Anda di halaman 1dari 31

LATAR BELAKANG

Rumah sakit merupakan orang dalam bentuk badan hukum yang akan
melakukan hubungan hukum baik dengan orang pribadi maupun badan
hukum. Badan hukum penyelenggara rumah sakit dapat berupa badan
hukum publik bagi rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
badan hukum privat.

Rumah sakit sebagai “orang” dalam bentuk badan hukum akan


bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ-
organ yang menjalankan tugas rumah sakit dan tanggung jawab tersebut
juga ditanggung oleh yang mengendalikan dan menjalankan fungsi dan
tugas badan hukum tersebut (badan hukum baik badan hukum kenegaraan
maupun badan hukum pribadi (Pasal 1653 KUH Perdata).

Tanpa disadari, sebenarnya hubungan antara medik dan hukum adalah hubungan
yang objeknya adalah dalam kaitan dengan pemeliharaan kesehatan pada
umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam posisi ini yang
menjadi subjek hukum, meliputi dokter yang bertindak untuk memberikan jasa
pelayanan kesehatan, rumah sakit sebagai penyelenggara lembaga rumah sakit,
serta pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Ketiga subjek tersebut
memiliki peran dalam posisi yang setingkat, dalam arti masing-masing memiliki
hak dan kewajiban hukum, Namun dalam pelaksanaannya, hubungan dari
ketiganya meskipun telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku masih
sering tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesemrawutan (Supriadi, 2000).

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 27


Pada kenyataannya banyak rumah sakit di Indonesia yang “enggan”
dengan persoalan yang ada kaitannya dengan hukum, karena hukum
“dianggap” menghambat jalannya roda lembaga rumah sakit, apalagi
rumah sakit adalah menyangkut persoalan pelayanan kesehatan.
Kenyataan ini sebenarnta tidak lepas pula dari para penegak hukum di
Indonesia selama ini yang seringkali justru tidak mencerminkan sikap yang
adil dalam membuat, memeriksa maupun memutus suatu perkara, apalagi
ditambah dengan peraturan yang membuka celah adanya ketidakpastian.

Dasar Hukum Penyelenggaran Rumah Sakit


Di Indonesia, aspek hukum dalam bidang kesehatan sudah diterapkan dengan
dikeluarkannya berbagai undang-undang antara lain Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan
sebagainya. Salah satu aspek hukum adalah aspek hukum pidana. Dari
beberapa undang-undang yang disebutkan diatas masing-masing memiliki
sanksi pidana, baik sanksi pidana untuk profesi ataupun lembaga/institusi. Di
bidang kesehatan selain dugaan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, dugaan malpraktik bisa juga dilakukan oleh rumah sakit.

Yang menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit di


Indonesia adalah :
1. Undang-Undang :
Adapun undang-undang yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
c. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
2. Peraturan Pemerintah :
Adapun Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara
Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota (Bidang Kesehatan).
b. PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 28


3. Peraturan Menteri Kesehatan
Adapun Peraturan Menteri Kesehatan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Permenkes No.512 tahun 2007 tentang Ijin Praktik Dokter.
b. Permenkes No.659 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Indonesia
Kelas Dunia.
c. Permenkes No.147 tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit.
d. Permenkes No.340 tahun 2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
e. Permenkes No.56 tahun 2014 tentang Perijinan dan Klasifikasi
Rumah Sakit.

Pasal 1 angka 1, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menerangkan


bahwa “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.”
Sedangkan pasal 1 angka 3, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
menerangkan bahwa “Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.”

Asas Penyelenggaraan Rumah Sakit


Berdasarkan pasal 2 UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah
Sakit diselenggarakan berdasarkan asas Pancasila berikut :
1. Nilai kemanusiaan (Humanity).
2. Nilai etika dan profesionalitas (Ethics and profesionalism).
3. Nilai manfaat (Benefit).
4. Nilai keadilan (Justice).
5. Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi (Equality and Non Discrimination).
6. Nilai pemerataan (Equal et Bono or Fairness).
7. Nilai perlindungan dan keselamatan pasien (Patient Safety and Protection).
8. Mempunyai fungsi sosial (Social Function).

Adapun tujuan dari pengaturan hukum penyelenggaraan Rumah Sakit


berdasarkan pasal 3 UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah :

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 29


1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit


Tanggung jawab hukum Rumah Sakit meliputi tiga aspek yaitu hukum
perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Dari sisi hukum perdata,
pertanggungjawaban rumah sakit terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pasien dengan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum
administratif berkaitan dengan kewajiban atau persyaratan administratif
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk mempekerjakan
tenaga kesehatan di rumah sakit Sedangkan pertanggungjawaban dari
aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur.
Tindakan Hukum dari segi administratif jika rumah sakit tidak memenuhi
kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka berdasarkan Pasal 46
UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran, teguran
tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.
Sedangkan dari segi pidana jika kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketiga unsur
tersebut adalah adanya kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur
lainya yang tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.

Penjelasan mengenai jenis hukum yang terdapat di Rumah Sakit akan


dijelaskan sebagai berikut :
1. Hukum Pidana
Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 30


sakit memenuhi tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah adanya
kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang
tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem hukum pidana kita, dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka pengurusnya dapat
dikenakan pidana penjara dan denda. Sedangkan untuk korporasi,
dapat dijatuhi pidana denda dengan pemberatan.

Ketentuan pidana rumah sakit yang diatas dalam UU No.44 Tahun 2009
pasal 62-63 adalah sebagai berikut :
a. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan rumah sakit
tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Apabila tindakan pidana tersebut dilakukan koorporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap koorporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda.
c. Selain pidana denda terhadap koorporasi tersebut, koorporasi
dijauhi pidana tambahan berupa :
1) pencabutan izin usaha, dan/atau
2) pencabutan status badan hukum

2. Hukum Perdata
Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun (2007:81), hubungan hukum ini
menyangkut dua macam perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan
perjanjian pelayanan medis. Perjanjian perawatan adalah perjanjian
antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan segala
fasilitasnya kepada pasien. Sedangkan perjanjian pelayanan medis
adalah perjanjian antra rumah sakit dan pasen untuk memberikan
tindakan medis sesuai kebutuhan pasien.

Jika terjadi kesalahan dalam pelayanan kesehatan, maka menurut


mekanisme hukum perdata pihak pasien dapat menggugat dokter
berdasarkan perbuatan melawan hukum. Sedangkan gugatan terhadap

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 31


rumah sakit dapat dilakukan berdasarkan wan prestasi (ingkar janji), di
samping perbuatan melawan hukum.

Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi dalam
3 kelompok, yaitu :
1. Yang menyangkut personalia, termasuk sikap/tindak atau kelalaian
sem ua orang yang terlibat dalam kegiatan rumah sakit.
2. Yang menyangkut mutu pemberian pelayanan kesehatan (Standard
of C are) di rumah sakit.
3. Yang menyangkut sarana dan peralatan yang disediakan, baik dibi
dang medis maupun non-medis.

Menurut hukum kedokteran, ada 4 bentuk risiko yang harus ditanggung


oleh pasien itu sendiri, antara lain yaitu:
a. Kecelakaan (accident, mishap, mischance, misad venture).
b. Risiko pengobatan (risk of treatment).
c. Kesalahan penilaian profesional (error of clinical judgment).
d. Kelalaian pasien (contributory negligence).

3. Hukum Administratif
Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif
berkaitan dengan kewajiban atau persyaratan administratif yang harus
dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk mempekerjakan tenaga
kesehatan di rumah sakit.

UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang


menentukan antara lain kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan
memiliki izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan. Selain itu UU Kesehatan menentukan bahwa tenaga kesehatan
harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
Jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif
tersebut, maka berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 32


sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, tidak
diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.

Syarat Pendirian Rumah Sakit


Menurut pasal 7 ayat 3 UU No.44 Tahun 2009, “Rumah Sakit yang didirikan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus berbentuk Unit Pelaksana
Teknis (UPT) dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi
tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan pengelolaan Badan
Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Kemudian menurut pasal 7 Permenkes No.147 tahun 2010, “Rumah Sakit


yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan
usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.”

Menurut pasal 7 ayat 1 UU No.44 Tahun 2009, Rumah sakit harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Lokasi (Lingkungan dan Tata Ruang).
2. Bangunan (Ruang-ruang Yankes).
3. Prasarana (Instalasi Penunjang).
4. SDM (Medis, Keperawatan , manajemen RS, dll) terkait Ijin SDM.
5. Kefarmasian.
6. Peralatan.

Sedangkan untuk pengelolaan rumah sakit yang dijelaskan dalam pasal 7 ayat 2
UU No.44 Tahun 2009 adalah :
1. Publik (Pemerintah Atau Pemerintah Daerah).
2. Privat (Swasta).

Kebijakan Klasifikasi Rumah Sakit

Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatur mengenai


penetapan kelas Rumah Sakit, sebagaimana berikut :
1. Setiap rumah sakit wajib mendapatkan penetapan kelas dari Menteri.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 33


2. Rumah sakit dapat ditingkatkan kelasnya setelah lulus tahapan
pelayanan akreditasi kelas dibawahnya.

Penetapan kelas untuk Rumah Sakit Umum diatur dalam pasal 4


Permenkes 340 tahun 2010, yaitu :
1. Rumah Sakit Umum kelas A.
2. Rumah Sakit Umum kelas B.
3. Rumah Sakit Umum kelas C.
4. Rumah Sakit Umum kelas D.

Selanjutnya pada pasal 5 Permenkes 340 tahun 2010 dijelaskan bahwa


Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan :
1. Pelayanan.
2. Sumber Daya Manusia.
3. Peralatan.
4. Sarana dan Prasarana.
5. Administrasi dan Manajemen.

Sedangkan penetapan kelas untuk Rumah Sakit Umum diatur dalam pasal 24
Permenkes 340 tahun 2010, yaitu :
1. Rumah Sakit Khusus kelas A.
2. Rumah Sakit Khusus kelas B.
3. Rumah Sakit Khusus kelas C.

Selanjutnya pada pasal 25 ayat 1 Permenkes 340 tahun 2010 dijelaskan bahwa
Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan :
1. Pelayanan.
2. Sumber Daya Manusia.
3. Peralatan.
4. Sarana dan Prasarana.
5. Administrasi dan Manajemen.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 34


Perizinan Rumah Sakit
Perizinan rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.56
tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Setap rumah
sakit wajib memiliki izin yang terdiri atas izin mendirikan dan izin
operasional yang diajukan oleh pihak rumah sakit.

Dalam pasal 25 UU No.44 Tahun 2009, menjelaskan bahwa rumah sakit


harus memiliki izin saat beroperasi. Isi pasal tersebut adalah :
1. Setiap Rumah Sakit harus memiliki izin.
2. Izin yang dimaksud pada terdiri atas:
a. izin mendirikan Rumah Sakit,
b. izin operasional Rumah Sakit.
3. Izin operasional RS terdiri atas:
a. izin operasional sementara,
b. izin operasional tetap.

Pemilik atau pengelola yang akan mendirikan Rumah Sakit mengajukan


permohonan Izin Mendirikan kepada pemberi izin sesuai dengan klasifikasi
Rumah Sakit yang akan didirikan secara tertulis dengan melampirkan :
1. Fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali instansi Pemerintah
atau Pemerintah Daerah.
2. Studi kelayakan.
3. Master plan.
4. Detail Engineering Design.
5. Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
6. Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah atas nama badan
hukum pemilik rumah sakit.
7. Izin undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie/HO).
8. Surat Izin Tempat Usaha (SITU).
9. Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
10. Rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan klasifikasi
Rumah Sakit.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 35


Untuk memperoleh Izin Operasional, pengelola mengajukan permohonan
secara tertulis kepada pejabat pemberi izin sesuai dengan klasifikasi
Rumah Sakit dengan melampirkan dokumen :
1. Izin Mendirikan Rumah Sakit, bagi permohonan Izin Operasional untuk
pertama kali.
2. Profil Rumah Sakit, meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana
strategi, dan struktur organisasi.
3. Isian instrumen self assessment sesuai klasifikasi Rumah Sakit yang meliputi
pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, bangunan dan prasarana.
4. Gambar desain (blue print) dan foto bangunan serta sarana dan
prasarana pendukung.
5. Izin penggunaan bangunan (IPB) dan sertifikat laik fungsi.
6. Dokumen pengelolaan lingkungan berkelanjutan.
7. Daftar sumber daya manusia.
8. Daftar peralatan medis dan non medis.
9. Daftar sediaan farmasi dan alat kesehatan.
10. Berita acara hasil uji fungsi peralatan kesehatan disertai kelengkapan
berkas izin pemanfaatan dari instansi berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk peralatan tertentu.
11. Dokumen administrasi dan manajemen.

Setiap rumah sakit yang telah memiliki Izin Operasional dapat mengajukan
permohonan perubahan Izin Operasional secara tertulis jika terjadi
perubahan terhadap :
1. Kepemilikan.
2. Jenis rumah sakit.
3. Nama rumah sakit.
4. Kelas rumah sakit.

Perubahan Izin Operasional sebagaimana dimaksud dapat diajukan dengan


melampirkan :
1. Akte notaris, surat keputusan dari pejabat yang berwenang, dan/atau
putusan pengadilan tentang perubahan status kepemilikan Rumah Sakit.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 36


2. Rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan klasifikasi
Rumah Sakit;.
3. Studi kelayakan dan rencana strategis perubahan jenis Rumah Sakit
yang memuat kelayakan pada aspek pelayanan, sosial ekonomi,
kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
4. Surat pernyataan pengajuan perubahan Izin Operasional dari pemilik
Rumah Sakit.

Kemudian dalam pasal 2 Permenkes No.147 tahun 2010 dijelaskan pula


beberapa faktor yang dapat menyebabkan perizinan Rumah Sakit dapat
dicabut, apabila :
1. Habis masa berlakunya.
2. Tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar.
3. Terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.

Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Tugas Rumah Sakit menurut pasal 4 UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit yaitu “Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna.” Sedangkan fungsi rumah sakit
berdasarkan pasal 5 UU No.44 Tahun 2009 adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 37


Kewajiban dan Hak Rumah Sakit

Kewajiban Rumah Sakit yang dijelaskan dalam pasal 29 UU No. 44 Tahun


2009 tentang Rumah Sakit, antara lain yaitu :
1. Pelayanan kesehatan.
2. Pelayanan gawat darurat.
3. Fungsi sosial.
4. Menghormati dan melindungi hak pasien.
5. Menyelenggarakan Hospital By Laws.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Rumah Sakit, maka hal


yang akan dilakukan adalah :
1. Teguran (lisan dan tertulis).
2. Denda.
3. Pencabutan ijin.

Sedangkan hak Rumah Sakit yang dijelaskan dalam pasal 30 UU No. 44


Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, antara lain yaitu :
1. Menentukan jumlsh, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasi Rumah Sakit.
2. Menerima imbalan jasa pelayanan serta mebnentukan remunerasi, insnetif dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan.
4. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian.
6. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan.
7. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit
yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 38


Etika Rumah Sakit
Berbagai jenis tenaga kesehatan yang menjalankan profesinya di rumah sakit telah
mempunyai kode etik yang harus dipedomani tiap-tiap profesi. Struktur etik profesi
di bidang kesehatan ini umumnya tidak jauh berbeda, dalam kode etik tiap-tiap
profesi terdapat ketentuan yang memuat tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri
sendiri. Oleh karena itu, secara umum kemungkinan berbenturan sebetulnya jarang
sebab tujuannya adalah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat agar
pelayanan kesehatan dapat berlangsung dengan baik.

ERSI disusun oleh Persatuan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI), memuat
tentang kewajiban umum tentang rumah sakit, kewajiban rumah sakit terhadap
masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban rumah sakit
terhadap tenaga staf dan lain-lain. Pihak yang bertanggung jawab terhadap
pelanggaran etik rumah sakit adalah rumah sakit itu sendiri.
Pada saat ini, beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah
badan yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah
sakit-rumah sakit besar di Indonesia telah ada badan yang dibentuk dibawah
nama Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang diluar negeri disebut Hospital
Ethical Committee, yang anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan,
administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.

Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat/konsultasi melalui diskusi atau


berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus
sulit. Dengan demikian, PERS dapat memberikan manfaat :
1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah
etik di rumah sakit.
2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan
memberikan pendapat untuk penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan
atau tidak, perkara pelanggaran etik ke MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran).

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 39


Etika bagi rumah sakit di Indonesia disusun oleh organisasi
perumahsakitan dari seluruh Indonesia, yakni PERSI (Persatuan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia). Berdasarkan rumusan etika yang disusun oleh
PERSI, etika rumah sakit mencakup :
1. Kewajiban umum rumah sakit.
2. Kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat.
3. Kewajiban rumah sakit terhadap pasien.
4. Kewajiban rumah sakit terhadap tenaga/karyawan.
5. Kewajiban rumah sakit terhadap lainnya.

Secara umum, ruang lingkup etika rumah sakit yang menurut PERS (Panitia
Etik Rumah Sakit) adalah :

1. Rekam Medis

Definisi

Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis ditetapkan dalam
Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis/Medical
Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).

Keberadaan rekam medis diperlukan dalam sarana pelayanan kesehatan,


baik ditinjau dari segi pelaksanaan praktek pelayanan kesehatan maupun
dari aspek hukum. Peraturan hukum yang berhubungan dengan
pelaksanaan pelayanan kesehatan mencakup aspek hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis dapat
dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara hukum. Tidak tersedianya
fasilitas rekam medis masih terjadi di beberapa tempat pada sarana
pelayanan kesehatan. Hal ini menimbulkan permasalahan khususnya
apabila terjadi tuntutan hukum yang berhubungan dengan pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 40


Praktek pelaksanaan pelayanan kesehatan memerlukan beberapa pihak
yang terlibat didalamnya, yaitu meliputi seluruh tenaga kesehatan.
Keterlibatan beberapa pihak dalam pelayanan kesehatan menimbulkan
permasalahan khususnya berhubungan dengan pertanggungjawaban
menurut hukum. Aturan ini sangat menarik dikaji dari aspek hukum,
apalagi dalam prakteknya masih ada sarana pelayanan kesehatan yang
tidak menyediakan fasilitas rekam medis.

Beberapa definisi yang berhubungan dengan pengertian rekam medis


dan pelayanan di bidang kesehatan, yaitu :
a. Menurut ketentuan Pasal 1 Permenkes Rekam Medis :
1) Ayat 1 yang berisi “Rekam medis adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien.”
2) Ayat 2 yang berisi “Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter
spesialis, dokter gigi spesialis lulusan Pendidikan Kedokteran
atau Kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
3) Ayat 3 yang berisi “Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat
penyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan yang dapat
digunakan untuk praktek kedokteran atau kedokteran gigi.”
b. Menurut UU RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan :
1) Pasal 1 ayat 1 yang berisi “Kesehatan adalah keadaan sehat baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
2) Pasal 1 ayat 6 yang berisi “Tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan / atau keterampilan melalui
pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.”
c. Definisi rekam medis menurut Yusuf Hanafiah dan Amri Amir adalah
kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 41


dan catatan segala kegiatan para pelayanan kesehatan atas pasien
dari waktu ke waktu. (1999 : 59).

Pentingnya Rekam Medis


Rekam medis terkait dengan standar pelayanan rumah sakit dan
pelayanan kesehatan. Penyediaan fasilitas rekam medis merupakan
alat bukti dalam proses pelayanan kesehatan yang telah diberikan pada
pasien. Ketentuan rekam medis ditetapkan dalam rangka untuk
membina organisasi dan manajemen rumah sakit.

Sejak diterbitkannya keputusan Men.Kes. RI No.031/Birhup/1972 yang


menyatakan bahwa semua rumah sakit diharuskan mengerjakan
medical recording dan reporting dan hospital statistic. Keputusan
tersebut kemudian dilanjutkan dengan adanya keputusan Men. Kes. RI
No.034/Birhup/1972 tentang perencanaan dan pemeliharaan Rumah
Sakit (Jusuf Hanafah dan Amri Amir, 1999 : 57).

Dasar pertimbangan perlunya penyediaan rekam medis menurut Permenkes


Rekam Medis adalah dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat perlu adanya peningkatan mutu pelayanan
kesehatan. Di samping itu, dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan
harus disertai adanya sarana penunjang yang memadai, antara lain melalui
penyelenggaraan rekam medis pada setiap sarana pelayanan kesehatan.
Dengan demikian, rekam medis merupakan hak bagi pasien yang perlu
disediakan terutama untuk kepentingan pelayanan yang optimal.

Menurut Sofwan Dahlan latar belakang perlunya dibuat rekam medis adalah
untuk mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan
kesehatan pasien serta menyediakan media komunikasi di antara tenaga
kesehatan bagi kepentingan perawatan penyakitnya yang sekarang maupun
yang akan datang (2000 : 73).
Hal-hal yang harus dicantumkan dalam rekam medis adalah sebagai berikut:
a. Identitas penderita.
b. Riwayat penyakit.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 42


c. Laporan pemeriksaan fisik.
d. Instruksi diagnostik dan terapeutik yang ditandatangani oleh
dokter yang berwenang.
e. Catatan pengamatan atau observasi.
f. Laporan tindakan dan penemuan.
g. Ringkasan riwayat pada waktu pasien meninggalkan sarana
pelayanan kesehatan.
h. Kejadian-kejasian yang menyimpang

Pasal 13 Permenkes Rekam Medis menyatakan bahwa ekam medis


dapat dipakai sebagai :
a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum.
c. Keperluan penelitian dan pendidikan.
d. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan.
e. Data statistik kesehatan.

Akibat Hukum Rekam Medis


Sanksi pelanggaran yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran tentang tidak
tersedianya fasilitas rekam medis menurut Permenkes Rekam Medis Pasal 17
adalah sanksi administratif. Disamping itu, Pasal 79 UU No.29/2004 tentang
Praktik Kedokteran mengancam sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memasang papan nama,
tidak membuat rekam medis dan tidak memenuhi kewajiban.

Sifat kerahasiaan isi rekaman medis di samping merupakan hak bagi pasien,
juga merupakan kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia
jabatan. Tidak diaturnya ketentuan pelanggaran atas rahasia jabatan dokter
dalam Permenkes Rekam Medis dan UU Praktek Kedokteran sebagai
ketentuan khusus (lex specialis), maka ketentuan yang dipergunakan jika
terjadi pelanggaran berdasarkan pada KUHP sebagai ketentuan umum (lex
generali). Ancaman pidana atas dibukanya rahasia jabatan ditentukan dalam
Pasal 322 ayat (1) KUHP, yang menyatakan, “barang siapa dengan

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 43


sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam
ratus juta rupiah.” Atas dibukanya rahasia jabatan selain diatur dalam
hukum pidana, juga ditentukan dalam KUH Perdata Pasal 1365, yang
menyatakan, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

2. Keperawatan
Etika profesi keperawatan merupakan alat untuk mengukur perilaku
moral dalam keperawatan. Dalam penyusunan alat pengukur ini,
keputusan diambil berdasarkan kode etik sebagai standar yang
mengukur dan mengevaluasi perilaku moral perawat. Peraturan tentang
keperawatan diatur dalam UU Nomor 38 tahun 2014.

Menurut American Ethics Commission Bureau on Teaching, tujuan


etika keperawatan adalah mampu :
a. Mengenal dan mengidentifikasi unsur norma dalam praktek
keperawatan.
b. Membentuk strategi atau cara dan menganalisis masalah norma
yang terjadi dalam praktek keperawatan.
c. Menghubungkan prinsip moral atau pelajaran yang baik dan dapat
dipertanggung jawabkan pada diri sendiri, keluarga, masyarakat,
dan kepada Tuhan, sesuai dengan kepercayaan.

Fungsi hukum dalam pelayanan keperawatan antara lain adalah :


a. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan.
b. Membedakan tanggung jawab dengan profesi yang lain.
c. Membantu mempertahankan standar praktek keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum.

Peraturan yang mengatur mengenai keperawatan antara lain adalah


sebagai berikut :

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 44


a. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :
1) BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
2) Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.

b. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:


1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat
(sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000) :
1) BAB I Ketentuan Umum Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a) Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat
baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti
tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan
pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia.
c) Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh
wilayah Indonesia. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yang menjelaskan “barang siapa yang tanpa
keahlian dan kewenangan dengan sengaja : melakukan
pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud
pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 45


2) BAB III Perizinan, Pasal 8 :
a) Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada
sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau
berkelompok.
b) Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada
sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (Surat Izin
Keperawatan).
c) Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok
harus memiliki SIPP.

3. Pelayanan Laboratorium
Untuk menjamin pelayanan laboratorium kesehatan perlu dilakukan
penilaian secara berkala melalui pelaksanaan akreditasi dan penerbitan
sertifikat laboratorium kesehatan.

Peraturan/kebijakan yang mendasari tentang pelayanan laboratorium


antara lain yaitu :
a. Peraturan Menteri Kesehatan No.43 tahun 2013 tentang Cara
Penyelenggaraan Laboratorium Klinik yang Baik.
b. Keputusan Menteri Kesehatan No.298 tahun 2008 tentang Pedoman
Akreditasi Laboratorium Kesehatan.

4. Pelayanan Pasien Dewasa


Pelayanan rumah sakit terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
“Standar pelayanan minimal adalah ketentuan tentang jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Juga merupakan
spesifikasi teknik tentang tolak ukur pelayanan minimum yang
diberikan oleh Badan Layanan Umum kepada masyarakat.”

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 46


c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.

5. Pelayanan Kesehatan Anak


Hak kesehatan merupakan Hak Asasi Anak, yang mengacu pada :
a. UUD 1945 pasal 28 B
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan
c. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan
d. Konvensi Hak Anak (KHA)
e. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
1) Pasal 4
“Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
2) Pasal 8
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.”
f. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

6. Pelayanan Klinik Medik


Pelayanan rumah sakit terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik.
c. UU No.9 tahun 2014 tentang Klinik.
Menjelaskan bahwa “Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang
menyediakan pelayanan medis.”

7. Pelayanan Intensif, Anestesi dan Euthanasia


Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia terhadap pasien mengacu
kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 47


b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
Menurut Kepmenkes No.129 tahun 2008, jenis pelayanan intensif
memiliki 2 (dua) indikator sebagai berikut :
1) Rata-rata pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan
kasus yang sama < 72 jam dengan standar <<̲ 3%.
2) Pemberi pelayanan unit intensif dengan standar :
a) Dokter Sp. Anestesi dan dokter spesialis sesuai dengan
kasus yang ditangani.
b) 100% perawat minimal D3 dengan sertifikat perawat mahir
ICU/setara D4.

8. Pelayanan Radiologi
Pelayanan radiologi terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
Menurut Kepmenkes No.129 tahun 2008, jenis pelayanan intensif
memiliki 4 (empat) indikator sebagai berikut :
1) Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto dengan standar <<̲ 3 jam.
2) Pelaksana ekspertisi dengan standar dokter Sp.Rad.
3) Kejadian kegagalan pelayanan rontgen dengan standar
kerusakan foto <<̲2%.
4) Kepuasan pelanggan dengan standar ˃<̲ 80%.

9. Pelayanan Kamar Operasi


Kamar operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk
melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, yang
membutuhkan keadaan suci hama (steril).

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 48


Secara umum lingkungan kamar operasi terdiri dari 3 area, yaitu :
a. Area bebas terbatas (unrestricted area)
Pada area ini petugas dan pasien tidak perlu menggunakan pakaian
khusus kamar operasi.
b. Area semi ketat (semi restricted area)
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar
operasi yang terdiri atas topi, masker, baju dan celana operasi.
c. Area ketat/terbatas (restricted area)
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar
operasi lengkap dan melaksanakan “prosedur aseptic”. Pada area
ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi
lengkap yaitu : topi,masker,baju dan celana operasi serta
melaksanakan prosedur aseptic.

Pelayanan kamar operasi terhadap pasien mengacu kepada :


a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
d. Kepmenkes RI No.1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Ruang Kamar Operasi Rumah Sakit atau Klinik Indonesia, dimana
persyaratan ruang operasi adalah sebagai berikut :
1) Indeks angka kuman: 10 CFU/m³
2) Indeks pencahayaan: 300 – 500 lux.
3) Standar suhu: 19 – 24 ºC, kelembaban: 45 – 60 %.
4) Tekanan udara: Positif.
5) Indeks kebisingan 45 dBA.
6) Waktu pemaparan 8 jam.

10. Pelayanan Rehabilitasi Medik


Pelayanan rehabilitasi medik terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 49


b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
d. Permenkes No.2415/Menkes/Per/2011 tentang Rehabilitasi Medis,
Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan.
e. Kemenkes No.378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman Pelayanan
Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit.
Dalam Kemenkes No.378/Menkes/SK/IV/2008, dijelaskan bahwa
pelayanan rehabilitasi medik di rumah sakit meliputi seluruh upaya
kesehatan pada umumnya, yaitu :
1) Upaya promotif
Upaya yang dilakukan dengan penyuluhan, informasi dan
edukasi tentang hidup sehat dan aktifitas yang tepat untuk
mencegah kondisi sakit.
2) Upaya preventif
Upaya yang dilakukan dengan edukasi dan penanganan yang
tepat pada kondisi sakit/penyakit untuk mencegah dan atau
meminimalkan gangguan fungsi atau resiko kecacatan.
3) Upaya kuratif
Upaya penanganan yang dilakukan melalui paduan intervensi
medik, keterapian fisik dan upaya rehabilitatif untuk mengatasi
penyakit/kondisi sakit untuk mengembalikan dan
mempertahankan kemampuan fungsi.
4) Upaya rehabilitatif
Upaya penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian
fisik, keteknisan medik dan upaya rehabilitatif lainnya melalui
pendekatan psiko-sosio-edukasi-okupasi-vokasional untuk
mengatasi penyakit/kondisi sakit yang bertujuan mengembalikan
dan mempertahankan kemampuan fungsi, meningkatkan aktifitas
dan peran serta/partisipasi di masyarakat.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 50


11. Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat terhadap pasien mengacu kepada :
a. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. UU No.65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
c. Kepmenkes No.129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.

Menurut Kepmenkes No.129 tahun 2008, jenis pelayanan intensif


memiliki 9 (sembilan) indikator sebagai berikut :
1) Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa
berstandar 100%.
2) Jam buka pelayanan gawat darurat dengan standar 24 jam.
3) Memberi pelayanan gawat darurat bersertifikat dengan standar
100%.
4) Ketersediaan tim penanggulangan bencana dengan standar
satu tim.
5) Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat dengan
standar <<̲ 5 menit terlayani, setelah pasien datang.
6) Kepuasan pelanggan dengan standar ˃<̲ 70%.
7) Kematian pasien < 24 jam dengan standar <<̲ dua per seribu
(pindah ke pelayanan rawat inap setelah 8 jam).
8) Khusus untuk RS jiwa, pasien dapat ditenangkan dalam waktu
<<̲48 jam dengan standar 100%.
9) Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka
dengan standar 100%.

12. Pelayanan Medikolegal


Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu
yaitu medico yang berarti ilmu kedokteran dan -legal yang berarti ilmu
hukum. Medikolegal berpusat pada standar pelayanan medis dan
standar pelayanan operasional dalam bidang kedokteran dan hukum –
hukum yang berlaku pada umumnya dan hukum – hukum yang bersifat
khusus seperti kedokteran dan kesehatan pada khususnya.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 51


Kasus medikolegal dapat didefinisikan sebagai kasus cedera, cacat atau
meninggal dimana penyelidikan dari lembaga penegak hukum sangat
penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas cedera,
cacat atau, meninggal tersebut, apakah dokter yang bertanggung jawab?
Atau pasien sendiri yang bertanggung jawab atas cedera, cacat atau
meninggal tersebut? Dalam Bahasa sederhananya adalah sebuah kasus
hukum yang memerlukan keahlian medis dalam penyelesaiannya.

Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien


Hubungan antara dokter dan pasien selain hubungan medik, terbentuk pula
hubungan hukum. Pada hubungan medik, hubungan dokter dan pasien
adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti pasien adalah orang
sakit dan dokter adalah orang sehat; pasien adalah awam dan dokter
adalah pakar. Namun dalam hubungan hukum terdapat hubungan yang
seimbang, yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter dan hak dokter
menjadi kewajiban pasien dan keduanya adalah subyek hukum pribadi.

Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter dan pasien,
maka jelas terbentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu,
yakni dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai
penerima pelayanan kesehatan. Pekerjaan dokter dapat dikatakan sebagai
profesi, sebab dilakukan berdasarkan pendidikan formal di pendidikan tinggi
kedokteran dan dokter sebagai professional mempunyai kewenangan
profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu terdapat etika profesi
yang menjadi pedoman tingkah laku dokter dalam menjalankan profesinya
sebagai dokter. Kata dokter bukanlah titel, sarjana kedokteran adalah titel,
sama dengan yuris adalah kata untuk profesi dari sarjana hukum.

Hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat terbentuk perikatan yang lahir
karena perjanjian dan dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh
hubungan hukum dokter dan pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila
pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa
pelayanan kesehatan dengan memesang papan nama, dalam arti pasien menerima
penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 52


perjanjian.
Perikatan antara dokter dan pasien yang lahir karena UU, apabila dokter
secara sukarela membantu orang yang menderita karena kecelakaan, di
mana dokter sebagai misal, sedang lewat di tempat kecelakaan, tanpa ada
perintah atau permintaan dari siapa pun, dokter menyelenggarakan
kepentingan yang menderita kecelakaan, maka dokter mempunyai
kewajiban untuk sampai menyelesaikan pekerjaan sampai orang yang
celaka atau keluarganya, dapat mengurusnya.

Dituliskan sebelumnya, doktrin ilmu hukum mengatakan ada dua macam


perikatan, yaitu perikatan hasil di mana prestasinya berupa hasil tertentu dan
perikatan ikhtiar di mana prestasinya berupa upaya semaksimal mungkin.
Perikatan antara dokter dengan pasien hampir seluruhnya berupa perikatan
ikhtiar, di mana dokter berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati
penyakit yang diderita oleh pasien. Apabila dokter telah berupaya semaksimal
mungkin dan pasien tidak sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja
dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain,
pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter
harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati pasien. Sepakat mereka
yang mengikatkan diri sebagai adalah syarat pertama bagi sahnya perjanjian,
seringkali diartikan bahwa sepakat ini harus dinyatakan dengan tegas, namun
ada sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam, dalam arti apabila pasien
tidak menolak, maka telah terjadi sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam.
Dengan perkataan lain, kalau pasien menolak pelayanan kesehatan harus
dinyatakan dengan tegas.

Sehubungan dengan sahnya perjanjian antara dokter dan pasien, terdapat hal
yang menarik dan seringkali terjadi, bahwa syarat “kecakapan untuk membuat
suatu perikatan” di dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan cakap
berdasarkan hukum, yaitu usia dewasa, dalam arti menurut KUHpdt adalah 21
tahun dan menurut UU no. 1/1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun. Apabila
seorang anak belum dewasa, datang sendirian ke tempat praktik dokter dan
membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, apakah dokter dapat menolaknya
dengan alasan belum dewasa? Padahal dokter tidak boleh menolak permintaan

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 53


bantuan jasa pelayanan kesehatan dari siapa pun juga. Tentunya dokter
tidak dapat menolak, terlebih dalam keadaan darurat, ketentuan ini dapat
diabaikan, namun untuk tindakan invasif, sebaiknya diupayakan agar ada
wali yang mendampingi anak. Perlu diketahui bahwa di beberapa negara
telah memberikan hak kepada anak berumur 14 tahun untuk mandiri dalam
bidang pelayanan kesehatan.

Mengenai syarat yang ketiga, suatu hal tertentu, pelayanan kesehatan yang
menjadi obyek perjanjian (suatu hal tertentu), adalah pelayanan kesehatan
untuk mengobati pasien yang harus dapat dicapai, kalau pengobatan itu
tidak dapat/tidak mungin dilaksanakan, maka obyeknya perikatan menjadi
tidak tertentu.

Syarat yang terakhir, mengenai suatu sebab (kausa) yang halal,


dimaksudkan bahwa diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang
menjadi tujuan dari pelayanan kesehatan itu sendiri, harus diperbolehkan
oleh hukum, ketertiban dan kesusilaan. Contoh pelayanan kesehatan yang
melanggar hukum adalah tindakan pengguguran kandungan tanpa alasan
medik, yang dikenal sebagai pengguguran kandungan buatan yang
kriminalis. Kemudian pembahasan mengenai akibat hukum perjanjian yang
sah, diatur di dalam Pasal 1338 KUHPer. Namun dalam pelayanan
kesehatan mengalami penyimpangan, sebab perjanjian pelayanan
kesehatan antara dokter dan pasien yang telah dibuat secara sah, yang
berlaku sebagai UU bagi para pihak, dapat diputuskan tanpa sepakat pihak
yang lainnya oleh pasien, karena pasien kapan saja dapat memutuskan
perjanjian tanpa alasan apa pun juga. Dokter tidak dapat memaksakan
kehendak kepada pasien, pasien mempunyai hak untuk menentukan diri
sendiri (the right of self determination), yang merupakan hak asasi pasien.

Dokter hanya dapat memberikan informasi kepada pasien dan harus meminta
persetujuan untuk diteruskan pelayanan kesehatan. Pemberian persetujuan
atau penolakan persetujuan pelayanan kesehatan adalah sepenuhnya hak dari
pasien. Meski pun dokter tahu bahwa dengan diputuskannya perjanjian

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 54


pelayanan kesehatan, dapat menyebabkan pasien meninggal dunia, dokter
tidak berhak memaksakan pelayanan kesehatan.

Hubungan Hukum antara Dokter dan Rumah Sakit


Hubungan dokter dan RS, menurut hukum terdapat dua macam hubungan.
Hubungan pertama terdapat hubungan ketenagakerjaan, yakni dokter adalah
pegawai RS, dalam arti ada hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja
(istilah dahulu hubungan buruh dengan majikan). Pola hubungan hukum seperti
ini, dokter disebut sebagai “dokter in” dari RS. Dokter yang pegawai RS, harus
tunduk kepada seluruh peraturan tentang ketenagakerjaan. Hak dan kewajiban
yang timbal balik antara pemberi kerja dan penerima kerja, selain diatur baik di
dalam perundangan ketenagakerjaan, juga diatur di dalam KHUPdt.
Terdapat hubungan lain antara dokter dengan RS, yakni dokter bukan pegawai
dari RS, antara dokter dan RS terdapat perikatan yang lahir karena perjanjian.
Inti dari perjanjian itu, dokter dapat menggunakan fasilitas RS, pada saat
dokter dan pasien terdapat hubungan hukum pelayanan kesehatan. Pola
hubungan hukum kedua ini, yakni terbentuk hubungan antara dokter dan RS
berdasarkan perjanjian, seluruhnya diatur dengan peraturan yang ada di dalam
KUHPer, tidak berlaku peraturan tentang ketenagakerjaan. Dokter adalah
“dokter out”, yang hanya menggunakan fasisitas yang ada di RS, sebagai
misal fasilitas rawat jalan dan atau fasilitas rawat inap yang dipunyai oleh RS.

Konsekuensi dari kedua macam hubungan hukum antara dokter dan RS, adanya
perbedaan dalam hal ada gugatan dari pasien. Pada pola hubungan hukum yang
pertama, pasien dapat menggugat RS, karena berdasarkan ketentuan di dalam
KHUPdt, melalui Pasal 1367, yang menentukan bahwa majikan bukan hanya
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, tetapi juga
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Namun Pasal
ini seringkali disalahartikan, bahwa kalau menjadi bawahan dan melakukan
kesalahan, tidak perlu bertanggungjawab, karena majikan akan membayar gugatan
ganti rugi atas kesalahan yang dibuatnya. Tentunya bukan begitu arti dari
ketentuan Pasal 1367 KUHPdt itu, artinya pasien tidak perlu sudah-susah
menggugat dokter yang bawahan RS, tetapi dia dapat menggugat

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 55


RS yang menjadi majikan dokter. Sedangkan antara dokter dengan RS,
tentunya terdapat perjanjian tersendiri mengenai pembayaran ganti rugi,
kalau tidak diperjanjikan, maka dokter harus membayar kembali ganti rugi
yang telah dibayarkan oleh RS kepada pasien.

Pada dasarnya setiap orang yang melakukan kesalahan dan kesalahan itu
menimbulkan kerugian bagi pasien, harus membayar ganti rugi. Pada pola
hubungan yang kedua, yakni dokter adalah “dokter out”, apabila dokter
melakukan kesalahan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi
pasien, maka pasien harus menggugat dokter secara langsung, dalam arti
RS tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya, sebab tidak ada aturan
hukum yang mengharuskan RS membayar ganti rugi atas kesalahan yang
diperbuat oleh dokter out.

Hubungan Hukum antara Rumah Sakit dan Pasien


RS adalah sarana kesehatan, mempunyai fungsi selain memberikan
pelayanan rawat jalan juga pelayanan rawat inap kepada pasien. Hubungan
hukum yang timbul antara RS dan pasien tergantung dari hubungan antara
dokter dengan RS.
Merujuk pada bentuk hubungan dokter RS yang dapat sebagai “dokter in”
dan “dokter out”, maka begitu pula hubungan RS dengan pasien, dapat
saja pasien mempunyai hubungan dengan RS bersama dengan “dokter in”
dan dapat juga pasien mempunyai hubungan hukum dengan RS dan juga
mempunyai hubungan hukum dengan “dokter out”.

Seperti disebutkan di atas, dalam hal dokter adalah “dokter in”, maka pasien
hanya mempunyai satu hubungan hukum, yaitu dengan RS. Sedangkan dalam
hal pasien berhubungan dengan “dokter out”, maka pasien akan mengikatkan
diri dalam dua perikatan, yaitu satu dengan RS dan satu lagi dengan “dokter
out”. Pasien yang hanya membuat satu perjanjian dengan RS yang mempunyai
“dokter in”, tidak perlu repot dalam hal terjadi kesalahan yang menimbulkan
kerugian bagi pasien, cukup menggugat RS. Tanpa perlu mencari tahu siapa
yang melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 56


Namun dalam hal terdapat dua perjanjian, yaitu dengan RS dan “dokter out”, maka
pasien harus mencari tahu terlebih dahulu, siapa yang melakukan kesalahan yang
menimbulkan kerugian bagi pasien. Apabila kesalahan dilakukan oleh RS, maka
pasien hanya menggugat RS. Apabila kesalahan dilakukan oleh “dokter out”, maka
pasien harus hanya menggugat “dokter out”, dalam arti salah alamat kalau pasien
menggugat RS. Begitu pula, kalau kesalahan dibuat oleh baik RS, mau pun “dokter
out”, maka guagatan harus ditujukan kepada keduanya. Kiranya perlu ditambahkan
sebagai bahan perbandingan, di Belanda terdapat keinginan dari pasien agar
diterapkan “tanggungjawab hukum terpusat” (centraal aanspraakelijkheid) RS baik
untuk “dokter in” mau pun untuk “dokter out”, yakni pada kasus terjadi kerugian
yang diderita oleh pasien, pasien tidak perlu mencari tahu siapa yang telah
melakukan kesalahan, namun dapat langsung mengajukan gugatan kepada RS.
Tentunya konstruksi hukum seperti ini mendapatkan tentangan dari “dokter out”.
Bagi RS tidak ada masalah diletakkannya tanggungjawab hukum terpusat, sebab
RS akan melemparkan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yaitu asuransi,
sedangkan bagi “dokter out” dengan adanya tanggungjawab hukum terpusat, akan
memberikan kekuasaan kepada RS untuk mengatur “dokter out”, hal ini yang tidak
dinginkan oleh “dokter out”. “Dokter out” menginginkan adanya kebebasan dalam
menyelenggarakan pelayan kesehatan, dan tidak mau RS mempunyai kekuasaan
mengatur “dokter out”. Setiap “dokter out” di Negara Kincir Angin itu tidak perlu
takut menghadapi gugatan dari pasien, karena mereka pun telah mengalihkan
tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yaitu asuransi, sehingga konstruksi
tanggungjawab hukum terpusat tidak pernah terlaksana.

STUDI KELAYAKAN - Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Halaman 57

Anda mungkin juga menyukai