1. Pengertian aborsi
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social, Studies and
Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan
setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin
(fetus) mencapai 20 minggu.
Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Prof. Dr. JS. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996)
abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan
pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Secara
umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin
sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih
berusia muda (sebelum bulan ke empat masa kehamilan).
Sementara dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan
darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu. Sedangkan pada ayat 2 tidak disebutkan bentuk dari tindakan medis
tertentu itu, hanya disebutkan syarat untuk melakukan tindakan medis tertentu.
Dengan demikian pengertian aborsi yang didefinisikan sebagai tindakan tertentu untuk
menyelamatkan ibu dan atau bayinya (pasal 15 UU Kesehatan) adalah pengertian yang sangat
rancu dan membingungkan masyarakat dan kalangan medis.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras dilakukannya aborsi dengan alasan
apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 - 349. Bahkan pasal 299
intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat tahun kepada seseorang yang
memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan.
Namun, aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang
dilakukannya aborsi. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1 UU Kesehatan tersebut di
atas.
Namun pasal 15 UU Kesehatan juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud tindakan medis
tertentu dan kondisi bagaimana yang dikategorikan sebagai keadaan darurat.
Dalam penjelasannya bahkan dikatakan bahwa tindakan media dalam bentuk pengguguran
kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu. Lalu apakah tindakan medis tertentu bisa selalu diartikan sebagai aborsi yang artinya
menggugurkan janin, sementara dalam pasal tersebut aborsi digunakan sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin. Jelas disini bahwa UU Kesehatan telah memberikan
pengertian yang membingungkan tentang aborsi.
Yang dimaksud dengan aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) adalah penghentian kehamilan yang
dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/kompeten dan menggunakan sarana yang tidak
memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian.
Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang
memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil
diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan
negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan
pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya .
Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat memprihatinkan. Hal ini
diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan masyarakat tentang hak atas pelayanan
kesehatan. Padahal bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai
warganegara tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan
kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu. Hak-hak ini harus dipandang sebagai hak-hak
sosial sekaligus hak individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk
didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula
dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Konvensi
Perempuan) dan UU Kesehatan.
Dalam hal Hak Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai
reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti dinyatakan dalam
dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia (Rekomendasi bab 7 Konferensi Kependudukan dan
Pembangunan Internasional di Kairo 1994).
6. Hak-hak pasien
Sebuah Lokakarya tentang Kesehatan Perempuan, yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation, (1997) merumuskan hak-hak pasien sebagai
berikut:
a. Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang mendasar, mudah diakses, tepat, terjangkau
b. Hak untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif, artinya tidak ada pembedaan perlakuan
berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, agama, suku bangsa.
Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat berat dirasakan oleh perempuan yang
bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi jalan yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah
persiapan secara fisik dan mental dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa
berlangsung aman.
Gugur kandungan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan
sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin
lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya
adalah kelahiran prematur.
Klasifikasi Abortus
Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini
dibedakan sebagai berikut:
F. Pemeriksaan penunjang 1. Tes kehamilan positif jika janin masih hidup dan negatif
bila janin sudah mati 2. pemeriksaan Dopler atau USG untuk menentukan apakah janin
masih hidup 3. pemeriksaan fibrinogen dalam darah pada missed abortion Data
laboratorium 1. Tes urine 2. hemoglobin dan hematokrit 3. menghitung trombosit 4.
kultur darah dan urine G. Masalah keperawatan 1. Kecemasan 2. intoleransi aktifitas 3.
gangguan rasa nyaman dan nyeri 4. defisit volume cairan H. Diagnosa keperawatan 1.
Cemas berhubungan dengan pengeluaran konsepsi 2. nyeri berhubungan dengan
kontraksi uterus 3. resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan 4.
kehilangan berhubungan dengan pengeluaran hasil konsepsi 5. intoleransi aktivitas
berhubungan dengan nyeri I. Tujuan DX I : Mengurangii atau menghilangkan kecemasan
DX II : Mengurangi atau menghilangkan rasa sakit DX III : Mencegah terjadinya defisit
cairan DX IV : Mengurangi atau meminimalkan rasa kehilangan atau duka cita DX V :
Klien dapat melakukan aktifitas sesuai dengan toleransinya
1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan)
sesuai dengan tanggung jawab profesi.
2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga
terdekat.
4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai,
yang ditunjuk oleh pemerintah.
5. Prosedur tidak dirahasiakan.
6. Dokumen medik harus lengkap.
[sunting] Maternal
[sunting] Penyebab dari segi Maternal
• Infeksi akut
• Infeksi kronis
Abortus provokatus kriminalis sering terjadi pada kehamilan yang tidak dikehendaki.
Ada beberapa alasan wanita tidak menginginkan kehamilannya:
• Wanita bersangkutan.
• Dokter atau tenaga medis lain (demi keuntungan atau demi rasa simpati).
• Orang lain yang bukan tenaga medis (misalnya dukun.
Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan
terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke
ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak uterus harus
ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks
tidak boleh digunakan tekanan berlebihan. Kerokan kuret dimasukkan dengan hati-hati,
akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih besar.
Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga
terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan
umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut
bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan
laparatomi percobaan dengan segera. Luka pada serviks uteri Apabila jaringan serviks
keras dan dilatasi dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu
dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul
ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat
jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent cerviks. [sunting] Pelekatan
pada kavum uteri Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-
sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai
terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri
di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu
tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi. [sunting] Perdarahan
Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola hidatidosa terdapat bahaya
perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya dilakukan transfusi darah dan sesudah
itu, dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina. [sunting] Infeksi Apabila
syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat besar. Infeksi
kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga
menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain
infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
[sunting] Lain-lain Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl
hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke
dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja
jantung, penghentian pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang
dapat ditimbulkan pada pemberian prostaglandin antara lain panas, rasa enek, muntah,
dan diare. Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin: Sesuai dengan tujuan dari abortus
itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus
provokatus kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti
tindakan abortus gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik.
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada
serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka
akibat yang segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada
serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent
cerviks.
[sunting] Pelekatan pada kavum uteri
[sunting] Perdarahan
Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola hidatidosa terdapat bahaya
perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya dilakukan transfusi darah dan sesudah
itu, dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
[sunting] Infeksi
Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat besar.
Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga
menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain
infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
[sunting] Lain-lain
Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl hipertonik adalah
apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah
dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian
pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulkan
pada pemberian prostaglandin antara lain panas, rasa enek, muntah, dan diare.
Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin: Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri
yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus
kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus
gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik.
Secara garis besar tindakan abortus sangat berbahaya bagi ibu dan juga janin yaitu
bisa menyebabkan kematian pada keduanya.
2. Lokal
a. Memasukkan alat-alat yang dapat menusuk kedalam vagina : pensil, paku, jeruji
sepeda
b. Alat merenda, kateter atau alat penyemprot untuk menusuk atau menyemprotkan
cairan kedalam uterus untuk melepas kantung amnion
Metode hisapan sering digunakan pada aborsi yang merupakan cara yang ilegal secara
medis walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Tabung suntik yang besar dilekatkan pada
ujung kateter yang dapat dilakukan penghisapan yang berakibat ruptur dari chorionic sac
dan mengakibatkan abortus. Cara ini aman asalkan metode aseptic dijalankan, jika
penghisapan tidak lengkap dan masih ada sisa dari hasil konsepsi maka dapat
mengakibatkan infeksi.
Tujuan dari merobek kantong kehamilan adalah jika kantong kehamilan sudah rusak
maka secara otomatis janin akan dikeluarkan oleh kontraksi uterus. Ini juga dapat
mengakibatkan dilatasi saluran cerviks, yang dapat mengakhiri kehamilan. Semua alat
dapat digunakan dari pembuka operasi sampai jari-jari dari ban sepeda. Paramedis yang
melakukan abortus suka menggunakan kateter yang kaku. Jika digunakan oleh dokter
maupun suster, yang melakukan mempunyai pengetahuan anatomi dan menggunakan alat
yang steril maka resikonya semakin kecil. Akan tetapi orang awam tidak mengetahui
hubungan antara uterus dan vagina. Alat sering digunakan dengan cara didorong ke
belakang yang orang awam percayai bahwa keadaan cerviks di depan vagina. Permukaan
dari vagina dapat menjadi rusak dan alat mungkin masuk ke usus bahkan hepar. Penetrasi
dari bawah atau tengah vagina dapat juga terjadi perforasi. Jika cerviks dimasuki oleh
alat, maka cerviks dapat ruptur dan alat mungkin masuk lewat samping. Permukaan luar
dapat cedera dengan pengulangan, usaha yang ceroboh yang berusaha mengeluarkan
benda yang terlalu tebal ke saluran yang tidak membuka. Jika sukses melewati saluran
dari uterus, mungkin langsung didorong ke fundus, yang akan merusak peritoneal cavity.
Bahaya dari penggunaan alat adalah pendarahan dan infeksi. Perforasi dari dinding
vagina atau uterus dapat menyebabkan pendarahan, yang mungkin diakibatkan dari luar
atau dalam. Sepsis dapat terjadi akibat penggunaan alat yang tidak steril atau kuman
berasal dari vagina dan kulit. Bahaya yang lebih ringan(termasuk penggunaan jarum
suntik) adalah cervical shock. Ini dapat membuat dilatasi cerviks, dalam keadaaan pasien
yang tidak dibius, alat mungkin menyebabkan vagal refleks, yang melalui sistem saraf
parasimpatis, yang dapat mengakibatkan cardiac arrest. Ini merupakan mekanisme yang
berpotensi menimbulkan ketakutan yang dapat terjadi pada orang yang melakukan
abortus kriminalis. Kekerasan Kimiawi / Obat-obatan atau Bahan-bahan yang Bekerja
Pada Uterus Berbagai macam zat yang digunakan baik secara lokal maupun melalui
mulut telah banyak digunakan untuk menggugurkan kandungan. Beberapa zat
mempunyai efek yang baik sedangkan beberapa lainnya berbahaya. Zat yang digunakan
secara lokal contohnya fenol dan lysol, merkuri klorida, potassium permagnat, arsenik,
formaldehid, dan asam oxalat. Semua mempunyai bahaya sendiri, baik dari korosi lokal
maupun efek sistemik jika diserap. Pseudomembran yang nekrotik mungkin berasal dari
vagina dan kerusakan cerviks mungkin terjadi. Potasium permangat adalah zat yang
muncul selama perang yang terakhir dan berlangsung beberapa tahun, 650 kasus
dilaporkan hingga tahun 1959, yang parah hanya beberapa. Ini dapat menyebabkan
nekrosis pada vagina jika diserap yang dapat mempunyai efek sistemik yang fatal
termasuk kerusakan ginjal. Permanganat dapat menyebabkan pendarahan vagina dari
nekrosis, yang mana dapat membahayakan janin
Misal :
Colocynth : Aloe
Diagnosis kehamilan ditegakkan atas dasar adanya tanda kehamilan. Tanda kehamilan
dibagi menjadi 2 yakni : 1. Tanda pasti 2. Tanda tidak pasti i. Tanda mungkin (probable
signs) ii. Tanda dugaan (presumptive signs)
Tanda Pasti Tanda pasti kehamilan antara lain : 1. Pada inspeksi didapatkan gerakan janin
pada minggu ke 16-18. 2. Pada palpasi didapatkan gerakan janin dan teraba bagian-
bagian janin pada minggu ke 20. 3. Pada auskultasi didapatkan detak jantung janin pada
miggu ke 18-20. 4. Pada pemeriksaan Rontgen didapatkan kerangka fetus pada minggu
ke 16. 5. Pada pemeriksaan USG didapatkan gestasional sac pada minggu ke 4.
Tanda mungkin (probable signs) Tanda mungkin kehamilan antara lain : 1. Pembesaran
perut dan uterus. 2. Perlunakan serviks dan serviks-uterus (Tanda Piscaseck) 3. Kontraksi
uterus (Braxton Hicks) 4. Ballotment (palpasi kepala janin) 5. Tes hormon β-HCG urine,
kadar β-HCG urine maksimal pada minggu 5-18.
Tanda dugaan (Presumptive signs) Tanda dugaan kehamilan antara lain : 1. Amenore 2.
Nausea-Vomiting 3. Malaise 4. Polakisuria 5. Hiperpigmentasi kulit 6. Striae gravidarum
7. Kebiruan pada serviks dan vagina (Tanda Chadwick) 8. Payudara : hipertrofi mammae,
hiperpigmentasi areola, hipertrofi kelenjar Montgomery, kolostrum (mingggu ke 12).
Tinggi fundus uteri sesuai usia kehamilan Uterus pada wanita tidak hamil kira-kira
sebesar telur ayam. Pada palpasi tidak dapat diraba. Pada kehanilan uterus tumbuh secara
teratur, kecuali jika ada gangguan pada kehamilan tersebut. Perkiraan tinggi fundus uteri
sesuai usia kehamilan : 1. Kehamilan usia 12 minggu : tepat di atas simfisis (syarat
pemeriksaan vesica urinaria dikosongkan dahulu). 2. Kehamilan usia 16 minggu :
setengah jarak simfisis ke pusat. 3. Kehamilan usia 20 minggu : tepi bawah pusat. 4.
Kehamilan usia 24 minggu : tepi atas pusat. 5. Kehamilan usia 28 minggu : sepertiga
jarak pusat ke processus xyphoideus atau 3 jari di atas pusat. 6. Kehamilan usia 32
minggu : setengah jarak pusat ke processus xyphoideus. 7. Kehamilan usia 36 minggu :
pada 1 jari bawah processus xyphoideus.
Masa puerpurium atau masa nifas mulai setelah partus selesai, dan berakhir setelah kira-
kira 6 minggu. Akan tetapi, seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum ada
kehamilan dalam waktu 3 bulan.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia,
dan Yugoslavia.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan
bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India
• Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil
akibat perkosaan) seperti di Jepang
• Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang melakukan abortus atas
indikasi medik.
7d: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka
penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik
di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi
tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari
kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari
komunitasnya.
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak. Abortus
buatan atau abortus provokatus dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni: 1.
Abortus buatan legal Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan
cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus
provocatus therapeticus, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah
untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
PASAL 15: 1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. 2) Tindakan medis
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) hanya dapat dilakukan: a. Berdasarkan
indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; b. Oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli; c. Dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; d. Pada sarana
kesehatan tertentu. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pada penjelasan UU no 23 tahun 1992 pasal 15 dinyatakan sebagai berikut: Ayat (1) :
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang
karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma
kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu Ayat (2) Butir a :
Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan janinnya terancam
bahaya maut. Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu
adalah tenaga yang memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang
dokter ahli kandungan seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Butir c :
Hak utama untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali
dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat diminta
dari semua atau keluarganya. Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan
yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk
oleh pemerintah. Ayat (3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal
ini dijabarkan antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu
hamil atau janinnya,tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk
persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk. 2. Abortus Provocatus Criminalis ( Abortus
buatan illegal ) Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk
menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten
serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Abortus
golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis karena di
dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Beberapa pasal yang mengatur
abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
PASAL 299 1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau denda paling banyak empat pulu ribu rupiah. 2) Jika yang bersalah,
berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai
pencaharian atau kebiasaan atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya
dapat ditambah sepertiga. 3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.
PASAL 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
PASAL 347 1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. 2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
PASAL 348 1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan. 2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita
tersebut, dikarenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
PASAL 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengn sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
PASAL 535 Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk
menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta
menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa
diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu,
diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan : 1.
Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain,
diancam hukuman empat tahun. 2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap
ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut diancam hukuman 12 tahun, dan
jika ibu hamil itu mati diancam 15 tahun 3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka
diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7
tahun penjara. 4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut
seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah
sepertiganya dan hak untuk praktek dapat dicabut. Meskipun dalam KUHP tidak terdapat
satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi
medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang
melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan alasan
tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48). Selain KUHP, abortus buatan yang ilegal juga
diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan:
PASAL 80 Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu
hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1)
dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
DAFTAR PUSTAKA
Chadha, P. Vijay.1995. Catatan kuliah ilmu forensic & toksikologi (Hand book of
forensic medicine & toxicology Medical jurisprudence). Jakarta : Widya Medika
Dewi, Made Heny Urmila. 1997. Aborsi Pro dan Kontra di Kalangan Petugas Kesehatan.
Jogjakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Pradono, Julianty et al. Pengguguran yang Tidak Aman di Indonesia, SDKI 1997. Jurnal
Epidemiologi Indonesia. Volume 5 Edisi I-2001. hal. 14-19.
Safe Motherhood Newsletter. Unsafe Abortion – A Worldwide Problem. Issue 28, 2000
(1).
KUHP
UU Kesehatan
Peraturan Pemerintah
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jul/2002/utama02.htm www.abortiono.org
www.liputan6.com www.kompas.co.id
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος,
thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau
hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-
negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Daftar isi
Terminologi
• Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan
obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau
menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
• Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita
pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya
dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian
morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia
pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak
keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena
ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada
keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak
rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun
pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal
ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut,
kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama
kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada
masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat
yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh
diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di
wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia
mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian
diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien
yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien
yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan
permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam
suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak dibawah umur 3 tahun yang menderitan
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang
kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada
era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih
lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena
disebabkan oleh cacat genetika.
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di
negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara
dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]
[sunting] Belanda
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan
eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu
akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia
20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
[sunting] Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan
UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of
the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
[sunting] Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan
adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk
memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]
[sunting] Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-
satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah
negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh
diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana
pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika
mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan
sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak
boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien
dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja
nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9] [10]
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan
bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia [11]
[sunting] Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP
yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia.
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12]
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini
belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa
dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
[sunting] Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun
orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan
dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu
pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."
[sunting] Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat
(disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia
di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]
[sunting] Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian
pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur
mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962
yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki
anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun
1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki
anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum
dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan
secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya
akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena
keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun
meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna
melaksanakan eutanasia.
[sunting] India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun
berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah
atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan
eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.[16]
[sunting] China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng"
meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit.
Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun
6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan
mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker
perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk
dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.[17]
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang
eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari
jerat hukum yang ada.[18]
[sunting] Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea,
namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan
"Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver
cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara
tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya
dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata
dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis
terhadap dirinya.[19]
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem
penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya
sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi
untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi
eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang
prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang
paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia
dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes
Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21] [22]
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang
karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-
kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah
menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun
juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan
pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada
saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik
dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal.[23]
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran
agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada
"welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran
terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma"
negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan
kehidupan seseorang tersebut. [24]
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
(QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal
ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati
atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada
hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab (sunnah).[28]
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan
doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan.
Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan
kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya
menentang anjuran eutanasia.[29]
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan.
Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan
berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku
akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap
manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan
eutanasia.[32]
[sunting] Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah
"bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari
sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan
alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
(QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal
ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati
atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada
hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab (sunnah).[28]
• Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics,
medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-
2986-7.
• Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a
New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
• Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician
assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
• Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States
and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham,
MD: Rowman & Littlefield Publishers.
• Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the
patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination,
sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
• Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia.
Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.
• Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and
jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States"
in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
• Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting
on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
• Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record
straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD:
Rowman & Littlefield Publishers.
• Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford
University Press, 1986.
• Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on
euthanasia. Vatican City: The Vatican.
• Ilmu Kesehatan
KONSEP SEHAT-SAKIT
A. PENDAHULUAN
Pada masa lalu, sebagian besar individu dan masyarakat memandang sehat dan sakit
sebagai sesuatu Hitam atau Putih. Dimana kesehatan merupakan kondisi kebalikan dari
penyakit atau kondisi yang terbebas dari penyakit. Anggapan atau sikap yang sederhana
ini tentu dapat diterapkan dengan mudah; akan tetapi mengabaikan adanya rentang sehat-
sakit.
Pendekatan yang digunakan pada abad ke-21, sehat dipandang dengan perspektif yang
lebih luas. Luasnya aspek itu meliputi rasa memiliki kekua¬saan, hubungan kasih sayang,
semangat hidup, jaringan dukungan sosial yang kuat, rasa berarti dalam hidup, atau
tingkat kemandirian tertentu (Haber, 1994).
B. DEFINISI SEHAT
Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi
juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial
dan spiritual.
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang
sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan (WHO, 1947).
Definisi WHO tentang sehat mempunyui karakteristik berikut yang dapat meningkatkan
konsep sehat yang po¬sitif (Edelman dan Mandle. 1994):
1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi ling¬kungan internal dan eksternal.
3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial
dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan
yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakan bagian integral kesehatan.
Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana
individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis,
intelektua, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, social, dan ekonomi)
dalam mempertahankan kesehatannya.
B. MODEL SEHAT SAKIT
1. Model Rentang Sehat-Sakit (Neuman)
Menurut Neuman (1990): ”sehat dalam suatu rentang merupakan tingkat kesejahteraan
klien pada waktu tertentu , yang terdapat dalam rentang dan kondisi sejahtera yang
optimal , dengan energi yang paling maksimum, sampai kondisi kematian yang
menandakan habisnya energi total”
Jadi menurut model ini sehat adalah keadaan dinamis yang berubah secara terus menerus
sesuai dengan adaptasi individu terhadap berbagai perubahan pada lingkungan internal
dan eksternalnya untuk mempertahankan keadaan fisik, emosional, inteletual, sosial,
perkembangan, dan spiritual yang sehat.
Sedangkan Sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau lebih dimensi
yang ada mengalami perubahan atau penurunan bila dibandingkan dengan kondisi
individu sebelumnya.
Karena sehat dan sakit merupakan kualitas yang relatif dan mempunyai tingkatan
sehingga akan lebih akurat jika ditentukan seseuai titik-titik tertentu pada skala Rentang
Sehat-Sakit.
Dengan model ini perawat dapat menentukan tingkat kesehatan klien sesuai dengan
rentang sehat-sakitnya. Sehingga faktor resiko klien yang merupakan merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan dalam mengidentifikasi tingkat kesehatan klien. Faktor-
faktor resiko itu meliputi variabel genetik dan psikologis.
Kekurangan dari model ini adalah sulitnya menentukan tingkat kesehatan klien sesuai
dengan titik tertentu yang ada diantara dua titik ekstrim pada rentang itu (Kesejahteraan
Tingkat Tinggi – Kematian). Misalnya: apakah seseorang yang mengalami fraktur kaki
tapi ia mampu melakukan adaptasi dengan keterbatasan mobilitas, dianggap kurang sehat
atau lebih sehat dibandingkan dengan orang yang mempunyai fisik sehat tapi mengalami
depresi berat setelah kematian pasangannya.
Model ini efektif jika digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan saat ini
dengan tingkat kesehatan sebelumnya. Sehingga bermanfaat bagi perawat dalam
menentukan tujuan pencapaian tingkat kesehatan yang lebih baik dimasa yang akan
datang.
Agen :Berbagai faktor internal-eksternal yang dengan atau tanpanya dapat menyebabkan
terjadinya penyakit atau sakit. Agen ini bisa bersifat biologis, kimia, fisik, mekanis, atau
psikososial.
? jadi Agen ini bisa berupa yang merugikan kesehatan (bakteri, stress) atau yang
meningkatkan kesehatan (nutrisi, dll).
Pejamu: Sesorang atau sekelompok orang yang rentan terhadap penyakit/sakit tertentu.
Faktor pejamu antara lain: situasi atau kondisi fisik dan psikososoial yang menyebabkan
seseorang yang beresiko menjadi sakit.
Misalnya: Riwayat keluarga, usia, gaya hidup dll.
Lingkungan: seluruh faktor yang ada diluar pejamu.
• Lingkungan fisik: tingkat ekonomi, iklim, kondisi tempat tinggal, penerangan,
kebisingan
• Lingkungan sosial: Hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, misalnys: stress,
konflik, kesulitan ekonomi, krisis hidup.
Model ini menyatakan bahwa sehat dan sakit ditentukan oleh interaksi yang dinamis dari
ketiga variabel tersebut. Menurut Berne et al (1990) respon dapat meningkatkan
kesehatan atau yang dapat merusak kesehatan berasal dari interaksi antara seseorang atau
sekelompok orang dengan lingkungannya.
Selain dalam keperawatan komunitas model ini juga dikembangkan dalam teori umum
tentang berbagai penyebab penyakit.
4. Model Keyakinan-Kesehatan
Model Keyakinan-Kesehatan menurut Rosenstoch (1974) dan Becker dan Maiman
(1975) menyatakan hubungan antara keyakinan seseorang dengan perilaku yang
ditampilkan.
Model ini memberikan cara bagaimana klien akan berprilaku sehubungan dengan
kesehatan mereka dan bagaimana mereka mematuhi terapi kesehatan yang diberikan.
Terdapat tiga komponen dari model Keyakinan-Kesehatan antara lain:
a. Persepsi Individu tentang kerentanan dirinya terhadap suatu penyakit.
Misal: seorang klien perlu mengenal adanya pernyakit koroner melalui riwayat
keluarganya, apalagi kemudian ada keluarganya yang meninggal maka klien mungkin
merasakan resiko mengalami penyakit jantung.
b. Persepsi Individu terhadap keseriusan penyakit tertentu.
Dipengaruhi oleh variabel demografi dan sosiopsikologis, perasaan terancam oleh
penyakit, anjuran untuk bertindak (misal: kampanye media massa, anjuran keluarga atau
dokter dll)
c. Persepsi Individu tentang manfaat yang diperoleh dari tindakan yang diambil.
Seseorang mungkin mengambil tindakan preventif, dengan mengubah gaya hidup,
meningkatkan kepatuhan terhadap terapi medis, atau mencari pengobatan medis.
Model ini membantu perawat memahami berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi, keyakinan, dan perilaku klien, serta membantu perawat membuat rencana
perawatan yang paling efektif untuk membantu klien, memelihara dan mengembalikan
kesehatan serta mencegah terjadiny penyakit.
Tidak semua klien melewati tahapan yang ada, dan tidak setiap klien melewatinya
dengan kecepatan atau dengan sikap yang sama. Pemahaman terhadap tahapan perilaku
sakit akan membantu perawat dalam mengidentifikasi perubahan-perubahan perilaku
sakit klien dan bersama-sama klien membuat rencana perawatan yang efektif
E. DAMPAK SAKIT
1. Terhadap Perilaku dan Emosi Klien
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada asal penyakit, reaksi
orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.
Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan
menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya
seorang Ayah yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga atau
kesabaran untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan keluarga dan mungkin akan
menjadi mudah marah, dan lebih memilih menyendiri.
Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya.dapat menimbulkan
perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah,
dan menarikd diri.
Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga terhadap stress,
karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan.
2. Terhadap Peran Keluarga
Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil
keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami penyakit, peran-
peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.
Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara
drastis dan berlangsung lama. Individu / keluarga lebih mudah beradaftasi dengan
perubahan yang berlangsung singkat dan tidak terlihat.
Perubahan jangka pendek ? klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang
berkepanjangan. Akan tetapi pada perubahan jangka penjang ? klien memerlukan proses
penyesuaian yang sama dengan ’Tahap Berduka’.
Peran perawat adalah melibatkan keluarga dalam pembuatan rencana keperawatan.
3. Terhadap Citra Tubuh
Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya.
Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya, dan
klien/keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan
tersebut.
Reaksi klien/keluarga etrhadap perubahan gambaran tubuh itu tergantung pada:
o Jenis Perubahan (mis: kehilangan tangan, alat indera tertentu, atau organ tertentu)
o Kapasitas adaptasi
o Kecepatan perubahan
o Dukungan yang tersedia.
4. Terhadap Konsep Diri
Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana
mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.
Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya
tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.
Perubahan konsep diri akibat sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa
terobservasi dibandingkan perubahan peran.
Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya
yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak
mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan
dan konflik. Akibatnya anggiota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.
Misal: Klien tidak lagi terlibat dalam proses pengambilan keputusan dikeluarga atau tidak
akan merasa mampu memberi dukungan emosi pada anggota keluarganya yang lain atau
kepada teman-temannya ? klien akan merasa kehilangan fungsi sosialnya.
Perawat seharusnya mampu mengobservasi perubahan konsep diri klien, dengan
mengembangkan rencana perawatan yann membantu mereka menyesuaikan diri dengan
akibat dan kondisi yang dialami klien.
5. Terhadap Dinamika Keluarga
Dinamika Keluarga meruapakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil
keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan koping
terhadap perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.
Misal: jika salah satu orang tua sakit maka kegiatan dan pengambilan keputusan akan
tertunda sampai mereka sembuh.
Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga harus membuat pola fungsi yang
baru sehingga bisa menimbulkan stress emosional.
Misal: anak kecil akan mengalami rasa kehilangan yang besar jika salah satu orang
tuanya tidak mampu memberikan kasih sayang dan rasa aman pada mereka. Atau jika
anaknya sudah dewasa maka seringkali ia harus menggantikan peran mereka sebagai
mereka termasuk kalau perlu sebagai pencari nafkah.
F. PENINGKATAN KESEHATAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT
Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit merupakan dua konsep yang
berhubungan erat dan pada pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi saling
tumpang tindih satu sama lain.
Peningkatan kesehatan merupakan upaya memelihara atau memperbaiki tingkat
kesehatan klien saat ini. Sedangkan Pencegahan Penyakit merupakan upaya yang
bertujuan untuk melindungi klien dari ancaman kesehatan yang bersifat aktual maupun
potensial.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-kesehatan/konsep-sehat-dan-
sakit-1
Pengertian
Banyak ahli membuat kajian ttg kelp baik ditinjau dari pndangan sosiologi,psikologi
social,maupun dari teori – teori komunikasi, diantaranya adalah :
Menurut Fiedler, KELOMPOKadalah serangkaian individu yang mempunyai
persamaan – persamaan yang saling berdekatan dan saling terlibat dalam suatu tugas
bersama anggota – anggota kelompok merasa saling tergantung dalam mencapai tujuan
bersama
Menurut Stogdil: kelompok dapat dianggap sebagai systemterbuka yang berinteraksi
dimana kegiatan menentukan struktur dari system dan interaksi yang terus menerus
mempunyai pengaruh terhadap identitas system.
Menurut Edgar Schein, kelompok adalah sejumlahorang / kumpulan orang yang
mengadakan interaksi satu dengan yang lain, yang secara sadar mengakui keberadaan
orang lain & menganggap diri mereka sebagai kelompok
Mills, menyebutkan bahwa Kelompok keciladalah unit yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang saling berhubungan untuk suatu kegunaan & menilai hubungan bermanfaat
Shaver : Kelompok social adalah kumpulan yang mempunyai implikasi psikologik
kepada individu / perorangan berdasarkan kepada kesadaran seseorang terhadap anggota
kelompok lain,kenggotaanya didalamkelompok dan kemanfaatan emosional dari
kelompok
Kelompok
Kumpulan orang – orang berinteraksi satu dengan lainnya secara teratur untuk masa
tertentu dan merasa bahwa mereka saling tergantung demi mencapai tujuan
Karakteristik Kelompok
Beberapa ahli mengatakan bahwa dalam suatu kelompok terdapat ciri – ciri, yaitu :
1. Terdiri dari 2 orang atau lebih
2. Adanya interaksi yang terus menerus
3. Adanya pengembangan identitas kelompok
4. Adanya norma – norma kelompok
5. Adanya diferensiasi peran
6. Peran yang saling tergantung
7. Produktivitas bertambah atau meningkat
8. Saling membagi tujuan yang sama
9.
Proses terjadinya kelompok (sarwono,solita 1993)
Perasaan=Motivasi=Tujuan=Interaksi=Pembentukan=Perpecahan=Penyesuaian=
Perubahan=Perasaan
Dinamika Kelompok
Berasal dari kata dinamika yang artinya: tingkah laku warga yang dapat mempengaruhi
tingkah laku warga yang lainnya sehingga terjadi hubungan timbal balik
1. Forming (pembentukan )
diawali dg adanya perasaan & persepsi yg sama
Adanya Motivasi dan penentuan tujuan
Timbul interaksi
pembentukan kelp
Storming (Badai)
Perbedaan persepsi
Konflik antar anggota kelp
Terjadi tahap penyesuaian
-Tahap pra afiliasi=Tahap permulaan diawali perkenalan (sifat dan nilai masing-masing
anggota)
-Tahap fungsional=Ditandai adanya perasaan senang antara satu dengan yang lain,
tercipta homogenitas, kecocokan dan kekompakkan dalam kelompok.
Menghambat
Waktu penugasan
Tempat atau jarak anggota yang berjauhan dapat mempengaruhi kualitas/kuantitas
pertemuan.
Memperlancar
Keterbukaan antar anggota
Kemauan untuk mengutamakan kepentingan kelompok
Kemampuan scra emosional dlm mengungkapkan pengalaman, pengetahuan dan
kemauan tanpa meninggalkan kaidah dan norma yang disepakati.
Indikator Untuk Mengukur Tingkat perkembangan kelompok
1.,Adaptasi
-Setiap individu terbuka untuk memberi dan menerima informasi yang baru.
-Setiap kelompok tetap selalu terbuka untuk menerima peran baru sesuai dengan hasil
dinamika kelompok.
-Proses adaptasi berjalan baik ditandai dengan kelenturan setiap anggota untuk menerima
ide, pandangan, norma dan kepercayaan anggota kelompok lain tanpa merasa
integritasnya terganggu.
2.Pencapaian tujuan
-Setiap anggota kelompok mampu menunda kepuasan dan melepaskan ikatan dalam
rangka mencapai tujuan bersama, mampu membina dan memperluas pola, serta individu
mampu terlibat secara emosional untuk mengungkapkan pengalaman, pengetahuan dan
kemampuannya.
http://umitrastikes.blogspot.com/2010/01/dinamika-kelompok-dalam-keperawatan.html
Berubah (Change)
“An act of process that makes something or someone different in some way”
“The process og moving from one system to another”
“Transition to a different end”
PERLU KESEIMBANGAN
2. mengadakan penyelidikan dan eksplorasi
3. mengadakan perubahan/ mengadakan penyempurnaan
4. menerapkan ide-ide baru dan konsep-konsep baru
5. mengusahakan untuk mencapai hal-hal yang kelihatannya belum dicapai
perkembangan/ kemajuan yang terjadi pada individu, kelompok dan organisasi dalam
pertumbuhan-perkembangan
Sebagai upaya yang bertujuan untuk mencapai tingkat yang lebih baik, dapat dikontrol
1. Perubahan partisipatif
- Pelibatan klien dalam proses penyusunan proses berubah; cara klien melihat dirinya
sendiri dan melihat masalahnya harus diperhatikan dan dipadukan dengan pandangan
change agent
- Melihat kemungkinan bahwa masalah terletak pada sikap, nilai norma, dan hubungan
internal/ eksternal dari sistem klien, dan yang mungkin memerlukan perubahan arau
reedukasi, sebagai kondisi untuk mengadakan penyelesaian masalah
- Change agent harus mempelajari cara intervensi timbal balik dan kolaboratif
- Unsur-unsur yang tidak disadari memberi saham/ mempunyai pengaruh pada
penyelesaian masalah, harus dibawa ke permukaan
- Metode dan konsep ilmu perilaku merupakan sumber yang digunakan change agent dan
klien secara selektif, relevan dan benar
Pendekatan ini brtolak pada pandangan bahwa people technology sama pentingnya
dengan thing technology dalam mengadakan perubahan yang baik dalam persoalan
manusia
http://rofiqahmad.wordpress.com/2008/05/07/perubahan-dalam-keperawatan/