfin
o Pemberian oksitosin untuk memperbaiki his
b. Kelainan janin
 Pemeriksaan dalam
 Pemeriksaan luar
 MRI

24
 Jika sampai kala II tidak ada kemajuan dapat dilakukan
seksiosesaria baik primer pada awal persalinan maupun
sekunder pada akhir persalinan
c. Kelainan jalan lahir
Kalau konjungata vera <8 (pada VT terba promontorium)
persalinan dengan SC
3. Abortus
a. Definisi
Abortus atau miscarriage adalah dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum
mampu hidup di luar kandungan dengan berat badan sekitar 500 atau
gram kurang dari 1000 gram, terhentinya proses kehamilan sebelum usia
kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba, 2010).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun, spontan
maupun buatan, sebelum janin mampu bertahan hidup dengan batasan
berdasar umur kehamilan dan berat badan (Handono, 2009).

b. Etiologi
Lebih dari 80% abortus terjadi pada minggu pertama, dan setelah itu
angka ini cepat menurun. Kelainan kromosom merupakan penyebab,
pada paling sedikit seperuh dari kasus abortus dini ini, dan setelah itu
insidennya juga menurun. Faktor penyebab terjadinya abortus dibagi
menjadi beberapa faktor yaitu :
a. Faktor janin
1) Perkembangan zigot abnormal Temuan morfologis tersering pada
abortus spontan dini adalah kelainan perkembangan zigot,
mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang plasenta.
Disorganisasi morfologis pertumbuhan ditemukan pada 40%
abortus spontan sebelum minggu ke-20. Diantara mudigah yang
panjang ubun-ubun ke bokongnya (CRL = Crown Rump Length)
kurang dari 30 mm, frekuensi kelainan http://digilib.unimus.ac.id
perkembangan morfologis adalah 70%. Mudigah-mudigah yang
25
menjalani pemeriksaan biakan jaringan dan analisis kromosom,
60% memperlihatkan kelainan kromosom. Janin dengan panjang
ubun-ubun ke bokong (CRL) 30 sampai 180 mm, frekuensi
kelainan kromosom adalah 25%.
2) Abortus aneuploidi Sekitar seperempat dari kelainan kromosom
disebabkan oleh kesalahan gametogenesis ibu dan 5% oleh
kesalahan ayah. Dalam suatu studi terhadap janin dan neonatus
dengan trisomi 13, pada 21 dari 23 kasus, kromosom tambahan
berasal dari ibu.
a) Trisomi autosom Merupakan kelainan kromosom yang
tersering dijumpai pada abortus trimester pertama. Trisomi
dapat diebabkan oleh nondisjunction tersendiri, translokasi
seimbang materal atau paternal, atau inversi kromosom
seimbang. Trisomi untuk semua autosom kecuali kromosom
nomor 1 pernah dijumpai pada abortus, tetapi yang tersering
adalah autosom 13, 16, 18,21 dan 22.
b) Monosomi X Merupakan kelainan kromosom tersering
berikutnya dan memungkinkan lahirnya bayi perempuan hidup
(sindrom Turner). Triploidi sering dikaitkan dengan degenerasi
hidropik pada plasenta. Janin yang memperlihatkan kelainan
ini sering mengalami abortus dini, dan beberapa mampu
bertahan hidup lebih lama mengalami malformasi berat.
c) Kelainan struktural kromosom Sebagian bayi lahir hidup
dengan dengan tran.
b. Abortus euploid Abortus euploid memuncak pada usia gestasi sekitar 13
minggu. Insiden abortus euploid meningkat secara drastis setelah usia ibu
35 tahun. Faktor maternal
1) Usia ibu
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-
30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi
26
dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20 sampai 29
tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30
sampai 35 tahun.
2) Paritas
Risiko abortus semakin tinggi dengan bertambahnya paritas ibu,
hal ini mungkin karena adanya faktor dari jaringan parut pada
uterus akibat kehamilan berulang. Jaringan parut ini
mengakibatkan tidak adekuatnya persedian darah ke plasenta
yang dapat pula berpengaruh pada janin.
3) Infeksi
Adanya infeksi pada kehamilan dapat membahayakan keadaan
janin dan ibu. Infeksi dapat menyebabkan abortus, dan apabila
kehamilan dapat berlanjut maka dapat menyebabkan kelahiran
prematur, BBLR, dan eklamsia pada ibu.
4) Anemia
Anemia dapat mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu
dan janin karena dengan kurangnya kadar hemoglobin maka
berkurang pula kadar oksigen dalam darah. Hal ini dapat
memberikan efek tidak langsung pada ibu dan janin antara lain
kematian janin, meningkatnya kerentanan ibu pada infeksi dan
meningkatkan risiko terjadinya prematuritas pada bayi.
5) Faktor aloimun
Kematian janin berulang pada sejumlah wanita didiagnosis
sebagai akibat faktor-faktor aloimun. Diagnosis faktor aloimun
berpusat pada beberapa pemeriksaan yaitu perbandingan HLA ibu
dan ayah, pemeriksaan serum ibu untuk mendeteksi keberadaan
antibodi sitotoksik terhadap leukosit ayah dan pemeriksaan serum
ibu untuk mendeteksi faktor-faktor penyekat pada reaksi
pencampuran limfosit ibu-ayah.
6) Faktor hormonal

27
Salah satu dari penyakit hormonal ibu hamil yang dapat
menyebabkan abortus adalah penyakit diabetes mellitus. Diabetes
mellitus pada saat hamil dikenal dengan diabetes meliitus
gestasional (DMG). DMG didefinisikan sebagai intoleransi
glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil.
Dinyatakan DMG bila glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl atau 2
jam setelah beban glukosa 75 gram ≥ 200 mg/dl atau toleransi
glukosa terganggu.13,15 Pada DMG akan terjadi suatu keadaan
dimana jumlah atau fungsi insulin menjadi tidak normal, yang
mengakibatkan sumber energi dalam plasma ibu bertambah.
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana
sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal
yang menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi
yang salah satunya adalah abortus spontan.
7) Gamet yang menua
Didapatkan peningkatan insidensi abortus yang relatif terhadap
kehamilan normal apabila inseminasi terjad gamet di dalam
saluran genitalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan
kemungkinan abortus.
8) Kelainan anatomi uterus
Leiomioma uterus, bahkan yang besar dan multipel, biasanya
tidak menyebabkan abortus. Apabila menyebabkan abortus, lokasi
leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Sinekie
uterus disebabkan oleh destruksi endometrium luas akibat
kuretase. Hal ini akhirnya menyebabkan amenore dan abortus
rekuren yang dipercaya disebabkan oleh kurang memadainya
endometrium untuk menunjang implantasi. Defek perkembangan
uterus, cacat ini terjadi karena kelainan pembentukan atau fusi
duktus Mülleri atau terjadi secara spontan atau diinduksi oleh
pajanan dietilstilbestrol in utero. Serviks inkompeten ditandai
oleh pembukaan serviks tanpa nyeri pada trimester kedua disertai
28
prolaps dan menggembungnya selaput ketuban pada vagina,
diikuti oleh pecahnya selaput ketuban dan ekspulsi janin imatur.
9) Trauma fisik
Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering
kali dilupakan. Yang diingat hanya kejadian tertentu yang dapat
menyebabkan abortus. Namun, sebagian besar abortus spontan
terjadi beberapa waktu setelah kematian mudigah atau janin.
c. Faktor paternal Tidak banyak yang diketahui tentang faktor paternal
(ayah) dalam terjadinya abortus spontan. yang jelas, translokasi
kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Adenovirus atau
virus herpes simpleks ditemukan pada hampir 40% sampel
http://digilib.unimus.ac.id semen yang diperoleh dari pria steril. Virus
terdeteksi dalam bentuk laten pada 60% sel, dan virus yang sama
dijumpai pada abortus.
c. Tanda dan gejala
Manifestasi klinik abortus antara lain:
a. Terlambat haid atau amenote kurang dari 20 minggu
b. Pada pemeriksaan fisik: keadaan umum tampak lemah atau kesadaran
menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal
atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
c. Pendarahan pervaginaan, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil
konsepsi.
d. Rasa mulas atau keram perut didaerah atas simfisis, sering disertai
nyeri pinggang akibat kontraksi uterus.
d. Patofisiologi
Abortus biasanya disertai oleh perdarahan ke dalam desidua basalis dan
nekrosis di jaringan dekat tempat perdarahan. Ovum menjadi terlepas,
dan hal ini memicu kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi.
Sebelum minggu ke-10, ovum biasanya dikeluarkan dengan lengkap.
Hal ini disebabkan karena sebelum minggu ke-10 vili korialis belum
menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua, hingga ovum mudah
29
terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke 10-12 korion tumbuh dengan
cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat, hingga mulai
saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal jika terjadi
abortus. Apabila kantung dibuka, biasanya dijumpai janin kecil yang
mengalami maserasi dan dikelilingi oleh cairan, atau mungkin tidak
tampak janin didalam kantung dan disebut “blighted ovum”.
Mola karneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh kapsul
bekuan darah. Kapsul memiliki ketebalan bervariasi, dengan vili korionik
yang telah berdegenarsi tersebar diantaranya. Rongga kecil didalam yang
terisi cairan tampak menggepeng dan terdistorsi akibat dinding bekuan
darah lama yang tebal.
Pada abortus tahap lebih lanjut, terdapat beberapa kemungkinan hasil.
Janin yang tertahan dapat mengalami maserasi. Cairan amnion mungkin
terserap saat janin tertekan dan mengering untuk membentuk fetus
kompresus. Kadang-kadang, janin akhirnya menjadi sedemikian kering
dan tertekan sehingga mirip dengan perkamen, yang sering disebut juga
sebagai fetus papiraseus.
e. Pemeriksaan penunjang
a. USG
b. CT Scan
c. Pemeriksaan urin
d. Pemeriksaan obstetri
f. Penatalaksanaan medis
g. Abortus Imminens
1) Tirah baring Istirahat baring (bedrest), bertujuan untuk menambah
aliran darah ke uterus dan mengurangi perangsangan mekanis. Ibu
(pasien) dianjurkan untuk istirahat baring. Apabila ibu dapat
istirahat dirumah, maka tidak perlu dirawat. Ibu perlu dirawat
apabila perdarahan sudah terjadi beberapa hari, perdarahan
berulang atau tidak dapat beristirahat dirumah dengan baik
misalnya tidak ada yang merawat atau ibu merasa sungkan bila
30
rumah hanya beristirahat saja. Perlu dijelaskan kepada ibu dan
keluarganya, bahwa beristirahat baring dirumah atau dirumah
bersalin atau rumah sakit adalah sama saja pengaruhnya terhadap
kehamilannya. Apabila akan terjadi abortus inkomplit, dirawat
dimanapun tidak mencegahnya.
2) Periksa tanda-tanda vital (suhu, nadi dan pernafasan).
3) Kolaborasi dalam pemberian sedativa (untuk mengurangi rasa
sakit dan rasa cemas), tokolisis dan progesterone, preparat
hematik (seperti sulfat ferosus atau tablet besi).
4) Hindarkan intercose.
5) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C.
6) Bersihkan vulva minimal 2 kali sehari untuk mencegah infeksi
terutama saat masih mengeluarkan cairan coklat.
h. Abortus Insipiens
1) Apabila bidan menghadapi kasus abortus insipiens segera
berkonsultasi dengan dokter ahli kandungan sehingga pasien
mendapat penanganan yang tepat dan cepat.
2) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, bahwa perforasi pada
kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat
dengan pemberian infus oksitosin.
3) Biasanya penatalaksanaan yang dilakukan pada kehamilan kurang
dari 12 minggu yang disertai perdarahan adalah pengeluaran janin
atau pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam
abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam.
4) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
i. Abortus Inkomplit Dalam menghadapi kasus abortus incomplete,
bidan dapat berkonsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan
pasien. Penatalaksanaan yang biasanya dilakukan pada kasus abortus
inkomplete ini adalah :

31
1) Bila disertai syok karena perdarahan diberikan infuse cairan
fisiologi NaCl atau Ringer Laktat dan tranfusi darah selekas
mungkin.
2) Setelah syok diatasi dilakukan kerokan dengan kuret tajam dan
diberikan suntikan untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
3) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
4) Diberikan antibiotika untuk mencegah infeksi.
j. Abortus Komplit
1) Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang abortus komplit,
bidan dapat berkonsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan
pasien.
2) Tidak memerlukan terapi khusus tetapi untuk membantu involusi
uterus dapat diberikan methergin tablet.
3) Bila pasien anemia dapat diberikan sulfat ferosus (zat besi) atau
transfuse darah.
4) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi vitamin dan mineral.
k. Missed Abortion Memerlukan tindakan media khusus sehingga bidan
perlu berkonsultasi dengan dokter untuk penangananya.
1) Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah bahaya adanya
hipofibrinogenemia, sehingga sulit untuk mengatasi perdarahan
yang terjadi bila belum dikoreksi hipofibrigenemianya (untuk itu
kadar fibrinogen darah perlu diperiksa sebelum dilakukan
tindakan).
2) Pada prinsipnya penanganannya adalah : pengosongan kavum uteri
setelah keadaan memungkinkan.
3) Bila kadar fibrinogen normal, segera dilakukan pengeluaran
jaringan konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
4) Bila kadar fibrinogen rendah dapat diberikan fibrinogen kering atau
segar sesaat sebelum atau ketika mengeluarkan konsepsi.

32
5) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, dilakukan pembukaan
serviks uteri dengan laminaria selama kurang lebih 12 jam ke
dalam kavum uteri.
6) Pada kehamilan lebih dari 2 minggu maka pengeluran janin
dilakukan dengan pemberian infuse intravena oksitosin dosis
tinggi.
7) Bila fundus uteri tingginya sampai 2 jari dibawah pusat, maka
pengeluaran janin dapat dikerjakan dengan menyuntikkan larutan
garam 20% dalam kavum uteri melalui dinding perut.
l. Abortus Infeksius Abortus infeksius yang menyebabkan sepsis dapat
menimbulkan bahaya kehamilan ibu maka penderita harus segera
dirujuk ke rumah sakit. Tugas bidan adalah mengirimkan penderita ke
rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan khusus. Prinsip
penatalaksanaannya adalah :
6) Pemberian terapi antibiotika (penisilin, metrodazole, ampicillin,
streptomycin, dan lain-lain) untuk menanggunglangi infeksi.
7) Bila perdarahan banyak dilakukan pemberian transfusi darah.
8) Dalam 24 jam sampai 48 jam setelah perlindungan antibiotika atau
lebih cepat lagi bila terjadi perdarahan, sisa konsepsi harus
dikeluarkan dari uterus.
9) Pemasangan CVP (Central Venosus Pressure) untuk pengontrolan
cairan.
10) Pemberian kortikosteroid dan heparin bila ada
Disseminated Intravascular Coagulation.
m. Abortus Habitualis
1) Memperbaiki keadaan umum.
2) Perbaikan gizi dan istirahat yang cukup.
3) Terapi hormon progesterone dan vitamin.
4) Kolaborasi untuk mengetahui faktor penyebab (Maryunani, 2009)

Emergensi Obstetri
33
Antepartum Intrapartum Postpartum

Perdarahan Tali Pusat Menumbung Atonia Uteri

Abortus Ruptur Uteri Laserasi Jalan Lahir

KET Distosia Bahu Retensi atau sisa plasenta

Mola Hidatidosa Eklampsi

Plasenta Previa Infeksi Puerperalis

Solusio Plasenta

Eklampsi/Preeklamsia

34
Pathway Ruptur Uteri

1
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Ruptur Uteri

2
BAB lV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kegawatdaruratan obstetri adalah suatu keadaan yang datangnya tiba-


tiba, tidak diharapkan, mengancam jiwa, sehingga perlu penanganan yang
cepat dan tepat untuk mencegah morbiditas maupun mortalitas.
Kegawatdaruratan obstetri diantaranya disebabkan oleh pendarahan,
eklampsia, infeksi, persalianan lama akibat distosia dan keguguran.
Di Indonesia permasalahan gawat darurat obstetri terjadi karena
mengalami empat hal keterlambatan yaitu terlambat mengenali bahaya dan
risiko, terlambat mengambil keputusan untuk mencari pertolongan, terlambat
mendapatkan transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan yang
lebih mampu, dan terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas rujukan.
Oleh karena itu pelayanan obstetri memerlukan kontiunitas pelayanan serta
akses terhadap pelayanan obstetri emergensi ketika timbul komplikasi.
Sehingga setiap persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih,
peningkatan terhadap pelayanan obstetri emergensi, serta sistem rujukan yang
efektif.

B. Saran

Semoga makalah ini bermanfaat

C. DAFTAR PUSTAKA

3
Diakses melalui.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26440/chapter%20I?
sequence=4. Pada tanggal 7 April 2019
Diakses melalui. http://digilib.unila.ac.id/20690/15/BAB%20II.pdf Pada tanggal 7
April 2019
Diakses melalui.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/69170/fulltext.pdf?
sequence=1&isAllowed=y Pada tanggal 7 April 2019

Diakses melalui.
http://repo.unsrat.ac.id/1588/1/16._Clinical_Emergency_in_Obstetric.pdf Pada tanggal 7
April 2019
Diakses melalui. http://perpustakaan.poltekkes-
malang.ac.id/assets/file/kti/1602420015/7._BAB_2_.pdf Pada tanggal 7 April 2019

Diakses melalui. http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/142/jtptunimus-gdl-tyagitakhr-


7082-3-babii.pdf Pada tanggal 7 April 2019

Anda mungkin juga menyukai