Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan merupakan karunia paling agung yang dianugerahkan oleh

Tuhan Yang Maha Kuasa kepada setiap orang, sehingga kehidupan perlu

dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Kehidupan merupakan hak

paling dasar milik manusia dan hak tersebut tidak dapat dicabut atau dikurangi

oleh siapapun dalam keadaan apapun. Hak hidup merupakan unsur paling utama

dari konsep hak asasi manusia (HAM). Negara menjamin dan melindungi hak

hidup sebagai dasar dari hak asasi manusia untuk seluruh rakyatnya, hal ini

tercantum dan sesuai dengan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 28A dan Pasal 28B Ayat (2) yang menentukan :

Pasal 28A:

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya.

Pasal 28 B Ayat (2):

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hak hidup merupakan unsur

utama dari HAM, sehingga negara juga menjamin serta melindungi Hak Asasi

Manusia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, negara

bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana yang

1
2

tercantum pada Pasal 28 I Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan

dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama

pemerintah1”.

Dengan mengacu pada asas legalitas, maka setiap bentuk kejahatan

terhadap hak hidup diancam dengan pidana. Asas legalitas merupakan asas

fundamental dalam hukum pidana. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu

penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat

diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak

pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya

dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak

pidana yang terjadi2.

Selain tercantum pada Pasal 28 A dan B Undang-Undang Dasar 1945,

perlindungan atas hak hidup juga tercantum pada Pasal 3 Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) 1948 oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kehidupan,

kebebasan dan keselamatan sebagai individu”.

Salah satu bentuk kejahatan terhadap hak hidup adalah perbuatan aborsi.

Aborsi didefinisikan sebagai suatu perbuatan untuk menggugurkan paksa janin

yang terdapat di dalam kandungan seorang wanita guna menghentikan kehamilan.

1
Syuha Maisytho Probilla, Andi Najemi, dan Aga Anum Prayudi, “Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, PAMPAS: Journal of Criminal Law,
Vol. 2 No. 1, 2021, hlm. 30. Diakses dari https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/12684/10898 pada tanggal 3 Oktober 2021 pukul 17:23
WIB
2
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 59.
3

Secara etimologis, aborsi (abortion) berasal dari kata bahasa Latin abortio yang

berarti pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana

janin itu belum bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis

aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu dan

mengakibatkan kematian. Sedangkan dalam pengertian moral dan hukum, aborsi

berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang

mengakibatkan kematian3. Aborsi telah dikenal sejak awal peradaban manusia dan

dipercaya sebagai metode paling tua yang dilakukan untuk menghentikan dan

mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki dan masih marak dilakukan hingga

saat ini, meskipun metode tersebut sangat berbahaya dan dapat memicu kematian

ibu. Seorang wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak

dapat menerima keadaan tersebut dapat melakukan perbuatan dan segala macam

cara untuk menghentikan kehamilannya.

Cara-cara tradisional untuk menggugurkan kandungan telah ada sejak


jaman dahulu, seperti minum jamu, melakukan pijat, memasukkan segala
macam benda ke dalam kandungan dan sebagainya, meskipun dengan
cara-cara tersebut perempuan harus menghadapi risiko kehilangan
nyawanya 4.

Aborsi menurut Soekidjo Notoadmojo disebut dengan istilah “abortus”

yang dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:

Aborsi disebut juga dengan istilah abortus. Berdasarkan ilmu kesehatan


dan kedokteran, abortus dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu abortus
spontaneous merupakan keguguran yang terjadi dengan alami, tanpa
kesengajaan atau campur tangan manusia. Penyebabnya bisa dikarenakan

3
CB. Kusmaryanto, Tolak Aborsi, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hlm. 15.
4
Nira Heluspa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Legalitas Aborsi Akibat Perkosaan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Terkait Kode Etik
Kedokteran. Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2020, hlm. 12. Diakses dari http://e-
journal.uajy.ac.id/23529/1/1852028821.pdf pada tanggal 30 September 2021 pukul 11.23 WIB
4

hal-hal seperti adanya kelainan indung telur atas suatu penyakit yang
diderita ibu hamil. Abortus provocatus diartikan sebagai keguguran karena
kesengajaan atau karena adanya campur tangan manusia. Abortus
provocatus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu abortus provocatus
therapeuticus/medicinalis dan abortus provocatus criminalis5.

Lebih lanjut berikut adalah penjelasan dari kedua peristilahan dalam

penggolongan bentu aborsi menurut Soekidjo Notoatmodjo:

Abortus provocatus therapeutics/medicinalis adalah pengguguran


kehamilan yang dilakukan atas dasar indikasi kedaduratan medis, yaitu
pengguguran kehamilan yang dilakukan dengan tujuan menyelamatkan
nyawa ibu hamil dan/ atau janin, ibu hamil yang menderita penyakit
genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi hidup diluar kandungan. Abortus Provocatus
therapeutics/medicinalis dilakukan secara legal oleh dokter sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional medis,
dan diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri. Abortus yang sedemikian itu merupakan aborsi aman sedangkan
abortus provocatus criminalis adalah pengguguran kandungan tanpa
pembenaran alasan medis dan dilarang oleh hukum. Abortus provocatus
criminalis dilakukan secara ilegal oleh ibu hamil itu sendiri atau meminta
bantuan orang lain, yang dilakukan tidak sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, standar prosedur operasional medis, dan dilakukan di
tempat praktik aborsi ilegal seperti di dukun bayi atau pihak-pihak yang
membuka praktik aborsi yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan
dalam hal itu. Abortus yang sedemikian itu merupakan aborsi tidak aman6.

Perbuatan aborsi merupakan bentuk perbuatan yang dilarang dalam sistem

hukum Indonesia dan dikategorikan sebagai tindak pidana, pengaturan terhadap

larangan melakukan perbuatan aborsi dan/ atau perbuatan menunjukkan alat

penggugur kehamilan diatur dalam Pasal 283 Ayat (3), 299, 346, 347, 348, 349,

dan 535 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya setiap

pasal tersebut menyatakan bahwa tuntutan hukum akan dijatuhkan bagi siapa saja

5
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
134
6
Ibid, hlm. 12-13.
5

yang melakukan aborsi, menyuruh melakukan ataupun membantu perbuatan

aborsi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara jelas berdasarkan pengaturan yang terdapat di dalam KUHP

tersebut, aborsi dikategorikan sebagai perbuatan ilegal dan memiliki sanksi pidana

terhadap segala bentuk pelanggarannnya. Namun, lebih lanjut kebijakan dari

hukum Indonesia memberikan beberapa pengecualian ketat dan terbatas yang

memperbolehkan perbuatan aborsi dengan perincian ketentuan yang diatur dalam

Pasal 75 Ayat 2 (a-b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

memuat ketentuan pidana terkait perbuatan aborsi yang tidak sesuai dengan

ketentuan Pasal 75 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Indonesia merupakan negara yang melalui sistem hukumnya telah

melarang perbuatan aborsi dan komunitas internasional pun telah mengakui hasil

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right)

1948 PBB yang salah satu isinya adalah perlindungan atas hak hidup. Namun

hingga saat ini belum terdapat kesepakatan Internasional terkait legalitas aborsi.

Akibat adanya sistem hukum yang berbeda dari setiap negara pada akhirnya

menghasilkan perbedaan perspektif terkait legalitas perbuatan aborsi.

Hukum yang berlaku di tiap negara di dunia sebagian besar dipengaruhi

oleh latar belakang budaya, moral, sejarah serta nilai agama yang berlaku di

masing-masing wilayah. Karena itu tiap negara punya sistem hukum yang berbeda
6

antara satu dengan yang lain. Menurut John Henry Merryman dalam Astim

Riyanto, beliau memaparkan “ada tiga tradisi hukum yang utama, yaitu tradisi

hukum kontinental (civil law), tradisi hukum adat (common law), dan tradisi

hukum sosialis (socialist law)”. Sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah

Sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system karena merupakan negara

jajahan Belanda yang sejak awal telah menganut sistem hukum ini. Ciri khas dari

sistem hukum Eropa Kontinental mengutamakan sumber hukum tertulis sebagai

dasar hukum utama. Atas pengaruh sistem hukum tersebut, Indonesia menjadikan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan Belanda sebagai salah satu

sumber hukum tertulis dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana di Indonesia 7.

Ayu Veronica dalam tulisannya memandang penegakan hukum sebagai

sesuatu yang krusial seperti berikut ini:

Penegakan atas sistem hukum diperlukan untuk menjamin efektifivitas dan


keberlakuan hukum itu sendiri. Sistem penegakan hukum yang
mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut penyerasian antara
nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Pada hakikatnya,
hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial
masyarakat, karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi8.

Atas dasar perbedaan sistem hukum yang dianut setiap negara tersebut,

maka terdapat suatu metode yang disebut sebagai Perbandingan Hukum. W.

Ewald (dalam Esin Örücü, Criminal Comparative Law) mengemukakan, bahwa


7
Adinda Farah Anisya,“Studi Perbandingan Kewenangan Penuntutan Perkara Pidana
Dalam Perspektif Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dan Thailand”,
Jambi, Universitas Jambi, 2021, hlm. 2. Diakses dari
https://repository.unja.ac.id/22865/5/BAB%20I.pdf, pada tanggal 2 Oktober 2021 pukul 00:27
WIB
8
Ayu Veronica, Kabib Nawawi dan Erwin, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Penyelundupan Baby Lobster”, PAMPAS: Journal of Criminal Law. Vol. 1 No. 3, 2020, hlm. 46.
Diakses dari https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11085/10260 pada tanggal 5
Oktober 2021 pukul 23:43 WIB.
7

perbandingan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat filosofi

(Comparative law is an essentially philosophical activity). Perbandingan hukum

adalah suatu studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-konsepsi

intelektual (intellectual conception) yang ada di balik institusi/lembaga hukum

yang pokok dari satu atau beberapa sistem hukum asing9.

Penelitian ini berfokus pada perbedaan perincian alasan pembenar yang

memperbolehkan perbuatan aborsi, batasan waktu untuk melakukan serta

pertanggungjawaban pidana atas perbuatan aborsi yang diatur dalam sistem

Hukum Indonesia dan Jepang.

Jepang pada mulanya merupakan negara yang menganut sistem

pemerintahan monarki absolut, tetapi terus terjadi pembaruan terhadap sistem

monarki di negara itu, dari yang sebelumnya berbentuk absolut menuju ke bentuk

monarki konstitusional yang dimulai sejak kekalahan Jepang dalam berbagai

perang termasuk perang dunia ke II. Sistem hukum yang berlaku di Jepang adalah

sistem hukum civil law yang setiap pengaturan hukumnya harus berbentuk tertulis

dan terkodifikasi. Civil law di Jepang terdiri atas 6 instrumen, yaitu: Hukum

Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Konstitusi Negara Jepang, Hukum

Acara Pidana, dan Hukum Acara Perdata10.

Sebagai perbandingan, perbuatan aborsi dalam Pasal 212-216 Bab XXIX

Japan Penal Code 1907 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jepang) juga

9
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, cet. ke 3, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 2014, hlm 3-4.
10
Shimada Yuzuru, UUD Jepang dan Tata Negara, Nagoya, Nagoya University, 2011,
hlm. 1. Diakses dari https://www.scribd.com/document/527500688/Paper-for-Lecture-at-Unand-
On20110225-1 pada tanggal 1 Oktober 2021 pukul 20.54 WIB.
8

dikategorikan sebagai perbuatan ilegal dan memiliki sanksi terhadap segala

bentuk pelanggarannya. Namun lebih lanjut, melalui ketentuan yang termuat

dalam Pasal 14 Ayat 1-2 Maternal Protection Act aborsi diperbolehkan dalam

keadaan mendesak dengan indikasi kedaruratan medis yang membahayakan ibu

dan/ atau janin. Michiko Miyazaki dalam The History of Abortion-Related Acts

and Current Issues in Japan (Sejarah Terkait Tindakan Aborsi dan Isu Terkini di

Jepang) menyatakan:

In Japan abortion is categorized into two types by law; one is illegal


feticide and the other is legal abortion. The present criminal law forbids
feticide in principle and the life of a fetus is protected. However, abortion
can be practiced under the "Eugenic Protection Act" established in 1948
(currently referred to as the "Maternal Protection Act"), and is readily
available in Japan.
Di Jepang aborsi dikategorikan menjadi dua jenis menurut hukum; satu
adalah aborsi ilegal dan yang lainnya adalah aborsi legal. Hukum pidana
Jepang saat ini pada prinsipnya melarang perbuatan aborsi dan kehidupan
janin dilindungi. Namun, aborsi dapat dipraktikkan di bawah "Undang-
Undang Perlindungan Eugenik" yang ditetapkan pada tahun 1948 (saat ini
disebut sebagai "Undang-Undang Perlindungan Ibu"), dan dapat
dipraktikkan di Jepang 11.
Aborsi merupakan bentuk perbuatan yang dilarang dalam sistem hukum

kedua negara, baik Indonesia maupun Jepang. Aborsi hanya boleh dilakukan atas

dasar indikasi kesehatan ibu dan janin serta kehamilan akibat perkosaan. Berbeda

dengan pengaturan yang terdapat dalam sistem Hukum Kesehatan Indonesia yang

memberikan batasan usia kehamilan untuk melakukan aborsi adalah 6 (enam)

minggu kehamilan, sistem hukum Jepang mengizinkan perbuatan aborsi untuk

dilakukan hingga 22 (dua puluh dua) minggu usia kehamilan.

11
Michiko Miyazaki, The history of abortion-related acts and current issues in Japan,
Med Law. 2007 Dec;26(4):791-9. PMID: 18284118.
9

Pemerintah Jepang melalui Surat Edaran Wakil Menteri Kesehatan,

Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Nomor 122 Tahun 1996 menyatakan bahwa

batasan waktu untuk melakukan aborsi adalah pada masa kehamilan berusia 22

minggu yang dihitung dari hari pertama haid terakhir. Indonesia melalui ketentuan

Pasal 76 A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa batas

waktu untuk melakukan aborsi adalah sebelum kehamilan berumur 6 minggu

dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Selain kekurangan yang telah disebutkan di atas, tentunya sitem hukum

Indonesia memiliki kelebihan terhadap sistem hukum Jepang terkait perbuatan

aborsi. Secara implisit Undang-Undang Kesehatan Indonesia tidak mengizinkan

perbuatan aborsi atas dasar isu sosial dan ekonomi, hal ini tentunya sejalan

dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan "Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar

dipelihara oleh Negara". Sedangkan Jepang mengizinkan perbuatan aborsi atas

dasar isu ekonomi dan sosial melalui pengaturan berikut:

Article 14:
(1) A doctor designated by a medical association that is a public interest
incorporated association established for the area of a prefecture
(hereinafter referred to as a "Designated Doctor") may perform an
Induced Abortion on a person who falls under any of the following
items after obtaining consent from the relevant person and the spouse:
(i) a person for whom the continuation of pregnancy or
delivery may significantly damage the person's physical
health due to bodily or economic reasons.

Pasal 14:
(1) Seorang dokter yang ditunjuk oleh asosiasi medis yang publik asosiasi
berbadan hukum yang didirikan untuk wilayah prefektur (selanjutnya
disebut sebagai "Dokter yang Ditunjuk") dapat melakukan Aborsi pada
10

seseorang yang termasuk dalam salah satu alasan berikut setelah


mendapatkan persetujuan dari orang yang bersangkutan dan
pasangannya:
(i) seseorang yang apabila melanjutkan kehamilan atau persalinan
dapat secara signifikan merusak kesehatan fisik ibu atau alasan
ekonomi.

Lebih lanjut, ketentuan pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan

aborsi dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang termuat dalam satu kesatuan

produk hukum yang sama, sedangkan ketentuan pidana atas perbuatan yang

melanggar ketentuan aborsi dalam sistem hukum Jepang diatur dalam pasal 212-

216 Japanese Penal Code yang terpisah dari Maternal Protection Act yang

mengatur tentang perincian pengaturan atas perbuatan aborsi.

Karena terdapat berbagai perbedaan mengenai mekanisme pengecualian

hukum terhadap legalitas perbuatan aborsi dalam sistem hukum milik Indonesia

dan Jepang, penelitian ini akan berfokus pada perbedaan perincian alasan

pembenar yang memperbolehkan perbuatan aborsi, batasan waktu untuk

melakukan serta pertanggungjawaban pidana atas perbuatan aborsi yang diatur

dalam sistem Hukum Indonesia dan Jepang.

Oleh karena adanya perbedaan mengenai perincian alasan pembenar,

batasan waktu untuk melakukan aborsi serta pertanggungjawaban pidana terkait

perbuatan aborsi di Indonesia dan Jepang , penulis tertarik untuk membandingkan

peraturan mengenai tindak pidana aborsi menurut Hukum Kesehatan Indonesia

dan Maternal Protection Act of Japan, sehingga dengan demikian dapat


11

memberikan bahan hukum yang mungkin perlu dikembangkan atau diubah demi

pencapaian suatu wujud hukum yang adil.

Terkait dengan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud

meneliti lebih dalam dengan judul Penelitian “Pengaturan Tindak Pidana

Aborsi, Studi Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Jepang.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan tersebut

dengan memfokuskan pada:

1. Bagaimanakah pengaturan terkait tindak pidana aborsi menurut hukum

pidana Indonesia dan Jepang?

2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan dari masing-masing pengaturan

terhadap tindak pidana aborsi menurut Hukum Kesehatan Indonesia dan

Maternal Protection Act of Japan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan

dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum terkait tindak

pidana aborsi menurut hukum pidana Indonesia dan Jepang.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis persamaan dan perbedaan dari

masing-masing pengaturan hukum terhadap tindak pidana aborsi


12

menurut Hukum Kesehatan Indonesia dan Maternal Protection Act of

Japan.

2. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian untuk menulis skripsi ini diharapkan dapat

memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi

sumbangan terhadap perkembangan kajian ilmu pengetahuan,

melengkapi karya ilmiah serta dapat memberikan kontribusi

pemikiran terhadap ketentuan atas perbuatan aborsi berdasarkan

sistem hukum pidana Indonesia dengan sistem hukum pidana Jepang.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat

dipergunakan sebagai sumbangan pengembangan hukum nasional

khususnya terhadap pembaharuan Hukum Pidana dan Hukum

Kesehatan di Indonesia.

D. Kerangka Konseptual

Untuk mengetahui dan memahami maksud dari judul skripsi ini dan

mempermudah pembahasan dari permasalahan serta untuk menghindari

penafsiran yang berbeda, penulis perlu menjelaskan beberapa konsepsi yang

berkaitan dengan judul dari skripsi ini, yaitu:

1. Tindak Pidana
13

Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidana/sarjana hukum belum

memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan mengenai Strafbaar

feit.

Adami Chazawi dalam Pengantar Hukum Pidana Bagian 1

memaparkan definisi dari Tindak Pidana sebagai berikut:

Strafbaar feit merupakan istilah bahasa Belanda yang diterjemahkan


ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai arti di antaranya yaitu
tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun
perbuatan yang dapat di pidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata,
yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai
terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai
pidana dan hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan
boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran dan perbuatan12.

2. Aborsi

Darwin dalam Bujangga Agus Arif Pranata memaparkan definisi

aborsi sebagai berikut:

Pengertian dari aborsi di kalangan ahli ada dua jenis pengertian yaitu,
Abortus alamiah dan abortus buatan. Abortus alamiah adalah
mekanisme alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan
sebelum berumur 28 minggu, sedangkan yang dimaksud Abortus
buatan adalah suatu upaya yang disengaja untuk menghentikan proses
kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana janin (hasil konsepsi)
yang dikeluarkan tidak dapat bertahan hidup diluar. Meski aborsi
untuk alasan di luar menyelamatkan nyawa ibu diperlakukan sebagai
perbuatan kriminal (disebut abortus provokatus kriminalis), insiden
aborsi di Indonesia tergolong sangat tinggi. Utomo dkk
memperkirakan bahwa sekitar 2 juta perempuan Indonesia mengakhiri
kehamilannya dengan aborsi, dan sebagian besar di antarnya adalah
aborsi yang tidak aman13.

12
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian 1, Grafindo, Jakarta,2002, hlm. 69.
13
Bujangga Agus Arif Pranata, I Nyoman Sujana dan Diah Gayatri Sudibya “Sanksi
Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi (Studi Kasus Putusan Nomor :
87/Pid.G/2007/Pn.Gir)”,Jurnal Analogi Hukum, 2 (2) 2020, hlm. 150. Diakses dari
https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum/article/view/1891 pada tanggal 4
Oktober 2021 pukul 00:02 WIB
14

3. Perbandingan Hukum

Rudolf B. Sclesinger dalam Romli Atmasasmita memaparkan definisi

tentang perbandingan hukum sebagai berikut:

Perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan


untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan
hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan
dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan
merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu
masalah hukum14.

4. Hukum Pidana

Moelyatno dalam M. Ali Zaidan menyatakan definisi hukum pidana

sebagai berikut:

Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang


berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidan tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut 15.
Berdasarkan pemaparan landasan konseptual yang telah disebutkan di atas,

maka kesimpulan dari judul penulisan “Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Studi

Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Jepang” adalah untuk mengetahui dan

menjelaskan pengaturan hukum mengenai legalitas perbuatan aborsi menurut

14
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke-1, Mandar Maju, Bandung,
1996, hlm. 7.
15
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.
2.
15

hukum pidana Indonesia dan Jepang serta untuk menganalisis dan mengkritisi

persamaan dan perbedaan pengaturan hukum terkait perbuatan aborsi dalam

sistem hukum pidana Indonesia dan Jepang.

E. Landasan Teoretis

1. Perbandingan Hukum

Studi perbandingan adalah suatu kegiatan yang bermaksud untuk

mempelajari tentang prinsip dan sistem hukum yang dianut oleh suatu negara

dengan negara lainnya dan dilakukan atas niat membandingkan keduanya.

Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa: Comparative

Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan

melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of

principles of legal science by the comparison of various systems of law)16.

Dalam melakukan perbandingan hukum, ada dua metode atau cara

membandingkan yaitu memberbandingkan secara makro dan mikro.

“Perbandingan secara mikro adalah suatu cara memperbandingkan masalah-

masalah hukum tertentu sedangkan perbandingan secara makro adalah suatu

cara memperbandingkan masalah-masalah hukum pada umumnya”17.

Perbandingan sistem hukum dimaksudkan sebagai suatu metode yang

membandingkan berbagai sistem hukum asing yang berlaku di berbagai negara.

16
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm.3
17
Rian Prayudi Saputra, “Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Inggris”, Jurnal
Pahlawan, Vol. 3 No. 1, 2020, hlm. 60 diakses dari
https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jp/article/view/615 pada tanggal 04 Oktober
2021 pukul 15:12 WIB.
16

Manfaat melakukan perbandingan hukum menurut Rene David dan Brierley

dalam Ade Maman Suherman yaitu:

a. Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis;


b. Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan
hukum nasional kita sendiri;
c. Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap bangsa-
bangsa lain dan oleh karena itu, memberikan sumbangan untuk
menciptakan hubungan/suasana yang baik bagi perkembangan-
perkembangan internasional18.

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Marc Ancel dalam John Kenedi memberikan definisi tentang kebijakan

hukum pidana sebagai berikut:

Kebijakan hukum pidana atau penal policy adalah suatu ilmu sekaligus
seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik, yang mana peraturan hukum positif (the
positive rules) dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan19.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian pada penulisan ini dilakukan secara yuridis normatif,

“penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang

lain”20.

18
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 17-18.
19
John Kenedi, Kebijakan Hukum Pidana (penal policy), Pustaka Belajar, Cet. Pertama,
Yogyakarta, 2017, hlm. 59.
20
Suratman, Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2015, hlm.
51.
17

Ronny Hanitijo Soemitro dalam M. Jordan Pradana mendeskripsikan

“penelitian yuridis normatif sebagai suatu metode penelitian hukum yang

dilakukan dengan pendekatan teori dan metode analisis yang termasuk

dalam disiplin ilmu yang dogmatis”21.

Penelitian ini berupaya mengkaji dan menganalisis bahan hukum primer,

sekunder dan tersier dengan menafsirkan dan membandingkan berbagai

bahan hukum tersebut.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian hukum ini

adalah pendekatan undang-undang (statuta approach) yaitu penelitian

terhadap legalitas perbuatan aborsi dalam keadaaan tertentu serta kelebihan

dan kekurangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum

Kesehatan Indonesia dengan Japan Penal Code dan Maternal Protection

Act of Japan. Berikutnya, penulis menggunakan pendekatan konseptual

(conceptual approach) yaitu “penelitian terhadap konsep-konsep hukum,

lembaga hukum, dan sebagainya 22” yang dilakukan melalui pemahaman

konsep untuk dianalisa sehingga menjawab rumusan masalah penelitian ini.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan perbandingan

(comparative approach), “yang mana pendekatan ini dilakukan dengan

menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada

21
M. Jordan Pradana, Syofyan Nur, dan Erwin, “Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali
yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan”,
PAMPAS: Journal of Criminal Law.Vol. 1 No. 2, 2020, hlm. 143. Diakses dari https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9615/6397 pada tanggal 5 Oktober 2021 pukul 23:01 WIB.
22
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Cet. Ke-2,
2016, hlm. 92.
18

berbagai sistem hukum23” yaitu dengan membandingkan pengaturan

legalitas aborsi pada keadaan tertentu antara hukum negara Indonesia

dengan hukum negara Jepang.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Bahan hukum primer. Berdasarkan penjelasan oleh Suratman dan Philips

Dillah, bahan hukum primer terdiri dari: “Perundang-undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan-putusan hakim24”. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer

yang digunakan terdiri atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan

Hukum Kesehatan Indonesia dengan Japan Penal Code dan Maternal

Protection Act of Japan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berhubungan dengan bahan

hukum primer yang dapat membantu menganalisis serta memberi

petunjuk untuk memahami materi yang termuat dalam bahan hukum

primer, diantaranya literatur atau bahan bacaan ilmiah seperti buku dan

jurnal yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi informasi dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu website dan

23
Ibid, hlm. 52
24
Suratman dan Philips Dilah, Op.Cit., hlm. 67.
19

situs internet berbasis ilmu hukum yang berhubungan dengan judul

penelitian.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis terhadap bahan hukum dilakukan dengan cara interpretasi

perbandingan hukum yang ditujukan untuk memaparkan peraturan

mengenai legalitas perbuatan aborsi dalam keadaan tertentu yang diatur di

dalam KUHP dan Hukum Kesehatan Negara Indonesia dengan Japan Penal

Code dan Maternal Protection Act of Japan, serta menemukan persamaan

dan perbedaan masing-masing dari aturan kedua negara tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi 4 bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN penulis akan menguraikan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA,

ABORSI, PERBANDINGAN HUKUM PIDANA, SISTEM

HUKUM, TEORI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA Bab ini

berisi tentang uraian pengertian tentang tindak pidana, aborsi ,

lalu selanjutnya uraian perbandingan hukum dan sistem hukum,

serta pengertian dari teori kebijakan hukum pidana.

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI STUDI

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN


20

JEPANG Pada bab ini, penulis akan membahas tentang

ketentuan mengenai pengaturan tindak pidana aborsi

berdasarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan Hukum Kesehatan Indonesia dengan Japanese Penal Code

1907 dan Maternal Protection Act, kemudian menguraikan

tentang perbedaan dan persamaan dari masing-masing

kewenangan penuntutan tersebut.

BAB IV PENUTUP Bab terakhir berisi penutup dari keseluruhan skripsi,

Penulis akan menambahkan kesimpulan berdasarkan

pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya

yang didasari oleh rumusan masalah dan dengan kesimpulan

itulah penulis akan memberikan saran yang berkenaan dengan

permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai