Anda di halaman 1dari 19

TANGGUNG JAWAB HUKUM DI RUMAH

SAKIT DALAM PELAYANAN


KESEHATAN
Kelompok 4

Muhammad Tarmizi 191000022

Dinda Aprilia Lubis 191000029

Listi Azizah Harahap 191000039

Pegy Clara Br Kaban 191000047

Nur Fadilah Aini Tambunan 191000052


ASPEK MENEJERIAL

Manajerial di rumah sakit diperlukan untuk merencanakan pengoperasian rumah


sakit dan bertanggung jawab penuh dengan apa yang ada di rumah sakit.
Pengorganisasian Rumah Sakit

Terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44


Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit BAB IX Penyelenggaraan

Pasal 33 Pasal 34
(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi (1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis
yang efektif, efisien, dan akuntabel. yang mempunyai kemampuan dan keahlian di
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas bidang perumahsakitan.
Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, (2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan
unsure pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan
penunjang medis, komite medis, satuan Indonesia.
pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan (3) Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap
keuangan. menjadi kepala Rumah Sakit. Selanjutnya terkait
pengorganisasian ini terdapat pada pasal 35
sampai dengan pasal 47
“Hubungan Hukum Rumah Sakit Dengan Pasien,
Pihak Ketiga, Dan Pekerja”
1. Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Pasien.

Hubungan hukum rumah sakit-pasien adalah sebuah


Hubungan hukum Rumah sakit dengan pasian diatur
hubungan perdata yang menekankan pelaksanaan hak-
berdasarkan UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu :
hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak
secara timbal balik. Rumah sakit berkewajiban untuk
memenuhi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien  Pasal 1 Ayat 4
berkewajiban memenuhi hak-hak rumah sakit.
Kegagalan salah satu pihak memenuhi hak-hak pihak  Pasal 2
lain, apakah karena wanprestasi atau kelalaian akan  Pasal 3 huruf b
berakibat pada gugatan atau tuntutan perdata yang
berupa ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh  Pasal 6 Ayat 1 huruf e
pasien.  Pasal 13 ayat 3
 Pasal 16 ayat 4
2. Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Pihak Ketiga

 Hubungan hukum rumah sakit dan pihak ketiga (wartawan,


pengacara) diatur dalam undang-undang No. 44 tahun 2009
tentang rumah sakit.

 Pihak ketiga tidak dapat langsung memberitakan hal yang


belum pasti kebenarannya kepada publik.

 Apabila pihak ketiga (wartawan, pengacara) memberitakan


hal yang tidak benar dan merugikan berbagai pihak, maka
hal tersebut dapat dijadikan perkara dan diproses melalui
jalur hukum
3. Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Pekerja
 Dokter sebagai employee  Dokter sebagai attending physician (mitra)
Kedudukan Rumah Sakit adalah Kedudukan antara dokter dan Rumah Sakit adalah sama
sebagai pihak yang harus memberikan derajatnya. Posisi dokter adalah sebagai pihak yang wajib
prestasi, sementara dokter hanya memberikan prestasi, sedangkan fungsi Rumah Sakit
berfungsi sebagai employee(sub-ordinate hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas (tempat
dari Rumah Sakit) yang bertugas tidur, makan dan minum, perawat atau bidan serta sarana
melaksanakan kewajiban Rumah Sakit medik dan non medik). Konsepnya seolaholah Rumah Sakit
dengan perkataan lain, kedudukan Rumah menyewakan fasilitasnya.
Sakit adalah sebagai principal dan dokter
 Dokter sebagai independent contractor
sebagai agent.
Bahwa dokter bertindak dalam profesinya sendiri dan tidak
terikat dengan institusi manapun. Masing-masing dari pola
hubungan kerja tersebut akan sangat menentukankan apakah
Rumah Sakit harus bertanggung jawab, atau tidak terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dokter, serta
sejauh mana tanggung jawab dokter terhadap pasiennya di
Rumah Sakit tergantung pada pola hubungan kerjanya dengan
Rumah Sakit di mana dia bekerja.
PERIZINAN RUMAH SAKIT
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020
Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
Pasal 21
1) Setiap Rumah Sakit wajib memiliki izin setelah memenuhi persyaratan.
2) Persyaratan yang telah ditetapkan meliputi lokasi, bangunan, prasarana,
sumber daya manusia, kefarmasian dan peralatan.

Pasal 27
3) Perizinan Rumah Sakit terbagi menjadi 2 yaitu izin mendirikan Rumah Sakit
dan izin operasional Rumah Sakit.
4) Izin mendirikan Rumah Sakit adalah izin yang diajukan pemilik rumah sakit
untuk mendirikan bangunan atau mengubah fungsi bangunan yang telah ada
menjadi rumah sakit.
5) izin operasional Rumah Sakit adalah izin yang diajukan pimpinan rumah sakit
untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan termasuk penetapan kelas
rumah sakit dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.
 PERMENKES RI/NOMOR 147/MENKES/PER/I/2010 tentang perizinan rumah sakit.
Yang dimana memilki ruang lingkup pembahasan yang sempit hanya membahas mengenai
bagaimana cara mendapatkan izin Rumah Sakit dan ketentuan teknis dalam pembuatan izin tersebut

 PERMENKES RI NOMOR 56 tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit;
 PERMENKES RI NOMOR 30 tahun 2019 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit
Persyaratan Untuk mendapatkan Izin Operasional Rumah Sakit

1. Rumah Sakit harus memenuhi syarat antara lain


membuat profil rumah sakit.
2. Self assessment.
3. Menyertakan surat keterangan atau sertifikat izin
kelayakan pemanfataan dan kalibrasi alat kesehatan,
sertifikat akreditasi, serta surat pernyataan yang
menyatakan komitmen jumlah tempat tidur untuk
rumah sakit penanaman modal asing berdasarkan
kesepakatan/ kerja sama Internasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
Sanksi
sesuai dengan peraturan republik indonesia
yaitu pada undang-undang No.44 tahun
2009 dan undang-undang No.36 Tahun
2009
Sanksi Administrasi Sanksi Pidana Sanksi Perdata
• sanksi yang dikenakan terhadap  Disebut Hukuman  Bentuk sanksi dalam
pelanggaran administrasi atau ketentuan  Diatur dalam Pasal 10 hukum perdata dapat
undang-undang yang bersifat KUHP berupa:
administratif  Bentuk Hukuman • kewajiban untuk
• Bentuk sanksi Administrasi: dibedakan atas: memenuhi prestasi
 denda (misalnya yang diatur • Hukuman Pokok (kewajiban)
dalam UU Kesehatan, UU RS, • Hukuman • hilangnya suatu
UU Tenaga Kesehatan) Tambahan keadaan hukum,
pembekuan hingga pencabutan yang diikuti dengan
sertifikat dan/atau izin (misalnya ijin terciptanya suatu
praktik tenaga kesehatan), keadaan hukum baru
 penghentian sementara pelayanan
administrasi hingga pengurangan
jatah produksi (misalnya
pengehentian sementara
pelayanan kesehatan pada
sarpelkes yang tidak memiliki
ijin),
 tindakan administratif
 undang-undang No.44 tahun 2009

Pasal 25 ayat
Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin.

Pasal 62
“Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima
milyar rupiah).”
 
Undang–undang No.36 Tahun 2009

Pasal 190 ayat


1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas
seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).

Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Pasal 201 ayat


(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Faktor-faktor Penghambat Tidak Terlaksananya Hukum
Di Rumah Sakit
 Kelemahan dalam perundang-undangan dan faktor dari aparat penegak hukum

 Kurangnya sosialisasi kepada pihak rumah sakit

 Enggan melaksanakan hukum yang berlaku karena hukum dianggap menghambat


jalannya roda lembaga rumah sakit

 Hukum yang dibuat hanya menjadi alat politik untuk menyudutkan satu pihak

 Tidak adanya transparan penegakan hukum

 Masih adanya nepotisme


terimakasih

Anda mungkin juga menyukai