Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT
FEBRUARI 2009

ASPEK MEDIKOLEGAL
TERMINASI KEHAMILAN

Disusun Oleh:
Yuli Indrayani 110.200.0107
M.Irfansyah

110.201.0037

Zulfatulsyah

110.203.0108

Pembimbing
Dr. Denny Mathius
Supervisor
DR. dr. Gatot S. Lawrence, MSc, Sp.PA(K), DFM, SpF
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009

ASPEK MEDIKOLEGAL TERMINASI KEHAMILAN


I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya wanita telah melakukan terminasi kehamilannya sejak permulaan
sejarah

tercatat.

Dalam

sejarah

Yunani

dan

Romawi,

terminasi

kehamilan

diselenggarakan untuk mengontrol populasi. Dewa-dewa tidak melarangnya dan tidak


terdapat hukum negara yang berhubungan dengan hal itu. Ahli-ahli falsafah Yunani
bahkan menganjurkan terminasi, atau tidak melarangnya. Tetapi Phytagoras tidak
menyetujui terminasi kehamilan ini, karena ia berpendapat bahwa pada saat fertilisasi,
telah masuk suatu Roh. Hipocrates adalah salah seorang pengikutnya, sehingga dalam
Sumpah Hipocrates terdapat sanksi terhadap perbuatan abortus / terminasi kehamilan.
Hal tersebut tidak dilaksanakan dan ajaran Hipocrates diabaikan, dokter-dokter Yunani
dan Romawi tetap melaksanakan terminasi kehamilan atas perminataan para wanita.
Penguguran kandungan (abortus provokatus) telah dilakukan oleh para wanita hamil, dan
boleh terjadi secara universal pada hampir semua kebudayaan bangsa. Sebuah catatan
kedokteran kuno yang ditulis 5000 tahun lalu, menginformasikan bahwa di negeri Cina
telah dikenal anjuran untuk meminum air raksa bagi para wanita hamil untuk
menggurkan kandungannya.1,2
Di negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi seperti Indonesia, banyak
perempuan terpaksa mencari pelayanan aborsi tidak aman karena tidak tersedianya
pelayanan aborsi aman atau biaya yang ditawarkan terlalu mahal. Pada remaja
perempuan kendala terbesar adalah rasa takut dan tidak tahu harus mencari konseling.
Hal ini menyebabkan penundaan remaja mencari pertolongan pelayanan aman, dan sering
kali terperangkap di praktek aborsi tidak aman.3,4
II. DEFINISI
Peristilahan aborsi sesungguhnya tidak kita temukan pengutipannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam KUHPidana hanya dikenal
istilah pengguguran kandungan. Istilah aborsi yang berasal dari kata abortus bahasa
latin, artinya kelahiran sebelum waktunya. Sinonim dengan kata itu mengenal istilah
kelahiran yang premature atau miskraam (Belanda), keguguran.1

Abortus berdasarkan definisi medis adalah ancaman atau pengeluaran hasil


konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Anak baru mungkin hidup di luar
kandungan kalau beratnya telah mencapai 1000 gram atau umur kehamilan 28 minggu.
Ada yang mengambil batas abortus bila berat anak kurang dari 500 gram, setara dengan
umur kehamilan 22 minggu. Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia /
berat lahir janin viable (yang mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu
batasan abortus sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram
atau usia kehamilan 20 minggu.(terakhir, WHO/FIGO 1998 : 22 minggu).1,2,4
Dari aspek kedokteran forensik yang diartikan dengan keguguran kandungan
adalah pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa
kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu). Dari segi medikolegal maka istilah
abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti yang sama dan menunjukkan
pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup.5,6
III. INSIDEN
Insiden abortus sekitar 25%, yaitu satu kejadian dari setiap 4-5 kelahiran. 80%
kasus abortus terjadi pada kehamilan bulan ke-2 sampai ke-4. World Health Organization
(WHO) ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 1,5 juta dilakukan di
Indonesia, 2500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap
Angka Kematian Ibu (AKI), sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar
10 % (Wijono, 2000).3,7
Dari 46 juta aborsi pertahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita
diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13%
konstribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998).3
Studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan melakukan aborsi adalah
perempuan menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council,
98,8% perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah
menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum adalah
karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti survei yang dilakukan Biro pusat
Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan

tambahan anak 9BPS, Dep.Kes 1988). Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena
alasan di atas, namun karena adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama,
menimbulkan praktek aborsi tidak aman meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan 6
kabupaten memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota
1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak
terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di
Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di
Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten dilakukan
oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001). 3
Kasus (keguguran/gugur kandungan) dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,
baik dinegara yang sudah maju maupun dinegara yang sedang berkembang. Abortus
dapat terjadi secara spontan, dapat pula terjadi karena dibuat/disengaja (abortus
provocatus). Di Indonesia abortus provocatus adalah suatu tindak pidana, apapun
alasannya, sehingga dokter dapat diminta bantuannya oleh polisi selaku penyidik untuk
memeriksa kasus tersebut. Dengan demikian seorang dokter sangat perlu membekali
dirinya dengan pengetahuan yang memadai tentang aspek kedokteran forensik dari suatu
abortus pada umumnya dan abortus provokatus criminalis pada khususnya. 5
IV. KLASIFIKASI
Empat Macam Abortus Menurut Proses Terjadinya (1,2,6)
1. Abortus yang terjadi secara spontan atau natural.
Diperkirakan 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan abortus, dan secara
yuridis tidak membawa implikasi apa-apa.
2. Abortus yang terjadi akibat kecelakaan.
Seorang ibu yang sedang hamil bila mengalami rudapaksa, khususnya rudapaksa di
daerah perut, misalnya karena terjatuh atau tertimpa sesuatu di perutnya, demikian
pula bila ia menderita syok akan dapat mengalami abortus yang biasanya disertai
dengan perdarahan yang hebat. Abortus yang demikian kadang-kadang mempunyai
implikasi yuridis, perlu penyidikan akan kejadiannya.
3. Abortus provocatus medicinalis atau abortus theurapeticus.
Abortus ini dilakukan semata-mata atas dasar pertimbangan medis yang tepat, tidak
ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa si ibu kecuali jika kandungannya

digugurkan, misalnya pada penderita kanker ganas. Abortus provocatus medicinalis


kadang-kadang membawa implikasi yuridis, perlu penyidikan dengan tuntas,
khususnya bila ada kecurigaan perihal tidak wajarnya tarif atau biaya yang diminta
oleh dokter, sehingga menimbulkan komersialisasi yang berkedok demi alasan medis.
4. Abortus provocatus criminalis atau abortus kriminalis.
Jelas tindakan pengguguran kandungan di sini semata-mata untuk tujuan yang tidak
baik dan melawan hukum. Tindakan abortus yang tidak bisa dipertanggung jawabkan
secara medis dan dilakukan hanya untuk kepentingan si pelaku, walaupun ada
kepentingan juga dari si ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan jenis ini sulit
untuk melacaknya oleh karena kedua belah pihak menginginkan agar abortus dapat
terlaksana dengan baik (crime without victim, walaupun sebenarnya korbannya ada
yaitu bayi yang dikandung).
Secara klinis di bidang medis dikenal istilah-istilah abortus sebagai berikut:
a)
Abortus imminens, atau keguguran mengancam. Pasien pada umumnya
b)

c)

dirawat untuk menyelamatkan kehamilannya, walaupun tidak selalu berhasil.


Abortus insipiens, atau keguguran berlangsung atau dalam proses keguguran
tidak dapat dicegah lagi.
Abortus incomplete, atau keguguran tidak lengkap. Sebagian buah kehamilan
telah dilahirkan tetapi sebagian lagi belum, biasanya ari-ari masih tertinggal

d)

e)

dalam rahim.
Abortus complete, atau keguguran lengkap. Apabila seluruh buah kehamilan
telah dilahirkan seluruh buah kehamilan telah dilahirkan secara lengkap.
Missed abortion, atau keguguran tertunda, ialah keadaan dimana janin telah
mati di dalam rahim sebelum minggu ke 22 kemudian tertahan di dalam

f)

selama 2 bulan atau lebih.


Abortus habitualis, atau keguguran berulang, ialah abortus yang telah
berulang dan terjadi tiga kali berturut-turut. (1)

IV.a ABORTUS PROVOKATUS ATAS INDIKASI MEDIS


Umumnya setiap negara ada undang-undang yang melarang abortus buatan,
tetapi larangan ini tidaklah mutlak sifatnya. Di Indonesia berdasarkan undang-undang,
melakukan abortus buatan dianggap suatu kejahatan. Akan tetapi abortus buatan sebagai
tindakan pengobatan, apabila itu satu-satunya jalan untuk menolong jiwa dan kesehatan

ibu serta sunguh-sungguh dapat dipertanggung jawabkan dapat dibenarkan dan biasanya
tidak dituntut.. Indikasi medis akan berubah-ubah menurut perkembangan ilmu
kedokteran. Di negara Swedia, Swiss, dan beberapa negara lainnya, membenarkan
indikasi yang bersifat sosial medis, humaniter, dan egenetis, bukan semata-mata untuk
menolong ibu, tetapi juga dengan pertimbangan keselamatan anak, jasmani, dan rohani.
6,7

Walaupun beberapa ahli telah banyak berdebat tentang kemungkinan perluasan


indikasi medik, namun sampai saat ini di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi
medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Jadi tidak dibenarkan melakukan abortus
atas indikasi :5
-

ekonomi

etnis : baik akibat perkosaan atau akibat hubungan diluar nikah.

Sosial ; kuatir adanya penyakit turunan, janin cacat.

IV.b ABORTUS PROVOKATUS KRIMINALIS


Aborsi kriminal adalah kerusakan atau pengguguran janin dari rahim ibu oleh
orang lain secara paksa, yaitu, jika tidak ada indikasi terapeutik untuk operasi. Kejahatan
ini dinyatakan sebagai tindak pidana jika aborsi yang dilakukan berakibat fatal. Jika
wanita tersebut meninggal akibat prosedur yang dilakukan oleh aborsionis dan orang lain
yang berkaitan dengan kejahatan tersebut, seperti ahli anestetik atau perawat, akan
dituntut dengan pasal pembunuhan. Bahkan saudara atau teman yang menemaninya ke
aborsionis dinyatakan bersalah sebagai rekan kejahatan, jika dapat dibuktikan bahwa
orang tersebut mengetahui tujuan kunjungannya. Hukum menekankan pada maksudmaksud ilegal di balik tindakan dan tentang semua hal yang berhubungan dengan
kejahatan sebagai prinsip-prinsip kesalahan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
individu yang memberi anjuran dan meresepkan obat-obatan, atau berusaha
menggugurkan kandungan dengan cara lain; jika terjadi kematian akibat tindakannya,
mereka dinyatakan bersalah oleh hukum. 7,9
Tidak ada perbedaan hukum untuk pengguran fetus pada awal kehamilan atau
pada akhir masa kehamilan, karena keduanya disebut aborsi. Dalam sebagian besar

yuridiksi, fetus pada awal kehamilan sebelum digugurkan dinyatakan memiliki kehidupan
yang sama dengan fetus pada akhir masa kehamilan. Aborsi yang dilakukan pada awal
masa kehamilan sama bersalahnya dengan yang dilakukan pada akhir masa kehamilan.9
Kurang lebih 40% dari semua kasus abortus adalah abortus provokatus criminalis
(APC). Pelaku APC biasanya adalah wanita bersangkutan (janda, wanita yang belum
menikah, wanita yang telah menikah tetapi mengandung anak yang bukan dari
suaminya), dokter / tenaga medis lain (demi keuntungan atau demi rasa simpati), orang
lain yang bukan tenaga medis yang karena suatu alasan tidak mengkehendaki kehamilan
seorang wanita. Tindakan abortus biasanya dilakukan pada kehamilan trimester pertama.
Bila pelakunya adalah wanita bersangkutan, sering timbul akibat yang tidak diinginkan,
sehingga sering pula harus berurusan dengan polisi. Sebaiknya bila dilakukan oleh tenaga
medis yang ahli biasanya tidak sampai berurusan dengan pihak berwajib, karena
dikerjakan dengan ahli sehingga hampir selalu berhasil dengan baik tanpa efek samping.
Kasus abortus kriminalis muncul kepermukaan biasanya karena kematian wanita akibat
tindakan abortus yang dilakukan. 5,7
Kadang-kadang, seorang aborsionis, setelah melakukan kuretasi pada seorang
pasien atau menyadari bahwa ia telah mengakibatkan perforasi uterus, akan memanggil
seorang koleganya untuk melakukan operasi abdominal pada wanita tersebut, tidak hanya
untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi, tapi untuk menyamarkan fakta bahwa ia telah
melakukan aborsi ilegal, jika memungkinkan. Sebelum melakukan laparotomi, dokter
kedua akan memasukkan kuret ke dalam uterus untuk tujuan diagnosis, namun pada
kenyataannya bertujuan untuk merusak kasus dan menghambat penyelidikan.9

V. CARA-CARA ABORTUS
Cara-cara yang dipakai untuk melakukan abortus atas indikasi medik adalah: :5,7
(1) Vaginal
-

Ketuban dipecah

Dilatasi Cervix

Injeksi 10 unit oxytosin intra uterin

(2) Abdominal : Sectio Caecaria


Cara-cara melakukan abortus kriminalis : 5,7
1. Mengunakan obat-obatan yang diminum
2. Menggunakan kekerasan mekanik (umum dan lokal)
3. Dilatasi dan kuretasi, biasanya hal ini hanya dilakukan oleh dokter atau
bidan.

Obat obatan
Biasanya obat-obatan yang diberikan per-oral tidak menyebabkan abortus kecuali
diberikan dalam jumlah besar sehingga bersifat toksik kepada wanita hamil tersebut.Patut
diingat tidak ada satupun obat/kombinasi obat peroral yang mampu menyebabkan rahim
yang sehat mengeluarkan isinya tanpa membahayakan jiwa wanita yang meminumnya.
Karena

itulah

seorang

abortir

profesional

tidak

mau

membuang-buang

waktu/mengambil resiko melakukan abortus dengan menggunakan obat-obatan.


Klasifikasi obat-obat yang digunakan adalah :5,7
1. Obat yang bekerja langsung pada uterus
-

Echolics (golongan obat yang meningkatkan kontraksi uterus).

Emmenagagonum

(merangsang

terjadinya

menstruasi.

Untuk

menyebabkan abortus harus diberikan dalam dosis yang besar dan


berulang).
2. Obat obat yang menimbulkan kontaksi Gastro-intestinal traktus.
-

Yang paling sering digunakan adalah emetik tartar.

Castrol oil ; magnesium sulfate / sodium sulfate

3. Obat yang bersifat racun sistemik


-

Racun tumbuhan (buah pepaya yang masih mentah, buah nenas yang
masih mentah, madar juice, Buah Daucus carota).

Racun logam ( yang paling sering digunakan adalah cairan timah yang
mengandung oksida timah dan minyak zaitun).

Kekerasan Mekanik5,7
Tindakan kekerasan yang bersifat umum :
(1) Penekanan pada abdomen, misalnya pukulan, tendangan.
(2) Menggunakan ikatan yang kencang pada bagian abdomen.
(3) Latihan olahraga yang keras misalnya bersepeda, meloncat, menunggang kuda,
mendaki gunung, berenang, naik turun tangga.
(4) Mengangkat barang-barang berat.
(5) Pemijatan uterus melalui dinding abdomen.
Tindakan kekerasan yang bersifat lokal :
(1) Merobek selaput amnion, yaitu dengan memasukkan benda tajam seperti kateter,
jarum, dll kedalam rongga uterus.
(2) Pernggunaan ganggang laminaria yang diamternya berukuran 0,4-0,5 cm.
Ganggang ini direndam dalam air dan dimasukkan kedalam ostium uteri. Dengan
demikian akan menyebabkan robeknya selaput amnion dan terjadi abortus.
(3) Stik abortus, yaitu berupa potongan kayu yang dibungkus dengan kain, kemudian
dicelupkan kedalam madar juice, arsen atau phelavai juice dan dimasukkan
kedalam ostium uteri. Hal ini akan menyebabkan kontraksi uterus dan abortus.
(4) Menyalurkan listrik tegangan rendah, menyebabkan kontraksi uterus dan
mengeluarkan hasil konsepsi.

VI. KOMPLIKASI ABORTUS


Komplikasi-komplikasi fatal setelah tindakan aborsi dapat ditentukan dengan
mengklasifikasikan kematian tersebut dalam kategori berikut ini: 5,9
(1) Immediate (seketika)
a. Vagal reflek
b. Emboli udara (kurang lebih 10 cc)

c. Perdarahan
d. Keracunan anastesi.
(2) Delayed (beberapa saat setelah tindakan abortus)
a. Septicemia (alat-alat kotor/kontaminasi dari anus)
b. General peritonitis
c. Toxemia
d. Tetanus
e. Perforasi uterus dan viscer abdomen
f. Emboli lemak (penyemprotan lisol)
(3) Remote (lama sekali setelah tindakan abortus)
a. Renal failure
b. Bacterial endocarditis
c. Pneumonia, emphysema.
VII. ASPEK MEDIKOLEGAL
Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu
belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan
mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan
untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus
mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai timbul suatu
revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara di dunia terhadap
tindakan abortus. Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa
kategori sebagai berikut: 4

Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.


Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu),
seperti di Perancis dan Pakistan.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di Kanada,
Muangthai dan Swiss.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti di


Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang,
Polandia, dan Yugoslavia.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa memperhatikan
indikasi-indikasi lainnya (Abortion on requst atau Abortion on demand), seperti di
Bulgaris, Hongaria, USSR, Singapura.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh
dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India
Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila
hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang
Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam hukum abortus pada umumnya
mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti yang tersebut di bawah ini:
Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang melakukan abortus
atas indikasi medik.
Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya abortus provocatus criminalis.
Untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk.
Untuk melindungi hal wanita dalam menentukan sendiri nasib kandungannnya.
Untuk memenuhi desakan masyarakat.
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik
Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran
kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani
profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan
atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia
akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d. Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada
pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan
implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di masingmasing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari

pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya.
Sanksi administratif tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak.
Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
PASAL 15:
Ayat 1: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Ayat 2: Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) hanya dapat
dilakukan: a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut; b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi
serta berdasarkan pertimbangan tim ahli; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan atau suami atau keluarganya; d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Ayat 3: Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pada penjelasan UU no 23 tahun 1992 pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
Ayat (1): Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil
tindakan medis tertentu
Ayat (2) Butir a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan
diambil tindakan medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu
hamil dan janinnya terancam bahaya maut. Butir b : Tenaga kesehatan yang
dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian
dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kandungan
seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Butir c : Hak utama
untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali dalam
keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat diminta

dari semua atau keluarganya. Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana
kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan
tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3): Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara
lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau
janinnya,tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk
persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk. 2. Abortus Provocatus Criminalis
(Abortus buatan illegal) Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain
untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang
tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang. Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus
provocatus criminalis karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau
kejahatan.
Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP):
Pasal 346 KUHP
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk melakukannya diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pasal 347 KUHP
Ayat 1 : Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun.
Ayat 2 : Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 348 KUHP

Ayat 1 : Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang


wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
Ayat 2 : Jika perbuatannya itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dari pasal 346, 347, dan 348 KUHP, Jelas bahwa undang-undang tidak mempersoalkan
masalah umur kehamilan atau berat badan dari fetus yang keluar.
Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterapkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan.
Pasal 299 KUHP
Ayat 1 : Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak 45.000 rupiah.
Ayat 2 : Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Ayat 3 : Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencariannya itu.

Pasal 349 dan 299 KUHP memuat ancaman hukuman untuk orangorang tertentu yang mempunyai profesi atau pekerjaan tertentu bila

mereka turut membantu atau melakukan kejahatan seperti yang di


maksud ketiga pasal tersebut.
Pasal 535 KUHP
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan
kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun
secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai
bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan :
1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang
lain, diancam hukuman empat tahun.
2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut diancam hukuman 12 tahun, dan jika ibu hamil itu
mati diancam 15 tahun
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan
bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang
dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah
sepertiganya dan hak untuk praktek dapat dicabut. Meskipun dalam KUHP tidak
terdapat satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus
atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya
dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan
yang kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).
Pasal 80
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pihakpihak yang dapat mewujudkan adanya pengguguran kandungan adalah :
1. Seseorang yang melakukan pengobatan atau menyuruh supaya berobat terhadap
wanita tersebut supaya gugur kandungannya.
2. Wanita itu sendiri yang melakukan upaya atau menyuruh orang lain sehingga
gugur kandungannya.
3. Seseorang yang tanpa izin menyebabkan gugurnya kandungan seorang wanita.
4. Seseorang yang dengan izin menggugurkan kandungan seorang wanita.
5. Seseorang yang dimaksud dalam angka (1), (2), (3), dan (4) termasuk didalamnya
dokter, bidan, juru obat serta pihak lain yang berhubungan dengan medis.
Peran dokter terutama seorang dokter spesialis obstetri ginekologi didasarkan
suatu pendidikan, latar belakang, dan pengalaman untuk mempertahankan kehidupan dan
kesehatan pasiennya yang hamil serta janinnya. Akibatnya, timbul suatu konflik dalam
pendidikan, pengalaman dan latar belakang, hal ini karena terjadinya perubahanperubahan sosial dalam masyarakat, maka terjadi pula perubahan interprestasi dalam
pendidikan, praktek, dan hukum. Karena perkembangan ilmu pengetahuan hukum
kedokteran yang semakin maju dengan pesat, maka terutama dalam subspesialisasi fetomaternal, para SpOG disatu pihak dapat mencegah terjadinya defek-defek berat pada
fetus, tetapi juga menyetujui terminasi kehamilan. Ilmu pengetahuan selalu membawa
perubahan dan perubahan ini memiliki dinamika, sehingga terdapatlah suatu perubahan
universal dalam praktek kedokteran.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup
insani. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 dengan jelas menyatakan bahwa dalam
keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat
dilakukan tindakan medik tertentu dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya
dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.

Yang dimaksud dengan menyelamatkan jiwa ibu hamil disini sesuai dengan
indikasi medik yaitu suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
pengguguran kandungan, sebab kalau tidak ibu hamil terancam bahaya maut.
Indikasi melakukan abortus terapeutik:5
(1) Faktor kehamilannya sendiri
-

Ectopic pregnancy yang terganggu

Abortus yang mengancam disertai dengan perdarahan yang terus-menerus,


atau jika janin telah meninggal (missed abortion).

Mola hydatidosa

Kelainan plasenta

(2) Penyakit diluar kehamilannya :


-

Ca Cervix

Ca. Mamma yang aktif

(3) Penyakit sistemik ibu :


-

Toxemia gravidarum

Penyakit jantung organik disertai dengan kegagalan jantung

Penyakit ginjal

Diabetes melitus berat

Gangguan jiwa, disertai kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus


seperti ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi
dengan psikiater.

Dalam melakukan tindakan abortus atas indikasi medik, seorang dokter perlu
mengambil tindakan-tindakan pengamanan dengan mengadakan konsultsi pada seorang
ahli kandungan yang berpengalaman dengan syarat: 5,7
(1) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan)
sesuai dengan tanggung jawab profesi.
(2) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
(1) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
(2) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga / peralatan yang memadai,
yang ditunjuk pemerintah.

(3) Prosedur tidak dirahasiakan.


(4) Dokumen medik harus lengkap.
Jika seorang dokter melakukan terminasi kehamilan tanpa adanya indikasi medik
yang mengancam jiwa ibu hamil maka dokter tersebut telah melanggar KUHP pasal 349
seperti yang telah dijelaskan diatas.

Anda mungkin juga menyukai