Anda di halaman 1dari 22

Laporan Tutorial

Kasus I

Kelompok I :
Maurin N. Wowor (14011101005)
I Gusti D. Sanjaya (14011101006)
Raymond J. Sigar (14011101022)
Gabrielle E. Sirih (14011101002)
Jonathan Moula (14011101038)
Atika Labatjo (14011101039)
Swens A. Rompis (14011101068)
Inrike Simarmata (14011101069)

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
MANADO
2016
KASUS I
Skenario 1

Seorang laki=laki umur 41 tahun datang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam


dengan keluhan cepat lelah walaupun nafsu makannya baik. Sebagai karyawan
bagian keuangan pada suatu perusahaan, pasien bekerja mulai Senin sampai Sabtu
sehingga tidak ada waktu untuk berolahraga. Pasien juga sering makan di restoran
untuk menjamu kliennya. Akhir-akhir ini pasien sering merasa mulut kering dan
haus. Ayah pasien meninggal pada usia 50 tahun karena serangan jantung.
Pemeriksaan fisik ditemukan tinggi badan 160 cm, berat badan 85 kg, lingkar
pinggang 91 cm, tekanan darah 145/90 mmHg. Oleh dokter yang menerima pasien
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan ditemukan kadar gula darah sewaktu
(acak) 202 mg/dl, kolesterol total 270 mg/dl.
Kata Sulit :
Kalimat Kunci :
o Laki Laki 41 tahun
o Cepat lelah, walau nafsu makan baik
o Mulut kering dan haus
o Sering makan di restoran
o Pemeriksaan Fisik :
TB = 160 cm
BB = 85 kg
Lingkar pinggang = 91 cm
Tekanan darah = 145/85 mmHg
Gula darah sewaktu (acak) = 202 mg/dL
Kolestrol total = 270 mg/Dl
o Riwayat ayah serangan jantung
Masalah dasar :
Laki- Laki 40 tahun datang berobat dengan keluhan cepat lelah walau nafsu
makan baik, mulut terasa kering dan haus.
Pertanyaan :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
3. Diagnosis dan diagnosis banding
4. Etiologi dan Epidemiologi
5. Manifestasi Klinis
6. Patogenesis
7. Patofisiologi
8. Penatalaksanaan
9. Prognosis dan Komplikasi
10.Kenapa pasien merasa mulut kering dan haus ?
11.Apa hubungan antara penyakit ayah dengan diagnosis pasien ? Jelaskan !
12.Klasifikasi Obese dan Diabetes Mellitus !
Jawaban :
1. Anamnesis :
a. Identitas Umum Pasien
Nama
: Bayu (asumsikan)
Umur
: 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan
:Karyawan bagian keuangan suatu perusahaan
Agama
: Kristen (asumsikan)
Alamat
:Jalan Hasanuddin 2, Manado (asumsikan)

b. Keluhan Utama
Pasien merasa cepat lelah walaupun nafsu makannya baik.
c. Keluhan Penyerta
a. Apakah bapak sering merasa lapar? (Polifagia)
Ya.
b. Apakah bapak sering merasa haus? ( Polidipsia)
Ya
c. Apakah bapak menjadi lebih sering buang air kecil? (Poliuria)
Ya.
d. Apakah bapak merasakan bahwa penglihatan bapak memburuk?
Tidak
e. Apakah bapak sering merasa kesemutan?
Kadang-kadang
f. Apakah kaki bapak terasa bengkak?
Tidak
g. Apakah bapak merasakan gatal-gatal pada kulit bapak?
Kadang-kadang
h. Apakah bapak pernah memiliki luka yang sukar sembuh?
Pernah
i. Apakah bapak bapak sering merasa cepat lelah?
j. Ya.
k. Apakah bapak mengalami penurunan berat badan yang secara signifikan
beberapa waktu terakhir ini?
Ya. Sekitar 5 kg dalam 1 bulan.
l. Apakah terjadi disfungsi ereksi?
Ya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu?
a. Apakah bapak memiliki riwayat penyakit hipertensi?
Ya.
b. Apa bapak memiliki riwayat obesitas sebelumnya?
Tidak
c. Apa bapak memiliki riwayat penyakit jantung?
Tidak.
d. Apakah bapak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya?
Tidak disebutkan.
e. Riwayat Pengobatan
a. Apa bapak sudah pernah melakukan pengobatan terhadap keluhan
tersebut?
Tidak disebutkan.
b. Apa bapak sedang menjalani pengobatan tertentu sekarang?
Tidak disebutkan.
f. Riwayat penyakit keluarga
a. Apakah dalam keluarga bapak, ayah ibu atau saudara kandung bapak
ada yang menderita penyakit DM?
Ya.

b. Apakah di keluarga bapak ada yang menderita penyakit hipertensi,


jantung,
maupun
obesitas?
Ya. Ayah pasien meninggal serangan jantung.
g. Riwayat gaya hidup dan aktivitas
a. Apa bapak sering berolahraga sehari-hari?
Tidak karena sibuk
b. Bagaimana pola makan bapak sehari-hari?
Sering makan di restoran untuk menjamu clien (fastfood).
2. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis: keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
Pemeriksaan vital sign
Tekanan darah : 145/90 mmHg
Nadi:
Respirasi:
Suhu:
Pemeriksaan Antropometri
Tinggi badan: 160 cm
Berat badan: 85 kg
Lingkar Pinggang: 91 cm
Lingkar Panggul:
Status Gizi
IMT: BB/TB2 = 85/1.62 = 33.20 (obesitas)
Obese I dengan risiko penyakit moderate
Standar Brocca: BB Ideal = (TB-100) 10% (TB-100)
=(160-100) 10% (160-100)
=60-6 = 54 kg
Pemeriksaan Kepala
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-) Pemeriksaan leher: Tidak
ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran tiroid, kelenjar limfonodi leher tidak
teraba, JVP tidak
meningkat.
Pemeriksaan Fisik Jantung
Inspeksi: tidak ada tanda-tanda inflamasi, dinding dada simetris kanan dan
kiri, tidak ada
retraksi dinding dada, pulsasi ictus cordis terlihat di SIC IV linea
midclavicularis sinistra.
Palpasi: tidak teraba massa, ictus cordis teraba di di SIC IV linea
midclavicularis sinistra.
Perkusi: redup di bagian jantung, batas bawah paru dan jantung di SIC IV
linea midclavicula
sinistra dan batas atas setinggi SIC III linea parasternalis
kiri.
Auskultasi: Suara jantung I dan II regular, tidak ada bising.
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi: tidak ada tanda-tanda inflamasi, dinding dada simetris kanan dan
kiri, tidak ada
ketinggalan gerak, tidak ada retraksi dinding dada.

Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada krepitasi, vocal fremitus normal.
Perkusi: sonor di seluruh lapangan paru. Batas hepar dan paru lobus kanan
hepar terletak
setinggi SIC VI linea midclavicularis dextra.
Auskultasi: Suara pernapasan bronchial dan vesikuler, tidak ada wheezing
dan
ronki.
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi: bentuk dinding perut datar, tidak ada sikatrik
Auskultasi: peristaltic (+) 18 x/menit
Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: timpani dikeempat kuadaran abdomen.
Pemeriksaan Ekstremitas
Pada lutut kanan terlihat pembengkakan dengan keterbatasan gerak
pada articulation genue dextra. Daerah tersebut tampak hangat disertai dengan
nyeri tekan. Kekuatan otot ekstermitas atas kanan dan kiri 5, ekstermitas bawah
kiri 5 dan kanan 1.
RESUME PEMERIKSAAN FISIK
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik,
vital sign
didapatkan TD 145/90, Nadi, Respirasi, dan suhu. Pemeriksaan thorak
tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan.
Hepar dan lien tidak
membesar.
Pemeriksaan
ekstermitas
terdapat
pembengkakan dan nyeri tekan pada articulation genue dextra.
Pemeriksaan Penunjang
Cara pemeriksaan TTGO, yaitu :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam
waktu 5 menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Glukosa darah puasa (fasting blood glucose) adalah pemeriksaan gula


darah terhadap seseorang yang telah dipuasakan semalaman. Biasanya orang
tersebut disuruh makan malam terakhir pada pukul 22.00; dan keesokan paginya
sebelum ia makan apa-apa, dilakukan pemeriksaan darah. Nilai normal untuk
dewasa adalah 70-110 mg/dL. Seseorang dinyatakan diabetes melitus apabila kadar
glukosa darah puasanya lebih dari 126 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah
puasa di antara 110 dan 126 mg/dL menunjukkan gangguan pada toleransi glukosa,
yang perlu diwaspadai dapat berkembang menjadi diabetes melitus di masa
mendatang.

Glukosa darah sewaktu atau glukosa darah 2 jam postprandial (2 jam


setelah makan) adalah pemeriksaan gula darah terhadap seseorang yang tidak
dipuasakan terlebih dahulu. Perbedaannya adalah untuk skrining atau pemeriksaan
penyaring, biasanya diperiksa glukosa darah sewaktu. Tanpa ditanya apa-apa atau
disuruh apa-apa, glukosa darah langsung diperiksa. Sedangkan untuk keperluan
diagnostik, dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam postprandial segera setelah

glukosa darah puasa diperiksa. Beban yang diberikan adalah glukosa 75 gram yang
dilarutkan dalam 200 mL air yang dihabiskan dalam 5 menit. Selanjutnya subjek
diistirahatkan selama 2 jam (tidak boleh beraktivitas fisik berlebihan). Nilai normal
untuk dewasa adalah kurang dari 140 mg/dL. Seseorang dinyatakan diabetes
melitus apabila kadar glukosa darah sewaktunya lebih dari 200 mg/dL. Di antaranya
dinyatakan mengalami gangguan toleransi glukosa.

Glycosylated hemoglobin (HbA1c) adalah pemeriksaan penunjang


diabetes melitus yang ditujukan untuk menilai kontrol glikemik seorang pasien.
HbA1c adalah salah satu fraksi hemoglobin (bagian sel darah merah) yang
berikatan dengan glukosa secara enzimatik. HbA1c ini menunjukkan kadar glukosa
dalam 3 bulan terakhir, karena sesuai dengan umur eritrosit (sel darah merah) yaitu
90-120 hari. Nilai HbA1c yang baik adalah 4-6%. Nilai 6-8% menunjukkan kontrol
glikemik sedang, dan lebih dari 8%-10% menunjukkan kontrol yang buruk.

Pemeriksaan ini penting untuk menilai kepatuhan seorang pasien diabetes


dalam berobat. Bisa saja seorang pasien yang sudah tahu akan diperiksa glukosa
darahnya melakukan olahraga ekstra keras atau menjaga makanannya dengan hatihati agar saat diperiksa glukosa darah sewaktunya memberi hasil yang normal;
namun dengan pemeriksaan HbA1c, semua itu tidak bisa dibohongi. Kepatuhan
pasien dalam 3 bulan terakhir terlihat dari tinggi rendahnya kadar HbA1c. Selain itu,
HbA1c juga dapat meramalkan perjalanan penyakit, apakah pasien berpeluang
besar mengalami komplikasi atau tidak berdasarkan kadar kontrol glikemiknya.
3. Diagnosis
Alur diagnosis DM dibagi menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia,
polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala
tidak khas DM antara lain lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruriitus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja sudah cukup untuk menegakan diagnosis, namun apabila tidak
ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa
darah abnormal.

Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL.
2. Atau. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL.
Perbedaan Diabetes Melitus Tipe 1 dan Tipe 2
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Melitus Tipe 2
- Umumnya penderita memiliki
- Umumnya penderita gemuk
berat badan kurus.
(obesitas).
- Riwayat keluarga 20%.
- Riwayat keluarga 80%.
- Umumnya pada usia muda.
- Umumnya pada usia lebih dari 40
tahun.
- Sering atau mudah mengalami
- Jarang terdapat koma.
koma.
- Sel beta pancreas dapat rusak
- Terjadi resistensi insulin.
sehingga kadar insulin rendah.

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang yang baik dan benar. Pada kasus ini berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis pada
kasus adalah Diabetes Melitus tipe 2.
Diabetes Melitus tipe 2 disebut juga Noninsulin Dependent Diabetes Melitus.
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2disertai dengan penurunan reaksi
intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
4. Etiologi
Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor
genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang
berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini
yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk
memproduksi insulin.
b. Obesitas

Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi


yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi
pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada
penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak.
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar
non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar
daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki
riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe 1, penyakit
ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan
bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif,
masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan.
d.Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh
besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja
metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang
berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat
pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
Epidemiologi
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi paling sering pada orang dewasa
berusia 40 tahun atau lebih, dan prevalensi penyakit tersebut meningkat
dengan usia lanjut. Memang, penuaan penduduk merupakan salah satu
alasan bahwa diabetes melitus tipe 2 menjadi semakin umum. Hampir semua
kasus diabetes mellitus pada orang tua adalah tipe 2.

Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2)


merupakan
penyakit metabolik yang
prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah
penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi
negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia.
Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga terjadi di berbagai kota besar
sesuai dengan perilaku tradisional menjadi urban. Salah satu kota yang

mengalami peningkatan pervalensi adalah Makassar yang telah meningkat


dari 1,5 % pada 1981 menjadi 2,9 % tahun 1998 dan 12,5 pada 2005.
5. Manifestasi Klinis
Diabetes Melitus Menurut Corwin (1996 : 546 547), terdapat 5 buah
gambaran klinis dari DM, yaitu :
1.Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif
yang kronik, katabolik protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering
terjadi penurunan berat badan.
2.Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat
besar dan keluarnya
air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.
3.Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), pada orang nondiabetes,
semua glukosa yang
difiltrasi ke dalam urin akan diserap secara aktif
kembali ke dalam darah. Pengangkut- pengangkut glukosa di ginjal yang
membawa glukosa keluar urin untuk masuk kembali
ke darah akan
mengalami kejenuhan dan tidak dapat mengangkut glukosa lebih banyak.
Karena glukosa di dalam urin memiliki aktivitas osmotik, maka air akan
tertahan di dalam filtrat dan diekskresikan bersama glukosa dalam urin
sehingga terjadi poliuria.
4.Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam
otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi.
5.Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di
sekresi mukus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada
penderita diabetes kronik.

Gambaran klinis lain apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus


seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita.
6. PatofisiologI

7. Patogenesis

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II
Non-Farmakologi
Terapi Nutrisi Medis pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau komplikasi yang
telah ada.
Kunci keberhasilan Terapi Nutrisi Medik adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain, diabetisi dan keluarga).
Tujuan Terapi Nutrisi Medis bagi diabetisi:
1. Untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal atau mendekati normaltanpa efek samping
hipoglikemi, profil lipid untk mencegah risiko penyakit
kardiovaskuler, tekanan darah dalam batas normal atau seaman
mungkin mendekati normal.
2. Untuk mencegah atau memperlambat laju berkembangnya
komplikasi kronis diabetes dengan melakukan modifikasi asupan
nutrisi serta perubahan gaya hidup.

3. Nutrisi diberikan secra individual dengan memperhitungkan


kebutuhan nutrisi dan memperhatikan kebiasaan makan diabetisi.
Diet DM merupakan Terapi Nutrisi Medis yang diperkenalkan oleh
Askandar Tjokroprawiro yang memiliki satu diet induk dan berkembang menjadi 21
macam diet yang berbeda-beda namun tetap diusahakan supaya dapat:
-

Memperbaiki kesehatan umum diabetisi


Menyesuaikan berat badan diabetisi ke berat badan normal
Menormalkan pertumbuhan badan anak yang terkena DM atau
pertumbmuhan orang dewasa muda yang terkena DM
Mempertahankan glukosa darah mendekati normal
Menekan atau mencegah timbulnya komplikasi DM
Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita
Nutrisi disajikan secara menarik serta mudah diterima diabetisi

Pada dasarnya diabetisi diberikan dengan cara 3 kali makan utama dan 3 kali
makanan antara (kudapan), dengan interval 3 jam. Diabetisi menggunsksn diet
sonde menggunsksn rumus E1,E2,E3,E4,E5,E6.
Eternal 1 : 08.00
am Eternal 2 : 11.00
amEternal 3 : 02.00
pm Eternal 4 : 05.00
pmEternal 5 : 08.00
pm
Eternal 6 : 11.00
Kepatuhan diet perlu ingat 3K (Kemauan, Kemampuan dan Kesempatan)
serta 3J
pm
(Jumlah kalori, Jadwal makan dan Jenis gula yang harus dipantang)
Dalam pelaksanaan diet perlu diperhatikan :
-

Harus kumur sesudah makan (sumber infeksi jika ada makanan tersisa
didalam mulut)
Diabetisi harus pandai menyusun daftar diet supaya tidak bosan dengan
menunya
Harus berkonsultasi dengan dokter apabila merasa lapar atau kelebihan
dengna diet yang dijalankan
Kalori yang diberikan kepada diabetisi harus cukup, untuk bekerja sehaihari sesuai dengan jenis pekerjaan dan sesuai utuk menuju BB normal.

Cara menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan:


IMT = BB / (TB)2
IMT = 85 / (1,6)2
IMT = 85/2,56
IMT = 33, 20 Pasien Obes II

BBR
BBR
BBR
BBR
BBR

=
=
=
=
=

[BB / (TB-100)] x 100%


[85 / (160-100)] x 100%
(85 / 60) x 100%
1,41 x 100%
141 % gemuk (obesitas)

Kebutuhan kalori dalam sehari 10-15 kal/ KgBB


Pada diabetisi ini : 850 kal 1.275 kalori / hari

Latihan Fisik
Pada DM Tipe II yang mendapatkan terapi insulin atau golongan
sulfonilurea terjadinya hipoglikemi selama latihan fisik tidak terlalu
menimbulkan masalah, bahwa latihan fisik pada DM Tipe II akan
memperbaiki sensitvitas insulin dan membantu menurunkan kadar
glukosa darah. Selain memperbaiki sensitivitas insulin, juga menjaga
kebugaran tubuh. Beberapa penelitian membuktikan bahwa latihan
fisik bisa memasukkan glukosa kedalam sel tanpa mebutuhkan insulin,
dan juga dapat menurunkan berat badan pada penderita diabetisi
dengan obesitas serta mencegah laju progresivitas gangguan toleransi
glukosa menjadi DM Tipe II.
Farmakologi
Terapi farmakologi

1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51
asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam
amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai
peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu
transport glukosa
dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru
sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin
Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke
dalam darah.
Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein
atau seng
atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan


mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya.
Untuk pasien
yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan
kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin
diberikan adalah
insulin (Waspadji, 2010).

2. Obat Antidiabetik Oral


Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu
penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat
dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat
(Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar
pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas
masih dapat
berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian
senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi
insulin oleh
kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes
dewasa
baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme
dalam hati.
Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam
(Katzung,
2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati
obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal
(Handoko dan
Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,
masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah
menjadi 1-

hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya


daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga
memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan
Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di
dalam
hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah
terikat
albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat
beberapa
hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya
dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam
setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira
100 kali
lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat
lain tidak
efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola
kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi
hari mampu
menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama
makan)
(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21%
metabolit
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal
(Handoko
dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid
dimetabolisme
dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa
perubahan
melalui ginjal (Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan
dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg
terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride
mempunya
waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati
menjadi produk
yang tidak aktif (Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin
menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan
hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita
yang
overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas
dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan
meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya
penyerapan
glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion
diharapkan
dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin
tanpa
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel
pankreas.
Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase
alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia
postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:
Acarbose
(Tjay dan Rahardja, 2002).
9. Komplikasi dan Prognosis Diabetes Melitus Tipe II
KOMPLIKASI
Komplikasi kronis berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi makrovaskular
Komplikasi neurologis
1. Komplikasi Mikrovaskular Nefropati
Retinopati Neuropati
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil
khususnya kapiler. Komplikasi spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal
dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain
pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan
ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai
dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat

dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat


diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada
kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan
kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila
dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Nefropati diabetika Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab
nefropati paling banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal
terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati
diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati
diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24
jam), terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol
tekanan darah.
2. Komplikasi Makrovaskular Penyakit kardiovaskuler/ Stroke/
Dislipidemia Penyakit pembuluh darah perifer Hipertensi
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati
tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih
seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit , kardiovaskular
dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula.
kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas
koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai
faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya
komplikasi makrovaskular. Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan studi
epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner.
Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.
Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina
pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan
didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan)
yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius
adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan
tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat
tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang
lebih teliti.
Stroke Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas
kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita
stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan
prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat

berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul


gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: - Pusing, sinkop Hemiplegia: parsial atau total - Afasia sensorik dan motorik - Keadaan
pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah Proses awal terjadinya kelainan
vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh
pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada
diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi
apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih
sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya
mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit
pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila
sudah mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan
mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama
terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene
dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus
koma, ataupun kematian. .
3. Neuropati Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi
yang sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh
penderita DM. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif
di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejalagejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah
serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya
kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya
peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myoinositol,
penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan
struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
PROGNOSIS
Pada diabetisi tidak akan sembuh namun kadar gula darah dapat
dikontrol, sehingga
pasien dapat menjalani hidup seperti orang
normal lainnya dan mencegah terjadinya
komplikasi. Deteksi dini
penderita baru DM merupakan upaya pencegahan
meningkatnya komplikasi DM.
10.Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180mg%) yang melewati batas
ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang
masuk tubulus ginjal dalam filtrate meningkat kira-kira diatas 225mg/menit,
maka glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau terekskresi
kedalam urin yang disebut glukosuria.keberadaan glukosa dalam urin
menyebabkan keadaan diuresis osmotic yang menarik air dan mencegah
reabsorbsi cairan oleh tubulus ginjal sehingga volume urin meningkat dan

terjadilah polyuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K berlebih pada
ginjal.
Pengeluaran cairan tubuh ynag berlebih akibat poliuria disertai
denganadanya hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air
dari intrasel ke ekstrasel akan menyebabkan dehidrasi, sehingga timbul rasa
haus terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polodipsi).
11.
Bila kadar glucose darah naik terutama bila berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, sehingga gula darah (glukoosa) tersebut dapat menjadi
pekat, dan ini mendorong terjadinya penyempitan atau penghambatan
pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Bilamana
penyempitan ini menjadi parah maka dapat terjadi serangan jantung.
Mengeras
dan
menyempitnya
pembuluh
darah
disebabkan
oleh
pengendapan lemak berwarna kuning dikenal sebagai atherosclerosis pada
arteri koroner. Pasien dengan diabetes cenderung mengalami gangguan
jantung pada usia yang masih muda. Diabetes yang tidak terkontrol dengan
kadar glukosa yang tinggi dalam darah cenderung menaikan kadar
kolesterol.
12.Klasifikasi Obesitas dan Diabetes Mellitus
KLASIFIKASI OBESITAS
Klasifikasi obesitas dapat dibedakan berdasarkan distribusi jaringan lemak,
yaitu:
- Apple-shapedd body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada
dan pinggang)
- Pear-shapedd body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian
panggul dan paha) (Sugondo, 2009).
Klasifikasi obesitas berdasarkan keadaan sel lemak :
Obesitas type hyperplastic. Obesitas terjadi karena jumlah sel lemak
yang lebih banyak dibandingkan keadaan normal.
Obesitas tipe hipertropik. Obesitas terjadi karena ukuran sel lemak
menjadi lebih besar dibandingkan keadaan normal, tetapi jumlah sel
tidak bertambah banyak.
Obesitas tipe hiperplastik dan hipertropik. Obesitas terjadi karena
jumlah dan ukuran sel lemak melebihi normal. Pembentukan sel lemak
baru terjadi segera setelah derajat hipertrofi mencapai maksimal
dengan perantaraan suatu sinyalyang dikeluarkan oleh sel lemak yang
mengalami hipertofi.
Terdapat klasifikasi obesitas berdasarkan kriteria obesitas untuk kawasan
Asia Pasifik. Kriteria ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik
yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang
sama, menunjukkan etnis Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi
4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnis kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa
Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masing-masing adalah 1.9, 4.6, 3.2,
dan 2.9kg/m2 lebih rendah daripada etnis Kaukasia. Hal ini memperlihatkan
adanya nilai ambang batas IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi
tertentu (Sugondo, 2009).

1) Obesitas tipe apple shaped


Obesitas tipe apple shaped atau yang lebih dikenal sebagai android
obesity merupakan obesitas dengan distribusi jaringan lemak lebih
banyak dibagian atas (upper body obesity) yaitu pinggang dan rongga
perut, sehingga tubuh cenderung menyerupai buah apel. Obesitas tubuh
bagian atas merupakan dominasi penimbunan lemak tubuh di trunkal.
Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada trunkal, yaitu
trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum,
intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian
atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini
disebut sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat
dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada
obesitas tubuh bagian bawah (Sugianti, 2009).
2) Obesitas tipe pear shaped
Pada obesitas tipe ini, distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian
panggul dan paha, sehingga tubuh menyerupai buah pir (Boivin, 2007).
Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya
akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih
banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity
(David, 2004). Resiko terhadap penyakit pada tipe ini umumnya kecil.
Pada obesitas tipe apple shaped, lemak banyak di simpan pada bagian
pinggang dan rongga perut. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi
dibandingkan dengan tipe menyerupai buah pear karena sel-sel lemak di
sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah
dibandingkan dengan sel-sel lemak ditempat lain atau perifer (Adam,
2009).

Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA, 2014)

I.

II.

III.

IV.

Diabetes Melitus Tipe 1 (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke


defisiensi insulin absolut):
A. Melalui Proses Imunologik
B. Idiopatik
Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi mulai terutama yang predominan
resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF-1 (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-4 (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) - DNA Mitochondria, dan
lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro
kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis edrenergic, tiazid,
dilantin, interferon alfa, lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : sindrom Stiff-man, antibody anti reseptor
insulin lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, sindrom Wolframs, Ataksia Friedreichs, Chorea Hutington,
sindrom Laurence-Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom
Prader Willi, lainnya
Diabetes kehamilan/gestational

Sumber :

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius. 380387

Mahdiana Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta :


Tora Book. 187-199

Kumar, Abbas, Aster. 2014. Buku Ajar Patologi Robbins. EGC : Jakarta.

PB PABDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.

www.emedicine.medscape.com/article/117853-overview

www.diabetes.org/diabetes-basics/type-2/

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/type-2-diabetes/

Barasi, Mary E. 2007. At a Glance Ilmu Gizi. Penerbit Erlangga : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai