Rumah sakit merupakan orang dalam bentuk badan hukum yang akan
melakukan hubungan hukum baik dengan orang pribadi maupun badan
hukum. Badan hukum penyelenggara rumah sakit dapat berupa badan
hukum publik bagi rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
badan hukum privat.
Tanpa disadari, sebenarnya hubungan antara medik dan hukum adalah hubungan
yang objeknya adalah dalam kaitan dengan pemeliharaan kesehatan pada
umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam posisi ini yang
menjadi subjek hukum, meliputi dokter yang bertindak untuk memberikan jasa
pelayanan kesehatan, rumah sakit sebagai penyelenggara lembaga rumah sakit,
serta pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Ketiga subjek tersebut
memiliki peran dalam posisi yang setingkat, dalam arti masing-masing memiliki
hak dan kewajiban hukum, Namun dalam pelaksanaannya, hubungan dari
ketiganya meskipun telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku masih
sering tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesemrawutan (Supriadi, 2000).
Ketentuan pidana rumah sakit yang diatas dalam UU No.44 Tahun 2009
pasal 62-63 adalah sebagai berikut :
a. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan rumah sakit
tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Apabila tindakan pidana tersebut dilakukan koorporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap koorporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda.
c. Selain pidana denda terhadap koorporasi tersebut, koorporasi
dijauhi pidana tambahan berupa :
1) pencabutan izin usaha, dan/atau
2) pencabutan status badan hukum
2. Hukum Perdata
Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun (2007:81), hubungan hukum ini
menyangkut dua macam perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan
perjanjian pelayanan medis. Perjanjian perawatan adalah perjanjian
antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan segala
fasilitasnya kepada pasien. Sedangkan perjanjian pelayanan medis
adalah perjanjian antra rumah sakit dan pasen untuk memberikan
tindakan medis sesuai kebutuhan pasien.
Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi dalam
3 kelompok, yaitu :
1. Yang menyangkut personalia, termasuk sikap/tindak atau kelalaian
sem ua orang yang terlibat dalam kegiatan rumah sakit.
2. Yang menyangkut mutu pemberian pelayanan kesehatan (Standard
of C are) di rumah sakit.
3. Yang menyangkut sarana dan peralatan yang disediakan, baik dibi
dang medis maupun non-medis.
3. Hukum Administratif
Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif
berkaitan dengan kewajiban atau persyaratan administratif yang harus
dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk mempekerjakan tenaga
kesehatan di rumah sakit.
Menurut pasal 7 ayat 1 UU No.44 Tahun 2009, Rumah sakit harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Lokasi (Lingkungan dan Tata Ruang).
2. Bangunan (Ruang-ruang Yankes).
3. Prasarana (Instalasi Penunjang).
4. SDM (Medis, Keperawatan , manajemen RS, dll) terkait Ijin SDM.
5. Kefarmasian.
6. Peralatan.
Sedangkan untuk pengelolaan rumah sakit yang dijelaskan dalam pasal 7 ayat 2
UU No.44 Tahun 2009 adalah :
1. Publik (Pemerintah Atau Pemerintah Daerah).
2. Privat (Swasta).
Sedangkan penetapan kelas untuk Rumah Sakit Umum diatur dalam pasal 24
Permenkes 340 tahun 2010, yaitu :
1. Rumah Sakit Khusus kelas A.
2. Rumah Sakit Khusus kelas B.
3. Rumah Sakit Khusus kelas C.
Selanjutnya pada pasal 25 ayat 1 Permenkes 340 tahun 2010 dijelaskan bahwa
Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan :
1. Pelayanan.
2. Sumber Daya Manusia.
3. Peralatan.
4. Sarana dan Prasarana.
5. Administrasi dan Manajemen.
Setiap rumah sakit yang telah memiliki Izin Operasional dapat mengajukan
permohonan perubahan Izin Operasional secara tertulis jika terjadi
perubahan terhadap :
1. Kepemilikan.
2. Jenis rumah sakit.
3. Nama rumah sakit.
4. Kelas rumah sakit.
ERSI disusun oleh Persatuan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI), memuat
tentang kewajiban umum tentang rumah sakit, kewajiban rumah sakit terhadap
masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban rumah sakit
terhadap tenaga staf dan lain-lain. Pihak yang bertanggung jawab terhadap
pelanggaran etik rumah sakit adalah rumah sakit itu sendiri.
Pada saat ini, beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah
badan yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah
sakit-rumah sakit besar di Indonesia telah ada badan yang dibentuk dibawah
nama Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang diluar negeri disebut Hospital
Ethical Committee, yang anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan,
administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.
Secara umum, ruang lingkup etika rumah sakit yang menurut PERS (Panitia
Etik Rumah Sakit) adalah :
1. Rekam Medis
Definisi
Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis ditetapkan dalam
Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis/Medical
Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).
Menurut Sofwan Dahlan latar belakang perlunya dibuat rekam medis adalah
untuk mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan
kesehatan pasien serta menyediakan media komunikasi di antara tenaga
kesehatan bagi kepentingan perawatan penyakitnya yang sekarang maupun
yang akan datang (2000 : 73).
Hal-hal yang harus dicantumkan dalam rekam medis adalah sebagai berikut:
a. Identitas penderita.
b. Riwayat penyakit.
Sifat kerahasiaan isi rekaman medis di samping merupakan hak bagi pasien,
juga merupakan kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia
jabatan. Tidak diaturnya ketentuan pelanggaran atas rahasia jabatan dokter
dalam Permenkes Rekam Medis dan UU Praktek Kedokteran sebagai
ketentuan khusus (lex specialis), maka ketentuan yang dipergunakan jika
terjadi pelanggaran berdasarkan pada KUHP sebagai ketentuan umum (lex
generali). Ancaman pidana atas dibukanya rahasia jabatan ditentukan dalam
Pasal 322 ayat (1) KUHP, yang menyatakan, “barang siapa dengan
2. Keperawatan
Etika profesi keperawatan merupakan alat untuk mengukur perilaku
moral dalam keperawatan. Dalam penyusunan alat pengukur ini,
keputusan diambil berdasarkan kode etik sebagai standar yang
mengukur dan mengevaluasi perilaku moral perawat. Peraturan tentang
keperawatan diatur dalam UU Nomor 38 tahun 2014.
3. Pelayanan Laboratorium
Untuk menjamin pelayanan laboratorium kesehatan perlu dilakukan
penilaian secara berkala melalui pelaksanaan akreditasi dan penerbitan
sertifikat laboratorium kesehatan.
8. Pelayanan Radiologi
Pelayanan radiologi terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
Menurut Kepmenkes No.129 tahun 2008, jenis pelayanan intensif
memiliki 4 (empat) indikator sebagai berikut :
1) Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto dengan standar <<̲ 3 jam.
2) Pelaksana ekspertisi dengan standar dokter Sp.Rad.
3) Kejadian kegagalan pelayanan rontgen dengan standar
kerusakan foto <<̲2%.
4) Kepuasan pelanggan dengan standar ˃<̲ 80%.
Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter dan pasien,
maka jelas terbentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu,
yakni dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai
penerima pelayanan kesehatan. Pekerjaan dokter dapat dikatakan sebagai
profesi, sebab dilakukan berdasarkan pendidikan formal di pendidikan tinggi
kedokteran dan dokter sebagai professional mempunyai kewenangan
profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu terdapat etika profesi
yang menjadi pedoman tingkah laku dokter dalam menjalankan profesinya
sebagai dokter. Kata dokter bukanlah titel, sarjana kedokteran adalah titel,
sama dengan yuris adalah kata untuk profesi dari sarjana hukum.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat terbentuk perikatan yang lahir
karena perjanjian dan dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh
hubungan hukum dokter dan pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila
pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa
pelayanan kesehatan dengan memesang papan nama, dalam arti pasien menerima
penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena
Sehubungan dengan sahnya perjanjian antara dokter dan pasien, terdapat hal
yang menarik dan seringkali terjadi, bahwa syarat “kecakapan untuk membuat
suatu perikatan” di dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan cakap
berdasarkan hukum, yaitu usia dewasa, dalam arti menurut KUHpdt adalah 21
tahun dan menurut UU no. 1/1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun. Apabila
seorang anak belum dewasa, datang sendirian ke tempat praktik dokter dan
membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, apakah dokter dapat menolaknya
dengan alasan belum dewasa? Padahal dokter tidak boleh menolak permintaan
Mengenai syarat yang ketiga, suatu hal tertentu, pelayanan kesehatan yang
menjadi obyek perjanjian (suatu hal tertentu), adalah pelayanan kesehatan
untuk mengobati pasien yang harus dapat dicapai, kalau pengobatan itu
tidak dapat/tidak mungin dilaksanakan, maka obyeknya perikatan menjadi
tidak tertentu.
Dokter hanya dapat memberikan informasi kepada pasien dan harus meminta
persetujuan untuk diteruskan pelayanan kesehatan. Pemberian persetujuan
atau penolakan persetujuan pelayanan kesehatan adalah sepenuhnya hak dari
pasien. Meski pun dokter tahu bahwa dengan diputuskannya perjanjian
Konsekuensi dari kedua macam hubungan hukum antara dokter dan RS, adanya
perbedaan dalam hal ada gugatan dari pasien. Pada pola hubungan hukum yang
pertama, pasien dapat menggugat RS, karena berdasarkan ketentuan di dalam
KHUPdt, melalui Pasal 1367, yang menentukan bahwa majikan bukan hanya
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, tetapi juga
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Namun Pasal
ini seringkali disalahartikan, bahwa kalau menjadi bawahan dan melakukan
kesalahan, tidak perlu bertanggungjawab, karena majikan akan membayar gugatan
ganti rugi atas kesalahan yang dibuatnya. Tentunya bukan begitu arti dari
ketentuan Pasal 1367 KUHPdt itu, artinya pasien tidak perlu sudah-susah
menggugat dokter yang bawahan RS, tetapi dia dapat menggugat
Pada dasarnya setiap orang yang melakukan kesalahan dan kesalahan itu
menimbulkan kerugian bagi pasien, harus membayar ganti rugi. Pada pola
hubungan yang kedua, yakni dokter adalah “dokter out”, apabila dokter
melakukan kesalahan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi
pasien, maka pasien harus menggugat dokter secara langsung, dalam arti
RS tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya, sebab tidak ada aturan
hukum yang mengharuskan RS membayar ganti rugi atas kesalahan yang
diperbuat oleh dokter out.
Seperti disebutkan di atas, dalam hal dokter adalah “dokter in”, maka pasien
hanya mempunyai satu hubungan hukum, yaitu dengan RS. Sedangkan dalam
hal pasien berhubungan dengan “dokter out”, maka pasien akan mengikatkan
diri dalam dua perikatan, yaitu satu dengan RS dan satu lagi dengan “dokter
out”. Pasien yang hanya membuat satu perjanjian dengan RS yang mempunyai
“dokter in”, tidak perlu repot dalam hal terjadi kesalahan yang menimbulkan
kerugian bagi pasien, cukup menggugat RS. Tanpa perlu mencari tahu siapa
yang melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien.